Climate change is no longer something that may happen in the distant future. Form higher temperatures and rising sea levels to changin rainfall patterns and more frequent extreme weather events. Climate change is already imnpacting on the regions rapidly growing cities and their populations. The urban poor are affected disproportionately by these changes due to a combination of factors, such as vulnerable physical location, poor quality housing and an often limited capacity to prepare for, cope with and recover from extreme weather events and slow-onset impacts of climate change. In fact, climate variability and change threatens to interfere with, and eve reverse, hard won poverty reduction and development gains
Lingkungan tempat tinggal masyarakat perdesaan di Indonesia didesain oleh nenek moyang kita tanpa arsitek, tanpa planner (perencana), tanpa masterbuilder. Namun, lingkungan binaan tersebut terbukti lebih tangguh dalam menghadapi segala tekanan, baik tekanan fisik dalam bentuk bencana alam maupun dalam bentuk sebaran penyakit atau pandemi. Resiliensi arsitektur lingkungan binaan ciptaan nenek moyang kita terhadap bencana sudah tidak diragukan lagi, sehingga banyak sekali ide desain bangunan-bangunan arsitektur lokal di setiap daerah di Indonesia yang dijadikan inspirasi oleh para arsitek dalam dan luar negeri sebagai acuan. Tetapi, karya-karya arsitektur lokal yang lahir dari 'tangan dingin' nenek moyang dan dapat mengakomodir kebutuhan masyarakatnya sambil tetap melenggang anggun dalam melakukan daily-activities di tengah pandemi, tentu tidak banyak ditemukan. Penulis berharap, buku ini dapat menjadi sumber ilmu pengetahuan baru yang berbasis kearifan lokal terutama dalam upaya mitigasi, pencegahan dan pengendalian penyebaran virus Covid-19. Tradisi baik yang berseninambungan dan terbukti tangguh dalam menghadapi pandemi tentu harus dijadikan arahan dalam pengembangan model tata ruang yang responsif.
Buku Lingkungan Perumahan Vernakular rnernaparkan secara urnurn tiga aspek arsitektur wmnakular yaitu produk, proses dan pengetahuan yang dihasilkan oleh yarakat Mandailing. Tiga aspek tersebut selanjutnya membentuk karya a itektur tanpa arsitek di skala lingkungan perumahan yang mampu bertahan hingga saat ini dan adaptif pandemi Covid-19
Mandailing merupakan salah satu daerah di Sumatra Utara yang memiliki keeksotisan tersendiri. Terlebih pada fenomena arsitektur yang dimiliki oleh masyarakat perdesaan pegunungan. Semua hal yang terkait dengan Mandailing menjadi sesuatu hal yang sangat eksotis bagi penulis. Oleh sebab itu, pemilihan judul Model Desain Rumah Tumbuh Masyarakat Perdesaan Pegunungan diharapkan dapat menunjukkan keeksotisan Mandailing bagi para pembaca, khususnya tentang model desain rum ah tinggal masyarakatnya yang sangat kaya akan nilai-nilai lokal. Buku Model Desain Rumah Tumbuh Masyarakat Perdesaan Pegunungan ini akan membahas lebih dalam tentang Mandailing, mulai dari sejarah namanya hingga karakter sosial, adat, budaya, dan arsitekturnya. Diharapkan dengan adanya buku ini dapat memperkenalkan semua hal tentang Mandailing serta potensi Mandailing yang dieksplor ke masyarakat luas tidak hanya di Indonesia, tetapijuga di negara lain.
Analisis variabilitas dan perubahan iklim di Nusa Tenggara Timur (NTT) telah dilakukan dalam studi ini. Studi ini dilaksanakan dibawah arahan dari Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementrian Lingkungan Hidup dan Kchutanan serta Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur yang merupakan bagian dari kegiatan proyek Strategic Planning and Action to Strengthen Climate Resilience of Rural Communities in Nusa Tenggara Timur (SPARC) yang difasilitasi oleh United Nations Development Programme (UNDP) dengan dukungan pendanaan dari Global Environment Facility (GEF). Studi bertujuan untuk memberikan analisis tentang kondisi iklim historis dan proyeksi perubahan iklim di wilayah NTT dengan analisis tambahan yang difokuskan pada tiga kabupaten, yaitu Kabupaten Manggarai, Sabu Raijua dan Sumba Timur. Analisis ditekankan pada tingkat lokal dan didukung oleh data iklim historis dari berbagai sumber dan data proyeksi iklim menggunakan pendekatan analisis downscaling dinamik dan statistik dari luaran model iklim global atau Global Climate Model (GCM).
Sekaj 2009, Mercy Corps Indonesia telah melaksanakan program Jejaring Ketahanan Kota-kota Asia terhadap perubahan iklim (Asian Climate Change Resilience Network-ACCRN) dengan bantuan pendanaan dari the Rockefeller Foundation. Program yang dilakukan di 10 kota di Vietnam, India, Thailand dan Indonesia ini sudah berkembang menjadi lebih di 50 kota di enam negara. Di Indoensia, Program ACCRN bertujuan untuk membantu kota-kota di Indonesia agar memahami isu perubahan iklim dan mendorong agar perencanaan dan pelaksanaan pembangunan mempertimbangkan dengan baik permasalahan ini. Berangkat dari dua kota yaitu Semarang dan Bandar Lampung, Program ACCCRN membawa pembelajaran yang ada dalam upaya membangun ketahanan terhadap perubahan iklim ke enam kota lain meliputi Cirebon, Blitar, Palembang, Pekalongan, Probolinggo dan Tarakan, ACCCRN juga mendorong sembilan kota lain untuk menyiapkan rencana ketahanan kota terhadap iklim
In the past decades, economic growth has stimulated industrialization and urbanization in Indonesian coastal cities such as Semarang and Demak. Against this backdrop of economic growth, water demand in Semarang and Demak has increased over time. However, clean (piped) water supply has not kept pace with rising demand, and industrial activities largely rely on direct groundwater extraction. Extraction of groundwater is expected to be the key driver of subsidence in the area, particularly in locations situated on unconsolidated sediments like the northern part of Semarang and Demak. In a natural state, subsidence due to consolidation of such sediments rarely exceeds 1 cm/year. However, over-extraction of groundwater can significantly exacerbate subsidence rates: in Semarang and Demak, subsidence exceeds 8 cm/year in the northern part of Semarang, and in Sayung District of Demak. In areas where the groundwater head drops most strongly, subsidence is more severe. This subsiding area hosts the majority of industries and is densely populated. Subsidence can cause immense direct and indirect damage. Direct damage includes damage to infrastructures and buildings. Indirect damage includes increasing flood risk due to lower elevation, over time leading to permanent land loss. Attention for this issue is increasing in the area, and a subsidence roadmap is in the making to help adapt and mitigate the land subsidence