Latar belakang : HIV/AIDS-TB merupakan kegawatan kesehatan masyarakat global saat ini. Indonesia menduduki peringkat kedua dunia berdasarkan insidensi jumlah kasus TBC. Prevalensi koinfeksi TB-HIV cukup tinggi di Indonesia, namun diagnosisnya masih cukup sulit karena gambaran klinis radiologis yang tidak khas. Metode : Penelitian deskriptif berdasarkan data sekunder dari rekam medis penderita TB-HIV di instalasi Rawat Inap dan Rawat Jalan RSDK selama periode 1 Januari 2015 sampai dengan 30 Juni 2018. Hasil : Subjek penelitian 43 pasien, TB-HIV 17 BTA (+), 26 BTA (-), CD4+
Tujuan : Mengetahui pengaruh penambahan kinesio taping pada latihan MC kenzie terhadap skor Back Performance Scale penderita nyeri punggung bawah mekanik kronik. Rancangan : Penelitian simple randomized controlled pre dan post experimental design. Subjek : Tigapuluh penderita nyeri punggung bawah mekanik kronik berusia 25-40 tahun. Tempat : Instalasi Murai Gedung Rehabilitasi Medik RSUP Dr. Kariadi. Waktu : Agustus-September 2017. Intervensi : Latihan McKenzie sebanyak 12 kali selama 4 minggu dengan frekuensi 3 kali per minggu pada kelompok perlakuan dan kontrol, penambahan kinesio taping sebanyak 7 kali selama 4 minggu pada kelompok perlakuan. Hasil Pengukuran Utama : Performa fungsional punggung yang diukur dengan Back Performance Scale (BPS) pada awal penelitian dan akhir minggu keempat. BPS terdiri dari sock test, pick up test, finger tip to floor test, lift test dan roll up test. Hasil: Terdapat peningkatan rerata skor BPS yang bermakna pada kelompok-kelompok perlakuan dengan penambahan kinesiotaping dibandingkan kelompok kontrol setelah intervensi (pada akhir minggu keempat). Kesimpulan : Penambahan kinesiotaping berpengaruh terhadap skor Back performance scale. Kata kunci : kinesio taping, latihan Mc Kenzie, Back performance scale, nyeri punggung bawah mekanik kronik
Latar Belakang : Flat foot merupakan patologi kaki yang umum dijumpai dalam kehidupan sehari-hari pada populasi remaja dan dapat mempengaruhi fungsi kaki normal untuk menumpu berat badan, sehingga beban akan ditransfer ke area lebih proksimal seperti lutu, panggul dan punggung bawah. Lebih lanjut, dapat mempengaruhi biomekanika kaki dan mengganggu distribusi penekanan dan keseimbangan selama berjalan. Tatalaksana berupa ortosis kaki paling sering diberikan pada pasien flat foot. Insole medial wedge secara klinis diberikan untuk memperbaiki keseimbangan dan mengoreksi kaki pronasi. Namun, masih terdapat kontradiksi mengenai perlunya tatalaksana ortosis kaki terhadap gangguan keseimbangan pada pasien flat foot terutama pada pasien remaja, dimana maturitas tulang kaki terjadi pada kisaran umur 12 tahun pada wanita dan usia 14 tahun pada laki-laki. Tujuan : Mengetahui efek dari insole medial wedge terhadap kesembangan statis dan dinamis pada remaja usia 16-18 tahun dengan flexible flat foot setelah 4 minggu. Material dan Metode : Suatu simple randomized experimental pre and post test controlled group design study dilakukan pada tiga puluh empat pelajar di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 8 Semarang yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Semua pasien dievaluasi dengan single limb stance mata terbuka dan tertutup untuk keseimbangan statis dan tandem walk test untuk keseimbangan dinamis pada awal, minggu kedua dan akhir penelitian. Intervensi : Kelompok perlakuan diinstruksikan menggunakan insole medial wedge selama minimal 6 jam/hari selama 4 minggu. Hasil: Terdapat perbedaan yang signifikan pada delta skor SLS mata terbuka antara kelompok perlakuan dan kontrol sesudah perlakuan (p=0,000). Terdapat perbedaan yang signifikan pada delta skor SLS mata tertutup antara kelompok perlakuan dan kontrol sesudah perlakuan (p=0,000). Terdapat perbedaan yang signifikan pada delta skor TWT antara kelompok perlakuan dan kontrol sesudah perlakuan (p=0,001). Kesimpulan : Semua pasien menunjukkan peningkatan signifikan pada rerata nilai skor single limb stance untuk keseimbangan statis dan rerata nilai skor tandem walk test untuk keseimbangan dinamis pada akhir penelitian. Penggunaan insole medial wedge jangka pendek secara signifikan meningkatkan keseimbangan statis dan dinamis pada remaja usia 16-18 tahun dengan flexible flat foot. Kata kunci : insole medial wedge, keseimbangan statis, keseimbangan dinamis, remaja, fleksibel flatfoot
Tujuan : Membuktikan pengaruh program berjalan 10.000 langkah terhadap kebugaran kardioresirasi remaja obesitas. Rancangan : Randomized controlled pre dan post experimental group design. Subjek : 24 Siswa SMA usia 15-17 tahun dengan obesitas. Tempat : SMA Nusa Putera dan SMAN 11 Semarang. Waktu : Februari-Maret 2018. Perlakuan : Program berjalan 10.000 langkah 5 hari dalam seminggu selama 6 minggu pada kelompok perlakuan. Kelompok kontrol hanya mendapatkan pedometer dan mencatat jumlah langkah tanpa diberikan target harian selama 6 minggu. Hasil Pengukuran Utama : Kebugaran kardiorespirasi (VO2 maks) yang diukur dengan 6 minute walking test ( 6mwt). Penilaian dilakukan sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan terakhir. Hasil: Pada awal penelitian, tidak didapatkan adanya perbedaan yang bermakna skor VO2 maks antara kelompok kontrol (12,45 (11,71-16,92)) dan kelompok perlakuan (12,44 (11,18-17,03)) dengan p=0,954. Pada akhir penelitian pada kelompok kontrol tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antara nilai VO2 maks awal (14,45 (11,71-16,92)) dengan VO2 maks akhir (12,38 (11,31-17,18)) dengan p=0,582. Sedangkan pada kelompok perlakuan pada akhir penelitian didapatkan adanya perbedaan yang bermakna (p=0,002) antara nilai VO2 maks awal (12,44 (11,18-17,03)) dengan VO2 maks akhir (17,06 (14,89-19,78)). Terdapat perbedaan yang sangat signifikan (p=0,000) selisih skor VO2 maks antara kelompok kontrol (0,035 (-0,71-0,26)) dengan kelompok program berjalan 10.000 langkah (3,79 (2,54-5,74)). Kesimpulan : Program berjalan 10.000 langkah berpengaruh terhadap kebugaran kardiorespirasi remaja obesitas. Kata kunci : program berjalan 10.000 langkah, remaja obesitas, VO2 maks
Tujuan : Untuk membuktikan efek penggunaan insole medial wedge terhadap jarak tempuh berjalan to prove the effect of insole medial wedge on walking distance. Design : Penelitian randomized pre dan post controlled group design. Partisipan : 34 remaja usia 16-18 tahun. Tempat : SMK Negeri 8. Waktu : Februari-Maret 2018. Intervensi : Subjek secara acak dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Kelompok perlakuan mendapatkan sepatu dan insole medial wedge sedangkan kelompok kontrol mendapatkan sepatu dengan insole datar. Sepatu dan insole digunakan minimal enam jam sehari, selama empat minggu. Jarak tempuh dinilai dengan menggunakan 6 minute walking test (6MWT). Jarak tempuh kelompok perlakuan dan kontrol dinilai pada awal penelitian minggu 0 (pre), akhir minggu kedua dan akhir minggu keempat penggunaan. Hasil: Pada kelompok perlakuan didapatkan perubahan signifikan terhadap jarak tempuh, dari minggu 0 (pre) 430,22 ± 32,96 meter hingga minggu ke empat 525,16 ± 24,01 (P=0,000). Pada kelompok kontrol tidak didapatkan adanya perubahan yang signifikan dari minggu 0 (pre) 442,13 ± 46,45 meter hingga 447,53 ± 40,9 meter pada minggu 4 (p=0,268). Untuk perbandingan antar kelompok juga didapatkan adanya perbedaan yang signifikan pada minggu ke empat dengan p=0,000. Kesimpulan : Penggunaan insole medial wedge dapat memperbaiki jarak tempuh berjalan pada remaja dengan fleksibel flatfoot. Kata kunci : insole medial wedge, jarak tempuh berjalan, fleksibel flatfoot
Latar belakang : Fibrosis berperan penting dalam proses penyakit ginjal kronik. Inflamasi sebagai awitan terjadinya fibrosis pada glomerolus dan tubulus ginjal merupakan patofisiologi yang mendasari terjadinya penyakit ginjal kronik dan umumnya diakhiri dengan dialisis sebagai terapi pengganti ginjal. Kreatinin di filtrasi oleh glomerulus sedangkan asam urat diabsorbsi dan sebagian di sekresi oleh tubulus. Galectin 3 merupakan mediator inflamasi pro fibrosis pada penyakit ginjal kronik. Komponen darah seperti galectin 3, kreatinin dan asam urat berperan sebagai petanda fibrosis ginjal serta menilai fungsi glomerulus dan tubulus pada penderita penyakit ginjal kronik (PGK) dengan hemodialisis. Tujuan : Membuktikan hubungan antara kadar galectin 3 dengan kreatinin dan asam urat serum pada penderita PGK dengan hemodialisis. Metode : Penelitian belah lintang ini melibatkan 33 orang yang didiagnosis PGK dengan hemodialisis di RSUP dr. Kariadi Semarang selama periode April – Juni 2018. Kadar galectin 3 diperiksa menggunakan metode ELISA. Kadar kreatinin dan asam urat diperiksa menggunakan alat kimia otomatis. Analisa statistik menggunakan uji korelasi Spearman. Hasil Penelitian : Hasil uji hubungan antara kadar galectin 3 dengan kreatinin serum menunjukkan : r = 0,381 p=0,029 dan kadar galectin 3 dengan asam urat serum menunjukkan r=0,347 p=0,048. Kesimpulan : Kadar galectin 3 berhubungan positif lemah dengan kadar kreatinin dan asam urat serum pada PGK dengan hemodialisis. Kata kunci : galectin 3, kreatinin, asam urat, PGK, hemodialisis
Latar belakang : Karsinoma serosum derajat tinggi dan karsinoma endometrioid derajat tinggi pada ovarium adalah keganasan epithelial terbanyak dan yang kedua terbanyak pada ovarium. Keganasan ini sering terdeteksi pada tahap lanjut dan mempunyai prognosis yang buruk. Secara histopatologi sulit untuk membedakan kedua keganasan ini. Ekspresi WT1 dan p16 dapat digunakan untuk membedakan kedua keganasan ini. Tujuan : Untuk membuktikan perbedaan ekspresi WT1 dan p16 pada karsinoma serosum derajat tinggi dan karsinoma endometrioid derajat tinggi pada ovarium. Metode : penelitian analitik deskriptif dengan desain belah lintang. Sampel sebanyak 30 blok paraffin yang telah didiagnosis dan dilihat ulang sebagai karsinoma ovarium tahun 2015-2017 di laboratorium Patologi Anatomi RSUP dr. Kariadi yang dibagi menjadi 2 kelompok endometrioid derajat tinggi sebanyak 12 sampel, dan dilakukan pengecatan imunohistokimia antibodi monoklonal WT1 dan p16, kemudian dianalisis dengan uji Mann-Whitney. Hasil Penelitian : Secara statistik dengan menggunakan uji mann-whitney nilai p ekspresi WT1 dan p16 pada karsinoma serosum derajat tinggi dan karsinoma endometrioid derajat tinggi pada ovarium adalah 0,698 dan 0,183 dengan ekspresi WT1 dan p16 pada karsinoma serosum derajat tinggi lebih tinggi dibandingkan karsinoma endometrioid derajat tinggi. Kesimpulan : Terdapat pebedaan yang tidak bermakna antara ekspresi WT1 dan p16 pada karsinoma serosum derajat tinggi dan karsinoma endometrioid deraat tinggi pada ovarium. Kata kunci : karsinoma serosum derajat tinggi, karsionoma endometrioid derajat tinggi, ovarium, WT1, p16
Pendahuluan: Karsinoma serviks uteri (KSU) stadium IIB-IIIB dapat diterapi dengan kemoradiasi dan kemoterapi yang menurunkan proses apoptosis. Ki-67 merupakan protein terlibat dalam proses polymerase sintesis I-dependent RNA ribosom dan bekerja di semua siklus sel kecuali fase G0, sehingga berfungsi sebagai biomarker untuk menilai aktivitas proliferasi suatu tumor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan ekspresi KI-67 dengan respon terapi histopatologi pada penderita KSU stadium IIB-IIIB yang mendapat kemoradiasi atau radioterapi. Metode: Kami mendesain penelitian kohort prospectif dengan metode observasional-analitik. 55 subyek penelitian yang terdiri dari 28 kasus kelompok kemoradiasi dan 27 kasus kelompok radiasi. Pasien dibiopsi serviks dan pemeriksaan imunohistoKimia ekspresi Ki-67 dan TSG P2. Uji normalitas data menggunakan uji shappiro wilcoson di lanjutkan dengan t independent (normal) atau uji man whitney (tidak normal). Untuk data kategorik nominal dan ordinal di lakukan uji chi square. Hubungan antara tingkat ekspresi Ki-67 dengan respon terapi histopatologi dan respon klinis dinilai dengan uji chi square. Hasil: Pada penelitian ini tidak didapatkan perbedaan respon terapi yang bermakna pada Ki-67 tinggi atau rendah pada dua kelompok(P=0,331). Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan ekspresi KI-67 dengan respon terapi histopatologi pada penderita KSU stadium IIB-IIIB. Kata Kunci: ekspresi Ki-67 - karsinoma serviks uteri-kemoradiasi- radioterapi
Latar belakang : Nigella sativa yang juga disebut jinten hitam, telah lama digunakan sebagai pengobatan tradisional untuk berbagai macam kondisi. Potensi antioksidan dan nefroprotektor dari Nigella sativa diteliti pada pasien karsinoma nasofaring yang mendapatkan kemoterapi cisplatin di RSUP Dr. Kariadi Semarang, dengan menggunakan IL-8, ureum dan kreatinin sebagai level penanda. IL-8 merupakan sitokin proinflamasi yang dapat meningkatkan terbentuknya RSO akibatnya terjadi kerusakaan DNA. Ureum dan kreatinin untuk memeriksa fungsi ginjal. Tujuan : Membuktikan Nigella sativa dapat menurunkan kadar IL-8 dan mencegah kenaikan kadar ureum dan kreatinin pada pasien karsinoma nasofaring yang mendapatkan kemoterapi cisplatin based. Metode : Penelitian eksperimental dengan desain randomized control trial di RSUP Dr. Kariadi Semarang pada bulan February 2017. Subjek sebanyak 40 pasien karsinoma nasofaring yang mendapatkan kemoterapi cisplatin based, dibagi menjadi 2 yaitu kelompok perlakuan (n=20) yang mendapatkan Nigella sativa 1.200mg dan Vit C 100mg per oral dan kelompok kontrol (n=20) mendapat Vit C 100mg per oral. Kadar IL-8 ureum dan kreatinin diperiksa sebelum dan sesudah pasien mendapatkan kemoterapi cisplatin tiga mingguan sebanyak 2 siklus. Perbedaan kadar IL-8 ureum dan kreatinin sebelum dan sesudah kemoterapi dianalisis dengan uji Wilcoxon=n dan antara kedua kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dianalisis dengan uji Mann Whitney. Hasil : Dari 40 subjek yang masuk kriteria inklusi dibagi menjadi 20 orang kelompok perlakuan dan 20 orang kelompok kontrol. Terdapat penurunan kadar IL-8 yang tidak signifikan (p=0,126) pada kelompok perlakuan dan peningkatan kadar IL-8 yang tidak signifikan (p=0.911) pada kelompok sebelum dan sesudah kemoterapi cisplatin based. Terdapat penurunan kadar ureum yang tidak signifikan (p=0,455) pada kelompok perlakuan sedangkan terjadi peningkatan kadar ureum yang tidak signifkan (p=0,527) pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah kemoterapi cisplatin based. Terdapat peningkatan kadar kreatinin yang tidak signifikan (p=0,305) pada kelompok perlakuan dan peningkatan signifikan kadar kreatinin (p=0,014) pada kelompok kontrol sebelum dan sesudah kemoterapi cisplatin based. Simpulan : Nigella sativa dapat menurunkan kadar IL-8 dan dapat mencegah peningkatan kadar ureum dan kreatinin pada pasien karsinoma nasofaring yang mendapatkan kemoterapi cisplatin based namun tidak signifikan. Kata kunci : Nigella sativa, karsinoma nasofaring, cisplatin based, IL-8, antioksidan, ureum dan kreatinin, fungsi ginjal
Pendahuluan : Malnutrisi rumah sakit masih menjadi permasalahan kesehatan di negara maju maupun berkembang, disebabkan oleh berbagai macam faktor yang terkait individu maupun penyakit. Dukungan penunggu/keluarga untuk membantu memberikan asupan kepada pasien, sikap tim pengelola pasien, prosedur pemeriksaan penunjang atau tindakan, merupakan faktor penting untuk meningkatkan asupan makan pasien rawat inap. Namun belum diketahui tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku penunggu pasien tentang kecukupan asupan makan pasien rawat inap. Tujuan : Menjelaskan tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku penunggu pasien tentang kecukupan asupan makan pasien. Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan korelasional, dilakukan di Bangsal Rajawali RSUP Dr. Kariadi dengan jumlah sampel minimal 50 orang. Pengukuran pengetahuan, sikap dan perilaku penunggu pasien dengan kuesioner. Jawaban kuisioner atau wawancara dari responden diolah dengan perangkat lunak computer untuk mengetahui tingkatan dan hubungan antara variabel . Hasil Penelitian : Sebagian besar responden wanita 1,5 kali lipat laki-laki. Usia responden terbanyak diatas 50 tahun (32%). Tingkat pendidikan responden SD terbanyak (39,3%). Pendapatan responden 76,7% kurang dari 2,3 juta rupiah. Hubungan responden dengan pasien sebagai pasangan suami sitri (55,4%). Tingkat pengetahuan responden tentang asupan makan pasien menunjukkan baik. Sikap responden tentang asupan makan pasien menunjukkan sikap positif tentang gizi dan kecukupan asupan pasien. Perilaku responden tentang asupan makan pasien menunjukkan hasil baik. Kesimpulan : Pengetahuan yang baik mempengaruhi sikap positif, sikap positif berhubungan dengan perilaku tantang kecukupan asupan makan pasien, sedangkan tingkat pengetahuan tidak signifikan berhubungan dengan perilaku kecukupan asupan makan pasien. Kata kunci : pengetahuan, sikap, perilaku, penunggu pasien, asupan makan