Latar belakang: Pasien stroke rentan mengalami komplikasi, salah satunya yaitu malnutrisi. Prevalensi malnutrisi pada stroke akut mencapai 34%. Target energi dan protein yang tercapai dalam waktu ≤ 3 hari dapat mencegah malnutrisi. Pemberian terapi gizi membutuhkan data dasar berupa antropometri dengan pengukuran Lingkar Lengan Atas (LLA) dan penghitungan Indeks Massa Tubuh (IMT). Tujuan: Menganalisis hubungan antara kecepatan pencapaian target energi dan protein dengan penurunan LLA dan IMT pada pasien stroke di Indonesia. Metode penelitian: Rancangan penelitian adalah observasional dengan pendekatan belah lintang untuk mengetahui hubungan kecepatan pemenuhan target energi dan protein dengan penurunan LLA dan IMT. Sebanyak 55 subyek pasien stroke yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diteliti di Unit Stroke RSUP Dr. Kariadi Semarang selama bulan Januari-Maret 2021. Dilakukan pengukuran LLA dan pengitungan IMT. Analisis hubungan antara variabel tergantung dan bebas menggunakan uji statistik chi square. Hasil: Sejumlah 49 (89,1%) subyek tercapai target energi dan proteinnya dalam ≤3 hari. Kecepatan pencapaian target energi dan protein tidak berhubungan dengan penurunan LLA dan penurunan IMT secara statistik (p >0,05), tetapi data penelitian menyebutkan 17 (34,7%) subyek yang mencapai target energi dan protein ≤3 hari tidak mengalami penurunan LLA dan IMT. Simpulan: 55 subyek berusia 19-59 tahun dimana sebagian besar subyek (89,1%) dapat terpenuhi target energi dan proteinnya dalam waktu ≤3 hari dan hampir sepertiga subyek tersebut tidak mengalami penurunan LLA dan IMT. Kata kunci: Stroke, LLA, IMT, malnutrisi, antropometri
Latar belakang : Embalming (pengawetan jenazah) adalah pemberian macam-macam bahan kimia tertentu pada interior dan eksterior orang mati dengan tujuan menghambat dekomposisi jaringan. Sejak tahun 1893, formalin sudah digunakan sebagai cairan pengawet jaringan, organ dan kadaver. Akan tetapi paparan formalin yang terlalu lama dapat menyebabkan kanker. Berdasarkan penelitian Walrath dkk, di departemen kesehatan New York mengidentifikasi kematian 243 embalmer disebabkan oleh kanker. International Academy of Pathology menetapkan buffer 10% formalin adalah cairan yang baik sebagai piksatif. Pada penelitian ini dilakukan embalming menggunakan formalin 37% dan Buffer 10% formalin untuk melihat perbedaan efektifitas cairan tersebut dalam embalming. Tujuan : Mengetahui perbedaan perubahan-perubahan postmortem dan gambaran patologi anatomi otak dan ginjal yang telah diembalming. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan sampel berjumlah 36 ekor tikus wistar, yang dibagi menjadi sembilan kelompok. Kelompok tanpa perlakuan (kontrol) 72 jam, 96 jam dan 120 jam yang tidak diberi perlakuan. Kelompok perlakuan Buffer 10% formalin 72 jam, 96 jam, dan 120 jam sebagai kelompok yang diembalming dengan Buffer 10% formalin. Dan kelompok perlakuan formalin 37% 72 jam, 96 jam, dan 120 jam sebagai kelompok yang diembalming dengan formalin 37%. Pada masing-masing kelompok perlakuan diembalming dengan menggunakan cairan buffer 10% formalin, dan formalin 37% yang disuntikkan secara intraventrikel dengan dosis 15 ml/100g berat badan tikus. Saat akhir perlakuan mengamati perubahan-perubahan postmortem dan organ otak dan ginjal diambil pada 72 jam, 96 jam, dan 120 jam. Hasil : Pada kelompok kontrol telihat dengan jalas perubahan-perubahan postmortem dan gambaran patologi anatomi otak dan ginjal yang tidak jelas. Kelompok buffer 10% formalin dan kelompok formalin 37% menunjukkan perubahan-perubahan postmortem yang minimal dan gambaran histopatologi yang jelas. Kesimpulan : Tikus wistar menunjukkan perubahan-perubahan postmortem yang berbeda pada waktu perlakuan 72 jam, 96 jam, dan 120 jam. Embalming menggunakan buffer 10% formalin dan formalin 37% menunjukkan perbedaan terhadap gambaran patologi anatomi otak dan ginjal. Embalming menggunakan buffer 10% formalin memperlihatkan gambaran patologi anatomi yang lebih baik. Sementara perubahan-perubahan postmortem terlihat lebih minimal pada embalming menggunakan formalin 37%. Kata kunci : Embalming, Formalin 37%, Buffer 10% formalin.
Latar Belakang: Sepsis adalah keadaan medis yang menggambarkan respon imunologis sistemik tubuh terhadap proses infeksi yang dapat menyebabkan disfungsi organ dan kematian. Pada pasien sepsis terjadi penurunan Systemic vascular resistance (SVR) yang disebabkan oleh aktivasi sistemik kaskade inflamasi, sehingga terjadi vasodilatasi yang menyebabkan penurunan tekanan darah hingga dapat mencapai keadaan syok dan hipoperfusi. Keadaan hiperinflamasi, severitas, dan syok pada pasien sepsis dapat diketahui dengan menggunakan skor Sequential (Sepsis-Related) Organ Failure Assessment (SOFA). Tujuan: Mengetahui hubungan antara penuruan nilai SVR terhadap peningkatan nilai skor SOFA pada pasien sepsis. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain cross sectional. Pasien ruang intensif dengan memenuhi kriteria sepsis dengan skor SOFA > 2 dilakukan pemeriksaan echocardiography untuk dinilai SVR, kemudian data dianalisis menggunakan uji korelasi. Hasil: didapatkan 35 sampel yang memenuhi kriteria inklusi, dengan adanya penggunaan obat vasokonstriktor pada 45,7% sampel dan 54,3 % sampel tanpa penggunaan obat vasokonstriktor. Uji korelasi Pearson antara SVR dan skor SOFA menunjukkan hasil p 0,345. Uji Mann-Whitney antara sampel yang mendapat obat vasokonstriktor dengan sampel yang tidak mendapat obat vasokonstriktor terhadap skor SOFA menunjukkan hasil nilai p 0,05). Kesimpulan: Nilai SVR tidak dapat dijadikan acuan sebagai prediktor tingkat severitas pasien sepsis. Kata kunci: inflamasi, sepsis, severitas, SOFA, SVR
Latar belakang: Postoperative Cognitive Dysfunction atau POCD adalah gangguan fungsi kognitif akibat inflamasi paska prosedur pembedahan. Angka kejadian POCD paska pembedahan kardiak lebih tinggi dibandingkan pembedahan non-kardiak. POCD diduga diakibatkan oleh respon inflamasi sistemik. Prokalsitonin menjadi salah satu mediator inflamasi yang berperan terhadap peningkatan resiko inflamasi saat operasi yang memicu kejadian POCD pasca operasi pembedahan katup jantung. Inflamasi disebabkan oleh pelepasan protein fase akut yaitu Prokalsitonin dan sitokin proinflamasi lainnya yang menyebabkan terganggunya sawar darah otak dan mengganggu neurotransmisi sehingga terjadi POCD. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan peningkatan kadar Prokalsitonin terhadap POCD pada pasien yang menjalani pembedahan ganti katup jantung di RS Umum Pusat Dr. Kariadi. Metode: Penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien yang menjalani pembedahan ganti katup jantung di RSUP Dr. Kariadi pada bulan Juni 2020- Desember 2020. Sampel penelitian sebanyak 19 subyek didapatkan dengan teknik consecutive sampling. Pada subyek penelitian dilakukan pengukuran kadar serum Prokalsitonin sebelum pembedahan dan hari pertama paska pembedahan, kemudian dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif dengan MoCA INA pada hari ketiga paska pembedahan. Data dianalisis dengan uji korelasi spearman. Hasil: Dari 19 subyek penelitian, terdapat 13 responden (68,4%) yang mengalami POCD. Rerata peningkatan prokalsitonin pada pasien POCD adalah 5,22 dengan standar deviasi 12,50 sedangkan peningkatan prokalsitonin pada pasien non POCD adalah 0,21 dengan standar deviasi 0,45. Berdasarkan uji korelasi spearman, diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara peningkatan kadar Prokalsitonin terhadap POCD paska pembedahan ganti katup jantung (p=0,004). Kesimpulan: Terdapat hubungan yang signifikan antara perbedaan kadar Prokalsitonin terhadap POCD paska pembedahan ganti katup jantung di RS Umum Pusat Dr. Kariadi. Kata kunci: POCD, Prokalsitonin, MoCA INA
Latar belakang: Kolonoskopi merupakan prosedur rawat jalan paling umum dilakukan. Pasase dari kolonoskop melalui kolon menghasilkan nyeri viseral yang disebabkan looping dari endoskop. Fentanil merupakan opioid paling umum digunakan dalam anestesi namun remifentanil menunjukkan onset dan offset aksi lebih cepat. Tujuan : Penelitian ini membandingkan remifentanil dan fentanil pada prosedur kolonoskopi. Metode: Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan desain Randomized Two-Group Design, Posttest Only. Populasi penelitian adalah pasien bedah ambulatory yang menjalani prosedur kolonoskopi elektif. Sampel penelitian sebanyak 40 subyek dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok remifentanil (premedikasi remifentanil dosis 0,5 mcg/kg/menit bolus selama 60- 90 detik, induksi propofol dosis 0,5 mg/kgBB bolus, maintenance remifentanil infus kontinyu kecepatan 0,05 mcg/kgBB/menit + propofol dosis 2,5 mg/kgBB/jam) dan kelompok fentanil (premedikasi fentanil dosis 1 mcg/kg/menit bolus selama 60-90 detik, induksi propofol dosis 0,5 mg/kgBB bolus, maintenance fentanil infus kontinyu kecepatan 0,5 mcg/kgBB/jam + propofol dosis 2,5 mg/kgBB/jam). Waktu pemulihan dibandingkan antara kedua kelompok. Uji hipotesis menggunakan uji Mann-Whitney. Hasil: Waktu pemulihan dan waktu keluar RS kelompok remifentanil lebih singkat dibandingkan kelompok fentanil (4,10 ± 1,02 vs 5,40 ± 0,94 menit; 16,10± 1,41 vs 17,70 ± 1,46 menit; masing-masing). Kesimpulan: Waktu pemulihan dan waktu keluar RS pada subyek yang mendapatkan remifentanil lebih singkat dibandingkan fentanil pada pasien bedah ambulatory yang menjalani prosedur kolonoskopi elektif. Kata kunci: Waktu pemulihan, remifentanil, fentanil, bedah ambulatory, kolonoskopi
Latar Belakang : Sepsis adalah sindrom penyakit akibat infeksi yang mengancam nyawa, ditandai dengan gangguan fungsi organ akibat disregulasi respons tubuh. Penilaian sepsis merupakan hal penting dilakukan sebelum pemberian intervensi, semakin cepat kita bisa mengidentifikasi pasien sepsis maka akan memberikan kesempatan kita untuk memberikan pencegahan perburukan kondisi pasien. Tujuan : Untuk mengetahui hubungan antara nilai SOFA dengan LVEF pada pasien sepsis yang dirawat pada ruang perawatan ICU RSUP Dr. Kariadi. Metode : Penelitian ini adalah penelitian observational analitik dengan rancangan belah lintang (crosssectional) retrospektif yang menggunakan data sekunder dari catatan medis (CM) pasien sebanyak 30 sampel yang terdiagnosis sepsis sesuai dengan kriteria diagnosis sepsis-3 di ruang perawatan Intensif RSUP dr Kariadi Semarang kemudian menilai hubungan antara nilai left ventricular ejection fraction dengan skor Sequencial Organ FailureAssesment (SOFA) pasien. Hasil : skor SOFA terhadap LVEF mempunyai nilai signifikan (p < 0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa skor SOFA merupakan variabel yang dominan berpengaruh terhadap LVEF. Simpulan : Terdapat pengaruh bermakna pada LVEF terhadap SOFA dalam memprediksi mortalitas pada pasien sepsis. Kata Kunci : Sepsis, SOFA, LVEF
Latar belakang : Brakiterapi merupakan terapi yang sering digunakan pada bidang ginekologi dan radiologi intervensi dimana tindakan ini memberikan rasa tidak nyaman pada pasien. Teknik anestesi yang umumnya dilakukan adalah Total Intravenous Anesthesia (TIVA), pada beberapa pasien mengeluhkan adanya rasa nyeri saat aplikator telah terpasang sampai dengan saat pelepasan aplikator. Pada TIVA didapatkan waktu pulih sadar lebih lama dan terdapat potensi rasa nyeri yang lebih besar. Anestesia spinal memiliki kemudahan teknik pelaksanaan, onset yang cepat, pengelolaan nyeri lebih lama, serta komplikasi yang rendah dibandingkan dengan anestesia umum. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas antara penggunaan low dose spinal anesthesia dengan TIVApada pasien kanker leher rahim yang menjalani brakiterapi intrakaviter di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Metode : Penelitian dilakukan terhadap 40 pasien brakiterapi intrakaviter di RSUP Dr.Kariadi yang memenuhi kriteria penelitian. Seluruh pasien diberikan premedikasi midazolam 0,025 mg/kgBB IV. Kelompok I low dose spinal anesthesia dengan bupivakain hiperbarik 0,5% 5 mg (1 ml) ditambah ajuvan fentanil 25 mcg (0,5 ml). Kelompok II TIVA menggunakan intravena fentanil 2 mcg/kgBB, ketorolak 30 mg, propofol 2 mg/kgBBtitrasi. Data berupa tanda-tanda vital, Richmond Agitation Sedation Scale (RASS), skor Numerical Rating Scales (NRS), efek samping, tingkat kepuasan pasien dan tingkat kepuasan operator. Hasil : Data dianalisa dengan Uji t dan Mann-Whitney, dianggap bermakna bila p
Latar belakang : Pembedahan dengan anestesi umum merupakan terapi lini pertama pada kasus meningioma. Cedera primer yang terjadi selama pembedahan tidak dapat dihindari, termasuk tindakan teknik invasif minimal. Propofol dan sevoflurane memiliki memiliki efek neuroprotektif. Protein S100B merupakan salah satu biomarker yang dapat digunakan pada kejadian cedera otak fase akut. Tujuan : Mengetahui perbedaan pengaruh propofol dan sevoflurane terhadap kadar S100B pada pasien dengan meningioma yang menjalani operasi kraniotomi. Metode : Penelitian ini adalah analitik eksperimental dengan desain pre dan post test. Variabel data ditentukan dengan consecutive sampling yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dan dibagi dalam dua kelompok. Beda antar kelompok sebelum dan sesudah dengan obat anestesi yang sama diuji dengan uji statistik paired Ttest. Beda antar dua kelompok agen anestesi diuji dengan uji statistik independent T-test. Hasil : Terdapat 34 total sampel penelitian. Terdapat perbedaan S100B yang signifikan antara preoperasi dan postoperasi pada kedua kelompok. Kelompok propofol (p= 0,000) dengan rerata preoperasi (6,2 ± 2,83) dan postoperasi (15,60±7,47). Kelompok sevoflurane (p= 0,000) dengan rerata preoperasi (7,32 ±3,45) dan postoperasi (12,07 ± 4,79). Selisih kenaikan protein S100B pada kelompok propofol lebih tinggi (9,4 ± 7,52) dari pada sevoflurane kelompok sevoflurane (4,7 ± 3,28) dengan nilai (p =0,014). Kesimpulan : Kenaikan protein S100B pada pasien meningioma yang menjalani operasi kraniotomi dengan penggunaan propofol lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan sevoflurane. Kata Kunci : anestesi; kraniotomi; propofol; sevofluran; S100B
Latar Belakang: Rasio neutrofil limfosit (RNL) adalah salah satu parameter cepat dan mudah untuk stres dan inflamasi sistemik yang menggambarkan tingkat keparahan penyakit pada pasien dengan penyakit kritis. Pada pasien sepsis terjadi disregulasi pada sirkulasi tubuh yang ditandai dengan hipoperfusi jaringan. Salah satu penanda hipoperfusi jaringan atau kegagalan sirkulasi adalah meningkatnya kadar laktat. IL17 adalah salah satu sitokin pro inflamasi yang kadarnya meningkat pada keadaan sepsis. Tujuan: Mengetahui peningkatan rasio neutrofil limfosit, laktat, dan kadar IL17 dapat menjadi prediktor luaran klinis pada pasien sepsis. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain cross sectional dengan jumlah sampel 33 pasien. Pasien ruang intensif dengan Qsofa ≥ 2 dan dicurigai infeksi diambil sampel darah untuk dilakukan pemeriksaan darah tepi hitung jenis leukosit, kadar laktat, dan kadar IL17, kemudian data dianalisis menggunakan kurva ROC. Hasil: Rasio neutrofil limfosit ≥ 12,00 memiliki kecenderungan 64,7% pasien meninggal. Kemudian kadar laktat ≥ 4,35 memiliki kecenderungan 68,8% pasien meninggal dengan nilai p
Latar belakang : Teknik moderate sedation mulai banyak digunakan untuk prosedur bronkoskopi sehingga membutuhkan agen sedatif yang mudah digunakan, onset cepat, durasi kerja singkat, dan pemulihan kognitif cepat. Batuk merupakan efek paling tidak menyenangkan dari prosedur ini sehingga supresi batuk penting untuk kualitas bronkoskopi. Tujuan : Menilai supresi batuk pada pemberian fentanyl 1μg/kgBB dan 1.5 μg/kgBB pada pasien bronkoskopi. Metode : Dilakukan uji komparatif analitik dengan tiga kelompok tidak berpasangan dengan 54 orang subjek penelitian yang dibagi secara acak. Uji hipotesis untuk menilai perbedaan supresi batuk antara kelompok Fentanyl 1 μg/kgBB, 1.5 μg/kgBB , dan kontrol dengan uji one way Anova dan Post Hoc Bonferroni apabila data berdistribusi normal atau uji Kruskall-Wallis dan Post Hoc Mann-Whitney apabila data tidak berdistribusi normal. Turut dinilai perbedaan tanda vital awal sebelum dilakukan tindakan dan setelah pemberian obat. Hasil : Analisis statistik menunjukkan perbedaan bermakna (p