Latar belakang: Matching human leukocyte antigen (HLA) allel antara donor dan resipien sangat krusial untuk menurunkan resiko komplikasi mengancam nyawa pada pasien yang menjalani transplantasi ginjal. HLA adalah tantangan utama dari graft untuk dapat bertahan di tubuh resipien. HLA matching memberikan keuntungan outcome pada transplantasi ginjal. untuk mengetahui outcome graft survival dapat dimonitor melalui pengukuran kadar kreatinin pasca transplantasi. Pasien yang menjalani transplantasi ginjal memerlukan perawatan di ICU untuk memonitoring secara intensif kondisi sistemik dan lokal pasien yang bisa mempengaruhi outcome transplant. Tujuan: Mengetahui hubungan HLA matching dengan kadar serum creatinin dan lama rawat di ICU pada pasien pasca trasnplantasi ginjal di RSUP Dr. Kariadi Semarang-Jawa Tengah dalam periode 2015 –2020. Metode: Penelitian ini menggunakan metode observasional dengan pendekatan Cross Sectional. Data penelitian diambil dari rekam medis 33 pasien yang menjalani transplantasi ginjal di RSUP dr. Kariadi Semarang sejak Februari 2015 sampai dengan Februari 2020. Hasil penelitian dianalisis menggunakan uji Pearson Chi Square. Hasil: Dari 33 data rekam medis pasien didapatkan jumlah HLA fullmatch (A, B, C, DRB 1) sebanyak 18 pasien (54,5%). Mayoritas pasien memiliki kadar creatinin post operasi
Latar belakang : Infeksi pleura merupakan salah satu penyakit tertua dengan tingkat keparahan yang cukup berat. Empiema thoraks masih merupakan masalah penting, meskipun ada perbaikan teknik pembedahan dan penggunaan antibiotik baru yang lebih efektif. Penegakkan diagnosis empiema yang cepat dan tepat sangat penting dalam menentukan keberhasilan pengobatan; bahkan dengan upaya terapeutik yang tepat, mortalitas pasien dengan empiema adalah 15-20% Metode : Penelitian secara analisis deskriptif menggunakan 78 sampel dari instalasi rekam medik RSUP Dr. Kariadi secara total sampling. Data yang dikumpulkan berupa hasil isolat kultur spesimen empyema thorax pada tahun 2015-2019. Hasil : Hasil kultur dari sampel empiema thorax didapatkan Acinetobacter Baumanii sebanyak 2,6%, Candida Albicans sebanyak 3%, Escherichia Coli sebanyak 8%, Klebsiella Pneumoniae sebanyak 10,3%, Mycobacterium Tuberculosis sebanyak 26%, Pseudomonas Aeruginosa sebanyak 3%, Staphylococcus Aureus sebanyak 15%, Staphylococcus Cohnii sebanyak 2%, Staphylococcus Epidermidis sebanyak 1%, dan Staphylococcus Haemolyticus sebanyak 4%. Kesimpulan : Hasil isolat kultur empyema thorax terbanyak disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis sebesar 26% dari total sampel, Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian lain dan teori yangmenuliskan bahwa etiologic terbanyak penyebab empiema adalah patogen penyebab infeksi paru yang mendasari seperti TB paru Kata kunci : Empiema, Kultur, Mycobacterium Tuberculosis
Latar Belakang: Penyakit katup jantung memberikan beban kesehatan yang besar di seluruh dunia. Pasien yang menjalani bedah ganti katup jantung di RSUP Dr. Kariadi Semarang pada tahun 2018 adalah sebanyak 111 pasien. Pada pasien pasca bedah ganti katup jantung terjadi penurunan kebugaran kardiorespirasi. Kebugaran kardiorespirasi dapat diukur melalui pengukuran VO2max. Penambahan threshold inspiratory muscle training (tIMT) praoperasi dianggap mampu menaikkan baseline kebugaran kardiorespirasi sehingga hasil keluaran pasca bedah menjadi lebih baik, menurunkan komplikasi operasi serta mempersingkat waktu pemulihan dan lama perawatan. Tujuan: Mengetahui pengaruh penambahan tIMT praoperasi terhadap kebugaran kardiorespirasi pada pasien pasca bedah ganti katup jantung. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian quasi experimental. Pengambilan sampel penelitian dilakukan secara consecutive sampling, subyek dibagi menjadi kelompok perlakuan (n=9) dan kelompok kontrol (n=9). Kelompok perlakuan diberikan latihan rehabilitasi medik konvensional rutin sebelum bedah ganti katup jantung sesuai dengan Panduan Praktik Klinis (PPK) serta ditambahkan threshold inspiratory muscle training sesuai protokol penelitian. Kelompok kontrol hanya melakukan latihan rehabilitasi medik konvensional. Hasil: Terdapat perbedaan yang bermakna secara klinis antar kelompok perlakuan dan kontrol pasca bedah dengan minimal clinically important difference lebih dari 6%. Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik untuk nilai VO2max pra dan pascaperlakuan dalam kelompok perlakuan (p=0,021), serta antar kelompok perlakuan dan kontrol pascaperlakuan (p=0,026). Kesimpulan: Penambahan tIMT praoperasi meningkatkan kebugaran kardiorespirasi pasien pra dan pasca bedah ganti katup jantung. Kata kunci : Bedah ganti katup jantung, threshold inspiratory muscle training, VO2max
Latar belakang: Prevalensi obesitas pada remaja mengalami peningkatan seiring dengan perubahan gaya hidup. Obesitas berkaitan erat dengan berbagai kondisi kesehatan, diantaranya dapat mempengaruhi fungsi muskuloskeletal berupa gangguan keseimbangan. Struktur core yang kuat penting untuk keseimbangan. Core exercise dengan menggunakan Swiss Ball maupun resistance band diketahui dapat meningkatkan keseimbangan. Belum diketahui perbedaan efektivitas core exercise dengan menggunakan Swiss Ball dan resistance band terhadap keseimbangan remaja obesitas. Metode: 36 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dibagi secara acak menjadi kelompok Swiss Ball (n=18) dan kelompok resistance band (n=18). Kelompok Swiss Ball mendapatkan core exercise dengan Swiss Ball, kelompok resistance band mendapatkan core exercise dengan resistance band. Masing-masing kelompok melakukan latihan 3x seminggu selama 6 minggu. Keseimbangan dinamis diukur sebelum dan setelah intervensi dengan menggunakan Star Excursion Balance Test (SEBT). Hasil: Dalam kelompok Swiss Ball terdapat peningkatan keseimbangan dinamis yang signifikan sebelum dan setelah intervensi (p=
Latar Belakang: Penyakit katup jantung menyebabkan beban kesehatan yang besar di seluruh dunia. Jika terjadi gagal jantung diperlukan tindakan pembedahan. Pasien yang menjalani bedah ganti katup jantung di RSUP Dr. Kariadi Semarang pada tahun 2018 sebanyak 111 pasien. Gagal jantung dan tindakan pembedahan menyebabkan kelemahan dan kelelahan otot inspirasi sehingga terjadi penurunan kapasitas fungsional paru. Kapasitas fungsional paru dapat diukur melalui pengukuran Force Vital Capacity (FVC). Threshold inspiratory muscle training (Threshold IMT) praoperasi akan meningkatkan baseline kekuatan dan daya tahan ventilasi sehingga meningkatkan kapasitas fungsional paru. Dengan demikian, hasil keluaran klinis menjadi lebih baik, komplikasi pascaoperasi menurun dan waktu perawatan menjadi lebih singkat. Tujuan: Membuktikan pengaruh penambahan Threshold IMT praoperasi terhadap kapasitas fungsional paru pada pasien pascabedah ganti katup jantung. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian quasi experimental. Pengambilan sampel penelitian dilakukan secara consecutive sampling, subjek dibagi menjadi kelompok perlakuan penambahan Threshold IMT (n=9) dan kelompok kontrol (n=9). Kelompok perlakuan diberikan latihan rehabilitasi medik konvensional praoperasi ganti katup jantung serta penambahan Threshold IMT. Kelompok kontrol hanya diberikan latihan rehabilitasi medik konvensional. Hasil: Terdapat perbedaan yang bermakna pada rerata nilai FVC pascabedah antara kelompok perlakuan dan kontrol (p=0,008). Tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada rerata nilai FVC pascaperlakuan antar kelompok (p=0,353), tetapi terdapat perbedaan yang bermakna pada perubahan rerata (delta) di antara kedua kelompok dengan nilai p=0,047. Kesimpulan: Penambahan Threshold inspiratory muscle training praoperasi meningkatkan kapasitas fungsional paru pasien pascabedah ganti katup jantung. Kata kunci: bedah ganti katup jantung, threshold inspiratory muscle training, force vital capacity
Tujuan : Membandingkan (menganalisis) perbedaan efektivitas Chair based exercise (CBE) dan Senam Lansia (SL) dalam meningkatkan keseimbangan pada lanjut usia. Rancangan : Quasi Experiment. Subjek : 22 lanjut usia di Panti Werda usia 60 - 74 tahun. Tempat: Penelitian dilakukan di Panti Wredha Rindang Asih II, Panti Werda Usia Bethany dan Panti Wreda PELKRIS Semarang. Waktu : 29 Juli - 6 September 2019. Perlakuan : Kelompok CBE (n=12) diberikan chair – based exercise dengan frekuensi 5 kali seminggu selama 6 minggu. Kelompok Senam Lansia (n=10) diberikan latihan senam lansia dengan frekuensi 5 kali seminggu selama 6 minggu. Hasil Pengukuran Utama : Skor keseimbangan yang diukur dengan Berg Balance Scale (BBS). Penilaian dilakukan sebelum perlakuan dan sesudah perlakuan terakhir. Hasil : Pada awal penelitian skor, BBS pre antara kelompok CBE (42,5; 35-50) dengan kelompok SL (41; 38-53) tidak didapatkan perbedaan bermakna dengan p = 0,771. Pada kelompok CBE terdapat perbedaan bermakna skor BBS post (44,5; 38-53) dibandingkan skor BBS pre 42,5; 35-50) dengan p = 0,000. Pada kelompok SL skor BBS post (45;41-56) dibandingkan dengan BBS pre (41; 38-53) terdapat perbedaan bermakna dengan p = 0,004. Terdapat perbedaan bermakna delta skor BBS (p =
Latar belakang : Total knee replacement (TKR) merupakan pilihan terapi pada pasien Osteoarthritis manakala terapi konservatif gagal. Program latihan penguatan seperti prehabilitation exercise menggunakan resistance bands diharapkan dapat meningkatkan performa fungsional pasca TKR yang diukur dengan tes Timed Up and Go (TUG) dan skor fungsional WOMAC (Western Ontario and McMaster Universities Osteoarthritis). Metode : 16 pasien yang memenuhi kriteria dibagi dalam kelompok perlakuan (n=8) dan kelompok kontrol (n=8). Kelompok perlakuan mendapatkan prehabilitation exercise menggunakan resistance bands 3 kali seminggu selama 4 minggu, sedangkan kelompok kontrol tidak mendapatkan latihan penguatan. Nilai TUG dan skor WOMAC diukur pada 4 minggu dan 1 minggu sebelum operasi, serta 8 minggu pasca operasi. Hasil : Perbandingan antar kelompok menunjukkan perbedaan signifikan nilai TUG (p=0,003) dan skor WOMAC (p=0,002) pada 1 minggu sebelum operasi sedangkan pada 8 minggu sesudah operasi didapatkan perbedaan bermakna pada nilai TUG (p=0,009) dan untuk skor WOMAC tidak didapatkan perbedaan yang bermakna (p=0,125). Kesimpulan : Prehabilitation exercise dengan resistance bands dapat meningkatkan performa fungsional pasien yang akan menjalani TKR. Kata Kunci : Prehabilitation exercise, Timed Up and Go, WOMAC, Total Knee Replacement.
Latar Belakang : Palsi serebral merupakan penyebab tersering disabilitas pada anak-anak. Deformitas tangan yang paling umum terjadi pada anak palsi serebral spastik adalah fleksi wrist, fleksi jari, dan ibu jari yang dapat mempengaruhi kekuatan menggenggam secara bermakna. Penambahan Kinesio Taping pada latihan motorik tangan merupakan metode baru yang digunakan untuk meningkatkan kekuatan menggenggam sehingga memperbaiki fungsi tangan dan meningkatkan kemadirian ADL anak palsi serebral. Tujuan : Membuktikan perbedaan kekuatan menggenggam pada anak palsi serebral yang mendapat latihan motorik tangan dengan latihan motorik tangan yang ditambah wrist Kinesio Taping. Metode : Penelitian ini merupakan simple randomized controlled pre dan post experimental design. Sampel adalah 20 anak palsi serebral spastik yang bersekolah di YPAC Semarang dan dibagi menjadi 2 kelompok secara acak. Kelompok intervensi (n=10, drop out 1) mendapatkan kinesio taping dan latihan motorik tangan sebanyak 3 kali seminggu selama 4 minggu. Kelompok kontrol (n=10, drop out 1) hanya mendapatkan latihan motorik tangan saja. Kekuatan menggenggam diukur dengan vigorimeter sebelum perlakuan dan akhir minggu ke-4 intervensi. Hasil : Tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada kekuatan menggenggam anak palsi serebral yang mendapatkan latihan motorik tangan dengan penambahan wrist Kinesio Taping dengan tarikan 30% dibandingkan dengan anak palsi serebral yang mendapatkan latihan motorik tangan saja. Simpulan : Tidak didapatkan pengaruh penambahan kinesio taping terhadap peningkatan kekuatan menggenggam anak palsi serebral tipe spastik yang mendapatkan latihan motorik tangan Kata Kunci : kinesio taping, palsi serebral, kekuatan menggenggam
Latar Belakang : Nyeri leher mekanik adalah nyeri leher akibat disfungsi biomekanik di leher atau punggung atas, atau bersumber ke sendi, otot, ligamen, diskus, atau jaringan lunak lainnya di leher atau punggung atas. Prevalensi nyeri leher mekanik pada pilot dan kru helikopter diakui sebagai masalah medis yang signifikan di kru angkatan darat modern dengan jangka waktu 3 hingga 12 bulan dilaporkan dalam kisaran 56,6% - 84,5%. Otot leher fleksor intrinsik disebut sebagai deep cervical fleksor (DCF) dalam kondisi lemah akan menyebabkan nyeri leher dan forward head posture (FHP). Penggunaan Pressure Biofeedback Unit (PBU) berfungsi untuk meningkatkan pembelajaran motorik otot-otot yang terkena dampak melalui umpan balik visual sehingga dapat meningkatkan kekuatan otot leher dalam memperbaiki postur kepala dan leher serta mengurangi nyeri. Tujuan : Membuktikan rerata penurunan intensitas nyeri dan perubahan FHP pada kru helikopter dengan nyeri leher mekanik yang mendapatkan latihan DCF dan PBU lebih besar dibandingkan dengan yang mendapat latihan DCF konvensional. Metode : Penelitian ini merupakan eksperimental randomized pre and post test group design. Sampel adalah 26 kru helikopter skadron-31/serbu dibagi menjadi 2 kelompok secara acak. Kelompok perlakuan (n=12, 1 dropout) mendapatkan latihan otot DCF dengan pressure biofeedback sebanyak 12 kali selama 4 minggu dengan frekuensi 3 kali setiap minggu. Kelompok kontrol (n=12, 1 dropout) melakukan neck exercise saja. Penilaian intensitas nyeri dengan Visual Analogue Scale ( VAS ) dan perubahan FHP dengan goniometer. Hasil : Terdapat rerata penurunan intensitas nyeri dan perubahan FHP pada kelompok perlakuan yang signifikan dibandingkan kelompok kontrol. Simpulan : Rerata penurunan intensitas nyeri dan perubahan FHP pada kru helikopter dengan nyeri leher mekanik yang mendapatkan latihan DCF dan PBU lebih besar dibandingkan dengan yang mendapat latihan DCF konvensional. Kata Kunci : pressure biofeedback, nyeri leher mekanik
Latar belakang:Total Knee Replacement (TKR) merupakan pilihan terapi pada pasien Osteoarthritis lutut ketika terapi konservatif gagal. Program latihan penguatan seperti prehabilitation exercise menggunakan resistance bands diharapkan dapat meningkatkan kekuatan otot kuadrisep femoris pada pasien yang menjalani TKR. Metode: 16 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dibagi secara acak menjadi kelompok perlakuan (n=8) dan kelompok kontrol (n=8). Kelompok perlakuan mendapatkan prehabilitation exercise 3x seminggu selama 4 minggu, sedangkan kelompok kontrol mendapatkan terapi konvensional 2x seminggu selama 4 minggu. Pengukuran kekuatan otot kuadrisep femoris dilakukan pada 4 minggu dan 1 minggu sebelum TKR, serta 8 minggu setelah TKR menggunakan push-pull dinamometer. Hasil: Perbandingan antar kelompok menunjukkan perbedaan signifikan nilai kekuatan otot kuadrisep femoris (p=0,001) pada 1 minggu sebelum TKR dan pada 8 minggu setelah TKR juga didapatkan perbedaan signifikan pada nilai kekuatan otot kuadrisep femoris (p