Latar belakang: Varises esofagus (VE) merupakan komplikasi pasien sirosis hepatis yang apabila terjadi perdarahan akan menyebabkan kejadian yang fatal. Esofagogastroduodenoskopi (EGD) merupakan baku emas untuk mendeteksi VE, di sisi lain merupakan pemeriksaan invasif dan mahal. Trombositopenia adalah prediktor noninvasif yang baik untuk memperkirakan keberadaan dan ukuran VE pada pasien sirosis hati. Tujuan: Penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan jumlah trombosit dengan derajat VE pada pasien sirosis hepatis di RSUP DR Kariadi Semarang. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional. Sampel penelitian adalah semua pasien sirosis hepatis yang menjalani pemeriksaan EGD di RSUP Dr. Kariadi Semarang yang memenuhi kriteria inklusi selama periode 2019-2020. Data riwayat anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium (darah lengkap), tes fungsi hati, penanda virus, dan tes fungsi ginjal, elastografi, dan EGD dikumpulkan. Analisis untuk mencari hubungan antara jumlah trombosit dengan derajat VE. Hasil : Sebanyak 79 sampel pasien sirosis hepatis memenuhi kriteria inklusi pada penelitian ini. Terdapat perbedaan yang signifkan jumlah trombosit pada berbagai derajat VE (p = 0.003) ; VE kecil mean 129.240 mm3[SD 63,3] median 98.000 mm3(56.000-277.000 mm3), VE sedang mean 105.830 mm3[SD 49,8] median 98.000 mm3(19.000-210.000 mm3), VE besar mean 77.700 mm3[SD 26,1] median 80.000 mm3(25.000-130.000 mm3). Nilai cut off jumlah trombosit sebagai prediktor terjadinya VE ; 112.500 mm3 dengan sensitifitas 100% dan spesifisitas 75%. Nilai cut off jumlah trombosit sebagai prediktor munculnya VE besar ; 84.000 mm3 dengan sensitifitas 76,1 % dan spesifisitas 63,6 %. Pasien dengan sirosis hepatis dengan nilai trombosit ≤ 84.000 mm3 memiliki kemungkinan 2,6x lebih besar untuk terjadi VE besar. Kesimpulan : Jumlah trombosit mempunyai hubungan terbalik yang bermakna terhadap timbulnya VE pada pasien sirosis hepatis di RSUP DR Kariadi Semarang Kata Kunci : jumlah trombosit, varises esofagus, sirosis hepatis
Latar Belakang: Identifikasi Left Main disease merupakan salah satu yang sangat penting dilakukan, dalam rangka menentukan strategi terapi dan prognosis, yang akhirnya berhubungan dengan dengan lama rawat, angka kematian, survival, dan biaya. EKG merupakan alat yang sederhana untuk mendiagnosis pasein PJK. Tujuan: Mengetahui hubungan antara gambaran elektrokardiografi segmen ST elevasi lead AVR dengan stenosis left main arteri koroner pada penderita ACS di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Metode : Penelitian dilakukan pada 96 pasien ACS yang sudah dilakukan angiografi coroner di RSUP Dr Kariadi Semarang. Variabel predictor yang memenuhi syarat analisis multivariat diolah dengan regresi logistik. Hasil : Sebagian besar pasien adalah laki-laki sebanyak 73 pasien (76%). Usia bervariasi dari usia 44 tahun sampai 75 tahun 27 pasien (28,1%) berusia diatas 65 tahun. Ada pasien dari 96 pasien yang diteliti mengalami stenosis LM (+). Pada lead aVR terdapat 40 pasien dengan elevasi segmen ST.Elevasi ST diaVR memiliki sensitivitas 53,3/ spesifitas 85,7/PPV 93 / NPV 34. Kesimpulan: Terdapat hubungan antara elevasi segmen ST aVR dengan kejadian stenosis Left Main pada pasien ACS Kata kunci: sindrom koroner akut, stenosis LM , ST elevasi aVR
Latar belakang: Diare kronik merupakan masalah yang biasa dijumpai pada lanjut usia oleh klinisi. Kolonoskopi merupakan alat diagnostik dengan akurasi dan sensitifitas sangat baik untuk mendeteksi kelainan saluran cerna dan mempunyai keunggulan dalam membedakan penyebab dari diare kronik. Gambaran kolonoskopi pada penderita diare kronik dapat bervariasi berdasarkan usia. Tujuan : Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik diare kronik pada pasien usia lanjut yang menjalani kolonoskopi di RSUP Dr. Kariadi periode 2017-2020. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional. Sampel penelitian adalah semua pasien diare kronik lanjut usia yang menjalani pemeriksaan kolonoskopi di RSUP Dr. Kariadi Semarang yang memenuhi kriteria inklusi selama periode 2017-2020. Data gambaran kolonoskopi dan histopatologi diambil dari kesimpulan tindakan dan pemeriksaan. Analisis untuk mencari hubungan antara tipe diare kronik dengan gambaran lesi kolonoskopi. Hasil : Sebanyak 120 sampel pasien diare kronik usia lanjut memenuhi kriteria inklusi pada penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan populasi pasien diare kronik lansia di RSDK terdiri atas jenis kelamin laki-laki sebanyak 49,2% dan perempuan 50,8 dengan rerata usia 65,57 tahun. Domisili pasien sampe mayoritas di Semarang (39,1%). Klasifikasi diare kronik lansia di RSDK; diare tipe inflammatory 67,5%dan 32,5% tipe diare watery.Indeks Katz B (25%) merupakan status fungsional terbanyak diare kronik usia lanjut pada penelitian ini. Keganasan merupakan komorbid terbanyak diare kronik lansia (47,5%). Gambaran lesi pada kolonoskopi terbanyak didapatkan lesi massa tumor (44,2%), diikuti inflamasi (15%), gambaran lesi multiple (13,3%) dan polip (8,3%). Lokasi lesi terbanyak di rectum (30,8%), rectosigmoid (22,5%), colon descenden (10,8%), colon sigmoid (8,3%) dan lokasi multiple (9,2%). Gambaran histopatologi didominasi gambaran malignansi (45,8%).Terdapat riwayat penggunaan antibiotik pada pasien diare kronik usia lanjut sejumlah 17,5%. Analisis statistik menggunakan uji Mann-Whitney, hubungan antara tipe diare dengan abnormal hasil kolonoskopi didapat p value = 0,023 (α>0,05). Kesimpulan : Mayoritas pasien diare kronik usia lanjut yang menjalani kolonoskopi di RSDK tergolong tipe diare inflammatory, dengan status fungsional Katz B, gambaran lesi kolonoskopi terbanyak adalah massa tumor dengan gambaran histopatologi terbanyak berupa malignansi. Sebagian besar pasien diare kronik usia lanjut tidak terdapat Riwayat penggunaan antibiotik. Terdapat hubungan antara diare kronik tipe inflammatory pada usia lanjut dengan hasil kolonoskopi abnormal. Kata Kunci : diare kronik, usia lanjut, kolonoskopi
Latar belakang : Angka kematian pasien sepsis yang dirawat di rumah sakit sebesar 12,8%; pasien dengan sepsis berat sebesar 20,7%; sementara pasien dengan syok septik 45,7%.Studi menunjukkan bahwa sekitar 30-40% pasien tidak mendapatkan pengobatan. Pemberian terapi antibiotik yang tidak tepat dapat menimbulkan hasil yang kurang baik pada pasien . Untuk menilai dan memperbaiki kualitas pemberian antibiotik pada penderita sepsis dan syok septik, dibutuhkan suatu set quality indicators yang valid. Tujuan : Mengembangkan quality indicators untuk menilai kualitas manajemen antibiotik yang dapat digunakan dan diterapkan di RSUP dr. Kariadi Semarang. Metode : Sebelas quality indicators yang berasal dari Pedoman Surviving Sepsis Campaign 2018, Pedoman pemberian antibiotik pada pasien dewasa dengan sepsis (SWAB), Indikator kualitas Dutch SWAB, quality indicators yang dikembangkan oleh Farida H, et al dan quality indicators dari studi Berrevoets diaplikasikan pada 66 rekam medik penderita sepsis dan syok septik. Feasibility dan Performance score kemudian dites untuk menentukan indikator apa saja yang dapat diaplikasikan. Hasil : Dari 11 quality indicators , 1 indikator tidak memenuhi kriteria feasibility, baik karena pencatatan data yang kurang, atau dari factor penderita sendiri. 2 indikator performance score sudah baik sehingga kesempatan untuk adanya perbaikan kecil. 8 indikator akhirnya ditentukan untuk digunakan di RSUP dr. Kariadi Semarang. Simpulan : Didapatkan 8 indikator untuk digunakan di RSUP dr. Kariadi Semarang. Perbaikan dari indikator ini diharapkan akan meningkatkan kualitas manajemen antibiotik pada pasien sepsis dan syok septik. Kata kunci: Sepsis, Syok Septik, quality indicators, antibiotik.
Latar belakang: Kejadian TB resistan obat sulit diperoleh. Pemeriksaan dahak adalah standar emas diagnosis TB, terkadang sulit diperoleh dan kultur sputum membutuhkan waktu sehingga pemeriksaan mikroskopik BTA sulit. Biomarker berbasis darah menjadi penting. Proliferasi sel mesothelial inflamasi sumber sekresi Ca – 125 pasien dengan TB. Ca – 125 secara imunohistokimia terlokalisasi dan berbatas tegas di sekitar granuloma tuberkulosis pasien. Tujuan: Mendeskripsikan perbedaan kadar plasma Ca – 125 pada Pasien dengan TB paru DS dan MDR saat enrolled terapi. Metode: Penelitian ini retrospektif observational analitik dengan desain cross sectional yang diambil sebelumnya pada pasien enrolled TB DS dan TB MDR periode 1 Maret 2017 - 30 November 2018 di RSUP Dr. Kariadi Semarang dan periode 29 Maret 2017 – 30 November 2020 di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Diikuti 20 subjek TB Paru DS dan 20 subjek TB Paru MDR yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Ca - 125 diperiksa sebelum terapi TB. Dilakukan analisis data menggunakan SPSS 25.0, dilakukan uji normalitas data menggunakan Shapiro – Wilk dan uji analisis bivariat dengan uji T tidak berpasangan pada sampel dengan distribusi normal dan uji Mann – Whitney pada sampel dengan distribusi abnormal. Hasil: Terdapat perbedaan kadar plasma Ca – 125 kelompok kategori TB paru MDR dengan kategori TB paru DS (p = 0,033). Nilai mean ± SD pada TB MDR 49,99 ± 53,77 U/ml dan TB DS 18,03 ± 17,96 U/ml. Median pada TB MDR 30,92 U/ml, dan TB DS 10,45 U/ml. Kesimpulan: Pasien dengan TB paru MDR memiliki kadar plasma Ca – 125 yang lebih tinggi dibandingkan pada pasien TB paru DS pada enrolled terapi. Kata kunci: tuberkulosis multidrug-resistant, drug sensitive, Ca – 125
Latar belakang: Trombosis terkait kanker merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien kanker. Pedoman saat ini belum merekomendasikan tromboprofilaksis secara rutin pada pasien kanker. Oleh sebab itu diperlukan parameter yang baik untuk memprediksi kejadian TEV sehingga dapat dilakukan pencegahan primer. Metode: Penelitian kohort prospektif pada pasien kanker yang akan menjalani kemoterapi di RSUP Dr. Kariadi. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni - September 2020 dan melibatkan 34 pasien kanker. Skor Khorana dan kadar TATc (Abcam Kit, ELISA) dinilai pada awal penelitian. Hasil keluaran yang dinilai adalah kejadian TVD, dibuktikan dengan USG doppler kompresi bila ada keluhan atau pada akhir observasi bulan ke-3. Hasil: Dari 34 pasien kanker yang hendak kemoterapi, satu pasien (2,9%) menderita TVD dalam 3 bulan. Kadar TATc meningkat pada 70,6% pasien (11,5 IQR 8,7-11,7). Peningkatan kadar TATc tidak berhubungan dengan kejadian TVD (p= 0,284). Tidak didapatkan hubungan bermakna antara Skor Khorana dan kejadian TVD (p= 0,592). Penambahan TATc pada skor Khorana tidak meningkatkan nilai prediktivitas skor Khorana terhadap TVD (p=0,790). Kesimpulan: TATc tidak berperan sebagai prediktor terjadinya TVD pada pasien kanker yang hendak menjalani kemoterapi. Penambahan nilai TATc pada skor Khorana tidak meningkatkan nilai prediktivitas skor Khorana. Kata kunci: Thrombin Antithrombin complex (TATc), skor Khorana, Trombosis vena dalam
Latar belakang: Hasil konversi kultur sputum yang diperoleh dua bulan setelah memulai pengobatan dinilai potensial untuk memprediksi hasil pengobatan. Tetapi volume dan kualitas sputum menurun pada respon terhadap pengobatan. Menjadi penting memiliki metode alternatif dalam evaluasi keberhasilan pengobatan TB, salah satunya dengan pemeriksaan kadar plasma Ca-125. Tujuan: Mendeskripsikan, membandingkan dan mengetahui hubungan kadar plasma Ca-125 dan kultur sputum di akhir bulan ke-2 terapi pada pasien TB-MDR. Metode : Penelitian ini berbentuk observasional analitik dengan desain cross sectional pada pasien TB MDR di RSUP Dr. Kariadi Semarang, dengan pemilihan sampel menggunakan consecutive sampling. Pada bulan kedua terapi, kadar plasma Ca -125 dan kultur sputum dianalisis menggunakan uji Mann-Whitney dan dilakukan analisis kurva ROC untuk menentukan cut-off Ca-125 terhadap evaluasi kultur sputum bulan ke dua. Hasil: Terdapat perbedaan kadar plasma Ca–125 yang bermakna antara kelompok kultur negatif dengan kultur positif (p = 0,013), dengan rerata kelompok kultur negatif 9,12 ± 10,41 U/ml, dan pada kelompok kultur positif 23,25 ± 13,93 U/ml. Kami mendapatkan kadar Ca-125 bulan kedua ≥ 9,505 U/ml memiliki sensitivitas 100% dan spesifisitas 75% (AUC = 0,865; 95% CI = 0,71-1,0) untuk memiliki kultur sputum positif. Simpulan: Kadar Ca-125 plasma bulan kedua pengobatan yang tinggi bermakna tidak terjadinya konversi kultur sputum. Kadar Ca-125 bulan kedua ≥ 9,505 U/ml dapat digunakan sebagai skrining dalam memprediksi kultur sputum akan tetap positif. Kata kunci: TB-MDR, kultur sputum bulan kedua, plasma Ca–125
Latar belakang : Pemberian analgesia paska pembedahan laparoskopi ginekologi dengan analgetik opiod diperlukan untuk mengurangi nyeri. Analgetik opiod sering terjadi efek samping sistemik sehingga diperlukan analgetik lain untuk mengurangi nyeri paska pembedahan, salah satunya dengan pemberian bupivakain intraperiotoneum. Tujuan: Mengetahui perbedaan efektivitas buvipakain 25 mg dengan bupivakain 50 mg intraperitoneum sebagai analgesia paska pembedahan pada laparoskopi ginekologi. Metode: Penelitian dilakukan dengan uji klinis acak tersamar tunggal pada pasien yang menjalani operasi pembedahan laparoskopi ginekologi di Instalasi Bedah Sentral RSUP dr. Kariadi Semarang. Pasien dibagi menjadi dua kelompok; kelompok pertama mendapatkan bupivakain 25 mg yang diencerkan dengan aqua steril 15 cc dan kelompok kedua mendapatkan bupivakain 50 mg yang diencerkan dengan aqua steril 10 cc, pemberian dilakukan di akhir operasi dengan cara menyemprotkan bupivakain ke dalam rongga peritoneum. Dinilai skor nyeri numeric rating scale (NRS) pada jam 1, 8, 16 dan 24 paska operasi. Analisis statistic data menggunakan chi-square dan uji-U Mann-Whitney. Hasil : Pemberian bupivakain intraperitoneum menurunkan skor nyeri numeric rating scale (NRS) dosis 50 mg memiliki efektivitas yang lebih baik dibandingkan dosis 25 mg (p
Latar Belakang : Mortalitas dari Regurgitasi Mitral dalam 5 year survival pada pasien yang tidak diterapi meningkat sebesar 60-70% kebanyakan karena gagal jantung yang progresif, ditandai dengan penurunan fungsi ventrikel kiri. Angka mortalitas tersebut menurun pada Mitral Valve Replacement = MVR dalam 5-years survival berkisar 12 - 16%, yang dapat dievaluasi 6 bulan setalah operasi dengan ekokardigrafi. Maka dari itu, peneliti ingin mengkaji peningkatan fungsi ventrikel kiri (LVIDd) setelah operasi MVR. Metode :Pre and post test design pada populasi target penderita RM derajat 3 dan 4 di RSDK Semarang tahun 2016-2019 yang menjalani MVR di IBS RSDK. Penilaian LVIDd dengan ekokardiografi pre MVR dan 6 bulan post MVR di bagian Kardiologi RSDK Semarang. Data dianalisa dengan uji delta T-test dan Wilcoxon. Uji korelasi pre dan post test dengan Pearson correlation test. Hasil : Didapatkan rerata LVIDd 74 penderita RM, preoperasi 42,41 ± 8,95 mm, postoperasi 36,83 ± 11,36 mm untuk RM derajat 3 dan 31,83 ± 1,48 mm preoperasi, 31,37 ± 1,35 mm postoperasi untuk RM derajat 4. Terdapat perbedaan bermakna sebesar p = 0,000 untuk LVIDd RM derajat 3 (p
Latar Belakang: Kejadian perdarahan intrakranial pada anak merupakan kejadian yang sangat jarang terjadi, namun memerlukan perhatian khusus karena tingginya angka kematian dan kesakitan akibat kejadian ini. Tujuan: Untuk mengetahui besar angka kejadian perdarahan intrakranial pada anak berdasarkan jenis kelamin, usia dan lokasi perdarahan di RSUP dr. Kariadi Semarang periode tahun 2016 – 2018. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain cross sectional. Sampel diambil dengan teknik consecutive sampling berdasarkan waktu kedatangan pasien. Hasil: Pada seluruh kasus perdarahan intrakranial anak yang terjadi pada tahun 2016 – 2018 didapatkan kejadian perdarahan intrakranial terjadi lebih banyak pada anak-anak yang berjenis kelamin laki – laki (55,56%) dibanding dengan perempuan (44,44%). Frekuensi kejadian paling banyak terjadi pada kelompok usia anak-anak (33,3%) dan remaja (33,3%), selanjutnya pada kelompok usia bayi (27,8%) dan paling sedikit ditemukan pada kelompok usia balita (5,6%). terdapat 13 variasi lokasi lesi yang berbeda, dengan lokasi paling sering adalah frontalis dextra (27,8%). Kesimpulan: Selama tahun 2016 – 2018 terdapat 18 kasus perdarahan intrakranial pada anak-anak yaitu pasien yang berusia 0 – 18 tahun di RSUP dr. Kariadi, Semarang, didapatkan 8 orang pasien berjenis kelamin perempuan dan 10 pasien berjenis kelamin laki – laki. Kelompok usia terbanyak adalah kelompok usia anak (5 – 10 tahun) dan remaja (10 – 18 tahun). Lokasi perdarahan paling banyak adalah region frontalis dextra. Kata Kunci: Perdarahan intrakranial, consecutive sampling, frontalis dextra