Tujuan : Untuk mengetahui efek penambahan labial kinesio taping terhadap drooling pada anak palsi serebral usia sekolah. Rancangan : penelitian Randomized controlled pre and post test experimental. Partisipan : Dua puluh empat anak palsi serebral usia sekolah dengan drooling yang memenuhi kriteria penelitian. Tempat : SLB YPAC Semarang Waktu : Februari - April 2017 Intervensi : Partisipan dibagi menjadi dua kelompok : kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Kelompok perlakuan diberi intervensi labial kinesio taping selama 45 menit 5 kali seminggu dan latihan oromotor 2 kali seminggu selama 8 minggu. Kelompok kontrol diberikan latihan oromotor 2 kali seminggu selama 8 minggu. Hasil pengukuran utama : drooling yang diukur dengan drooling severity scale (DSS), drooling frequency scale (DFS) dan drooling impact scale (DIS). Hasil : Kelompok dengan penambahan taping pada latihan oromotor memperbaiki drooling lebih baik daripada kelompok oromotor saja, seperti yang terlihat pada peningkatan nilai DSS, DFS dan DIS sebelum dan sesudah intervensi walaupun tidak didapatkan perbedaan yang signifikan antar kedua kelompok tersebut. Kesimpulan : labial kinesio taping tidak memperbaiki drooling pada anak palsi cerebral. Kata kunci : palsi serebral, labial kinesio taping, drooling
Latar belakang : Lingkar leher merupakan pengukuran antropometri yang relatif baru yang menggambarkan lemak subkutaneus tubuh bagian atas serta berkorelasi dengan obesitas dan sindrom metabolik. Lemak tubuh total pada obese secara sederhana belum banyak diteliti terutama korelasinya dengan lingkar leher. Tujuan : Menentukan korelasi lingkar leher dengan persentase lemak tubuh total pada obesitas. Metode penelitian : Penelitian korelasional ini melibatkan subyek obese dan normoweight sebanyak 186 perawat di RSUP Dr. Kariadi Semarang dari bulan Juni-Juli 2017 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Dilakukan pengukuran lingkar leher dan pengukuran lemak tubuh total, lemak viseral dan lemak subkutaneus whole body menggunakan bioelectrical impedance analysis (BIA). Uji hipotesis menggunakan korelasi sederhana dan analisis regresi linier sederhana untuk nilai prediksi. HAsil : Rerata lingkar leher subyek obese dan normoweight adalah 36+1,8 cm dan 31,9+2,1 cm. Terdapat korelasi bermakna antara lingkar leher dengan lemak total tubuh (r=0,310; p=0,002), lemak viseral (r=0,543; p=0,000) dan lemak subkutaneus whole body (r=0,492; p=0,000). Simpulan : terdapat korelasi bermakna antara besarnya lingkar leher dengan lemak tubuh total, lemak viseral dan lemak subkutaneus whole body. Kata kunci : lingkar leher, lemak tubuh total, lemak viseral, lemak subkutaneus whole body.
Latar belakang : Malnutrisi berperan sebagai faktor risiko penting terhadap komplikasi dialisis dan mortalitas. Penggunaan MIS direkomendasikan oleh KDOQI dalam menilai PEW (malnutrisi) dan inflamasi pada pasien hemodialisis. Pemeriksaan HGS di bidang gizi klinik digunakan untuk menilai kapasitas fungsional pasien dan menilai perubahan yang terjadi di otot pada fase awal PEW. Penurunan nilai HGS teradi lebih dini dan dapat digunakan sebagai salah satu penanda terjadinya malnutrisi. Tujuan : Mengetahui apakah HGS memiliki kesesuaian yang sama dengan MIS dalam menentukan derajat malnutrisi pada pasien hemodialisis berkelanjutan dan mengetahui komponene MIS yang paling berhubungan dengan HGS. Metode : Jenis penelitian uji diagnostik, dilakukan di unit hemodialisis RSUP Dr. Kariadi Semarang selama bulan Desember 2016. Jumlah subyek sebanyak 44 orang, kemudian diwawancara dan menjalani pemeriksaan antropometri (berat badan, tinggi badan, pemeriksaan skin fold), pemeriksaan HSG dan pemeriksaan laboratorium darah yaitu kadar albumin, dan TIBC selanjutnya dihitung skor MIS> Uji diagnostik dilakukan untuk mengetahui kesesuaian skor HGS dan MIS dalam menentukan derajat malnutrisi pada pasien hemodialisis berkelanjutan. Disampng itu, berdasarkan grafik ROC juga didapatkan komponen MIS yang berhubungan dengan HGSadalah perubahan asupan dan IMT. Hasil : Sensitivitas HGS 86,67%, spesifisitas 82,75%, nilai duga positif 72,2%, nilai duga negatif 92,3%. Komponen MIS perubahan asupan memiliki hubungan signifikan, negatif, kuat dengan HGS. Simpulan : HGS dapat digunakan untuk menentukan derajat malnutrisi pada pasien hemodialisis berkelanjutan. Kata kunci : HGS, MIS, malnutrisi pada pasien hemodialisis
Latar belakang : Obstructive Sleep Apnea (OSA) telah diperkirakan terjadi 2-10% di seluruh dunia. OSA berkaitan dengan berbagai macam penyakit. Derajat OSA dinilai dengan indeks apnea-hypopnoea/apnea hypopnea index (AHI). Tingginya nilai antropometri tubuh (indeks massa tubuh (IMT), lingkar leher, lingkar perut) berakibat tebalnya jaringan lemak pada leher, deposit lemak pada abdomen yang kesemuanya dapat menyebabkan penyempitan pada saluran nafas. Variabel lain yang diduga berpengaruh terhadap AHI adalah usia, jenis kelamin, kebiasaan merokok dan skor mallampati. Tujuan : Menganalisis hubungan ukuran antropometri dengan derajat OSA. Metode : Studi deskriptif analitik secara belah lintang dilakukan pada 23 pasien OSA yang dirawat di RS Kariadi yang memenuhi kriteria inklusi. Pemeriksaan antropometri (indeks massa tubuh, lingkar leher, lingkar abdomen) dilakukan berdasarkan metode dari ISO (the International Organization for Standarization). Pemeriksaan AHI menggunakan polisomnografi. Hasil : Uji korelasi bivariat menunjukkan hubungan antara derajat OSA dengan IMT (p=0,005; r=0,567) dan lingkar leher (p=0,021; r=0,478). Uji multivariat menunjukkan variabel yang paling berhubungan dengan derajat OSA adalah IMT. Simpulan : Terdapat hubungan bermakna antara ukuran antropometri (IMT dan lingkar leher) dengan derajat OSA. Kata kunci : OSA, AHI, IMT, lingkar leher, lingkar perut.
Latar belakang : ICH Score dan ICH-GS Score telah dipublikasikan sebagai skoring yang mampu memprediksi angka kematian pasien perdarahan intraserebral di berbagai negara maju, namun kegunaannya sebagai prediktor terhadap outcome di negara berkembang, masih merupakan suatu tantangan dan perlu diuji lebih lanjut. Sebagai tambahan, pada penelitian ini akan dipelajari pula korelasi terhadap kemampuan fungsional dalam evaluasi 30 hari. Tujuan : Untuk mengetahui seberapa jauh ICH score dan ICH-GS score dapat menjadi prediktor terhadap outcome (kematian dan kemampuan fungsional) pada pasien stroke perdarahan intraserebral. Metode : Evaluasi outcome dilakukan pada saat hari ke-5, 10, 15, 20, 25 dan 30 pasca onset, dengan modified ranking scale dan indeks barthel. Hubungan ICH score dan ICH-GS score dengan kematian dan keluaran fungsional diuji dengan kurva Kaplan-Meier pada metode survival analysis dan dianalisa berdasarkan Hazard ratio, dan dianalisa korelasinya dengan uji Spearmann. Hasil : Berdasarkan paparan kurva Kapna-Meier antara kedua skoring, terhadap 50 subyek, maka probabilitas meninggal dunia pada subyek dengan perdarahan intraserebral, didapatkan meningkat seiring dengan tingginya skor, dan subyek dengan skor ICH>3 dan ICH-GS>9 memiliki probabilitas meninggal dunia >50% sejak hari pertama (kurang dari 5 hari). Pada outcome fungsional mandiri, nilai skor ICH berkisar 0-2 dan skor ICH-GS 5-9, memiliki hubungan bermakna (masing-masing p=0,019 dan p=0,026) dengan korelasi sedang dan lemah (rho=.,433 dan rho=0,364). Kesimpulan : ICH score dan ICH-GS score dapat menjadi prediktor outcome kematian pada pasien stroke perdarahan intraserebral. Pada skor semakin besar, kemungkinan meninggal dunia semakin tinggi dan semakin cepat dibandingkan skor lebih kecil. ICH score dan ICH-GS score dapat menjadi prediktor outcome kemampuan fungsional, namun perlu dianalisa lebih lanjut. Kata kunci : Stroke, ICH score, ICH-GS score, mortalitas, kegawatan, Barthel Index, modified Rankin Scale, IVH
Latar belakang : Tidur merupakan suatu keadaan yang bermanifestasi berupa penurunan kesadaran juga reaksi terhadap stimulus eksternal. Pada pasien OSA terdapat penurunan fase tidur dalam. Cobalamin berfungsi dalam berbagai fungsi metabolisme, seperti pembentukan hormon melatonin. Kurangnya data penelitian ini membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian. Tujuan : Mengetahui korelasi kadar B12 serum dengan durasi fase tidur dalam pada penderita Obstructive Sleep Apnea. Metode : Studi deskriptif analitik dengan desain cross sectional melibatkan 24 subyek OSA yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pemeriksaan polisomnografi dilakukan pada jam 22.00 malam hingga jam 06.00 pagi. Pengambilan sampel darah untuk mengukur kadar B12 serum diambil pada malam hari sebelum pemeriksaan polisomnografi. Sampel dilakukan pemeriksaan kadar B12 serum dengan AAS (Atomic Absorbtion Spectrophtometry) di laboratorium. Hasil : Dari 24 subyek penelitian didapatkan kadar B12 serum memiliki nilai median 182 pg/ml dengan nilai minimal 71 pg/ml. Pada uji korelasi Spearman didapatkan korelasi positif sedang antara kadar B12 serum dengan durasi fase tidur dalam pada pasien Obstructive Sleep Apnea (p=0,04) (r=0,416). Terdapat korelasi negatif sedang sampai sangat kuat antara AHI (p=0,000), skor mallampati (0,007), BMI (p=0,03) terdapat durasi fase tidur dalam pada pasien Obstructive Sleep Apnea. Dari uji multivariat didapatkan persamaan regresi liniernya adalah durasi fase tidur dalam =301,401 -0,793* BMI. Koefisien korelasi AHI adalah -0,527, koefisien korelasi BMI adalah -0,466 dengan AHI nilai p=0,000 dan BMI nilai p=0,001. Keimpulan : Terdapat korelasi positif sedang antara kadar B12 serum dengan durasi fase tidur dalam pada pasien Obstructive Sleep Apnea yang bermakna secara statistik. Kata kunci : kadar B12 serum, durasi fase tidur dalam, Obstructive Sleep Apnea
Latar belakang : Media kontras pada CT digunakan untuk melihat gambaran anatomi maupun kelainan patologis yang lebih jelas. Penggunaan konsentrasi, volume dan kecepatan injeksi dari media kontras yang optimal dapat meningkatkan atenuasi gambar. Media kontras yang digunakan pada CT adalah media kontras intravena yang berupa iodium. Berbagai faktor terkait pasien dan injeksi kontras dapat mepengaruhi besar dan waktu untuk penyangatan kontras. Jenis dan konsentrasi media kontras iodium diasumsikan bisa mengoptimalkan hasil diagnostik CT karena penyangatan yang diterima pembuluh darah mempengaruhi kualitas gambar. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional. Pasien dilakukan CT scan liver menggunakan media kontras Iohexol 350 mg I/ml (omnipaque), Iohexol 350 mg I/ml (Xolmetras), dan Iopamidol 370 mg I/ml (Iopamiro) dengan dosis 0,5 gr I/kg BB yang diinjeksikan dengan menggunakan inejctor otomatis, yang kemudian diikuti flush salin sebanyak 40 ml. Gambar diambil pada fase late artery (35 detik setelah injeksi kontras) dan fase venous (60-80 detik setelah injeksi kontras) dengan sebelumnya dilakukan CT scan tanpa kontras sebagai dasar gambar. Hasil : Tingkat penyangatan tertinggi parenkim hepar terdapat pada sampel yang menggunakan media kontras Iohexol 350 mg I/ml (Xolmetras), Iohexol 350 mg I/ml (Omnipaque), dan Iopamidol 370 mg I/ml (Iopamiro). Tingkat penyangatan tertinggi vena porta terdapat pada sampel yang menggunakan media kontras Iohexol 350 mg I/ml (Xolmetras), Iohexol 350 mg I/ml (Omnipaque) dan Iopamidol 370 mg I/ml (Iopamiro). Tingkat penyangatan tertinggi arteri hepatica terdapat pada sampel yang menggunakan media kontras Iohexol 350 mg I/ml (Omnipaque), Iopamidol 370 mg I/ml (Iopamiro) dan Iohexol 350 mg I/ml (Xolmetras). Kesimpulan : Tidak terdapat perbedaan bermakna pada penilaian parenkim hepar, arteri hepatica dan vena porta dengan pemberian media kontras Iohexol 350 mg/ I/ml (Xolmetras), Iohexol 350 mg I/ml (Omnipaque) dan Iopamidol 370 mg I/ml (Iopamiro). Kata kunci : CT abdomen, media kontras, liver
Latar belakang : Leptospirosis menjadi masalah kesehatan di dunia oleh karena kesulitan didalam diagnosis klinis dan tidak tersedianya alat diagnosis dimana gold standar laboratorium adalah dengan Microscopic Aglutation Test (MAT). Di Indonesia, hanya Laboratorium Mikrobiologi RSUP dr. Kariadi Semarang yang dapat melakukan pemeriksaan ini. Kasus pneumonitis pada pasien leptospirosis seringkali terlewatkan dikarenakan gambaran radiologi yang mirirp dengan penyakit seringkalai terlewatkan dikarenakan gambaran radiologi yang mirip dengan penyakit inflamasi paru lainnya. Pada penelitian ini akan dianalisis adakah korelasi gambaran abnormalitas X-foto toraks dengan gangguan pernafasan pasien leptospirosis di RSUP dr. Kariadi Semarang. Tujuan : Untuk menilai korelasi gambaran abnormalitas X-foto toraks dengan gangguan pernafasan pasien leptospirosis di RSUP dr. Kariadi Semarang. Metode : Penelitian analitik observasional dengan cross sectional dan consecutive sampling. Chi square test dan uji koreksi kontinuitas digunakan untuk mengetahui apakah ada korelasi variabel bebas yaitu gejala pernafasan terhadap variabel terikat yaitu foto toraks. Hali ini dianggap signifikan jika nilai p