Latar belakang: Hipotermia pada neonatus disebabkan oleh berbagai keadaan. Keterbatasan alat untuk merawat bayi berat lahir rendah (BBLR) yang dapat meningkatkan angka morbiditas pada BBLR, penggunaan kantong plastik merupakan upaya untuk mencegah hipotermi pada BBLR. Tujuan penelitian: Menganalisa perbedaan suhu aksila dan gula darah sewaktu (GDS) antara BBLR yang menggunakan kantong plastik (kelompok kasus) dan yang tidak menggunakan kantong plastik (kelompok kontrol). Metode: Penelitian ini merupakan studi randomized control trial dengan subyek penelitian BBLR yang dirawat di RSUP Dr. Kariadi Semarang sejak bulan Januari-Juni 2016. Penelitian derajat hipotermi menggunakan termometer, dan pengukuran kadar GDS dengan glukotest. Analisis dengan Chi-square, Mann-whitney, dan t tidak berpasangan. Hasil: Subyek penelitian 106 BBLR, terdiri dari masing-masing 53 BBLR dalam kelompok kasus dan kontrol, preterm 64 (60,2%), dan aterm 36 (38,8%). Didapatkan perbedaan bermakna antara suhu aksila pada kelompok kasus kontrol (p0,005). Terdapat peningkatan bermakna antara suhu aksila 1 jam pertama dan 24 jam pertama setelah lahir pada kelompok kasus (p
Latar belakang. Di Indonesia prevalensi anemia kehamilan relatif tinggi, sebagian besar penyebabnya adalah kekurangan zat besi. Keadaan kekurangan zat besi pada ibu hamil akan menimbulkan gangguan atau hambatan pada pertumbuhan janin. Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 2001 menunjukkan prevalensi ADB pada bayi baru lahir sampai usia enam bulan adalah 61,3 %. Data mengenai insiden anemia pada bayi baru lahir masih terbatas. Tujuan penelitian. Membuktikan kejadian anemia pada bayi baru lahir berhubungan dengan anemia pada ibu dan berat plasenta. Desain penelitian. Penelitian observasional menggunakan metode belah lintang (cross-sectional) yang dilakukan dengan mengukur kadar hemoglobin pada bayi baru lahir (BBL) cukup bulan beserta ibu sebelum melahirkan di RSUP dr. Kariadi dan sekitarnya, diperoleh sebanyak 101subyek. Kriteria inklusi :BBL cukup bulan, janin tunggal. Kriteria eksklusi :BBL dari ibu dengan perdarahan antepartum, penyakit kronis dan kelainan hematologi, BBL dengan kelainan kongenital mayor, kelainan hematologi. Uji Analisis statistik menggunakan uji ChiSquare, T test, dan Mann Whitney. Analisis multivariat menggunakan regresi logistik. Hasil.Tidak terdapat hubungan bermakna antara kejadian anemia BBL dengan anemia ringan-sedang pada ibu. Terdapat hubungan bermakna antara berat plasenta > 529,5 gram (p = 0,019;95%CI 1,3- 22,51 OR 5,4), suplementasi Fe tidak rutin (p = 0,000; 95%CI 3,5 – 31,252 OR 10,5), dan jenis persalinan dengan kejadian anemia pada BBL ((p = 0,013; 95%CI 0,082- 0,749 OR 0,25) Kesimpulan.Tidak terdapat hubungan bermakna antara kejadian anemia BBL dengan anemia ringan-sedang pada ibu.
Latar Belakang: Retinopati diabetika (RD) merupakan suatu kelainan mikrovaskular dari penyakit Diabetes Mellitus, yang menyebabkan kebutaan tersering pada usia produktif. Hiperglikemia kronis akan menyebabkan hipoksia dan iskemik jaringan. Iskemik pada jaringan retina akan menstimulus produksi Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF). VEGF merupakan faktor pertumbuhan angiogenesis yang akan memicu terbentuknya neovaskularisasi intraokular. Salah satu talaksana retinopati diabetika adalah laser fotokoagulasi. Penelitian Diabetic Retinopathy Study dan Early Treatment Diabetic Retinopathy Study melaporkan laser fotokoagulasi merupakan teknik standar untuk penatalaksanaan RD serta dapat menghambat progresifitas retinopati diabetika secara efektif. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa laser Panretinal photocoagulation (PRP) dapat menurunkan risiko penurunan tajam penglihatan yang berat. Akan tetapi laser PRP memiliki efek samping yaitu risiko terjadinya penyempitan lapangan pandang perifer, hal ini disebabkan penipisan lapisan serabut saraf peripapil. Tujuan: Menganalisis perbedaan ketebalan serabut saraf retina pasca laser fotokoagulasi parameter modifikasi dibandingkan parameter konvensional pada penderita RD. Metoda: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental prospektif randomized control - group pre test - post test design, yang dilaksanakan di Instalasi Rawat Jalan Mata RSUP dr. Kariadi Semarang. Subjek penelitian berjumlah 40 mata penderita RD. Lalu, dilakukan randomisasi dan dialokasikan dalam 2 kelompok. Kelompok pertama mendapat terapi laser fotokoagulasi parameter modifikasi, sedangkan kelompok kedua mendapat terapi laser fotokoagulasi parameter konvensional. Pengukuran ketebalan serabut saraf retina menggunakan Stratus Optical Coherence Tomography (OCT), dilakukan pre laser, 1 minggu pasca laser dan 1 bulan pasca laser. Hasil: Tidak terdapat perbedaan ketebalan serabut saraf retina yang bermakna antara pre laser, 1 minggu dan 1 bulan pasca laser pada kelompok modifikasi dan konvensional (p > 0,05). Kesimpulan: Tidak didapatkan perbedaan ketebalan serabut saraf retina yang bermakna antara pasca laser fotokoagulasi parameter modifikasi dibandingkan parameter konvensional Kata kunci: Retinopati diabetika, Laser fotokoagulasi, Ketebalan serabut saraf retina
Pendahuluan Glaukoma merupakan penyebab kebutaan yang permanen. Progresifitas neuropati optik yang terjadi seringkali disebabkan oleh peningkatan tekanan intraocular akibat resistensi aliran humor akuos melalui trabecular meshwork (TM) dan kanalis Schlemm. Perkembangan dan progresifitas glaucoma berhubungan dengan akumulasi kerusakan oksidatif pada TM. Stres oksidatif yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intraocular dapat memicu perubahan karakteristik TM melalui kerusakan mitokondria, aktivasi Caspase-3 dan Caspase-7, hingga menyebabkan apoptosis. N-acetylcarnosine (NAC) merupakan antioksidan topikal yang diharapkan dapat mencegah apoptosis sel endotel trabecular meshwork. Tujuan Mengetahui pengaruh pemberian NAC terhadap ekspresi Caspase-3 dan Caspase-7 TM tikus Wistar model glaukoma Metoda Penelitian ini merupakan true experimental post-test only controlled group design. Empatbelas ekor tikus Wistar dibuat model glaucoma dengan metode kanulasi, kemudian dibagi secara acak menjadi 2 kelompok. Kelompok kontrol (K) diberi tetes mata plasebo, kelompok perlakuan (P) diberi tetes mata N-acetylcarnosine, 2x sehari selama 4 minggu. Ekspresi Caspase-3 dan Caspase-7 dinilai dengan imunohistokimia menggunakan Allred score. Analisis statistik menggunakan uji t tidak berpasangan dan Mann Whitney. Hasil Penelitian Rerata ekspresi Caspase-3 pada kelompok K=5,1; kelompok P=3,4. Ekspresi Caspase-3 kelompok perlakuan lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol (p=
Pendahuluan Intoksikasi metanol dapat menyebabkan penurunan visus permanen. Asam format merupakan metabolit toksik metanol yang menyebabkan toksisitas hipoksia sehingga terjadi kerusakan mitokondria, mengaktivasi caspase-3 dan caspase-7 hingga akhirnya terjadi apoptosis. Deksametason dan asam folat telah digunakan sebagai terapi tambahan pada kasus intoksikasi metanol. Tujuan Untuk mengetahui perbedaan ekspresi caspase-3 dan caspase-7 pada apoptosis sel ganglion retina pasca pemberian asam folat dan deksametason pada tikus coba yang diinduksi metanol. Metode. Penelitian eksperimental ini dilakukan di Laboratorium Biologi FMIPA Universitas Negeri Semarang. Lima belas tikus wistar yang terintoksikasi metanol dibagi dalam tiga kelompok secara acak : kelompok kontrol (K), deksametason intraperitoneal 1 gram sebanyak 16,5cc/kgBB/hari selama 3 hari (P1), dan asam folat 1 mg/kgBB/hari selama 3 hari (P2). Intoksikasi metanol dilakukan dengan pemberian metanol 4 gram/kgBB pada hari pertama dan 2 gram/kgBB pada hari kedua dan ketiga. Ekspresi caspase-3 dan caspase-7 dinilai dengan pewarnaan imunohistokimia. Analisis statistik menggunakan uji Kruskal Wallis. Hasil penelitian Rerata ekspresi caspase-3 kelompok K=6,6 , kelompok P1=6,2 dan P2=6,4. Ekspresi caspase-3 pada kelompok perlakuan lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol (p=0,459). Rerata ekspresi caspase-7 kelompok K=6,2 , kelompok P1= 6,4 dan P2= 6,4. Ekspresi caspase-7 pada kelompok perlakuan lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol (p=0,459). Rerata caspase-3 dan caspase-7 pada kelompok P1 dan P2 masing-masing yaitu p=0,513 dan p=1,00. Kesimpulan Terdapat kecenderungan penurunan ekspresi caspase-3 pada kelompok perlakuan dibandingkan kontrol. Ekspresi caspase-7 pada kelompok perlakuan cenderung meningkat dibandingkan kontrol. Kata kunci intoksikasi metanol, caspase-3, caspase-7, deksametason, asam folat.
Latar Belakang: Inflamasi kornea dapat menyebabkan kekeruhan kornea derajat ringan sampai berat. Siklooksigenase – 2 (COX-2) merupakan mediator inflamasi dan penanda pada inflamasi kornea yang akut. Obat anti inflamasi steroid dapat menghambat phospholipase, sehingga memiliki efek anti inflamasi yang poten, namun memiliki banyak efek samping. Phaleria macrocarpa merupakan tanaman obat asli Indonesia yang memiliki efek anti inflamasi. DLBS1425 merupakan sediaan farmasi ekstrak Phaleria macrocarpa yang memiliki efek anti inflamasi dengan menghambat ekspresi mRNA COX-2 dan cPLA2 pada sel kanker payudara. Peneliti ingin mengetahui efektifitas anti inflamasi DLBS1425 di bidang mata, dinilai dari ekspresi COX-2 kornea tikus Wistar pasca trauma. Tujuan: Membuktikan efektifitas DLBS1425 topikal terhadap ekspresi COX-2 kornea tikus Wistar pasca trauma basa. Metoda: Merupakan penelitian true experimental post-test only design. 24 mata tikus Wistar mendapat paparan NaOH, dibagi menjadi 3 kelompok. Kelompok K1 diberi tetes Hyalub, sedangkan P diberi tetes DLBS1425 konsentrasi 1x101mg/ml. Setelah 7 hari, dinilai ekspresi COX-2 kornea secara imunohistokimia. Analisis statistik menggunakan uji One Way Annova dan Post Hoct Study Hasil: Rerata ekspresi cPLA2 kelompok K1= 2,577, P1= 1,9 dan K2 = 2,15. Ekspresi COX-2 kelompok perlakuan memiliki ekspresi COX-2 yang lebih rendah dan perbedaan yang signifikan secara statistik dibanding kelompok kontrol 1(p=0,048), dibandingkan K2 ekspresi COX-2 kelompok perlakuan lebih rendah akan tetapi tidak berbeda bermakna secara stastistik (p=0,306) Kesimpulan: DLBS1425 topikal efektif menekan ekspresi COX-2 kornea tikus Wistar pasca trauma basa. Kata kunci: Phaleria macrocarpa, DLBS1425, COX-2, inflamasi kornea
Latar Belakang: Asam format merupakan metabolik toksik pada intoksikasi metanol. Apoptosis pada intoksikasi metanol disebabkan oleh karena keterlibatan mitokondria (pelepasan sitokrom c dan caspase). Pemberian metilkobalamin dapat mengurangi kadar asam format dengan mengaktifkan tetrahidroksi folat untuk memetabolisme asam format didalam tubuh. Bila metabolisme asam format ditingkatkan, penumpukan asam format dikurangi, sehingga terjadi penurunan ekspresi caspase 3 dan 7 dan pada akhirnya apoptosis lebih rendah. Tujuan: Mengetahui perbedaan ekspresi caspase 3 dan 7 pada apoptosis sel ganglion retina pasca pemberian metilkobalamin, deksametason dan kombinasinya dibanding kelompok kontrol pada tikus yang mengalami intoksikasi metanol. Metode: Penelitian ini merupakan uji eksperimental laboratorium dengan rancangan post-test only randomized controlled group yang menggunakan model tikus intoksikasi metanol kemudian mendapatkan perlakuan deksametason, metilkobalamin dan kombinasinya. Analisis statistik menggunakan uji Kruskal Wallis dan Mann Whitney. Hasil: Didapatkan penurunan ekspresi caspase 3 pada deksametason dibandingkan kontrol ( p=0,221) dan ekspresi caspase 7 pada deksametason terdapat peningkatan dibanding kontrol (p=0,513). Didapatkan penurunan ekspresi caspase 3 pada metilkobalamin dibandingkan kontrol (p=0,549) dan ekspresi caspase 7 pada metilkobalamin terdapat peningkatan dibanding kontrol (p=0,015*). Didapatkan penurunan ekspresi caspase 3 pada kombinasi dibandingkan kontrol (p= 1,00) dan ekspresi caspase 7 pada metilkobalamin terdapat peningkatan dibanding kontrol (p=0,042*). Kesimpulan: Terdapat kecenderungan penurunan caspase 3 dan peningkatan ekspresi caspase 7 pada deksametason dibandingkan kontrol. Terdapat kecenderungan penurunan ekspresi caspase 3 dan peningkatan ekspresi caspase 7 pada metilkobalamin dibandingkan kelompok kontrol. Tidak terdapat penurunan ekspresi caspase 3 dan kecenderungan peningkatan ekspresi caspase 7 pada kombinasi dibandingkan kontrol. Kata kunci: Metilkobalamin, intoksikasi metanol, caspase 3 dan 7
Pendahuluan: Seringkali pasien glaukoma datang dengan tekanan intra okuler (TIO) yang mencapai target, tetapi tetap menunjukkan progresivitas glaukoma akibat adanya fluktuasi TIO. Water drinking test (WDT) dapat digunakan sebagai metode untuk memprediksi fluktuasi TIO. Tujuan: Membandingkan hasil WDT pada glaukoma primer sudut terbuka (GSTaP) yang terkontrol dengan prostaglandin analogue (PGA) dan dengan selective laser trabeculoplasty (SLT). Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik intervensional dengan desain cross-sectional yang dilaksanakan di RSUP Dr. Kariadi. Subyek penelitian adalah penderita GSTaP yang dipilih secara consecutive sampling. Tekanan intraokuler diukur sebelum dan sesudah WDT. Sesudah WDT, TIO diukur tiap 15 menit hingga 1 jam. Data TIO puncak dan fluktuasi TIO dikumpulkan dan dianalisis menggunakan t-test. Hasil: Sebanyak 42 mata dari 30 orang penderita GSTaP diperiksa dalam penelitian ini. Kelompok PGA terdiri dari 26 mata, sedangkan kelompok SLT 16 mata. Subyek penelitian sebagian besar laki-laki dan memiliki derajat glaukoma awal. Water drinking test meningkatkan TIO secara signifikan pada kedua kelompok. Mean TIO pre WDT kelompok PGA 14,58 ± 2,580 mmHg, sedangkan kelompok SLT 16,94 ± 2,645 mmHg. Mean TIO puncak sebesar kelompok PGA 22,73 ± 4,114 mmHg, sedangkan kelompok SLT 25,75 ± 5,859 mmHg. Fluktuasi TIO kelompok PGA 8,15 ± 4,202 mmHg, sedangkan kelompok SLT 8,81 ± 5,344 mmHg. Hasil uji beda TIO puncak dan fluktuasi TIO pada kedua kelompok tidak berbeda bermakna. Simpulan: Tidak terdapat perbedaan hasil WDT pada pasien GSTaP yang terkontrol dengan PGA dan dengan SLT. Kedua jenis terapi memiliki kemampuan yang sama dalam mengendalikan fluktuasi TIO. Kata Kunci: Glaukoma sudut terbuka primer, prostaglandin analogue, selective laser trabeculoplasty, water drinking test.
Latar belakang : Latihan fisik secara intensif atau jangka lama akan menyebabkan remodeling yang kompleks terhadap anatomi dan fisiologi jantung untuk memperkuat kinerja kardiovaskuler. Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa latihan intensif dapat menimbulkan stres fisiologis yang tidak rpoporsional terhadap ventrikel kanan. Ekhokardiografi digunakan untuk analisis dalam membedakan antara remodeling adaptif dan maladaptif. Tujuan : Membuktikan perbedaan struktur dan fungsi ventrikel kanan Taruna Akmil berdasarkan jenjang waktu pendidikannya. Metode : Penelitian observasional analitik dengan rancangan belah lintang pada 75 subyek Taruna Akmil (rerata usia 20,9+ 1,3 tahun) yang terdiri dari Taruna Tingkat I (n=25), Taruna Tingkat II (n=25), Taruna Tingkat III (n=25). Seluruh subyke menjalani pemeriksaan resting ekhokardiografi transtorakal dengan metode 2D, tissue Doppler imaging dan STE saat istirahat (resting echocardiographi). HAsil : Struktur VKa antar masing-masing kelompok Taruna tidak didapatkan perbedaan yang bermakna (RVD1, 37,1+2,7; 36,1+2,4; 37,2+2,3 mm, p=0,249; RVD2, 29,1+2,7; 27,7+2,9; 29,3+2,9 mm, p=0,158; RVD3 75,5+4,2; 74,9+3,7; 76,1+3,7 mm, p=0,554; diameter RVOT proximal, 28,8+3,1; 26,3+3,8; 27,4+2,9 mm, p=0,058; diameter RVOT distal, 21,2+1,8; 20,1+1,5; 20,5+1,7 mm, p=0,084). Parameter fungsi sistolik VKa juga tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antar masing-masing kelompok Taruna (RVFAC, 43,0+8,8; 43,5+7,2; 43,4+5,7%, p=0,135; TAPSE, 2,46+0,30; 2,34+0,28; 2,39+0,27 cm, p=0,071; S' 0,154+0,018; 0,153+0,017; 0,158+0,026 m/s; p=0,224; MPI, 0,30+0,07; 0,32+0,09; 0,31+0,07; p=0,445; free wall longitudinal strain, -26,7+3,2; -24,8+4,6; -26,6+3,8, p=0,167). Fungsi diastolik yang dinilai dari aliran transtrikuspid dan pencitraan jaringan Doppler antar kelompok Taruna Akmil tidak terdapat perbedaan yang bermakna. Kesimpulan : Tidak terdapat perbedaan struktur dan fungsi ventrikel kanan Taruna Akmil yang diamati berdasarkan jenjang waktu pendidikannya. Kata kunci : latihan fisik, ventrikel kanan, Taruna Akmil, ekhokardiografi
Latar Belakang: Gagal jantung merupakan salah satu penyebab kejadian rawat inap dan rawat ulang paling sering di Rumah Sakit (RS). Data-data tentang karakteristik penderita gagal jantung kronis yang mengalami kejadian rawat ulang akibat eksaserbasi akut di RSUP Dr. Kariadi Semarang saat ini masih belum ada. Tujuan: Mengetahui gambaran karakteristik penderita gagal jantung akut dekompensata yang mengalami kejadian rawat ulang di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Metode: Penelitian ini adalah penelitian desktriptif dengan pendekatan belah lintang. Data rekam medis dikumpulkan secara retrospektif selama periode bulan Januari 2015 sampai dengan Desember 2015. Hasil: Total sampel penelitian adalah 151 orang. Rerata usia subyek adalah 57 tahun dengan proporsi pria sebesar 56,3%. Median lama rawat inap adalah 7 hari, dan angka kejadian rawat ulang dalam rentang 30 hari sesudah pulang dari RS sebesar 23,8%. Iskemik (33,8%) merupakan etiologi terbanyak, sedangkan kejadian infeksi (46,4%) merupakan faktor pencetus terbanyak dan hipertensi (60,3%) merupakan komorbiditas terbanyak. Angka penggunaan obat sebelum rawat ulang berupa angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACEI) atau angiotensin-receptor blocker (ARB) sebesar 54,3%, mineralocorticoid receptor antagonist (MRA) sebesar 49,7%, diuretik loop sebesar 48,3%, dan penyekat beta sebesar 23,2%. Beberapa pasien mengalami kenaikan kadar blood urea nitrogen (BUN) (70,9%), anemia (50,3%), dan hiponatremia (26,5%) pada saat rawat ulang. Kebanyakan pasien (55,63%) dengan Left Ventricle Ejection Fraction (LVEF)