Latar belakang: Kesegaran kardiovaskular dipengaruhi oleh elastisitas aorta yang dapat ditingkatkan dengan peningkatan insuline growth factor-1 (IGF-1). Suplementasi ekstrak ikan gabus (EIG) dapat meningkatkan kadar arginine sehingga dapat meningkatkan IGF-1, memperbaiki disfungsi endotel dan peningkatan kesegaran kardiovaskular. Tujuan: Mengetahui perbedaan kesegaran kardiovaskular pada anak perawakan pendek dengan suplementasi dan tanpa suplementasi EIG. Metode: Desain penelitian adalah belah lintang pada 100 anak perawakan pendek (laki-laki 58, perempuan 42; EIG 50, plasebo 50) usia 8-12 tahun di Brebes, Jawa Tengah. Perawakan pendek didefinisikan HAZ antara -2 dan -3 SD berdasarkan kurva pertumbuhan WHO 2007. Kesegaran kardiovaskular diukur dengan modifikasi Harvard step test dinyatakan dengan VO2max, tingkat aktivitas fisik berdasarkan data aktivitas fisik selama 7 hari dinyatakan dengan tingkat aktivitas fisik. Analisis statistik menggunakan independent t-test dan korelasi Pearson. Hasil: Kadar VO2max lebih tinggi 41,67 (SB: 6,967) mL/kg/menit pada EIG dan 41,16 (SB: 5,238) mL/kg/menit pada plasebo (p=0,682), kadar hemoglobin lebih tinggi 13,12 (SB: 0,932) g/dL pada EIG dan 12,99 (SB: 0,878) g/dL pada plasebo (p=0,502). Anak menunjukkan tingkat aktivitas fisik aktif, 1,76 (SB: 0,14) pada EIG dan 1,78 (SB: 0,09) pada plasebo. Terdapat hubungan antara tingkat aktivitas fisik dan kesegaran kardiovaskular, kadar hemoglobin dan tingkat aktivitas fisik pada EIG (p
Pendahuluan : Kejang demam merupakan gangguan neurologi yang banyak ditemukan pada anak. Pengenalan akan faktor risiko kejang demam akan membantu memprediksi terjadinya bangkitan kejang demam. Tujuan : Mengevaluasi faktor risiko kejang demam dan menganalisa faktor mana saja yang paling berperan dalam terjadinya bangkitan kejang demam. Material dan Metode : Penelitian kasus-kontrol dengan pasien dengan bangkitan kejang demam sebagai kelompok kasus (n = 56) dan demam tanpa kejang sebagai kontrol (n = 46). Data diambil dari pasien berusia 3 bulan sampai dengan 5 tahun yang dirawat di RSUP dr. Kariadi pada periode Januari - Desember 2015 dengan kedua diagnosis di atas. Pasien dengan gangguan elektrolit, hipoglikemia, riwayat kejang sebelumnya pada kelompok kontrol dan data catatan medis yang tidak lengkap dieksklusi dari penelitian. Faktor risiko yang dinilai berupa usia, jenis kelamin, tinggi demam, riwayat kejang demam pada keluarga lini pertama, riwayat gangguan perkembangan, dan kadar hemoglobin. Dilakukan perhitungan nilai OR, analisis logistik ganda, uji korelasi, dan analisis diskriminan untuk mencari tahu faktor korelasi faktor risiko dengan bangkitan kejang demam dan faktor mana saja yang dapat menjadi prediktor terjadinya bangkitan kejang. Hasil Penelitian : Analisis diskriminan menghasilkan fungsi diskriminan unstandardized D = 26,988 - 0,854 (suhu) + 0,185 (jenis kelamin) + 1,565 (riwayat keluarga)+ 1,178 (riwayat gangguan perkembangan); dengan cut of point 0,000235. Urutan faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian kejang demam adalah: suhu tubuh ketika demam, riwayat kejang demam pada keluarga, riwayat gangguan perkembangan, dan jenis kelamin. Kesimpulan : Suhu tubuh, riwayat kejang demam pada keluarga, gangguan perkembangan, dan jenis kelamin dapat digunakan untuk prediksi kejadian kejang demam pada anak. Kata kunci : faktor risiko, kejang demam, anak, diskriminan
Latar belakang: Latihan fisik pada pasien gagal jantung dapat meningkatkan konsumsi oksigen maksimal dan menurunkan kadar biomarker proinflamasi seperti TNF-. Latihan sirkuit merupakan salah satu model latihan yang lebih menguntungkan karena mampu memperbaiki kebugaran kardiorespirasi dan kekuatan otot sekaligus. Tujuan: Mengetahui pengaruh latihan sirkuit terhadap kadar TNF- dan nilai konsumsi oksigen maksimal pasien gagal jantung kronik. Metode: 26 pasien gagal jantung kronik stabil dengan penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri dirandomisasi menjadi kelompok yang mendapatkan latihan sirkuit di bagian rehabilitasi RSUP Kariadi selama 1 bulan dan kelompok yang disarankan menjalankan latihan aerobik secara mandiri di rumah. Kadar TNF- dan nilai konsumsi oksigen maksimal diambil sebelum dan sesudah periode latihan Hasil Penelitian: Tidak terdapat perbedaan bermakna dalam hal perubahan kadar TNF- sebelum dan sesudah perlakuan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol (0,64 + 0,95 pg/ml dan 0,36 + 0,49 pg/ml; p=0,513) sementara kelompok perlakuan dengan latihan sirkuit menunjukkan peningkatan konsumsi oksigen maksimal yang lebih besar dibandingkan kelompok kontrol (2,06 + 1,18 ml/kg/menit dan 1,07 + 0,74 ml/kg/menit; p=0,034). Kesimpulan: Tidak terdapat perubahan kadar TNF- pada pasien gagal jantung kronik yang melakukan latihan sirkuit, namun terdapat peningkatan nilai konsumsi oksigen maksimal pada pasien gagal jantung kronik yang melakukan latihan sirkuit. Kata Kunci: Latihan sirkuit, TNF-, konsumsi oksigen maksimal
Latar belakang: Plak aterosklerotik rentan menjadikan pasien penyakit jantung koroner (PJK) memiliki risiko mengalami kejadian kardiovaskular mayor di masa datang. Berbagai biomarker telah diteliti untuk memprediksi kerentanan plak, tetapi hasilnya belum jelas. Tujuan: Untuk menyajikan rangkuman sistematik tentang biomarker kerentanan plak yang dinilai dengan optical coherence tomography (OCT) pada pasien PJK. Metode: Desain studi adalah tinjauan sistematik dan meta-analisis. Pencarian data elektronik dikerjakan sampai November 2017. Penilaian kualitas studi dilakukan dengan menggunakan Quality Assessment for Diagnostic Accuracy Studies-2. Analisis statistik dilakukan dengan Review Manager version 5.3 dan Comprehensive Meta Analysis version 3.3.070. Hasil: Sebanyak 24 artikel penelitian dengan total sampel 1.923 pasien memenuhi kriteria. Meta-analisis 11 studi dengan sampel 943 menunjukkan korelasi sedang antara fibrous cap thickness (FCT) dan PTX3 (r −0,560; p=0,015) maupun IL-18 (r −0,503; p
Pendahuluan : Inflamasi berperan penting pada stroke iskemik. Skor National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS) merupakan penilaian kuantitatif defisit neurologik untuk mengetahui derajat keparahan stroke. Galectin 3, monosit dan platelet terlibat dalam proses inflamasi dan aterotrombotik, berperan pada stroke iskemik. Tujuan : Penelitianini bertujuan untuk membuktikan adanya hubungan antara indeks platelet (mean platelet volume (MPV), platelet distribution width (PDW), platelet large cell ratio (P-LCR)), jumlah monosit absolut dan kadar galectin 3 dengan skor NIHSS pada pasien stroke iskemik. Metode : Penelitian belah lintang melibatkan 37orang dengan diagnosis stroke iskemik di RSUP.Dr. Kariadi Semarang selama periode Agustus-November 2017. Indeks platelet dan jumlah monosit absolut dihitung menggunakan alat hematologi otomatis. Kadar galectin 3 dihitung menggunakan metode ELISA. Perhitungan skor NIHSS dilakukan oleh klinisi saat pasien masuk di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Analisis statistik menggunakan uji korelasi Spearman. Hasil : Hasil uji korelasi antara indeks plateletdan kadar galectin 3 dengan skor NIHSS masing-masing menunjukkan hubungan positifsedang untuk MPV(r=0,511;p=0,001), PDW (r=0,449;p=0,005), dan P-LCR (r=0,424;p=0,009), positif lemah antara galectin 3 (r=0,330;p=0,046) dengan skor NIHSS. Tidak ditemukan hubungan antara jumlah monosit absolut dengan skor NIHSS (r= -0,150;p=0,376). Simpulan : Terdapat hubungan positif sedang antara indeks platelet (MPV, PDW dan P-LCR) dengan skor NIHSS dan hubungan positif lemah antara kadar galectin 3 dengan skor NIHSS pada pasien stroke iskemik. Tidak terdapat hubungan antara jumlah monosit absolut dengan skor NIHSS. Kata kunci : mean platelet volume, platelet distribution width, platelet large cell ratio, Galectin-3, NIHSS, stroke iskemik
Latar belakang : Nefropati diabetes (ND) merupakan penyebab paling sering dari end stage renal disease (ESRD) yang melibatkan proses inflamasi. Neutrofil, limfosit, monosit, dan intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) berperan dalam inflamasi. Kebocoran albumin dari glomerulus dimediasi oleh ICAM-1. Ekspresi ICAM-1 pada permukaan sel endotel memfasilitasi ikatan antara leukosit dengan sel endotel dan mengawali disfungsi glomerulus. Tujuan penelitian : Membuktikan adanya hubungan antara jenis leukosit dan kadar ICAM-1 dengan albumin urin pada pasien ND. Metode : Penelitian belah lintang yang melibatkan 30 orang pasien nefropati diebates. Dilaksanakan pada September – Oktober 2017 di klinik BPJS Kota Semarang. Jumlah neutrofil, limfosit dan monosit diperiksa menggunakan alat hematologi analiser, albumin creatinin rasio diperiksa menggunakan alat otomatis urinalisis dan ICAM-1 diperiksa menggunakan metode ELISA. Analisis statistik menggunakan uji hubungan Spearman’s. Hasil : Hubungan antara jumlah neutrofil dan jumlah limfosit dengan kadar albumin urin (r=0,061;p=0,747 dan r=0,276;p=0,140). Hubungan monosit dan kadar ICAM-1 dengan kadar albumin urin (r=0,366;p=0,047 dan r=0,417;p=0,022). Simpulan : Tidak terdapat hubungan antara jumlah neutrofil dan limfosit dengan kadar albumin urin, terdapat hubungan positif sedang antara jumlah monosit dan kadar ICAM-1 dengan kadar albumin urin. Kata kunci : Jenis leukosit, ICAM-1, albumin urin, nefropati diabetes
Latar belakang : Infeksi oleh bakteri penghasil Extended-Spectrum Beta-Lactamase (ESBL) menjadi tantangan tersendiri bagi para klinisi terutama yang bertugas di unit perawatan intensif karena terbatasnya pilihan terapi antibiotik, prognosis pasien yang buruk, lama perawatan yang lebih lama dan potensi pemberian antibiotik spektrum luas yang tidak diperlukan. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat diduga menyebabkan berkembangnya mutasi genetik bakteri sehingga memicu resistensi terhadap antibiotik. Tujuan : Menganalisis faktor faktor risiko infeksi oleh bakteri penghasil ESBL di unit perawatan intensif RSUP Dr. Kariadi Semarang Metode : Sebuah studi kasus kontrol dilakukan menggunakan data rekam medik pasien ICU dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Sampel dikelompokkan menjadi kelompok ESBL-positif dan ESBL-negatif berdasarkan persamaan jenis kelamin. Data demografis, klinis, riwayat penggunaan antibiotik dan komorbid dari 170 sampel (85 sampel pada masing masing kelompok) dilihat secara retrospektif. Hasil : Sebanyak 48 (56,5%) pasien dari kelompok ESBL positif berjenis kelamin perempuan, 49 (57%) merupakan pasien rujukan dari RS lain. Rata rata usia pada kelompok ESBL positif ialah 49,25 (±15,13) tahun. Umur lebih dari 60 tahun (OR 0.39, 95% CI 0.21-0.75), riwayat perawatan di rumah sakit sebelumnya (OR 126.729, 95% CI 42.01-382.26), riwayat penggunaan antibiotik sebelumnya (OR 66.77, 95% CI 24.35-183.08), lama perawatan < 14 hari (OR 2.62, 95% CI 1.26-5.43) dan penggunaan ≥3 instrumen medis (OR 0.27, 95% CI 0.14-0.52) menjadi faktor risiko yang bermakna dengan p