Latar Belakang : Lansia merupakan kelompok resiko tinggi untuk terjadinya gangguan kognitif. Vitamin B12 yang telah diketahui berperan sebagai kofaktor dalam pembentukan mielin, memiliki efek imunomodulator dan neurotropik yang penting. Karena defisiensi pada vitamin ini dapat menyebabkan kerusakan neurologis irreversibel, diagnosis dini sangatlah penting. Tujuan : Mengetahui hubungan kadar vitamin B12 serum dengan gangguan kognitif pada lanjut usia di Panti Sosial Pucang Gading Semarang dan Wening Wardoyo Ungaran. Metode : Penelitian yang dilakukan adalah observasional belah lintang dengan subjek lanjut usia yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi di Panti Sosial Pucang Gading Semarang dan Wening Wardoyo Ungaran. Penelitian dilakukan mulai 1 Januari 2017 sampai dengan 31 Maret 2017. Status gizi dari subjek telah dihitung oleh ahli gizi. Montreal Cognitive Assasment (MoCA) Ina ≥ 26 fungsi kognitif normal, MoCA-Ina
Buku ini menghubungkan gambar yang berkualitas tinggi dengan penjelasan yang informatif. Materi yang dibahas pada buku; Prometheus, Atlas anatomi Manusia: Anatomi umum dan sistem gerak, ed.3 Materi yang dibahas pada buku adalah; pengantar tentang konstruksi tubuh dan sejarah perkembangan manusia; tulang, ligamen dan sendi; hubungan klinis antara topik anatomi yang sedang dibahas 4/7/2018
Materi yang dibahas pada buku; Prometheus, Atlas anatomi Manusia:Kepala, leher dan Neuro Anatomi, ed.3, meliputi; tulang, ligamen dan sendi; gigi; pengenalan dasar mengenai neuroanatomi; topografi, fungsi otak serta medulla spinalis; ringkasan tentang jaras-jaras, ganglia dan nuclei saraf kranial; informasi klinis tentang penyakit dan prosedur diagnostik.5/7/2018
Latar Belakang : Patofisiologi stroke iskemik terkait erat dengan respon inflamasi. Beratnya respon inflamasi ini berbanding lurus dengan kerusakan jaringan otak. Interleukin-10 (IL-10) merupakqn sitokin antiinflamasi penting yang muncul sebagai respon terhadap cedera otak, dimana IL-10 memfasilitasi resolusi kaskade iskemik, yang bila berlangsung lama menyebabkan kerusakan otak sekunder. Tujuan : Mengetahui hubungan kadar IL-10 serum dengan keluaran klinis penderita stroke iskemik akut.Metode. Metode : Studi observasional analitik dengan desain kohort prospektif melibatkan 44 subyek stroke iskemik akut pertama kali yang memenuhi kriteria inklusi Pada hari onset ke 3 subyek diukur skor NIHSS, diambil darah vena, diukur jumlah kadar (IL-10) serum. Pada hari onset ke 21 subyek kembali diukur skor NIHSS. Analisis statistic menggunakan uji Chi square, hubungan dikatakan bermkana jika nilia p
Latar Belakang: Gangguan tidur umum terjadi pada pasien dengan epilepsi dan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas hidup. Kualitas tidur yang buruk dapat dengan mudah memprovokasi kambuhnya kejang. Dihipotesiskan bahwa vitamin D berperan penting dalam pengendalian tidur. Hipotesis ini didukung oleh terdapatnya reseptor vitamin D di hipotalamus, substantia nigra, nukleus raphe, dan inti retikularis oralis pons yang dianggap berperan dalam inisiasi dan mempertahankan tidur dimana daerah-daerah tersebut memproduksi neurotaransmitter yang terkait dengan regulasi tidur. The Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) merupakan penilaian kualitas tidur subyektif yang paling sering digunakan baik dalam klinis maupun penelitian dengan penilaian standarisasi kualitas tidur yang reliabel dan valid. Mengevaluasi kualitas tidur secara keseluruhan, termasuk kualitas tidur subyektif, latensi tidur, durasi tidur, efisiensi tidur, gangguan tidur, penggunaan obat, dan disfungsi harian. Tujuan: Menganalisis hubungan kadar vitamin D serum dengan kualitas tidur pada pasien epilepsi Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Dilakukan pada bulan Juli-Januari 2018 dengan empat puluh subyek pasien epilepsi yang kontrol di Poli Saraf RSUD Dr. Soeselo Slawi, RSUP Dr Kariadi Semarang, dan RS Tugurejo semarang. Kualitas tidur dinilai dengan Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). Kadar vitamin D serum diukur melalui pemeriksaan darah dengan menggunakan metode ELISA. Hasil: Didapatikan kadar median Vitamin D serum adalah 17,65 (8,0-44,1) ng/mL dengan rerata skor PSQI 5,70 (SD=2,954). Uji korelasi Spearman diperoleh nilai p=0.047 dengan korelasi negative kekuatan lemah. Analisa hubungan ansietas dengan kualitas dengan Uji korelasi Spearmen didapatkan nilai p= 0,0001 dengan korelasi positif kekuatan sedang. Analisa hubungan jenis kelamin dengan kualitas tidur dengan uji komparatif numeric Uji T tidak berpasangan didapatkan nilai p= 0,048. Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara kadar vitamin D serum dengan kualitas tidur pada pasien epilepsi Kata Kunci: kadar vitamin D serum, kualitas tidur, epilepsi.
Latar Belakang. Post-stroke seizure adalah komplikasi yang sering dijumpai pada pasien stroke baik stroke infark maupun stroke hemoragik. Lebih kurang 30% kasus stroke memiliki manifestasi kejang pada populasi >60 tahun. Post stroke seizure diklasifikasikan menjadi early dan late post stroke seizure berdasarkan waktu onset. Batasan waktu untuk early post stroke seizure yaitu 2 minggu paska onset stroke. Faktor-faktor yang telah diketahui mempengaruhi terjadinya post stroke seizure antara lain usia, jenis kelamin, jenis stroke, faktor genetik, lokasi lesi, serta luas lesi. Tujuan Penelitian. Menganalisis abnormalitas elektrofisiologis otak sebagai faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya early post stroke seizure. Metode Penelitian. Penelitian analitik observational dengan metode case-control dengan melihat rekam medik pasien stroke di RSUP dr.Kariadi baik yang mengalami early post troke seizure maupun tidak. Perubahan abnormalitas elektrofisiologis otak diklasifikasikan menjadi gelombang tajam, gelombang lambat, dan normal. Faktor yang diduga dapat menjadi variabel perancu seperti usia, jenis kelamin, jenis stroke, lokasi lesi, derajat keparahan stroke, serta riwayat konsumsi statin. Selanjutnya dilakukan analisis untuk menentukan OR. Hasil Penelitian. Didapatkan sebanyak 60 subjek yang terdiri dari 30 pasien kelompok kasus dan 30 pasien kelompok kontrol. Sebanyak 17 subjek (68%) kelompok kasus memiliki gambaran gelombang lambat dan 3 subjek (13.3%) menunjukan adanya gelombang tajam. Kelompok kontrol menunjukan adanya 8 subjek (32%) dengan gelombang lambat dan tidak ada yang menunjukan adanya gelombang tajam. Hasil analisis Fisher menunjukan adanya hubungan yang bermakna antara gelombang tajam dengan terjadinya early post stroke seizure (p = 0.044) dengan nilai OR adalah 3.2 dengan interval kepercayaan 1.914 sampai dengan 5.35 serta hubungan yang bermakna antara gelombang lambat dengan terjadinya early post stroke seizure (p = 0.008) dengan nilai OR adalah 4.675 dengan interval kepercayaan 1.518 sampai dengan 14.395. Distribusi abnormalitas elektrofisiologis otak yang memiliki hubungan bermakna dengan terjadinya early post stroke seizure yaitu distribusi abnormalitas yang bersifat general (p=0.042, OR=6.6, interval kepercayaan 1.128 sampai dengan 38.604) dan regional (p=0.005, OR=9.9, interval kepercayaan 1.8 sampai dengan 54.452). Kesimpulan. Abnormalitas elektrofisiologis otak baik berupa abnormalitas gelombang maupun distribusi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya early post stroke seizure. Kata Kunci. Early post stroke seizure, electroencephalography
Latar Belakang : Kadar Docosahexanoic acid (DHA) berkaitan dengan keluaran klinis stroke iskemik akut (SIA). Channa Striatus/ ikan gabus mempunyai fungsi neuroprotektif karena kandungan asam lemak salah satunya adalah DHA. Tujuan: Mengetahui pengaruh pemberian ekstrak ikan gabus (Channa Striatus)/EIG yang didalamnya mengandung DHA terhadap kadar DHA serum serta keluaran klinis neurologis pasien stroke iskemik akut. Metoda: Penelitian dengan desain Randomized Pre-Posttest Control Group Design dengan double blind. Pasien SIA dibagi menjadi 2 kelompok perlakuan dan kontrol. Kelompok perlakuan mendapatkan EIG 15 gr selama 7 hari. Kadar DHA serum dan skor NIHSS diukur sebelum dan sesudah perlakuan. Faktor-faktor lain yang berpengaruh pada keluaran klinis juga dianalisis secara multivariat. Hasil: Sebanyak 42 subjek dilakukan random alokasi sebagai kelompok perlakuan atau kontrol. Selisih peningkatan kadar DHA serum pada kelompok perlakuan lebih besar secara bermakna dibanding kelompok kontrol (p=0,001), Terdapat korelasi negatif antara perubahan kadar DHA serum dengan perubahan skor NIHSS (p=0,006). Analisis multivariat tampak bahwa EIG berpengaruh pada pada penurunan skor NIHSS (p=0,059, OR= 0,25 dan variabel jenis kelamin (p=0,021, OR 5,64). Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna antara pemberian ekstrak ikan gabus dengan perubahan skor NIHSS pasien stroke iskemik akut. Pemberian ekstrak ikan gabus dapat memperbaiki keluaran klinis neurologis seperempat kali lebih besar dibanding plasebo pada pasien stroke iskemik akut sehingga dapat dipertimbangkan untuk penunjang pemulihan pasien stroke iskemik akut. Kata kunci : Docosahexaenoic acid (DHA), Channa Striatus, stroke iskemik akut, NIHSS
Latar Belakang : Asupan makanan mempengaruhi fungsi otak, termasuk zinc yang banyak terdapat di otak terutama Hipokampus dan Amigdala. Kelompok usia yang paling rentan terhadap defisiensi zinc adalah orang dewasa berumur >60 tahun. Kekurangan zinc dapat menyebabkan gangguan fungsi kognitif, sehingga diperlukan deteksi dini. Tujuan Penelitian : Menganalisis hubungan antara kadar zinc serum dengan fungsi kognitif pada lanjut usia. Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan obervasional analitik dengan desain belah lintang. Subyek penelitian adalah lanjut usia yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi di Panti Sosial Tresna Wredha Semarang. Penelitian dilakukan mulai 1 September 2017 sampai dengan 31 Januari 2018. Dilakukan perhitungan oleh ahli gizi dengan menggunakan food recall untuk perhitungan gizi, dengan hasil diet Zinc adalah kurang. Data pasien diperoleh dengan wawancara, kadar Zinc serum diperiksa, bersamaan dengan penilaian fungsi kognitif menggunakan Montreal Cognitive Assesment Indonesia (MoCA-Ina) secara bersamaan. Analisa data dengan uji korelasi Spearman’s dan uji Multivariat menggunakan regresi linear, dianggap bermakna bila nilai p
Latar Belakang: Obesitas sentral merupakan akumulasi lemak berlebih pada abdomen. Akumulasi lemak tinggi menyebabkan inflamasi kronis dan pelepasan sitokin yang dapat menurunkan kadar vitamin D. Mengukur kadar vitamin D membutuhkan biaya cukup mahal. Pada obesitas sentral, Waist to hip ratio (WHR) dan massa lemak digunakan untuk menilai status vitamin D. Tujuan: Mengetahui peranan WHR dan massa lemak sebagai prediktor status vitamin D pada wanita usia subur (WUS) obesitas. Metode: Penelitian belah lintang dengan 50 responden WUS obesitas di Kota Semarang dengan consecutive sampling dilakukan: (a) pengukuran lingkar pinggang (LP) dan lingkar panggul (LPa) untuk mendapatkan WHR, (b) pemeriksaan bioelectrical impedance analysis (BIA) untuk mengetahui massa lemak, dan (c) pengukuran kadar 25(OH)D3 dengan metode Elisa. Hasil: (a) Nilai rerata: LP (89.5 ± 7.4) cm; LPa (105.1 ± 8.39) cm; WHR (0.85 ± 0.05); massa lemak (40.5 ± 5.3)%, dan kadar 25(OH)D3 (11.5 ± 2.39) ng/ml. (b) WHR >0.8 dengan 25(OH)3 sangat rendah 93.3% dan rendah 65%; sedangkan WHR ≤0.8 dengan 25(OH)D3 sangat rendah 6.7% dan rendah 35%, nilai RP= 7.538 (95% CI: 1.372–41.4), p=0.021. (c) Massa lemak ≥35% dengan 25(OH)D3 sangat rendah 96.7% dan rendah 70%, sedangkan massa lemak
Latar belakang: Obesitas diketahui sebagai kondisi dengan asupan energi dan zat gizi yang berlebihan. Mekanisme penyebab anemia pada obesitas masih belum jelas. Pada obesitas terjadi inflamasi sistemik derajat ringan yang dapat menyebabkan peningkatan hepcidin sehingga pelepasan besi dari sel terhambat. Tujuan: Menganalisis hubungan status besi (rasio sTfR/log Ft) dan hepcidin dengan kadar Hb pada WUS dengan berat badan lebih. Metoda: Jenis penelitian cross sectional dengan responden wanita yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Jumlah responden 66 orang, dilakukan informed consent, pengambilan data identitas, kuisioner, pemeriksaan antropometri dan pemeriksaan laboratorium. Uji korelasi Spearman dilakukan untuk mengetahui hubungan status besi (rasio sTfR/log ferritin) dan hepcidin dengan hemoglobin. Hasil: Kadar ferritin 10,2 ± 8,12 ng/ml, sTfR 22,2 ± 7,96 ng/ml dan rasio sTfR/log ferritin 29,3 ± 17,65 nmol/L sedangkan hepcidin 9,0 ± 3,05 ng/ml. Sebanyak 50 (75,8%) subyek memiliki kadar ferritin rendah, sTfR yang tinggi 34 (51,5%) dan rasio sTfR/log ferritin yang tinggi 58 (87,9%). Rasio sTfR/log ferritin berkorelasi negatif dengan Hb (r: -0,375; p: 0,002). Tidak terdapat korelasi antara kadar hepcidin dengan Hb (r: -0,140; p: 0,264). Didapatkan korelasi positif antara ferritin dengan Hb (r: 0,350; p: 0,004) dan korelasi negatif sTfr dengan Hb (r: -0,359; p: 0,003). Simpulan: Terdapat hubungan status besi (ferritin, sTfR dan rasio sTfR/log ferritin) dengan haemoglobin pada wanita usia subur (WUS) dengan berat badan lebih. Hasil penelitian menunjukan subyek mengalami ADB tahap II. Tidak didapatkan hubungan hepcidin dengan kadar haemoglobin (Hb) pada wanita usia subur (WUS) dengan berat badan lebih. Penggunaan 3 parameter (ferritin, sTfR, dan rasio sTfR/log ferritin) dapat meningkatkan deteksi subyek yang mengalami ADB. Kata kunci: obesitas, status besi, hepcidin, inflamasi