Latar Belakang: Artritis reumatoid (AR) merupakan penyakit autoimun yang menyerang sendi tangan Vitamin D mempunyai efek imunoregulator erat kaitannya dalam patogenesis AR. Perangakat penilaian aktifitas penyakit AR seperti DAS28 CRP dan pemantauan gradasi sinovitis dengan USG Doppler juga dirancang untuk mendeteksi inflamasi synovial. Tujuan: menganalisis korelasi antara kadar vitamin D 25(OH)D3 serum dengan aktifitas penyakit (DAS28 CRP) dan gradasi sinovitis pada pasien AR. Metode : Penelitian dilakukan dengan metode belah lintang pada pasien AR yang mengunjungi poliklinik reumatologi Departemen IPD RSUP Dr. Kariadi Semarang. Data penelitian termasuk data primer dengan melakukan anamnesis dan pemeriksaan langsung pada responden yang termasuk dalam kriteria inklusi serta bersedia diikutkan dalam penelitian. Pemeriksaan immunoassay vitamin D dilakukan dengan pemeriksaan ELISA. Terapi AR ditetapkan sebagai variable perancu hasil penelitian. Hasil: Penelitian melibatkan 24 responden pasien AR. 91,7% wanita dan 8,3% pria. Usia rerata responden 43,58± 11,81 tahun. Menurut aktifitas penyakit, 2 responden(8,3%) memenuhi kriteria aktifitas penyakit remisi (DAS28 CRP0,05). Tidak terdapat korelasi bermakna antara kadar vitamin D 25(OH)D3 serum dengan gradasi sinovitis (rho= 0,282, p>0,05). Terdapat korelasi positif kuat antara aktifitas penyakit DAS28CRP dengan gradasi sinovitis (rho= 0,698, p=0,000). Terapi DMARD mempengaruhi aktifitas penyakit DAS28 CRP. Kesimpulan: Kadar vitamin D 25(OH) 3 serum tidak berkorelasi dengan aktifitas penyakit dan gradasi sinovitis. Semakin meningkat aktifitas penyakit maka gradasi sinovitis semakin berat. Kata kunci: artritis reumatoid, vitamin D 25(OH)D3, aktifitas penyakit, sinovitis.
LatarBelakang :Di Negara-negara Asia, kejadian batu saluran kemih mencapai 1-5%, di Indonesia angka kejadian batu saluran kemih yang sesunnguhnya masih belum bisa diketahui, tetapi diperkirakan terdapat 170.000 kasus pertahunnya. Diketahui bahwa batu saluran kemih dapat menyebabkan acute kidney injury (AKI) post renal melalui obstruksi outflow kemih, sering pula dikaitkan dengan penurunan cepat dalam fungsi ginjal. Kerusakan ginjal ireversibel dapat terjadi jika drainase kemih tidak diperbaiki secara tepat waktu. Penelitian terbaru juga menunjukkan bahwa pasien dengan batu saluran kemih lebih mungkin untuk berkembang menjadi penyakit ginjal kronis (CKD).Kejadian end-stage renal disease berkembang antara 0,2-3,2 %. Intervensi bedah dilakukan sebagai upaya untuk menghilangkan obstruksi sehingga diharapkan dapat mencegah perburukan pada kerusakan ginjal. Penelitian bertujuan untuk mengetahui pengaruh intervesi bedah terhadap fungsi ginjal pada kasus batu saluran kemih dengan penurunan eGFR. Tujuan penelitian : Mengetahui perbaikan eGFR dan factor yang mempengaruhi pada pasien batu saluran kemih yang menjalani intervensi bedah. Metode : Penelian secara crosssectional retrospektif data berasal daru data sekunder yaotu rekam medis dari 87 pasien batu saluran kemih yang mengalami penurunan eGFR dan dilakukan intervensi bedah di RSUP Dr. Kariadi Semarang, RS Roemani Semarang dan RSI Sultan Agung Semarang pada Januari 2016- Desember 2016. Hasil :Uji T-Test berpasangan untuk melihat pengaruh intervensi bedah terhadap perubahan eGFR pada monitoring bulan pertama dan bulan ketiga pada mesing-masing didapatkan terdapat hubungan yang bermakna pada monitoring bulan pertama (p= 0,000) dan bulan ketiga (p=0,000). Komorbid Diabetes, hipertensi, jenis intervensi bedah, lokasi batu tidak secara signifikan mempengaruhi eGFR, riwayat asam urat secara signifikan mempengaruhi perbaikan eGFR pada monitoring 1 bulan (p = 0,018) Simpulan : Intervensi bedah pada pasien batu saluran kemih tebukti berpengaruh terhadap perbaikan eGFR, factor yang mempengaruhi adalah riwayat asam urat. Kata kunci :Batu saluran kemih, eGFR, intervensi bedah
Latar Belakang : Data dari Badan Pusat Statistik Indonesia, penduduk daerah urban yang mengidap diabates melitus tipe 2 mencapai 14,7 % sedangkan daerah rural mencapai 7,2 %, dengan perkiraan jumlah penduduk berusia lebih dari 20 tahun pada tahun 2030 mencapai 194 juta jiwa.Modifikasi gaya hidup dan atau farmakologi mampu menurunkan insiden diabetes. DLBS3233 merupakan obat kombinasi ekstrak herbal yang terdiri dari Lagerstroemia speciosa yang diperoleh dari Cianjur, Jawa Barat dan Cinnamomum burmannii yang diperoleh dari Kerinci,Jambi,Indonesia yang dipercaya mempunyai efek anti diabetik. Vaspin (visceral adipose tissue – derived serpin; visceral adipose tissue – derived serine protease inhibitor) merupakan salah satu adipokin baru yang memiliki hubungan dengan obesitas dan sensivitas insulin pada manusia ,namun peran fisiologisnya masih belom jelas diketahui Tujuan penelitian : Mengetahui manfaat DLBS3233 100 mg/hari terhadap penderita DM tipe 2 baru melalui kadar vaspin serum. Metode : Penelian secara Randomized Controlled Group Pre-test dan Post-test Design dengan waktu perlakuan 12 minggu melibatkan 32 orang responden dengan variabel bebas DLBS 3233 dan variabel terikat adalah konsentrasi vaspin serum pada pasien diabetes melitus tipe 2 baru. Sebagai variabel perancu jenis kelamin, usia, status diit, sindrom metabolik dan status olahraga. Hasil : Uji Maan - Whitney untuk perbedaan sebelum dan setelah perlakuan pada masing - masing kelompok didapatkan tidak ada perbedaan bermakna pada kelompok perlakuan ( p = 0,669 ), dan (p = 0,535) setelah perlakuan. Tidak ada hubungan bermakna antara kadar vaspin serum dengan variabel perancu pada kelompok perlakuan. Simpulan : Pemberian DLBS3233 pada pasien DM tipe 2 baru selama 12 minggu dalam studi kasus di Desa ambokembang tidak terbukti dalam menurunkan kadar Vaspin serum. Kata kunci : DLBS3233, kadar vaspin serum, pasien DM tipe 2 baru.
Latar belakang: Prevalensi pasien Diabetes Melitus di Indonesia melebihi 1,5 penduduk, di mana pasien yang terdiagnosis sebagai ‘new onset diabetic’ sudah menderita komplikasi dari diabetes. Patogenesis diabetes melitus tipe 2 meliputi kegagalan sekresi insulin, resistensi insulin dan abnormalitas glucose uptake. Pengaturan pola hidup dengan peningkatan aktivitas fisik dan pengaturan diit dan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) seperti golongan insulin sensitizer fitofarmaka DLBS3233 merupakan tatalaksana pasien diabetes. Tujuan penelitian: Mengetahui efek DLBS3233 terhadap kadar hs-CRP serum pasien diabetes melitus tipe 2 baru Metode: Rancangan eksperimental, double blind, randomized control group pre and post test design. Subyek penelitian 34 pasien diabetes melitus tipe 2 baru Desa Ambokembang sesuai kriteria inklusi-eksklusi. Subyek terbagi dalam dua kelompok : kelompok kontrol mendapat edukasi mengenai diit dan olahraga serta plasebo, kelompok perlakuan mendapat edukasi mengenai diit dan olahraga serta DLBS3233 100mg/hari. Waktu perlakuan 12 minggu. Hasil: Uji statistik sebelum dan setelah perlakuan didapatkan tidak ada perbedaan bermakna kadar hs-CRP serum pada kelompok perlakuan (p=0.218) maupun kelompok kontrol (p=0,492) setelah pemberian DLBS3233 100mg/hari. Pembahasan: Kadar hs-CRP serum dengan pemberian DLBS3233 100 mg/hari tidak menurun bermakna secara statistik. Hal ini terjadi karena penelitian ini merupakan clinical trial berbasis populasi, beberapa kondisi seperti kepatuhan minum obat, aktivitas fisik, pola diit dan olahraga serta beberapa variabel perancu tidak sepenuhnya bisa dikendalikan, hal ini mungkin mempengaruhi hasil penelitian. Simpulan: Pemberian DLBS3233 pada pasien DM tipe 2 baru tidak terbukti menurunkan kadar hs-CRP serum. Kata kunci: DLBS3233, DM tipe 2 baru, hs-CRP serum
Latar belakang: Kamar operasi di sebuah rumah sakit merupakan fasilitas yang sangat penting. Salah satu tolok ukur apakah kamar operasi berfungsi dengan baik adalah utilisasi yang didefinisikan sebagai hasil bagi dari waktu yang benar-benar digunakan selama jam efektif dan jumlah dari jam efektif yang tersedia untuk digunakan. Utilisasi optimal bisa dicapai dengan catatan toleransi keterlambatan operasi masing-masing tidak lebih dari 15 menit dan waktu turn over dijaga seminimal mungkin. Dalam waktu turn over terdapat peran pelayanan anestesi berupa persiapan pembiusan, pelaksanaan pembiusan dan pasca operasi sebelum pasien ditransfer ke ruang post anesteshia care unit (PACU) atau ruang pemulihan. Sehingga dengan mengoptimalkan waktu pelayanan anestesi diharapkan dapat meminimalkan waktu turn over dan memaksimalkan utilisasi. Tujuan: Mengetahui pengaruh waktu pelayanan anestesi terhadap tingkat utilisasi di IBS RSUP Dr. Kariadi Semarang. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional. Dengan mengambil data retrospektif berupa pencatatan waktu pelaksanaaan operasi elektif selain operasi dengan lokal anestesi, bedah jantung, dan bedah sehari selama tiga bulan periode Januari – Maret 2017 di Instalasi Bedah Sentral RSUP Dr. Kariadi Semarang pada hari kerja efektif Senin – Jumat, tidak termasuk hari libur tanggal merah. Data yang diambil adalah waktu aktual pelaksanaan operasi dan waktu turn over selama 24 jam. Dari data tersebut akan dihitung angka utilisasi dan waktu pelayanan anestesi kemudian dengan uji beda statistik akan dibandingkan antara dua periode waktu yang berbeda yaitu pukul 08.00 – 18.00 dan 18.00 – 07.00. Hasil akhir akan dianalisis pengaruh waktu pelayanan anestesi terhadap utilisasi kamar operasi di IBS RSUP Dr. Kariadi Semarang. Hasil: Utilisasi di Instalasi Bedah Sentral RSUP Dr. Kariadi Semarang dalam waktu 24 jam berada pada kategori rata-rata dengan nilai 56,73%. Namun, dalam dua periode waktu (08.00 – 18.00 dan 18.00 – 07.00) menjadi berbeda bermakna (p 15 menit. Kata kunci: waktu pelayanan anestesi, waktu turn over, utilisasi.
Latar belakang: Operasi kraniotomi memiliki resiko yang besar terjadinya morbiditas dan mortalitas di RSUP dr. Kariadi Semarang. Studi prognostik dapat memberi prediksi yang akurat dan bermanfaat bagi pasien. SASA (Surgical Apgar Score & ASA) merupakan salah satu metode yang menggabungkan status ASA merupakan cermin status pasien pra operasi, dan SAS mencerminkan status pasien intraoperatif yang berdasarkan pada tiga parameter fisiologis yang mudah dihitung: perkiraan jumlah kehilangan darah, denyut jantung (HR) terendah, dan tekanan arteri rerata (MAP) terendah selama periode intra-operatif. SASA juga bermanfaat dalam prediksi morbiditas pasca operasi bedah saraf selain kematian Tujuan : Mengetahui hubungan antara SASA (Surgical Apgar Score & ASA) dengan kejadian morbiditas dan mortalitas pasca operasi pasien kraniotomi di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain cohort prospektif Total sampel pasien bedah saraf yang menjalani kraniotomi pada bulan Oktober 2017 adalah sebesar 62 pasien. 37 pasien memenuhi kriteria inklusi. Karakteristik pasien kemudian dikelompokkan menjadi jenis kelamin, dan kelompok umur. Kemudian diikuti selama proses operasi lalu dicatat skor SASA, morbiditas dan mortalitas yang terjadi pasca operasi dan selama perawatan. Untuk melihat hubungan SASA dengan morbiditas dan mortalitas di uji dengan pearson chi square test Hasil : Pada penelitian ini didapatkan mortalitas pasca operasi sebanyak 18,9 %. Sebanyak 15 (40,5%)pasien memiliki morbiditas dan mortalitas selama perawatan dengan komplikasi terbanyak adalah perdarahan yang membutuhkan 2 unit transfusi sel darah merah dalam waktu 72 jam diikuti dengan koma selama 24 jam post operasi. Setelah stratifikasi SASA, 18 (48,6%) pasien dikategorikan sebagai resiko sedang dengan nilai mean SASA, 12,56 ± 1,65, pasien resiko rendah sebanyak 12 (32,4%) dengan nilai mean SASA 15,67 ± 0,99 dan 7 (18,9%) pasien adalah resiko tinggi dengan nilai mean SASA 7,29 ± 0,76). Dari keseluruhan 15 pasien yang mendapatkan morbiditas dan mortalitas, pada kelompok resiko rendah tidak ada morbiditas dan mortalitas sedangkan pada kelompok resiko tinggi semua mengalami mobditas dan mortalitas dengan hasil berbeda bermakna ( P = 0,000) Simpulan : Skor SASA memiliki korelasi bermakna dengan kejadian morbiditas atau mortalitas. Pada kelompok resiko tinggi (skor 2 – 8) semua mengalami mobditas dan mortalitas dan sebaliknya pada skor SASA kelompok resiko rendah (skor 15 – 20) tidak didapatkan morbiditas dan mortalitas Kata kunci : SASA, kraniotomi, morbiditas, mortalitas
Latar Belakang : Efektivitas kontrol nyeri pasca bedah sekarang telah menjadi aspek esensial dalam perawatan perioperatif, sehingga kini banyak rumah sakit telah mempunyai unit tersediri untuk pelayanan nyeri pasca bedah (acute pain service). Ketamin merupakan salah satu obat pilihan dalam manajemen nyeri. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk kontrol cepat terhadap nyeri adalah menggunakan Patient Contolled Analgesia (PCA). PCA memungkinkan pasien untuk memiliki satu set dosis yang tersedia sesuai kebutuhan dalam menangani nyeri sesegera mungkin. Hal inilah yang menjadi kelebihan penggunaan Patient Controlled Analgesia (PCA). Tujuan :. Mengevaluasi efektivitas Patient-controlled analgesia (PCA) dengan menggunakan regimen ketamin dibandingkan dengan continuous infusion analgesia (CIA) dengan regimen ketamin sebagai pengelolaan nyeri pasca operasi MRM. Metode : Dilakukan uji klinis acak tersamar tunggal terhadap 24 pasien rencana operasi MRM yang memenuhi kriteria penelitian. Setelah dilakukan anestesi umum, pasien dibagi dalam 2 kelompok perlakuan pemberian analgetik pasca operasi: 1) kelompok PCA Ketamin dengan ketamin loading dose 0,5 mg/kgBB, demand dose 0,3 mg/kgBB, lockout interval 10 menit, limit dose 6 x demand dose; 2) kelompok CIA ketamin loading ketamin loading dose 0,5 mg/kgBB, dilanjutkan dengan maintenance dose 0,3 mg/kgBB/jam. Dilakukan penilaian berkala skorNRS, RASS, efek samping dan tingkat kepuasan pasien selama 24 jam pasca operasi. Data dianalisa dengan Shapiro-Wilk dilanjutkan dengan Mann Whitney atau dengan uji T, dianggap bermakna bila p< 0,05. Hasil : Penggunaan PCA ketamin sebagai analgetik pasca operasi MRM sama efektif dengan CIA ketamin, namun PCA ketamin lebih efisien dalam hal penggunaan obat bila dibandingkan dengan CIA. Tingkat kepuasan pasien yang menggunakan PCA ketamin dan CIA ketamin sebagai analgetik pasca operasi MRM tidak menunjukan perbedaan yang bermakna. Efek samping mual, muntah dan nyeri kepala yang terjadi antara perlakuan PCA ketamin dan CIA ketamin sebagai analgetik pasca operasi MRM tidak menunjukan perbedaan yang bermakna. Kata Kunci : MRM, PCA ketamin, CIA ketamin, NRS, RASS, efek samping, tingkat kepuasan pasien.
Latar Belakang: Sedasi di ruang intensif dapat memperbaiki outcome perawatan dan membuat pasien lebih nyaman, namun juga berpotensi memperpanjang durasi ventilasi mekanik dan length of stay (LOS). Obat yang saat ini sering digunakan adalah midazolam, namun durasi kerja midazolam dapat memanjang pada pasien dengan gagal fungsi organ. Propofol adalah obat sedasi dengan klirens tinggi dan tanpa metabolit aktif yang dapat digunakan untuk memperpendek durasi ventilasi mekanik dan LOS pasien. Tujuan: Membandingkan durasi ventilasi mekanik dan biaya sedasi pada pasien pascabedah di ruang intensif yang disedasi menggunakan midazolam dan propofol. Metode: Dilakukan penelitian observasional dengan desain cross-sectional terhadap 30 pasien pascabedah dengan ventilator di ICU yang dibagi menjadi 2 kelompok secara acak, masing-masing kelompok terdiri dari 15 pasien. Kelompok I mendapat midazolam bolus 0,02-0,08 mg/kg IV, dilanjutkan infus kontinyu dosis 0,04-0,2 mg/kg/jam. Kelompok II mendapat Propofol bolus 1,5-2,5 mg/kg IV, dilanjutkan infus kontinyu dosis 5-80 μg/kg/menit. Target skor RASS adalah -1 sampai -2, yang dipantau 1 jam pascasedasi, dilanjutkan tiap 4 jam setelahnya. Pencatatan dilakukan terhadap durasi ventilator mekanik, rerata skor RASS, dan biaya sedasi. Hasil: Penelitian ini menunjukan bahwa durasi ventilasi mekanik dan biaya sedasi pada kelompok propofol lebih rendah daripada midazolam, namun perbedaannya tidak bermakna dengan nilai p≤0,05. Kesimpulan: Sedasi pasien pascabedah dengan ventilator di ruang intensif dengan propofol lebih efektif dalam mengurangi durasi ventilasi mekanik dan biaya sedasi daripada midazolam, namun tidak berbeda bermakna. Kata Kunci : Propofol, midazolam, sedasi, ICU, durasi ventilasi mekanik, biaya sedasi
Latar Belakang : Operasi Modified Radical Mastectomy menimbulkan nyeri derajat sedang hingga berat pasca operasi. Sebagian pasien yang mendapat analgetik bolus berkala tramadol ketorolak masih mengeluh nyeri. PCA merupakan metode baru pemberian analgetik. Penggunaan PCA fentanil dan PCA morfin diharapkan dapat lebih efektif dalam pengelolaan nyeri pasca operasi MRM. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan efektivitas, efek samping dan tingkat kepuasan pasien antara penggunaan PCA fentanil, PCA morfin dan tramadol intravena sebagai analgetik pasca operasi MRM. Metode : Dilakukan uji klinis acak tersamar ganda terhadap 36 pasien rencana operasi MRM yang memenuhi kriteria penelitian. Setelah dilakukan anestesi umum, pasien dibagi dalam 3 kelompok perlakuan pemberian analgetik pasca operasi: 1) kelompok PCA fentanil dengan fentanil loading dose 50 mcg, demand dose 20 mcg, lockout interval 10 menit, limit dose 70 mcg/jam, background infusion 30 mcg/jam; 2) kelompok PCA morfin dengan morfin loading dose 4 mg, demand dose 1 mg, lockout interval 10 menit, limit dose 6 mg/jam, tanpa background infusion; 3) kelompok tramadol yang mendapat tramadol intravena 100 mg/8jam. Dilakukan penilaian berkala skor NRS, RAAS, tanda vital, efek samping dan tingkat kepuasan pasien selama 24 jam pasca operasi. Data dianalisa dengan Shapiro-Wilk dilanjutkan Kruskal-Wallis atau ANOVA, dianggap bermakna bila p< 0,05. Hasil : Efektivitas terbaik pada PCA fentanil, diikuti PCA morfin lalu tramadol. Skala sedasi kelompok PCA fentanil dan PCA morfin lebih dalam dari kelompok tramadol pada jam ke-0. Tidak terjadi hipotensi, bradikardi ataupun depresi napas pada semua kelompok. Terdapat efek samping mual, muntah dan dizziness namun secara statistik tidak berbeda bermakna. Tingkat kepuasan pasien tertinggi pada kelompok PCA fentanil. Tingkat kepuasan pasien kelompok PCA morfin dan tramadol tidak berbeda bermakna. Tekanan darah, laju napas dan laju nadi kelompok PCA fentanil dan PCA morfin lebih rendah daripada tramadol. Kata Kunci : MRM, PCA fentanil, PCA morfin, tramadol, efektivitas, efek samping, tingkat kepuasan pasien.