Latar belakang: Plak aterosklerotik rentan menjadikan pasien penyakit jantung koroner (PJK) memiliki risiko mengalami kejadian kardiovaskular mayor di masa datang. Berbagai biomarker telah diteliti untuk memprediksi kerentanan plak, tetapi hasilnya belum jelas. Tujuan: Untuk menyajikan rangkuman sistematik tentang biomarker kerentanan plak yang dinilai dengan optical coherence tomography (OCT) pada pasien PJK. Metode: Desain studi adalah tinjauan sistematik dan meta-analisis. Pencarian data elektronik dikerjakan sampai November 2017. Penilaian kualitas studi dilakukan dengan menggunakan Quality Assessment for Diagnostic Accuracy Studies-2. Analisis statistik dilakukan dengan Review Manager version 5.3 dan Comprehensive Meta Analysis version 3.3.070. Hasil: Sebanyak 24 artikel penelitian dengan total sampel 1.923 pasien memenuhi kriteria. Meta-analisis 11 studi dengan sampel 943 menunjukkan korelasi sedang antara fibrous cap thickness (FCT) dan PTX3 (r −0,560; p=0,015) maupun IL-18 (r −0,503; p
Pendahuluan : Inflamasi berperan penting pada stroke iskemik. Skor National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS) merupakan penilaian kuantitatif defisit neurologik untuk mengetahui derajat keparahan stroke. Galectin 3, monosit dan platelet terlibat dalam proses inflamasi dan aterotrombotik, berperan pada stroke iskemik. Tujuan : Penelitianini bertujuan untuk membuktikan adanya hubungan antara indeks platelet (mean platelet volume (MPV), platelet distribution width (PDW), platelet large cell ratio (P-LCR)), jumlah monosit absolut dan kadar galectin 3 dengan skor NIHSS pada pasien stroke iskemik. Metode : Penelitian belah lintang melibatkan 37orang dengan diagnosis stroke iskemik di RSUP.Dr. Kariadi Semarang selama periode Agustus-November 2017. Indeks platelet dan jumlah monosit absolut dihitung menggunakan alat hematologi otomatis. Kadar galectin 3 dihitung menggunakan metode ELISA. Perhitungan skor NIHSS dilakukan oleh klinisi saat pasien masuk di Instalasi Gawat Darurat (IGD). Analisis statistik menggunakan uji korelasi Spearman. Hasil : Hasil uji korelasi antara indeks plateletdan kadar galectin 3 dengan skor NIHSS masing-masing menunjukkan hubungan positifsedang untuk MPV(r=0,511;p=0,001), PDW (r=0,449;p=0,005), dan P-LCR (r=0,424;p=0,009), positif lemah antara galectin 3 (r=0,330;p=0,046) dengan skor NIHSS. Tidak ditemukan hubungan antara jumlah monosit absolut dengan skor NIHSS (r= -0,150;p=0,376). Simpulan : Terdapat hubungan positif sedang antara indeks platelet (MPV, PDW dan P-LCR) dengan skor NIHSS dan hubungan positif lemah antara kadar galectin 3 dengan skor NIHSS pada pasien stroke iskemik. Tidak terdapat hubungan antara jumlah monosit absolut dengan skor NIHSS. Kata kunci : mean platelet volume, platelet distribution width, platelet large cell ratio, Galectin-3, NIHSS, stroke iskemik
Latar belakang : Nefropati diabetes (ND) merupakan penyebab paling sering dari end stage renal disease (ESRD) yang melibatkan proses inflamasi. Neutrofil, limfosit, monosit, dan intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) berperan dalam inflamasi. Kebocoran albumin dari glomerulus dimediasi oleh ICAM-1. Ekspresi ICAM-1 pada permukaan sel endotel memfasilitasi ikatan antara leukosit dengan sel endotel dan mengawali disfungsi glomerulus. Tujuan penelitian : Membuktikan adanya hubungan antara jenis leukosit dan kadar ICAM-1 dengan albumin urin pada pasien ND. Metode : Penelitian belah lintang yang melibatkan 30 orang pasien nefropati diebates. Dilaksanakan pada September – Oktober 2017 di klinik BPJS Kota Semarang. Jumlah neutrofil, limfosit dan monosit diperiksa menggunakan alat hematologi analiser, albumin creatinin rasio diperiksa menggunakan alat otomatis urinalisis dan ICAM-1 diperiksa menggunakan metode ELISA. Analisis statistik menggunakan uji hubungan Spearman’s. Hasil : Hubungan antara jumlah neutrofil dan jumlah limfosit dengan kadar albumin urin (r=0,061;p=0,747 dan r=0,276;p=0,140). Hubungan monosit dan kadar ICAM-1 dengan kadar albumin urin (r=0,366;p=0,047 dan r=0,417;p=0,022). Simpulan : Tidak terdapat hubungan antara jumlah neutrofil dan limfosit dengan kadar albumin urin, terdapat hubungan positif sedang antara jumlah monosit dan kadar ICAM-1 dengan kadar albumin urin. Kata kunci : Jenis leukosit, ICAM-1, albumin urin, nefropati diabetes
Latar belakang : Infeksi oleh bakteri penghasil Extended-Spectrum Beta-Lactamase (ESBL) menjadi tantangan tersendiri bagi para klinisi terutama yang bertugas di unit perawatan intensif karena terbatasnya pilihan terapi antibiotik, prognosis pasien yang buruk, lama perawatan yang lebih lama dan potensi pemberian antibiotik spektrum luas yang tidak diperlukan. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat diduga menyebabkan berkembangnya mutasi genetik bakteri sehingga memicu resistensi terhadap antibiotik. Tujuan : Menganalisis faktor faktor risiko infeksi oleh bakteri penghasil ESBL di unit perawatan intensif RSUP Dr. Kariadi Semarang Metode : Sebuah studi kasus kontrol dilakukan menggunakan data rekam medik pasien ICU dalam kurun waktu 5 tahun terakhir. Sampel dikelompokkan menjadi kelompok ESBL-positif dan ESBL-negatif berdasarkan persamaan jenis kelamin. Data demografis, klinis, riwayat penggunaan antibiotik dan komorbid dari 170 sampel (85 sampel pada masing masing kelompok) dilihat secara retrospektif. Hasil : Sebanyak 48 (56,5%) pasien dari kelompok ESBL positif berjenis kelamin perempuan, 49 (57%) merupakan pasien rujukan dari RS lain. Rata rata usia pada kelompok ESBL positif ialah 49,25 (±15,13) tahun. Umur lebih dari 60 tahun (OR 0.39, 95% CI 0.21-0.75), riwayat perawatan di rumah sakit sebelumnya (OR 126.729, 95% CI 42.01-382.26), riwayat penggunaan antibiotik sebelumnya (OR 66.77, 95% CI 24.35-183.08), lama perawatan < 14 hari (OR 2.62, 95% CI 1.26-5.43) dan penggunaan ≥3 instrumen medis (OR 0.27, 95% CI 0.14-0.52) menjadi faktor risiko yang bermakna dengan p
Latar belakang: Trombosis vena dalam (TVD) merupakan suatu kondisi dimana bekuan darah (trombus) terbentuk dalam sebuah vena dalam. Kanker merupakan salah satu penyakit yang berhubungan dengan kondisi hiperkoagulabel dan peningkatan risiko trombosis karena mekanisme inflamasi kronis. Kondisi tirah baring akibat perawatan di rumah sakit memperbesar risiko trombosis vena. Peningkatan hitung leukosit dan trombosit merupakan tanda nonspesifik dari inflamasi dan dapat berperan dalam pembentukan trombus. Tujuan: Untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan bermakna antara nilai hitung leukosit dan trombosit pada pasien kanker dengan kondisi tirah baring karena rawat inap yang mengalami TVD dan tidak mengalami TVD. Metode: Penelitian cross sectional terhadap 43 pasien kanker yang dirawat inap di RS Dr Kariadi dengan kondisi tirah baring dan skor Wells > 2, kemudian dilakukan pemeriksaan USG Doppler ekstremitas inferior dan hitung leukosit serta hitung trombosit. Hasil: Didapatkan 11 dari 43 subjek (25,6%) terdiagnosis TVD (+). Pada kelompok TVD (+) didapatkan nilai rerata hitung leukosit adalah 14875,45+9670,14/μL, sedangkan pada kelompok TVD (-) nilai rerata hitung leukosit adalah 12835,31+6109,08/μL. Hasil rerata hitung leukosit pada kelompok TVD (+) lebih besar dari kelompok TVD (-) namun tidak bermakna secara statistik (p = 0,419). Subjek dengan hitung leukosit di atas 12250/μL memiliki kecenderungan terjadi TVD namun hitung leukosit yang tinggi belum dapat disimpulkan sebagai faktor risiko TVD (RP 1,145 IK 95% 0,411-3,193 p=1,000). Pada kelompok TVD (+) didapatkan nilai rerata hitung trombosit adalah 270272,73+120675,674/μL, sedangkan pada kelompok TVD (-) nilai rerata hitung trombosit adalah 301687,50+132706,91/μL. Hasil rerata hitung trombosit pada kelompok TVD (+) lebih kecil dari kelompok TVD (-) namun tidak bermakna secara statistik (p = 0,493). Subjek dengan hitung trombosit di bawah 259500/μL justru memiliki kecenderungan terjadi TVD namun hitung trombosit yang rendah belum dapat disimpulkan sebagai faktor risiko TVD (RP 2,240 IK 95% 0,818-6,135 p=0,223). Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna antara hitung leukosit dan trombosit pada pasien kanker dengan kondisi tirah baring karena rawat inap yang mengalami TVD maupun tidak mengalami TVD. Hitung leukosit dan trombosit belum dapat disimpulkan sebagai faktor risiko TVD pada pasien tersebut. Kata kunci: kanker, tirah baring, trombosis vena dalam, hitung leukosit, hitung trombosit
Latar belakang: Polineuropati sensorimotor perifer diabetik (DSP) merupakan komplikasi yang sering terjadi pada responden dengan diabetes jenis 1 dan 2. Neuropati didefinisikan sebagai penurunan sensasi pada kaki dan penurunan atau tidak adanya refleks ankle. Onset dari neuropati berkorelasi positif dengan durasi diabetes, dalam 10 tahun, 50% responden terjadi neuropati. TCSS pertama kali didesign sebagai tes skrining yang simpel dan mudah untuk diagnosis DSP, terdiri dari 3 komponen yaitu gejala, tes sensorik, dan refleks. Sedangkan NCS merupakan suatu pemeriksaan yang objektif, sensitif, spesifik, dan terpercaya dalam diagnosis dari DSP. Banyak faktor resiko yang berpengaruh seperti merokok, obesitas, dislipidemia, hipertensi, durasi DM, dan HbA1c terhadap kejadian DSP sehingga peneliti mencoba melihat hubungan antara faktor resiko tersebut dengan kejadian DSP. Tujuan: Membandingkan antara uji diagnostik Toronto Clinical Scoring System TCSS dengan pemeriksaan NCS dalam penegakkan diagnosis DSP pada penderita DM > 10 tahun dengan faktor resiko polineuropati lainnya. Metode: Penelitian cross sectional terhadap 42 responden DM 10 tahun yang dirawat inap maupun poliklinik di RSUP. Dr. Kariadi, dimana dilakukan skoring TCSS terhadap pasien kemudian dilanjutkan pemeriksaan NCS dan pemeriksaan laboratorium seperti profil lipid dan HbA1c. Sesudah sampel terpenuhi dilakukan analisis statistik dengan tabel 2 x 2 untuk uji diagnostik, dan uji korelasi pearson serta chi square uji Fischer. Hasil: Didapatkan 4 dari 42 responden (9,52%) tidak mengalami neuropati menurut skoring TCSS, sedangkan menurut NCS 42 responden seluruhnya mengalami neuropati. Median untuk skoring TCSS dari seluruh pasien adalah 10,19 (3, 18). Didapatkan sensitivitas 90,47% dan nilai prediksi positif 100%. Dari uji korelasi Pearson antara derajat dan jenis neuropati berdasarkan TCSS dan NCS didapatkan p 0,667 untuk TCSS 12. Sehingga tidak didapatkan korelasi antara derajat TCSS dengan jenis neuropati. Sedangkan untuk faktor resiko, dari seluruh faktor resiko didapatkan p > 0.05 terhadap skoring TCSS. Kesimpulan: Uji diagnostik tidak menunjukkan hasil yang diharapkan dikarenakan seluruh responden mengalami DSP berdasarkan pemeriksaan NCS. TCSS tidak baik digunakan sebagai alat skrining awal DSP menurut penelitian ini. Tidak terdapat hubungan antara derajat TCSS dengan jenis neuropati. Tidak terdapat hubungan antara faktor resiko dengan DSP berdasarkan skoring TCSS Kata kunci: Polineuropati sensorimotor perifer diabetik (DSP), DM lebih dari 10 tahun, Toronto Clinical Scoring System (TCSS), Nerve Conduction Study (NCS)
Pendahuluan : Sindrom Down merupakan kejadian tersering pada kelainan kromosom dengan angka kejadian sekitar 1:700-1000 kelahiran hidup dengan peningkatan faktor risiko pada ibu diatas usia 35 tahun dan perkiraan jumlah kasus di dunia saat ini sebanyak empat juta penderita. Lebih dari 90% kejadian Sindrom Down disebabkan oleh maternal meiotic nondisjunction. Tujuan penelitian ini untuk menilai hubungan Polimorfisme C677T dan A1298C gen MTHFR sebagai faktor risiko pada ibu untuk memiliki anak dengan Sindrom Down tipe klasik. Metode : Penelitian berupa desktiptif (observasional analisis) dengan desain penelitian casecontrol. Sampel darah di ambil dari 30 ibu yang memiliki anak Sindrom Down tipe klasik (konfirmasi hasil sitogenetik) dan 30 ibu yang memiliki anak non Sindrom Down sebagai kontrol. Sampel darah dilakukan ekstraksi DNA dengan metode salting-out, lalu dilakukan PCR RFLP untuk polimorfisme gen MTHFR C677T dan A1298C, hasil dibaca dengan gel elektroforesis 1%. Hasil : Rerata usia pada kelompok kasus adalah 34.03 tahun (17 orang ≤35 tahun, 13 orang >35 tahun). Distribusi frekuensi genotype polimorfisme gen MTHFR C677T kelompok kasus, terdapat 17 (56,7%) genotype CC (wild type), 13 (43,3%) genotype CT (heterozigot), sedangkan pada kelompok kontrol terdapat 19 (63,4%) genotype CC (wild type), 10 (33,3%) genotype CT (heterozigot) dan 1 (3,3%) genotype CC (homozigot mutan). Distribusi frekuensi genotype polimorfisme gen MTHFR A1298C kelompok kasus, terdapat 15 (50%) genotype AA (wild type), 13 (43,3%) genotype AC (heterozigot), dan 2 (6,7%) genotype CC (homozigot mutan), sedangkan pada kelompok kontrol terdapat 23 (76,7%) genotype AA (wild type), 6 (20%) genotype AC (heterozigot) dan 1 (3,3%) genotype CC (homozigot mutan). Nilai p untuk polimorfisme C677T adalah 0.598 dengan nilai OR sebesar 1.321 dan interval CI 95% (0.46-3.72). Sedangkan untuk polimorfisme A1298C didapatkan nilai p sebesar 0.014 dengan nilai OR sebesar 4.62 dan interval CI 95% sebesar 1.36-15.65 dengan usia pada saat hamil kurang dari 35 tahun sebanyak 73.3%. Kesimpulan : Polimorfisme gen MTHFR A1298C merupakan faktor risiko ibu untuk mempunyai anak Sindrom Down tipe klasik sebesar 4.62 kali dibandingkan yang tidak memiliki polimorfisme gen MTHFR A1298. Kata kunci : gen MTHFR, polimorfisme, Sindrom Down
Pendahuluan : Insiden kanker payudara di seluruh dunia masih tinggi. Pembedahan merupakan pilihan utama dengan modalitas lain berupa kemoterapi, radiasi, dan imunoterapi seperti Artemisia vulgaris (AV). AV bersifat sitotoksik selektif berperan sebagai suplementasi terhadap kemoterapi adenocarcinoma mammae yang diberikan regimen Adriamycin-Cyclophosphamide, untuk meningkatkan response rate. Tujuan : Membuktikan ekstrak Artemisia vulgaris meningkatkan respon kemoterapi pada mencit C3H dengan adenokarsinoma mammae yang diberi Adriamycin-Cyclophosphamide. Metode : Penelitian ini menggunakan desain"Post test only control group design" terhadap 24 ekor mencit C3H betina yang dipilih secara acak dan dibagi menjadi empat kelompok, yaitu : kelompok K (kontrol), P1 (kemoterapi), P2 (ekstrak), dan P3 (kombinasi). Adenokarsinoma mammae berasal dari inokulasi mencit donor. Kemoterapi Adriamycin 60 mg/m2 dan Cyclophosphamide 600 mg/m2 diberikan sebanyak 2 siklus. AV diberikan dengan dosis 13 mg (0,2 ml) sekali sehari peroral. Ekspresi NF-κB dan CD 34 dinilai dengan pengecatan imunohistokimia. Hasil : Ekspresi NF-κB dan kepadatan mikrovaskular CD 34 didapatkan kelompok K, P1, P2, P3 berturut-turut 69,50 + 1,63; 45,10 + 1,03; 66,52 + 1,03; 66,52 + 1,03; 40,74 + 1,39 dan 60,76 + 1,5; 39,70 + 2,00; 57,10 + 1,29; 35,26 + 2,06. Analisis statistik menunjukkan terdapat perbedaan bermakna pada ekspresi NF-κB antara kelompok K vs P1, P2, P3 (p=0,000; p=0,038; p=0,000), P1 vs P2 dan P3 (p=0.000; p=0,002) dan P2 vs P3 (p=0,000) dan pada CD 34 antara kelompok K vs P1, P2, P3 (p=0,000; p=0,027; p=0,000), P1 dengan P2 (p= 0,000) P1 dengan P3 (p = 0,011) dan P2 dengan P3 (p = 0,000). Analisis korelasi antara ekspresi NF-κB dengan CD 34 didapatkan korelasi bermakna (p = 0,039 dan r = 0,897). Kesimpulan : Artemisia vulgaris mempunyai potensi menurunkan proses angiogenesis tumor adenokarsinoma mammae mencit C3H dengan menurunkan ekspresi NF-κB dan kepadatan mikrovaskular CD 34 yang dapat meningkatkan efektifitas kemoterapi Adriamycin-Cyclophosphamide. Kata kunci : Artemisia vulgaris, adenocarcinoma mammae, ekspresi NF-κB, kepadatan mikrovaskular CD 34
Pendahuluan : Insiden kanker payudara di seluruh dunia masih tinggi. Pembedahan tetap merupakan pilihan utama dengan modalitas lain berupa kemoterapi, radiasi, dan suplementasi seperti Artemisia vulgaris (AV). Tujuan : Penelitian bertujuan untuk membuktikan pemberian ekstrak AV menurunkan ekspresi Cyclin-D1 dan ekspresi Ki-67 pada adenokarsinoma mammae. Metode : Penelitian ini menggunakan desain "Post test only control group design" terhadap 24 ekor mencit C3H betina yang dipilih secara acak dan dibagi menjadi empat kelompok, yaitu : kelompok K (kontrol), P1 (kemoterapi), P2 (ekstrak), dan P3 (kombinasi). Adenokarsinoma mammae berasal dari inokulasi mencit donor. Kemoterapi Adriamycin 60 mg/m2 dan Cyclophosphamide 600 mg/m2 diberikan sebanyak 2 siklus. AV diberikan dengan dosis 13 mg (0,2 ml) sekali sehari peroral. Ekspresi Cyclin-D1 dan ekspresi Ki-67 dinilai dengan pengecatan imunohistokimia. Hasil : Rerata ekspresi Cyclin-D1 dan ekspresi Ki-67 didapatkan kelompok K, P1, P2, P3 berturut-turut 35,30 + 0,72; 20,38 + 0,67; 33,50 + 0,71; 17,36 + 0,66; dan 66,44 + 0,65; 35,40 + 0,65; 64,12 + 0,85; 32,32 + 0,61. Analisis statistik menunjukkan terdapat perbedaan bermakna pada ekspresi Cyclin-D1 antara kelompok K vs P1, P3 (p = 0,001), P1 vs P2 (p = 0,001), P1 vs P3 (p = 0,045), P2 vs P3 (p = 0,001) dan pada ekspresi Ki-67 antara kelompok K vs P1, P3 (p = 0,001), P1 vs P2 (p = 0,001), P1 vs P3 (p = 0,041), P2 vs P3 (p = 0,001). Analisis korelasi antara ekspresi Cyclin-D1 dengan ekspresi Ki-67 didapatkan korelasi bermakna (p = 0,030 dan r = 0,914). Kesimpulan : Artemisia vulgaris mempunyai potensi suplementasi yang dapat meningkatkan efektifitas kemoterapi Adriamycin-Cyclophosphamide dalam hal menurunkan ekspresi Cyclin-D1 dan ekspresi Ki-67 adenokarsinoma mammae mencit C3H. Kata kunci : Artemisia vulgaris, adenokarsinoma mammae, ekspresi Cyclin-D1, ekspresi Ki-67.