Pendahuluan : Limfoma maligna menempati 3,37% dari seluruh keganasan di seluruh dunia. Insiden Limfoma maligna di dunia mengalami peningkatan dengan rata-rata 3-4% dalam 4 dekade terakhir. Kenaikan insiden Limfoma Non Hodgkin pada pria 6% dan wanita 4,1%. Limfoma Hodgkin 1,1% pada pria dan 0,7% pada wanita. Data dari Kementrian Kesehatan Indonesia pada tahun 2013, angka kejadian Limfoma di Indonesia sebesar 0,06% dengan estimasi 14.905 pasien. VEB memiliki peran pada perkembangan Neoplasma Limforetikuler sel B. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa ekspresi gen-gen laten VEB menyumbangkan perubahan fenotipe ganas, terutama LMP-1. Gen laten VEB ditemukan dapat merubah perkembangan sel, merubah fenotip dari sel, menginduksi proliferasi dan mencegah apoptosis. Tujuan : Untuk mengetahui adanya ekspresi gen laten LMP-1 dari VEB pada Limfoma Maligna. Material dan Metode : Populasi dan sampel penelitian diambil dari blok parafin Departemen Patologi Anatomi RSUP Dr. Kariadi, Semarang, Indonesia pada Januari 2015 sampai Mei 2017. Dua puluh (20) blok parafin yang telah didiagnosis dan dire-evaluasi sebagai Limfoma Non Hodgkin sel B dan Limfoma Hodgkin, dilakukan pemeriksaan imunohistokimia LMP-1. Data ekspresi LMP-1 dianalisis menggunakan uji Fisher’s Exact. Hasil Penelitian : Terdapat ekspresi LMP-1 positif pada 5 sampel (25%) sediaan Limfoma Non Hodgkin sel B dan 3 sampel (15%) pada sediaan Limfoma Hodgkin, dengan Uji Fisher’s Exact memberikan hasil tidak terdapat perbedaan bermakna (p = 0,325) dari ekspresi LMP-1 pada Limfoma Non Hodgkin sel B dan Limfoma Hodgkin. Kesimpulan : Tidak didapatkan perbedaan bermakna dari ekspresi LMP-1 pada Limfoma Non Hodgkin sel B dan Limfoma Hodgkin. Kata kunci : VEB, LMP-1, Limfoma Maligna, Limfoma Non Hodgkin sel B, Limfoma Hodgkin.
Latar Belakang : Kanker prostat merupakan keganasan paling umum dan tertinggi urutan enam penyebab kematian akibat kanker pada pria di seluruh dunia. Salah satu faktor yang sangat berpengaruh pada prognosis adalah grade histopatologi tumor saat diagnosis. Skor Gleason merupakan sistem yang saat ini paling sering digunakan untuk menentukan grade adenokarsinoma prostat. CD44 merupakan protein trans-membran, berhubungan dengan interaksi antar sel dan interaksi sel-matriks serta dengan pertumbuhan dan metastasis tumor. Ekspresi CD44 berimplikasi pada progresi tumor dan metastasis pada banyak tumor, termasuk adenokarsinoma prostat, ini berkaitan juga dengan grade skor Gleason yang tinggi. Tujuan : Untuk membuktikan perbedaan ekspresi CD44 pada adenokarsinoma prostat diferensiasi baik, sedang dan buruk. Metode : Penelitian analitik dengan desain belah lintang. Sampel sebanyak 30 blok parafin yang telah didiagnosis dan dilihat ulang sebagai adenokarsinoma prostat diferensiasi baik (Kelompok A), sedang (Kelompok B) dan buruk (Kelompok C) dan dilakukan pemeriksaan imunohistokimia CD44. Data ekspresi CD44 dianalisis menggunakan uji normalitas, uji homogenitas dan uji One Way ANOVA. Hasil Penelitian : Sebaran data normal dan homogen. Uji One Way ANOVA kelompok A, B dan C, p = 0,048, menunjukkan adanya perbedaan bermakna antara ketiga kelompok. Kesimpulan : Didapatkan perbedaan yang bermakna ekspresi CD44 antara adenokarsinoma prostat diferensiasi baik, sedang dan buruk. Hal ini sesuai dengan sebagian besar penelitian yang telah ada sebelumnya. Kata kunci : CD44, adenokarsinoma, prostat, Gleason score
Pendahuluan: Kanker paru merupakan penyebab utama kematian di dunia, termasuk di Indonesia. Efusi pleura merupakan salah satu manifestasi klinis yang perlu diwaspadai, namun dapat membantu penentuan subtipe kanker paru untuk mengarahkan pemberian terapi. Penentuan subtipe pada diagnosis sitologi efusi pleura dengan gambaran yang membingungkan dapat disokong oleh pemeriksaan imunositokimia seperti ekspresi p40 dan cytokeratin 5/6 (CK5/6). Tujuan: Menggambarkan ekspresi p40 dan CK5/6 pada diagnosis sitologi efusi pleura dengan gambaran sitomorfologi curiga adenokarsinoma (ADC), karsinoma adenoskuamosa dan karsinoma sel skuamosa (SCC). Metode: Penelitian observasional dengan pendekatan belah lintang terhadap blok sitologi efusi pleura curiga ganas pada periode Januari 2012-Januari 2013. Gambaran sitomorfologi dinilai dari pewarnaan hematoksilin-eosin dan Papanicolaou. Pemeriksaan imunositokimia menggunakan antibodi monoklonal p40 dan CK5/6. Perbedaan dinilai menggunakan uji one-way ANOVA. Hasil: Gambaran sitomorfologi dari 20 sampel didominasi oleh ADC (55%), diikuti SCC (30%) dan karsinoma adenoskuamosa (15%). Ekspresi p40 dan CK5/6 positif pada 6/11 sampel (54,5%) untuk ADC, 3/3 sampel (100%) untuk karsinoma adenoskuamosa, 6/6 (100%) untuk SCC; dengan rerata ekspresi p40 dan CK5/6 secara berurutan sebesar 2,1 ± 1,64 dan 2,55 ± 1,52 pada ADC; 5 ± 0,5 dan 5,17 ± 0,29 pada karsinoma adenoskuamosa; 6,25 ± 0,61 dan 6,58 ± 0,74 pada SCC (p < 0,001); tingkat kesesuaian antar pengamat memuaskan. Simpulan: Ekspresi p40 dan CK5/6 menunjukkan perbedaan antara diagnosis sitologi efusi pleura dengan gambaran sitomorfologi curiga ADC, SCC dan karsinoma adenoskuamosa. Kata kunci: p40, CK5/6, imunositokimia, efusi pleura, ADC, SCC.
Latar belakang: Kesegaran kardiovaskular dipengaruhi oleh elastisitas aorta yang dapat ditingkatkan dengan peningkatan insuline growth factor-1 (IGF-1). Suplementasi ekstrak ikan gabus (EIG) dapat meningkatkan kadar arginine sehingga dapat meningkatkan IGF-1, memperbaiki disfungsi endotel dan peningkatan kesegaran kardiovaskular. Tujuan: Mengetahui perbedaan kesegaran kardiovaskular pada anak perawakan pendek dengan suplementasi dan tanpa suplementasi EIG. Metode: Desain penelitian adalah belah lintang pada 100 anak perawakan pendek (laki-laki 58, perempuan 42; EIG 50, plasebo 50) usia 8-12 tahun di Brebes, Jawa Tengah. Perawakan pendek didefinisikan HAZ antara -2 dan -3 SD berdasarkan kurva pertumbuhan WHO 2007. Kesegaran kardiovaskular diukur dengan modifikasi Harvard step test dinyatakan dengan VO2max, tingkat aktivitas fisik berdasarkan data aktivitas fisik selama 7 hari dinyatakan dengan tingkat aktivitas fisik. Analisis statistik menggunakan independent t-test dan korelasi Pearson. Hasil: Kadar VO2max lebih tinggi 41,67 (SB: 6,967) mL/kg/menit pada EIG dan 41,16 (SB: 5,238) mL/kg/menit pada plasebo (p=0,682), kadar hemoglobin lebih tinggi 13,12 (SB: 0,932) g/dL pada EIG dan 12,99 (SB: 0,878) g/dL pada plasebo (p=0,502). Anak menunjukkan tingkat aktivitas fisik aktif, 1,76 (SB: 0,14) pada EIG dan 1,78 (SB: 0,09) pada plasebo. Terdapat hubungan antara tingkat aktivitas fisik dan kesegaran kardiovaskular, kadar hemoglobin dan tingkat aktivitas fisik pada EIG (p
Pendahuluan : Kejang demam merupakan gangguan neurologi yang banyak ditemukan pada anak. Pengenalan akan faktor risiko kejang demam akan membantu memprediksi terjadinya bangkitan kejang demam. Tujuan : Mengevaluasi faktor risiko kejang demam dan menganalisa faktor mana saja yang paling berperan dalam terjadinya bangkitan kejang demam. Material dan Metode : Penelitian kasus-kontrol dengan pasien dengan bangkitan kejang demam sebagai kelompok kasus (n = 56) dan demam tanpa kejang sebagai kontrol (n = 46). Data diambil dari pasien berusia 3 bulan sampai dengan 5 tahun yang dirawat di RSUP dr. Kariadi pada periode Januari - Desember 2015 dengan kedua diagnosis di atas. Pasien dengan gangguan elektrolit, hipoglikemia, riwayat kejang sebelumnya pada kelompok kontrol dan data catatan medis yang tidak lengkap dieksklusi dari penelitian. Faktor risiko yang dinilai berupa usia, jenis kelamin, tinggi demam, riwayat kejang demam pada keluarga lini pertama, riwayat gangguan perkembangan, dan kadar hemoglobin. Dilakukan perhitungan nilai OR, analisis logistik ganda, uji korelasi, dan analisis diskriminan untuk mencari tahu faktor korelasi faktor risiko dengan bangkitan kejang demam dan faktor mana saja yang dapat menjadi prediktor terjadinya bangkitan kejang. Hasil Penelitian : Analisis diskriminan menghasilkan fungsi diskriminan unstandardized D = 26,988 - 0,854 (suhu) + 0,185 (jenis kelamin) + 1,565 (riwayat keluarga)+ 1,178 (riwayat gangguan perkembangan); dengan cut of point 0,000235. Urutan faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap kejadian kejang demam adalah: suhu tubuh ketika demam, riwayat kejang demam pada keluarga, riwayat gangguan perkembangan, dan jenis kelamin. Kesimpulan : Suhu tubuh, riwayat kejang demam pada keluarga, gangguan perkembangan, dan jenis kelamin dapat digunakan untuk prediksi kejadian kejang demam pada anak. Kata kunci : faktor risiko, kejang demam, anak, diskriminan
Latar belakang: Latihan fisik pada pasien gagal jantung dapat meningkatkan konsumsi oksigen maksimal dan menurunkan kadar biomarker proinflamasi seperti TNF-. Latihan sirkuit merupakan salah satu model latihan yang lebih menguntungkan karena mampu memperbaiki kebugaran kardiorespirasi dan kekuatan otot sekaligus. Tujuan: Mengetahui pengaruh latihan sirkuit terhadap kadar TNF- dan nilai konsumsi oksigen maksimal pasien gagal jantung kronik. Metode: 26 pasien gagal jantung kronik stabil dengan penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri dirandomisasi menjadi kelompok yang mendapatkan latihan sirkuit di bagian rehabilitasi RSUP Kariadi selama 1 bulan dan kelompok yang disarankan menjalankan latihan aerobik secara mandiri di rumah. Kadar TNF- dan nilai konsumsi oksigen maksimal diambil sebelum dan sesudah periode latihan Hasil Penelitian: Tidak terdapat perbedaan bermakna dalam hal perubahan kadar TNF- sebelum dan sesudah perlakuan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol (0,64 + 0,95 pg/ml dan 0,36 + 0,49 pg/ml; p=0,513) sementara kelompok perlakuan dengan latihan sirkuit menunjukkan peningkatan konsumsi oksigen maksimal yang lebih besar dibandingkan kelompok kontrol (2,06 + 1,18 ml/kg/menit dan 1,07 + 0,74 ml/kg/menit; p=0,034). Kesimpulan: Tidak terdapat perubahan kadar TNF- pada pasien gagal jantung kronik yang melakukan latihan sirkuit, namun terdapat peningkatan nilai konsumsi oksigen maksimal pada pasien gagal jantung kronik yang melakukan latihan sirkuit. Kata Kunci: Latihan sirkuit, TNF-, konsumsi oksigen maksimal