Latar Belakang : Usia kehamilan merupakan salah satu prediktor penting bagi kelangsungan hidup janin dan kualitas hidupnya. Persalinan prematur sendiri didefinisikan persalinan yang terjadi sebelum janin genap berusia 37 minggu. Dampak persalinan prematur tidak saja terhadap kematian dan morbiditas perinatologi, tetapi juga terhadap potensi generasi yang akan datang. Penelitian ini didasari dari penyebab persalinan prematur disebabkan oleh banyak faktor yang saling berhubungan, salah satunya adalah pengaruh PIBF terhadap kehamilan. Tujuan : Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan rerata kadar PIBF serum maternal pada ancaman persalinan prematur dan kehamilan normal. Metode : Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dalam bentuk desain pengamatan sewaktu (cross sectional). Sampel diambil selama periode Maret 2017 sampai dengan Juni 2017, di RSUP Dr. Kariadi Semarang dan Rumah Sakit Jejaring FK UNDIP. Sampel penelitian adalah darah vena cubiti 5 cc yang diperiksa kadar PIBF serum di Laboratorium Prodia Semarang. Hasil : Kami meneliti sebanyak 50 sampel yang dibagi menjadi 2 kelompok, 25 kelompok ancaman persalinan premature dan 25 sampel pada kelompok kehamilan normal. Hasilnya menunjukkan adanya perbedaan kadar serum PIBF kelompok ancaman persalinan prematur, yaitu 1073,92 ± 280,61 ng/ml (1035; 640-1787) dan kehamilan normal, yaitu 906,04 ± 237,04 ng/ml (842; 650-1654), tampak perbedaan bermakna. Pada karakteristik subyek penelitian kami juga menemukan adanya perbedaan bermakna antar kelompok dimana usia kehamilan rerata pada kelompok persalinan prematur lebih tinggi dibandingkan kelompok kehamilan normal, yang mana dari penelitian sebelumnya dikatakan antara usia kandungan dan kadar PIBF serum maternal memiliki korelasi. Sehingga dapat mempengaruhi hasil penelitian yang kami lakukan. Kesimpulan : Rerata kadar PIBF serum ibu hamil dengan ancaman persalinan prematur lebih tinggi dibandingkan dengan ibu hamil normal. Kata Kunci : Progesterone induced blocking factor, ancaman persalinan premature, kehamilan normal.
Latar belakang. Inkontinensia anal merupakan gangguan fungsional dasar panggul yang dapat terjadi pada wanita muda dan meningkat sesuai dengan usia. Kondisi ini merupakan masalah kesehatan yang dapat mempengaruhi kualitas hidup dan psikologi (depresi, kehilangan rasa percaya diri) serta hubungan sosial wanita yang mengalami inkontinensia. Prevalensi inkontinensia anal pasca persalinan sangat bervariasi dan belum memberikan gambaran yang jelas. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung prevalensi inkontinensia anal dan mengevaluasi faktor risiko yang berhubungan dengan munculnya gejala inkontinensia anal pada wanita pasca persalinan di Semarang. Metode. Penelitian observasional analitik dengan desain potong lintang. Sampel terdiri dari primipara yang melahirkan di RSUP dr. Kariadi dan Rumah Sakit jejaring di Semarang. Sampel yang memenuhi kriteria dilakukan follow up 6 minggu pasca persalinan untuk menilai kejadian inontinensia anal dengan kuesioner tervalidasi (kuesioner St Mark’s (Vaizey)). Hasil. Sebanyak 297 wanita primipara disertakan sebagai sampel dalam penelitian dengan usia rata-rata saat wawancara adalah 24,55 ± 5,1 tahun. 30 (10,1%) wanita melaporkan munculnya gejala inkontinensia anal. 26,6% primipara menjalani persalinan dengan tindakan, Episiotomi dilakukan pada 64,6% primipara. 8 % primipara mengalami laserasi perineum derajat berat. 4,4% melahirkan dengan lama persalinan lebih dari 12 jam. 12,8% primipara melahirkan bayi lebih dari 3500 gram. Dalam analisis bivariat, episiotomi, lama persalinan lebih dari 12 jam, persalinan dengan tindakan, derajat laserasi berat dan berat bayi lahir besar terkait secara bermakna dengan inkontinensia anal. Kesimpulan. Kejadian inkontinensia anal pada primipara di Rumah Sakit Dr. Kariadi dan Rumah Sakit Jejaring di Semarang adalah 30,1%. Episiotomi, lama persalinan lebih dari 12 jam, persalinan dengan tindakan, derajat laserasi berat dan berat bayi lahir besar berhubungan dengan kejadian inkontinensia anal pada wanita primipara pasca persalinan. Kata Kunci. Inkontinensia anal, primipara, partus pervaginam, Semarang
Pendahuluan : Progresivitas glaukoma berupa perubahan lapang pandang dan nervus optikus dipengaruhi stress oksidatif. N-Acetylcarnosine (NAC) merupakan suatu antioksidan yang memiliki efek menurunkan stress oksidatif. Tujuan: Mengetahui perbedaan ekspresi matrik ekstraselular amiloid jaringan trabekular meshwork tikus Wistar model glaukoma yang diberi dan tidak diberi NAC topikal. Metode : Penelitian ini merupakan post-test only randomized controlled group design menggunakan tikus Wistar model glaukoma. Empat belas ekor tikus Wistar dibuat model glaukoma dengan metode kanulasi, kemudian dibagi secara acak menjadi 2 kelompok. Kelompok kontrol (K) diberi tetes mata plasebo, kelompok perlakuan (P) diberi tetes mata N-acetylcarnosine, 2x sehari selama 4 minggu. Pemeriksaan amiloid jaringan trabekular meshwork dengan menggunakan congo red kit dan pembacaan hasil dengan mikoskop. Data dikumpulkan dan diolah menggunakan program SPSS 15.0 for windows. Hasil : ekspresi matrik ekstraselular amiloid jaringan trabekular meshwork kelompok P amiloid negatif (66,7%) dan amiloid positif (33,3%). Kelompok K amiloid negatif (50%) dan amiloid positif (50%). Dropout dilakukan pada 2 buah slide sampel karena mengalami kerusakan saat proses pengecatan. N-acetylcarnosine menurunkan ekspresi amiloid yang lebih rendah pasca pemberian, namun tidak signifikan secara statistik (p>0,05). Kesimpulan : NAC tidak signifikan menurunkan amiloid Kata Kunci : Glaukoma, stress oksidatif, Amiloid dan N-acetylcarnosine.
Pendahuluan : Glaukoma berhubungan dengan resistensi aliran humor aquos. Peningkatan tekanan intraokuler (TIO) akan menginduksi iskemia yang akan menyebabkan peningkatan radikal bebas dan berbagai mediator inflamasi. Salah satu antioksidan oral yang telah diteliti memiliki efek meningkatkan kadar antioksidan enzimatik pada humor aquos adalah astaxanthin. Tujuan: Mengetahui efek astaxanthin oral terhadap kadar mediator inflamasi (TNF-α and IL-6) pada humor aquos tikus wistar model glaukoma. Metode : Kelompok perlakuan (P) diberi astaxanthin oral satu kali sehari selama 7 hari. Pemeriksaan TNF-α and IL-6 dilakukan terhadap humor aquos menggunakan ELISA kit. Uji normalitas menggunakan Shapiro-Wilk dan uji homogenitas menggunakan Lavene’s test. Hasil : Rerata kadar TNF-α pada kelompok K = 8,82±2,20; kelompok P = 6,25± 0,39. Rerata kadar IL-6 pada kelompok K = 70,95± 33,63; kelompok P = 96,01± 60,44. Hasil uji beda kadar TNF-α dengan uji t test tidak berpasangan terdapat perbedaan bermakna kadar TNF-α pada kelompok kontrol dibandingkan kelompok perlakuan (p0,05). Kesimpulan : Didapatkan pengaruh astaxanthin oral terhadap penurunan kadar TNF-α Kata Kunci : Glaukoma, stress oksidatif, humor aquos, TNF-α, IL-6, astaxanthin.
Latar Belakang : Lansia merupakan kelompok resiko tinggi untuk terjadinya gangguan kognitif. Vitamin B12 yang telah diketahui berperan sebagai kofaktor dalam pembentukan mielin, memiliki efek imunomodulator dan neurotropik yang penting. Karena defisiensi pada vitamin ini dapat menyebabkan kerusakan neurologis irreversibel, diagnosis dini sangatlah penting. Tujuan : Mengetahui hubungan kadar vitamin B12 serum dengan gangguan kognitif pada lanjut usia di Panti Sosial Pucang Gading Semarang dan Wening Wardoyo Ungaran. Metode : Penelitian yang dilakukan adalah observasional belah lintang dengan subjek lanjut usia yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi di Panti Sosial Pucang Gading Semarang dan Wening Wardoyo Ungaran. Penelitian dilakukan mulai 1 Januari 2017 sampai dengan 31 Maret 2017. Status gizi dari subjek telah dihitung oleh ahli gizi. Montreal Cognitive Assasment (MoCA) Ina ≥ 26 fungsi kognitif normal, MoCA-Ina
Buku ini menghubungkan gambar yang berkualitas tinggi dengan penjelasan yang informatif. Materi yang dibahas pada buku; Prometheus, Atlas anatomi Manusia: Anatomi umum dan sistem gerak, ed.3 Materi yang dibahas pada buku adalah; pengantar tentang konstruksi tubuh dan sejarah perkembangan manusia; tulang, ligamen dan sendi; hubungan klinis antara topik anatomi yang sedang dibahas 4/7/2018
Materi yang dibahas pada buku; Prometheus, Atlas anatomi Manusia:Kepala, leher dan Neuro Anatomi, ed.3, meliputi; tulang, ligamen dan sendi; gigi; pengenalan dasar mengenai neuroanatomi; topografi, fungsi otak serta medulla spinalis; ringkasan tentang jaras-jaras, ganglia dan nuclei saraf kranial; informasi klinis tentang penyakit dan prosedur diagnostik.5/7/2018
Latar Belakang : Patofisiologi stroke iskemik terkait erat dengan respon inflamasi. Beratnya respon inflamasi ini berbanding lurus dengan kerusakan jaringan otak. Interleukin-10 (IL-10) merupakqn sitokin antiinflamasi penting yang muncul sebagai respon terhadap cedera otak, dimana IL-10 memfasilitasi resolusi kaskade iskemik, yang bila berlangsung lama menyebabkan kerusakan otak sekunder. Tujuan : Mengetahui hubungan kadar IL-10 serum dengan keluaran klinis penderita stroke iskemik akut.Metode. Metode : Studi observasional analitik dengan desain kohort prospektif melibatkan 44 subyek stroke iskemik akut pertama kali yang memenuhi kriteria inklusi Pada hari onset ke 3 subyek diukur skor NIHSS, diambil darah vena, diukur jumlah kadar (IL-10) serum. Pada hari onset ke 21 subyek kembali diukur skor NIHSS. Analisis statistic menggunakan uji Chi square, hubungan dikatakan bermkana jika nilia p
Latar Belakang: Gangguan tidur umum terjadi pada pasien dengan epilepsi dan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas hidup. Kualitas tidur yang buruk dapat dengan mudah memprovokasi kambuhnya kejang. Dihipotesiskan bahwa vitamin D berperan penting dalam pengendalian tidur. Hipotesis ini didukung oleh terdapatnya reseptor vitamin D di hipotalamus, substantia nigra, nukleus raphe, dan inti retikularis oralis pons yang dianggap berperan dalam inisiasi dan mempertahankan tidur dimana daerah-daerah tersebut memproduksi neurotaransmitter yang terkait dengan regulasi tidur. The Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) merupakan penilaian kualitas tidur subyektif yang paling sering digunakan baik dalam klinis maupun penelitian dengan penilaian standarisasi kualitas tidur yang reliabel dan valid. Mengevaluasi kualitas tidur secara keseluruhan, termasuk kualitas tidur subyektif, latensi tidur, durasi tidur, efisiensi tidur, gangguan tidur, penggunaan obat, dan disfungsi harian. Tujuan: Menganalisis hubungan kadar vitamin D serum dengan kualitas tidur pada pasien epilepsi Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Dilakukan pada bulan Juli-Januari 2018 dengan empat puluh subyek pasien epilepsi yang kontrol di Poli Saraf RSUD Dr. Soeselo Slawi, RSUP Dr Kariadi Semarang, dan RS Tugurejo semarang. Kualitas tidur dinilai dengan Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI). Kadar vitamin D serum diukur melalui pemeriksaan darah dengan menggunakan metode ELISA. Hasil: Didapatikan kadar median Vitamin D serum adalah 17,65 (8,0-44,1) ng/mL dengan rerata skor PSQI 5,70 (SD=2,954). Uji korelasi Spearman diperoleh nilai p=0.047 dengan korelasi negative kekuatan lemah. Analisa hubungan ansietas dengan kualitas dengan Uji korelasi Spearmen didapatkan nilai p= 0,0001 dengan korelasi positif kekuatan sedang. Analisa hubungan jenis kelamin dengan kualitas tidur dengan uji komparatif numeric Uji T tidak berpasangan didapatkan nilai p= 0,048. Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara kadar vitamin D serum dengan kualitas tidur pada pasien epilepsi Kata Kunci: kadar vitamin D serum, kualitas tidur, epilepsi.
Latar Belakang. Post-stroke seizure adalah komplikasi yang sering dijumpai pada pasien stroke baik stroke infark maupun stroke hemoragik. Lebih kurang 30% kasus stroke memiliki manifestasi kejang pada populasi >60 tahun. Post stroke seizure diklasifikasikan menjadi early dan late post stroke seizure berdasarkan waktu onset. Batasan waktu untuk early post stroke seizure yaitu 2 minggu paska onset stroke. Faktor-faktor yang telah diketahui mempengaruhi terjadinya post stroke seizure antara lain usia, jenis kelamin, jenis stroke, faktor genetik, lokasi lesi, serta luas lesi. Tujuan Penelitian. Menganalisis abnormalitas elektrofisiologis otak sebagai faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya early post stroke seizure. Metode Penelitian. Penelitian analitik observational dengan metode case-control dengan melihat rekam medik pasien stroke di RSUP dr.Kariadi baik yang mengalami early post troke seizure maupun tidak. Perubahan abnormalitas elektrofisiologis otak diklasifikasikan menjadi gelombang tajam, gelombang lambat, dan normal. Faktor yang diduga dapat menjadi variabel perancu seperti usia, jenis kelamin, jenis stroke, lokasi lesi, derajat keparahan stroke, serta riwayat konsumsi statin. Selanjutnya dilakukan analisis untuk menentukan OR. Hasil Penelitian. Didapatkan sebanyak 60 subjek yang terdiri dari 30 pasien kelompok kasus dan 30 pasien kelompok kontrol. Sebanyak 17 subjek (68%) kelompok kasus memiliki gambaran gelombang lambat dan 3 subjek (13.3%) menunjukan adanya gelombang tajam. Kelompok kontrol menunjukan adanya 8 subjek (32%) dengan gelombang lambat dan tidak ada yang menunjukan adanya gelombang tajam. Hasil analisis Fisher menunjukan adanya hubungan yang bermakna antara gelombang tajam dengan terjadinya early post stroke seizure (p = 0.044) dengan nilai OR adalah 3.2 dengan interval kepercayaan 1.914 sampai dengan 5.35 serta hubungan yang bermakna antara gelombang lambat dengan terjadinya early post stroke seizure (p = 0.008) dengan nilai OR adalah 4.675 dengan interval kepercayaan 1.518 sampai dengan 14.395. Distribusi abnormalitas elektrofisiologis otak yang memiliki hubungan bermakna dengan terjadinya early post stroke seizure yaitu distribusi abnormalitas yang bersifat general (p=0.042, OR=6.6, interval kepercayaan 1.128 sampai dengan 38.604) dan regional (p=0.005, OR=9.9, interval kepercayaan 1.8 sampai dengan 54.452). Kesimpulan. Abnormalitas elektrofisiologis otak baik berupa abnormalitas gelombang maupun distribusi merupakan salah satu faktor risiko terjadinya early post stroke seizure. Kata Kunci. Early post stroke seizure, electroencephalography