Latar belakang : Gangguan Vestibuler Perifer (GVP) adalah gangguan pada sistem vestibuler perifer dengan gejala pusing berputar (vertigo). Gejala GVP mempengaruhi kualitas hidup penderitanya dari derajat sedang sampai berat. Penilaian secara objektif terhadap berat ringannya gejala sulit sehingga dikembangkan kuesioner Dizziness Handicap Inventory (DHI). Tujuan terapi GVP kualitas hidup optimal dengan salah satu pilihan terapi simptomatis, obat vestibulo supperessive seperti dimenhidrinate dan betahistine. Tujuan : Membuktikan efektivitas betahistine, dimenhidrinate dan efektivitas betahistine dibanding dimenhidrinate terhadap penurunan skor DHI. Metode : Penelitian intervensi, pretest and posttest control group design, randomized control trial, double blind di Klinik THT-KL, CDC RSUP Dr. Kariadi, RSUD Dr. Soetrasno Rembang pada bulan September 2015 - Juni 2016. Penderita GVP mengisi kuesioner DHI pre test dilanjutkan randomisasi stratifikasi dan diberikan betahistine 12 mg/8 jam atau dimenhidrinate 50 mg/8 jam, double blind. Setelah 2 minggu pemberian obat dilakukan pengisian skor DHI post test. Analisis uji komparatif menggunakan uji Wilcoxon dan mann whitney. HAsil : Jumlah subyek penelitian 40 orang; dimenhidrinate 20 orang (45,5%) dan betahistien 24 orang (54,4%). Skor DHI pasca test lebih rendah dibanding pre test pada kelompok dimenhidrinate dan betahistine dengan nilai kemaknaan p
Latar belakang : otitis media kronik atau sering disebut Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) adalah otitis media yang berlangsung > 12 minggu. Prevalensi OMSK di seluruh dunia sebanyak 65-330 juta dan 60% di antaranya menderita kurang pendengaran yang signifikan. Angka kejadian OMSK aktif mencapai 3,8% dari pasien THT-KL. Gejala OMSK aktif berupa banyaknya discaj, kurang pendengaran, nyeri, pusing berputar, telinga tidak nyaman. Tanda OMSK aktif berupa discaj di liang telinga, perforasi membran timpani dan gangguan pendengaran. World Health Organisation (WHO) mencanangkan strategi utnuk mengatasi OMSK secara serius berkaitan dengan komplikasi yang dapat disebabkan. Pilihan terapi medikamentosa yang tepat diperlukan untuk mengatasi OMSK aktif. Ofloksasin topikal dan ciprofloksasin oral adalh antibiotik golongan fluorokuinolon yang banyak digunakan. Efektifitas diantaranya dibuktikan dengan perbaikan gejala dan tanda klinis. Tujuan : Membuktikan efektifitas ofloksasin topikal, ciprofloksasin oral dan efektifitas ofloksasin topikal dibanding ciprofloksasin oral terhadap perbaikan gejala dan tanda klinis. Metode : Penelitian intervensi dengan rancangan pretest and posttest control group design, randomized control trial Klinik THT-KLBKIM Semarang pada bulan Juni-Agustus 2016. Penderita OMSK aktif dilakukan anamnesis lalu dilakukan pemeriksaan fisik dan pemeriksaan pendengaran dilanjutkan randomisasi. Penderita diberi ofloksasin topikal 10 tetes/12 jam atau ciprofloksasin tablet 500 mg/12 jam per oral. Hari ke 4, 10 dan 14 setelah terapi penderita kontrol. Analisis uji komparatif menggunakan uji parametrik dan non parametrik. Hasil : Jumlah subyek penelitian 108 orang; ofloksasin topikal 54 orang (50%) dan ciprofloksasin oral 54 orang (50%). Gejala dan tanda klinis setelah terapi lebih rendah dibanding sebelum terapi pada kelompok ofloksasin topikal dan ciprofloksasin oral dengan nilai kemaknaan p
Artikel : (1.) Relation between food consumption pattern of risk, fruit and vegetable consumption and heart disease events age of 45-59 years in Sulawesi Island (data Analysis of Riskesdas 2007)/ Muharramah Alifiyanti, Ngadiarti ISkari, Hartati Lilik Sri (2.) Hubungan usia, tingkat pendidikan, status ekonomi, pekerjaan dan asupan zat gizi makro dengan status gizi ibu hamil di Provinsi Papua dan Papua Barat/ Utami Auliana, Ngadiarti Iskari, Heryawati Tiurma (3.) Pengaruh waktu ekstraksi terhadap mutu bubuk instan biji salak dengan metode spray drying/ Dwi Desi Anggreini, Idrus Jus'at, Hendra Wijaya (4.) Hubungan asupan zat gizi, status gizi, aktivitas fisik, dan gaya hidup terhadap daya tahan kardiorespirotori pada mahasiswa UKM sepakbola Universitas Negeri Lampung tahun 2015/ Calely E. Irdilla, Mury Kuswari, Nuzrina Rachmanida (5.) Hubungan status gizi dan aktivitas fisik terhadap diabetes mellitus pada lansia di Provinsi Kalimantan Barat (Analisis data Riskesdas 2007)/ Widya Dianah, Erry Y. Mulyani, Bahar Herwanti (6.) Hubungan asupan energi, protein dan mineral seng, perilaku hugyene dan sanitasi sumber air terhadap kejadian diare anak gizi kurang usia Sekolah Dasar (10-12 tahun) di Pulau Sumatera (analisis data Riskesdas 2007)/ Aprilianti Vitri, Ngadiarti Iskari, Nuzrina Rachmanida
Buku ini terdiri dari 9 bab, menyajikan topik mengenai seluk beluk antropologi forensik identifikasi sisa hayat manusia berupa rangka dalam konteks hukum secara menyeluruh. Adapun pembahasan menekankan pada: deteksi rangka manusia; biologi tulang manusia; gigi geligi manusia; identifikasi ras; umur; seks dan tinggi badan; tulang fetus; rekontruksi raut muka; trauma hungga tafonomi.
Artikel : (1) Pengaruh ekstrak pegagan (Centella asiatica) terhadap.../ Syafira Hanum, Mochammad Aris W., Masruroh Rahahyu (2) Ekstrak daging putih semangka (citurulus vulgaris) menurunkan kolesterol total.../ Fany Lairin D, Diana Lyrawati, Setyawati Soeharto (3) Pengaruh pemberian propolis..../ Ria Damayanti, Loeki E Fitri, Mochammad Dalhar
Latar belakang : Masalah tonsilitis kronik sering dijumpai pada anak. Gejala klinik yang muncul berdampak negatif sehingga menurunkan kualitas hidup. Radikal bebas berperan dalam tonsilitis kronik. Potensi kerusakan radikal bebas dibatasi antioksidan. Tujuan : Membuktikan vitamin C menurunkan kadar peroksidasi lipid, memperbaiki gejala klinik dan kualitas hidup penderita tonsilitis kronik. Material dan Metode : Penelitian Randomized Controlled Trial dengan simple random sampling. Penilaian kadar peroksidasi lipid, gejala klinik dan kualitas hidup dilakukan sebelum dan sesudah pemberian vitamin C. Subjek penelitian adalah penderita tonsilitis kronik yang memenuhi kriteria inklusi. Hasil : Total 51 penderita, 10 drop out dan 41 dianalisis. Kadar peroksidasi lipid pasca terapi kelompok vitamin C (3,41 (0,53-4,65)) tidak berbeda bermakna dibandingkan pra terapi (3,43 (0,39-4,16)) (p=0,237). Skor total gekala klinik dibandingkan paska terapi kelompok vitamin C (14,76+4,43) lebih rendah dibanding pra terapi (20,38+5,25) (p=0,000). Skor total kualitas hidup pasca terapi kelompok vitamin C (65 (52-79)) lebih rendah dibandingkan pra terapi (78 (57-88)) (p=0,000). Kesimpulan : Kadar peroksidasi lipid yang diberikan vitamin C tidak berbeda bermakna dibandingkan tanpa diberikan vitamin C (p=0,237). Gejala klinik dan kualitas hidup yang diberikan vitamin C lebih baik dibandingkan tanpa diberikan vitamin C. Kata kunci : tonsilitis kronis, kadar peroksidasi lipid, gejala klinik, kualitas hidup
Latar belakang : Otoksitosis dapat terjadi pada pasien MDR-TB yang mendapat terapi kanamisin. Pemeriksaan audiometri frekuensi tinggi dapat mendeteksi kurang pendengaran ototoksik. N-acetylcystein (NAC) sebagai antioksidan diharapkan dapat mencegah ototoksik akibat kanamisin. Faktor yang diduga dapat mempengaruhi ototoksik adalah usia, jenis kelamin dan dosis kanamisin. Tujuan : Membuktikan pengaruh NAC terhadap kurang pendengaran ototoksik pada pasien MDR-TB yang mendapat terapi kanamisin. Membuktikan faktor usia, jenis kelamin, dan dosis kanamisisn berpengaruh terhadap otottoksik akibat kanamisin. Metode : Penelitian randomized control sampling (RCT) 28 pasien MDR-TB yang memenuhi kriteria inklusi. Terdiri dari dua kelompok, 14 pasien MDR-TB yang mendapat NAC dan 14 pasien MDR-TB tidak mendapat NAC. Evaluasi dilakukan pemeriksaan audiometri saat baselin, bulan I dan II pemberian kanamisin. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan uji chi-square. Hasil : NAC tidak berpengaruh terhadap kurang pendengaran ototoksik pada pasien MDR-TB yang mendapat terapi kanamisin pada bulan I (p=0,705) maupun bulan II (p=1,000). Jenis kelamin berpengaruh terhadap kurang pendengaran ototoksik akibat kanamisin (p=0,019; CI : 0,224-4,468). Usia dan dosis kanamisin tidak berpengaruh terhadap kurang pendengaran ototoksik akibat kanamisin (p=0,698 dan p=0,418). Simpulan : NAC, faktor usia dan dosis kanamisin tidak berpengaruh terhadap kurang pendengaran ototoksik akibat kanamisin. Jenis kelamin berpengaruh terhadap kurang pendengaran ototoksik. Kata kunci : kurang pendengaran ototoksik, NAC, kanamisin
Latar belakang : Gangguan pendengaran yang terjadi pada penderita otitis media supuratif kronik (OMSK) umumnya kurang pendengaran konduktif. Beberapa pasien terdapat keterlibatan komponen sensorineural. Kejadian mixed hearing loss (MHL) pada penderita OMSK dapat disebabkan banyak faktor seperti lama sakit, adanya kolesteatoma, letak dan luas perforasi membran timpani, jenis kuman serta adanya alergi pada OMSK yang dapat mempengaruhi kerusakan pada telinga dalam. Tujuan : Menganalisis pengaruh lama sakit, adanya kolesteatoma, letak dan luas perforasi membran timpani, jenis kuman, alergi terhadap kejadian MHL pada penderita OMSK. Metode : Penelitian analitik observasional dengan desain kasus kontrol di RSUP Dr. KAriadi Semarang pada bulan Juni-Agustus 2016. Subyek penelitian 68 penderita yang terdiri dari 2 kelompok. Kelompok kasus adalah penderita OMSk dengan MHL (n=34) dan kelompok kontrol merupakan penderita OMSK dengan hasil audiometri non MHL (n=34). Dilakukan anamnesis lama sakit, pemeriksaan fisik otoskopi, multislice computed tomograpgy scan (MSCT Scan), kultur discharge telinga, serta prick test. Data dianalisis dengan uji chi-square. Hasil : Lama sakit berpengaruh terhadap kejadian MHL (p0,05). Letak peforasi tidak berpengaruh terhadap kejadian MHL (p>0,05). Luas perforasi berpengaruh terhadap kejadian MHL (p