Buku ini terdiri dari; Bab 1 Pendahuluan Bab 2 Perkembangan rahang dan muka Bab 3 Perkembangan oklusi Bab 4 Perkembangan jaringan lunak Bab 5 Etiologi Maloklusi Bab 6 Maloklusi Bab 7 Diagnosis Maloklusi Bab 8 Perencanaan Perawatan Ortodonti Bab 9 Perawatan Maloklusi Kelas I Angle Bab 10 Perawatan Maloklusi Kelas II dan III Angle Bab 11 Peranti Ortodonti Bab 12 Perubahan jaringan pada pergerakan gigi Bab 13 Retensi dan Relaps Bab 14 Sefalometri Bab 15 Tindakan pembedahan pada perawatan ortodonti Bab 16 Perawatan ortodonti pada kasus celah bibir dan langit-langit Bab 17 Indeks Maloklusi Pada buku edisi 2 terdapat tambahan penjelasan pada bab 14 tentang sefalometri, yang menyangkut indikasi penggunaan sefalometri pada kasus tertentu. Pada bab 15 tentang tindakan pembedahan pada perawatan ortodonti ditambahkan satu sub bab mengenai osteogenesis distraksi.
Latar belakang : Hepar merupakan salah satu organ vital mempunyai peran penting dalam metabolisme. Kerusakan sel dan fungsi hepar dapat disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya disebabkan oleh obat-obatan. Prasetamol obat yang dapat digunakan sebagai terapi penurun panas dan pereda nyeri ringan. Parasetamol dikenal sebagai salah satu penyebab kejadian gagal fungsi hepar akut. Dalam studi epidemiologi dikatakan bahwa di Amerika Serikat, sekitar 50% dari 2000 kasus gagal ginjal hepar pertahun, obat-obatan merupakan penyebab utama. Pada beberapa penelitian dilaporkan bahwa 2,6% dari 267 kasus gagal fungsi hepar akut disebabkan karena pemakaian parasetamol, bahkan di negara Asia dari seluruh kasus overdosis parasetamol, sekitar 7,3% jatuh kedalam keadaan hepatotoksik. Adanya hepatotoksik dikarenakan obat dapat didiagnosa dengan beberapa pemeriksaan antara lain dengan cara pemeriksaan kimia darah. Adanya kerusakan hepatoseluler dapat dinilai dengan peningkatan nilai serum aminotransferase. Tujuan : Mengetahui pengaruh pemberian parasetamol terhadap perubahan fungsi hepar aminotransferase SGPT SGOT pada tikus wistar pada hari tertentu. Metode : Penelitian eksperimental Randomized Post Test Only Control Group Design menggunakan 25 ekor tikus wistar galur murni. 20 ekor tikus wistar diberikan perlakuan berupa pemberian parasetamol oral 18 mg setiap 6 jam dan setiap hari ke 3,5,7,10,(H3, H5, H7, H10) dilakukan terminasi sebanyak 5 ekor dan diambil sampel darahnya untuk dilakukan pemeriksaan aminotransferase. 5 ekor tikus tersisa yang tidak mengalami perlakuan (K) juga dilakukan terminasi dan dilakukan pemeriksaan aminotransferase sebagai kontrol. Dilakukan uji statistik Kruskal Wallis dan dilanjutkan dengan Manna Whitney. Hasil : Kadar rerata SGPT K (48,65+10,76), H3 (48+13,45), H5 (62,15+11,44), H7 (89,36+10,07), H10 (70,86+13,25) terdapat perbedaan kadar rerata SGPT signifikan pada H5 dibanding K dengan p
Latar belakang : Hepar adalah organ vital yang mempunyai peranan penting dalam metabolisme tubuh. Kerusakan sel dan fungsi hati dapat disebabkan oleh banyak faktor, antara lain virus, parasit, bakteri, protozoa atau toksisitas dari obat-obatan atau bahan kimia. Parasetamol merupakan obat yang dijual bebas dapat dikonsumsi pada semua umur. Parasetamol dapat digunakan sebagai terapi penurun panas dan pereda rasa nyeri. Parasetamol mempunyai efek samping menyebabkan kerusakan hepar (hepatotoksik). Pada beberapa penelitian menyatakan di negara Asia dari seluruh kasus overdosis parasetamol terdapat sekitar 7,3% dalam keadaan hepatotoksik yang disebabkan parasetamol. Penelitian lain melaporkan gagal fungsi hepar akut terdapat 2,6% dari 267 pasien yang menggunakan parasetamol. Hepatotoksik dikarenakan obat dapat didiagnosa dengan pemeriksaan biopsi hepar. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perubahan histopatologi sel hepar akibat parasetamol dengan dosis terapi maksimal peroral pada tikus wistar. Tujuan : Mengetahui perubahan gambaran histopatologi sel hepar akibat pemberian parasetamol peroral pada tikus wistar pada hari ke 3,5,7 dan 10. Metode : Penelitian eksperimental Randomized Post Test Only Control Group Design menggunakan 25 ekor tikus wistar. 20 ekor tikus wistar diberikan perlakuan berupa pemberian parasetamol oral 18 mg setiap 6 jam dan setiap hari ke-3,5,7,10 dilakukan terminasi sebanyak 5 ekor tikus diterminasi dan diambil organ heparnya kemudian dilakukan pemeriksaan histopatologi hepar. 5 ekor tikus tersisa yang tidak mengalami perlakuan (K) juga dilakukan terminasi dan dilakukan pemeriksaan histopatologi hepar sebagai kontrol. Dilakukan uji statistik Kuskal Wallis dan dilanjutkan dengan Mann Whitney. Hasil : Rerata perubahan gambaran histopatologi hepar menurut skor Manja Roenigk kelompok K(1+0), H3(1,2+0,45), H5(3,2+0,84), H7(2,8+0,84), H10(3+0,71), terdapat perbedaan perubahan gambaran histopatologi hepar rerata signifikan pada hari ke-5, 7 dan 10 dibanding kelompok K dengan p
Latar belakang : Iskemik reperfusi injury adalah keadaan dimana terjadi kerusakan seluler akibat dari organ yang hipoksia yang diikuti dengan perbaikan delivery oksigen. Cedera setelah ischemia referfusion ditandai dengan suatu produksi oksidan, aktivasi komplemen, adhesi sel leukosit endotel, agregasi trombosit leukosit, peningkatan permeabilitas mikrovaskuler dan penurunan relaksasi endothelium dependent. Enzyme superoxide scavenging yaitu superoxide dismutase (SOD), berperan dalam melindungi organ dari kerusakan organ akibat iskemik reperfusi inury. Hepar merupakan organ yang paling banyak dalam memproduksi superoxide dismutase (SOD-1) akibat cedera setelah ischemic reperfusion. Tujuan : Mengetahui pengaruh pemberian dexmedetomidine intravena terhadap kadar superoxide dismutase 1 (SOD-1) hepar kelinci pada hepatic ischemic reperfusion injury. Metode : Penelitian eksperimental Randomized Post Test Only Control Group Design menggunakan 10 ekor kelinci New Zealand. 5 ekor kelinci diberikan perlakuan berupa pemberian dexmedetomidine 0,5 mcg/kgbb/jam dan dilakukan oklusi pada vena porta hepatica (K1). 5 ekor kelinci yang tidak mengalami perlakuan (KK) juga dilakukan oklusi vena porta hepatica dan dilakukan pemeriksaan sueroxide dismutase 1 (SOD-1) sebagai kontrol. Uji normalitas dengan spahirowilk dan uji parametric menggunakan independent t-test. Hasil : Kadar rerata OSOD-1 pada kelompok kontrol 0,54+0,24 dan nilai P 0,76 (normal) dan kadar rerata SOD-1 pada kelompok perlakuan 1,22+0,43 dan nilai P 0,129 (normal). Uji beda digunakan uji parametric Independent t-test didapatkan nilai p=0,017. Karena nilai p
Latar belakang : Nyeri bukan hanya sebuah modalitas sensorik tapi merupakan sebuah pengalaman sensorik yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosional yang terkait dengan kerusakan jaringan yang potensial. Analgesia preemtif merupakan terapi yang dimulai sebelum prosedur pembedahan untuk mengurangi sensitisasi. Analgesia preemtif memiliki potensi lebih efektif dibandingkan terapi analgesik yang mirirp yang diberikan pasca operasi. Tujuan : Membuktikan pengaruh pemberian tramadol datau ketorolak intavena sebelum dan setelah insisi pada tikus wistar sebagai analgesia preemtif terhadap kadar substansi P. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik dengan desain Randomize Pre adn Post Test Control Group Design. Sampel adalah 21 ekor tikus wistar jantan dengan kriteria tertentu, dibagi secara acak menjadi 3 kelompok. Kelompok kontrol (K) tanpa diberi obat nalgesik sebelum insisi, kelompok 1 (K1) merupakan kelompok yang diberi tramadol 1,8 mg intravena sebelum insisi, dan kelompok 2 (K2) merupakan kelompok yang diberi ketorolak 0,54 mg intravena sebelum insisi. Pengambilan sampel berupa serum darah untuk pemeriksaan kadar substansi P dilakukan sebelum pemberian tramadol ataupun ketorolak, dan pemberian tramadol atau ketorolak dilakukan 1 jam sebelum insisi, 4 jam pasca insisi dilakukan pengambilan sampel darah pada ketiga kelompok guna membandingkan kadar substansi P pre dan post insisi. Uji statistik menggunakan uji one way ANOVA, Paired T-test, dan uji Wilcoxon, dilanjutkan dengan uji Kruskal Wallis dan uji Mann-Whitney. Hasil : Rata-rata kadar substansi P kelompok K sebesar 584,93+211,49 (pre test) dan 627,88+203,43(post test), kelompok K1 sebesar 598,71+108,86(pre test) dan 549,37+124,81(post test), kelompok K2 sebesar 776.68+388,35(pre test) dan 488,67+38,49(post test). Pada uji Paired T-test didapatkan perbedaan bermakna pada kelompok K pre dan post test (p=0,047) dan kelompok K1 pre dan post test juga berbeda bermakna (p=0,024). Pada uji Wilcoxon didapatkan kelompok K2 berbeda bermakna pre dan post test (p=0,043). Pada uji Kruskal Wallis didapatkan kelompok K, K1 dan K2 tidak berbeda bermakna (p=0,376). Pada uji ANOVA didapatkan kelmpok K, K1 dan K2 pre test tidak berbeda bermakna (p=0,321). Pada uji Mann Whitney didapatkan antara kelompok K dengan K1 berbeda bermakna (p=0,009), K dengan K2 berbeda bermakna (p=0,009), K1 dengan K2 berbeda bermakna (p=0,016). Kesimpulan : Tramadol atau ketorolak dapat digunakan sebagai analgesia preemtif, dimana ketorolak memiliki kemampuan dalam menurunkan kadar substansi P lebih baik dibanding tramadol. Kata kunci : tramadol, ketorolak, substansi P, analgesia preemtif