Latar Belakang: Asam format merupakan metabolik toksik pada intoksikasi metanol. Apoptosis pada intoksikasi metanol disebabkan oleh karena keterlibatan mitokondria (pelepasan sitokrom c dan caspase). Pemberian metilkobalamin dapat mengurangi kadar asam format dengan mengaktifkan tetrahidroksi folat untuk memetabolisme asam format didalam tubuh. Bila metabolisme asam format ditingkatkan, penumpukan asam format dikurangi, sehingga terjadi penurunan ekspresi caspase 3 dan 7 dan pada akhirnya apoptosis lebih rendah. Tujuan: Mengetahui perbedaan ekspresi caspase 3 dan 7 pada apoptosis sel ganglion retina pasca pemberian metilkobalamin, deksametason dan kombinasinya dibanding kelompok kontrol pada tikus yang mengalami intoksikasi metanol. Metode: Penelitian ini merupakan uji eksperimental laboratorium dengan rancangan post-test only randomized controlled group yang menggunakan model tikus intoksikasi metanol kemudian mendapatkan perlakuan deksametason, metilkobalamin dan kombinasinya. Analisis statistik menggunakan uji Kruskal Wallis dan Mann Whitney. Hasil: Didapatkan penurunan ekspresi caspase 3 pada deksametason dibandingkan kontrol ( p=0,221) dan ekspresi caspase 7 pada deksametason terdapat peningkatan dibanding kontrol (p=0,513). Didapatkan penurunan ekspresi caspase 3 pada metilkobalamin dibandingkan kontrol (p=0,549) dan ekspresi caspase 7 pada metilkobalamin terdapat peningkatan dibanding kontrol (p=0,015*). Didapatkan penurunan ekspresi caspase 3 pada kombinasi dibandingkan kontrol (p= 1,00) dan ekspresi caspase 7 pada metilkobalamin terdapat peningkatan dibanding kontrol (p=0,042*). Kesimpulan: Terdapat kecenderungan penurunan caspase 3 dan peningkatan ekspresi caspase 7 pada deksametason dibandingkan kontrol. Terdapat kecenderungan penurunan ekspresi caspase 3 dan peningkatan ekspresi caspase 7 pada metilkobalamin dibandingkan kelompok kontrol. Tidak terdapat penurunan ekspresi caspase 3 dan kecenderungan peningkatan ekspresi caspase 7 pada kombinasi dibandingkan kontrol. Kata kunci: Metilkobalamin, intoksikasi metanol, caspase 3 dan 7
Pendahuluan: Seringkali pasien glaukoma datang dengan tekanan intra okuler (TIO) yang mencapai target, tetapi tetap menunjukkan progresivitas glaukoma akibat adanya fluktuasi TIO. Water drinking test (WDT) dapat digunakan sebagai metode untuk memprediksi fluktuasi TIO. Tujuan: Membandingkan hasil WDT pada glaukoma primer sudut terbuka (GSTaP) yang terkontrol dengan prostaglandin analogue (PGA) dan dengan selective laser trabeculoplasty (SLT). Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik intervensional dengan desain cross-sectional yang dilaksanakan di RSUP Dr. Kariadi. Subyek penelitian adalah penderita GSTaP yang dipilih secara consecutive sampling. Tekanan intraokuler diukur sebelum dan sesudah WDT. Sesudah WDT, TIO diukur tiap 15 menit hingga 1 jam. Data TIO puncak dan fluktuasi TIO dikumpulkan dan dianalisis menggunakan t-test. Hasil: Sebanyak 42 mata dari 30 orang penderita GSTaP diperiksa dalam penelitian ini. Kelompok PGA terdiri dari 26 mata, sedangkan kelompok SLT 16 mata. Subyek penelitian sebagian besar laki-laki dan memiliki derajat glaukoma awal. Water drinking test meningkatkan TIO secara signifikan pada kedua kelompok. Mean TIO pre WDT kelompok PGA 14,58 ± 2,580 mmHg, sedangkan kelompok SLT 16,94 ± 2,645 mmHg. Mean TIO puncak sebesar kelompok PGA 22,73 ± 4,114 mmHg, sedangkan kelompok SLT 25,75 ± 5,859 mmHg. Fluktuasi TIO kelompok PGA 8,15 ± 4,202 mmHg, sedangkan kelompok SLT 8,81 ± 5,344 mmHg. Hasil uji beda TIO puncak dan fluktuasi TIO pada kedua kelompok tidak berbeda bermakna. Simpulan: Tidak terdapat perbedaan hasil WDT pada pasien GSTaP yang terkontrol dengan PGA dan dengan SLT. Kedua jenis terapi memiliki kemampuan yang sama dalam mengendalikan fluktuasi TIO. Kata Kunci: Glaukoma sudut terbuka primer, prostaglandin analogue, selective laser trabeculoplasty, water drinking test.
Latar belakang : Latihan fisik secara intensif atau jangka lama akan menyebabkan remodeling yang kompleks terhadap anatomi dan fisiologi jantung untuk memperkuat kinerja kardiovaskuler. Namun, beberapa penelitian menunjukkan bahwa latihan intensif dapat menimbulkan stres fisiologis yang tidak rpoporsional terhadap ventrikel kanan. Ekhokardiografi digunakan untuk analisis dalam membedakan antara remodeling adaptif dan maladaptif. Tujuan : Membuktikan perbedaan struktur dan fungsi ventrikel kanan Taruna Akmil berdasarkan jenjang waktu pendidikannya. Metode : Penelitian observasional analitik dengan rancangan belah lintang pada 75 subyek Taruna Akmil (rerata usia 20,9+ 1,3 tahun) yang terdiri dari Taruna Tingkat I (n=25), Taruna Tingkat II (n=25), Taruna Tingkat III (n=25). Seluruh subyke menjalani pemeriksaan resting ekhokardiografi transtorakal dengan metode 2D, tissue Doppler imaging dan STE saat istirahat (resting echocardiographi). HAsil : Struktur VKa antar masing-masing kelompok Taruna tidak didapatkan perbedaan yang bermakna (RVD1, 37,1+2,7; 36,1+2,4; 37,2+2,3 mm, p=0,249; RVD2, 29,1+2,7; 27,7+2,9; 29,3+2,9 mm, p=0,158; RVD3 75,5+4,2; 74,9+3,7; 76,1+3,7 mm, p=0,554; diameter RVOT proximal, 28,8+3,1; 26,3+3,8; 27,4+2,9 mm, p=0,058; diameter RVOT distal, 21,2+1,8; 20,1+1,5; 20,5+1,7 mm, p=0,084). Parameter fungsi sistolik VKa juga tidak didapatkan perbedaan yang bermakna antar masing-masing kelompok Taruna (RVFAC, 43,0+8,8; 43,5+7,2; 43,4+5,7%, p=0,135; TAPSE, 2,46+0,30; 2,34+0,28; 2,39+0,27 cm, p=0,071; S' 0,154+0,018; 0,153+0,017; 0,158+0,026 m/s; p=0,224; MPI, 0,30+0,07; 0,32+0,09; 0,31+0,07; p=0,445; free wall longitudinal strain, -26,7+3,2; -24,8+4,6; -26,6+3,8, p=0,167). Fungsi diastolik yang dinilai dari aliran transtrikuspid dan pencitraan jaringan Doppler antar kelompok Taruna Akmil tidak terdapat perbedaan yang bermakna. Kesimpulan : Tidak terdapat perbedaan struktur dan fungsi ventrikel kanan Taruna Akmil yang diamati berdasarkan jenjang waktu pendidikannya. Kata kunci : latihan fisik, ventrikel kanan, Taruna Akmil, ekhokardiografi
Latar Belakang: Gagal jantung merupakan salah satu penyebab kejadian rawat inap dan rawat ulang paling sering di Rumah Sakit (RS). Data-data tentang karakteristik penderita gagal jantung kronis yang mengalami kejadian rawat ulang akibat eksaserbasi akut di RSUP Dr. Kariadi Semarang saat ini masih belum ada. Tujuan: Mengetahui gambaran karakteristik penderita gagal jantung akut dekompensata yang mengalami kejadian rawat ulang di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Metode: Penelitian ini adalah penelitian desktriptif dengan pendekatan belah lintang. Data rekam medis dikumpulkan secara retrospektif selama periode bulan Januari 2015 sampai dengan Desember 2015. Hasil: Total sampel penelitian adalah 151 orang. Rerata usia subyek adalah 57 tahun dengan proporsi pria sebesar 56,3%. Median lama rawat inap adalah 7 hari, dan angka kejadian rawat ulang dalam rentang 30 hari sesudah pulang dari RS sebesar 23,8%. Iskemik (33,8%) merupakan etiologi terbanyak, sedangkan kejadian infeksi (46,4%) merupakan faktor pencetus terbanyak dan hipertensi (60,3%) merupakan komorbiditas terbanyak. Angka penggunaan obat sebelum rawat ulang berupa angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACEI) atau angiotensin-receptor blocker (ARB) sebesar 54,3%, mineralocorticoid receptor antagonist (MRA) sebesar 49,7%, diuretik loop sebesar 48,3%, dan penyekat beta sebesar 23,2%. Beberapa pasien mengalami kenaikan kadar blood urea nitrogen (BUN) (70,9%), anemia (50,3%), dan hiponatremia (26,5%) pada saat rawat ulang. Kebanyakan pasien (55,63%) dengan Left Ventricle Ejection Fraction (LVEF)
Pendahuluan Intervensi koroner perkutan (IKP) merupakan salah satu pilihan tindakan invasif untuk pasien dengan infark miokard akut (IMA) baik pada single vessel disease (SVD) maupun multivessel disease (MVD). IKP inkomplet pada MVD memiliki plak residual yang apabila tidak stabil maka prognosis lebih buruk dan berisiko terhadap major adverse cardiovascular events (MACE). IL-6 merupakan salah satu penanda inflamasi pada IMA yang dapat memperkirakan risiko kardiovaskular yang merugikan. Tujuan Membandingkan perubahan kadar IL-6 pasca-IKP antara penderita IMA yang dilakukan revaskularisasi komplet dan inkomplet. Material dan Metode Subyek penelitian adalah semua NSTEMI dan STEMI dengan onset < 1 minggu yang dilakukan IKP di RSUP Dr. Kariadi Semarang periode bulan Oktober sampai dengan bulan Desember 2016 yang memenuhi kriteria inklusi. Subyek dikelompokkan ke dalam revaskularisasi komplet dan inkomplet berdasarkan hasil IKP dan dilakukan pemeriksaan IL-6 dari darah perifer pada 24 jam pasca-IKP dan pemeriksaan IL-6 kedua dengan interval waktu 1-2 minggu pasca-IKP. Hasil Penelitian 40 pasien (usia rata-rata: 54,55 tahun) dibagi menjadi dua kelompok: 19 pasien (47,5%) dengan revaskularisasi komplet dan 21 pasien (52,5%) dengan revaskularisasi inkomplet. Kadar IL-6 pada kelompok revaskularisasi komplet dan inkomplet terjadi penurunan yang signifikan masing-masing dengan p
Latar Belakang : Peningkatan harapan hidup masyarakat dunia diikuti peningkatan penggunaan alat pacu jantung permanen. Penggunaan pacu jantung bilik tunggal masih luas digunakan saat ini. Pacu jantung bilik tunggal menyebabkan disinkroni di dalam ventrikel kiri. Disinkroni kronik memicu peningkatan kejadian atrial fibrilasi dan stroke di masa depan. Disinkroni intraventrikel kiri diduga menyebabkan gangguan fungsi atrium kiri. Tujuan : Untuk mengetahui korelasi antara disinkroni intraventrikel kiri terhadap fungsi atrium kiri pada penderita dengan pacu jantung bilik tunggal. Metode : Penelitian secara cross-sectional pada penderita dengan alat pacu jantung permanen (APJP) bilik tunggal di poliklinik RSUP Dr.Kariadi antara bulan Oktober dan Desember 2016. Penderita menjalani pemeriksaan tissue doppler imaging (TDI) untuk disinkroni intraventrikel kiri. Penilaian fungsi atrium kiri didefinisikan sebagai left atrial emptying fraction (LAEF). Hasil : Terdapat 31 pasien (rerata usia 64,5 tahun) dan pemakaian APJP rata – rata 30,3 bulan menjalani pemeriksaan ekokardiografi. Penurunan LAEF mencapai 30,9% dan dilatasi dari volume atrium kiri (45,5 mL). Analisis bivariat menggunakan Spearman’s rho, didapatkan korelasi lemah antara disinkroni intraventrikel kiri dengan LAEF (p= 0,045 r=-0,362). Setelah dilakukan penyesuaian, hasil analisis multivariat linear regresi menyisakan disinkroni interventrikel (p= 0,021 r= -0,352) dan fraksi ejeksi ventrikel kiri (p= 0,002 r= -0,500) sebagai faktor independen yang berkorelasi dengan LAEF. Disinkroni intraventrikel kiri tidak bermakna secara statistik terhadap LAEF(p= 0,233 r= -0,198). Simpulan : Disinkroni intraventrikel kiri tidak berkorelasi terhadap LAEF pada penderita dengan APJP bilik tunggal. Penelitian lebih lanjut dengan kohort prospektif diperlukan untuk menunjukkan korelasi yang bermakna. Kata kunci : Disinkroni ventrikel kiri, fungsi atrium kiri, pacu jantung bilik tunggal
Latar Belakang: Penyakit jantung rematik (PJR) merupakan suatu komplikasi kronis dari demam rematik akut berulang yang disebabkan oleh Streptokokus Grup A. Reaktivasi silang akibat protein M Streptokokus Grup A memicu respon imun akibat mimikri molekuler. Polimorfisme gen IL-10 pada regio promoter -1082 dihipotesiskan mengurangi produksi IL-10 dan mempengaruhi kerentanan individu terhadap terjadinya PJR. Tujuan: Mendeskripsikan distribusi Polimorfisme gen IL-10 pada regio promoter -1082 dan ekspresi IL-10 katup mitral pada pasien PJR Indonesia. Metode: DNA diekstraksi dari darah perifer pasien PJR yang menjalani bedah ganti katup mitral periode Desember 2014 – September 2016 di RSUP Dr. Kariadi. Polimorfisme gen IL-10 diperiksa menggunakan metode high resolution melting analysis di laboratorium Pusat Riset Biomedik, dan dikonfirmasi menggunakan sequencing. Ekspresi IL-10 katup mitral dihitung dengan sistem skor Allred. Hasil: Dua puluh enam pasien diikutkan dalam penelitian, terdiri dari 26,9% pria dan 73,1% wanita. Dua puluh dua (84,62%) subyek memiliki genotype AA (wild type), 3 (11,53%) AG, dan 1 (3.85%) GG. Rerata ekspresi IL-10 adalah 3,9±1,78. Ekspresi IL-10 rendah (skor≤6) didapatkan pada 84,6% pasien. Ekspresi IL-10 rendah lebih banyak didapatkan pada kelompok wildtype dibanding dengan kelompok polimorfik (90,1% vs 50%). Kesimpulan: Polimorfisme gen IL-10 -1082 A/G ditemukan pada 15,4% pasien PJR. Pada kelompok polimorfisme ekspresi IL-10 lebih tinggi dibanding kelompok wild type. Kata Kunci: Interleukin-10, penyakit jantung rematik, polimorfisme regio promotor -1082, high resolution melting.
Latar belakang : Malnutrisi terjadi pada sebagian besar pasien multidrug resistant tuberculosis (MDR-TB). Penyebab malnutrisi secara umum adalah asupan gizi yang rendah dan meningkatnya kebutuhan gizi akibat inflamasi. Tujuan : Menganalisis faktor risiko malnutrisi pada pasien MDR-TB berdasarkan asupan energi, asupan protein, jumlah NLR, dan adanya komorbid diabetes mellitus (DM) tipe II. Metode : Jenis studi adalah cross-sectional dengan jumlah subjek 48 orang pasien MDR-TB di poli MDR-TB RSUP Dr. Kariadi Semarang. Hasil : Hasil studi didapatkan asupan energi yang rendah RP 1,24 (IK95% 0,187-8,28), asupan protein yang rendah RP 0,3 (IK95% 0,085-1,065), kadar NLR yang tinggi RP 0,23 (IK95% 0,243-23,1), dan komorbid DM tipe II RP 0,535 (IK95% 0,145-1,968). Semua variabel tersebut merupakan faktor risiko malnutrisi pada pasien MDR-TB. Simpulan : Studi ini menunjukkan bahwa asupan energi, asupan protein, jumlah NLR, dan komorbid DM tipe II bukan merupakan faktor risiko malnutrisi pada pasien MDR-TB. Kata kunci : MDR-TB, malnutrisi, asupan energi, asupan protein, NLR, DM tipe II.
Latar belakang : Terapi anti retroviral dapat meningkatkan status imunologi dan kelangsungan hidup pada pasien HIV, walaupun terdapat beberapa efek samping. Salah satu efek samping dari pengobatan adalah terjadinya perubahan komposisi tubuh dan perubahan abnormalitas metabolik. Tujuan : Mengetahui hubungan antara lama pemberian terapi anti retroviral dengan komposisi tubuh pada pasien HIV. Metode : Jenis penelitian korelasional, sebanyak 73 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yang berobat ke poliklinik VCT RSUP dr. Kariadi Semarang pada bulan November 2016. Subyek kemudian diperiksa komposisi tubuh dengan menggunakan alat bioelectrical impedance analysis (BIA). Hasil : Hasil penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara lama pemberian terapi anti retroviral, lipodistrofi dan aktifitas fisik dengan komposisi tubuh. Terdapat hubungan yang bermakna antara usia dan jenis kelamin dengan komposisi tubuh pada subyek penelitian. Simpulan : Tidak ada hubungan antara lama pemberian terapi anti retroviral dengan komposisi tubuh pada pasien HIV. Kata kunci : Terapi Anti Retroviral, Komposisi Tubuh, BIA
Latar belakang : Human immunodeficiency virus (HIV) mempengaruhi status gizi sejak awitan infeksi semua tahapan penyakit. Pasien HIV mengalami penurunan berat badan karena berbagai penyebab seperti mual, anoreksia, penyakit oportunistik dan asupan diet inadekuat sehingga berisiko malnutrisi. Risiko malnutrisi berhubungan dengan kemampuan kapasitas fungsional pasien HIV dan berakibat penurunan kekuatan otot. Penilaian kekuatan otot volunteer, kekuatan otot genggam (HGS) merupakan metode valid dan mudah dikerjakan. Diperkirakan asupan energi dan protein mempengaruhi HGS pasien HIV sehingga HGS dapat menjadi prediktor malnutrisi pasien HIV Tujuan : Menentukan hubungan antara asupan energi dan protein dengan HGS Metode penelitian : Penelitian ini menggunakan metode analisis korelasi, jumlah subyek enam puluh enam pasien rawat jalan di Poliklinik VCT RSDK Semarang selama November 2016 . Asupan energi dan protein dengan FFQ , penilaian HGS dengan dynamometer Jamar. Analisis statistik dengan uji Pearson Hasil : Tidak terdapat hubungan antara asupan energi dan HGS (p:0,720) dan asupan protein dan HGS (p:0,540). Tidak terdapat hubungan antara HGS dan usia (p:0,754), terdapat hubungan antara HGS dan jenis kelamin (p