Latar belakang: Kelainan ginjal sering dijumpai pada penderita talasemia dengan transfusi berulang. Kondisi ineffective erythropoiesis dan atau iron overload diduga berhubungan dengan kelainan ginjal yang terjadi. Saat ini masih sedikit penelitian yang meneliti tentang hubungan status besi dengan petanda kelainan ginjal pada talasemia dengan transfusi berulang. Tujuan: Membuktikan hubungan kadar feritin sebagai parameter iron overload dengan kadar neutrophil gelatinase associated lipocalin (NGAL) serum dan laju filtrasi glomerulus (LFG) formula Schwartz pada pasien talasemia dengan transfusi berulang. Metode: Penelitian observasional analitik dengan pendekatan belah lintang dilakukan pada bulan Maret-Agustus 2019 melibatkan 15 pasien talasemia RSUD Dr. R. Soedjati Grobogan dan 13 pasien talasemia RSUD Dr. R. Soetrasno Rembang yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Pemeriksaan kadar feritin dan NGAL serum menggunakan metode enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Pemeriksaan kreatinin serum untuk penentuan LFG formula Schwartz menggunakan metode kinetik. Analisis statistik menggunakan uji hubungan Spearman dengan p < 0,05 dianggap bermakna. Hasil: Nilai tengah (minimal; maksimal) kadar feritin dan NGAL serum secara berturut-turut adalah 2.692,5 ((504;9.521) µg/L; 37,39 (9,86;57,18) ng/mL serta LFG formula Schwartz adalah 138,38±34,40 ml/menit/1,73m2. Korelasi feritin dengan NGAL serum dan LFG formula Schwartz berturut-turut adalah r=-0,165, p=0,401; r=-0,465, p=0,013. Simpulan: Tidak terdapat hubungan antara kadar feritin dengan NGAL serum. Terdapat hubungan negatif sedang antara kadar feritin dengan LFG formula Schwartz. Kata kunci: Talasemia, transfusi, besi, feritin, NGAL, LFG formula Schwartz
Latar belakang: Hiperglikemia berkepanjangan dapat menimbulkan komplikasi lebih lanjut pada pasien Diabetes Melitus Tipe 2 (DMT2). Pemeriksaan HbA1c sebagai kontrol glikemik dapat mengetahui risiko komplikasi. N-Mid osteocalcin (N-Mid Oc) dipakai sebagai salah satu petanda deteksi dini osteoporosis. Peningkatan neutrophil lymphocyte ratio (NLR) merupakan petanda inflamasi sederhana untuk memantau progresivitas dan komplikasi kronik pada DMT2. Tujuan: Membuktikan adanya perbedaan petanda osteoporosis dan inflamasi antara DMT2 terkontrol dan tidak terkontrol. Metode: Penelitian observasional analitik dengan pendekatan belah lintang dilakukan pada bulan Juni - Juli 2019 melibatkan 58 pasien DMT2 di Rumah Sakit Nasional Diponegoro Semarang yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pemeriksaan N-Mid Oc diperiksa dengan metode ELISA dan Pemerikasaan NLR menggunakan hematology analyser, nilai NLR didapatkan setelah dihitung secara manual. Uji beda antar variabel penelitian mengunakan Mann-Whitney U test’s . Hasil: Median (min – maks) kadar N-Mid Oc pasien DMT2 terkontrol dan tidak terkontrol berturut-turut adalah 16,17 (4,98 – 37,28) ng/ml dan 12,29 (3,54 – 37,28) ng/ml dengan nilai p=0,004. Median (min – maks) NLR pasien DMT2 terkontrol dan tidak terkontrol berturut-turut adalah 1,82 (0,64 – 3,94) dan 2,41 (1,08 – 6,46) dengan nilai p=0,007. Simpulan: terdapat perbedaan bermakna dari N-Mid Oc dan NLR antara pasien DMT2 terkontrol dan tidak terkontrol. Kata kunci: HbA1c, N-Mid Oc, NLR, DMT2
Pendahuluan: Mean platelat volume merupakan indeks untuk menilai ukuran dan aktivitas trombosit. Trombosit besar mengandung lebih banyak granula dan memproduksi lebih banyak tromboksan A2 yang berperan terbentuknya trombus penyebab sumbatan aliran darah di otak dan berakibat lanjut pada kerusakan otak. Rasio Neutrofil Limfosit mempunyai peranan respon mediasi penting terhadap penyakit serebrovaskular. Vascular cell adhesion molecule-1 berperan dalam transduksi sinyal leukosit-endotel dalam perkembangan aterosklerosis dan digunakan sebagai petanda diagnostik stroke non hemoragik akut. Tujuan: Membuktikan hubungan petanda inflamasi akut dengan biomolekuler stroke non hemoragik. Metode: Pendekatan cross sectional pada 44 pasien penderita stroke non hemoragik di RS Tugurejo yang didiagnosis dengan CT-scan kepala non contrast bulan Januari-Mei 2019. Pemeriksaan MPV dan RNL mengunakan Sysmex XN-1000 dengan metode optikal dan nilai RNL didapatkan setelah dihitung secara manual. VCAM-1 diperiksa dengan metode ELISA. Uji hubungan antar variabel penelitian mengunakan korelasi Pearson dan Spearman’s. Hasil: Analisis hubungan antara MPV dan VCAM-1 yaitu r=0,201, p=0,190, sedangkan hubungan antara RNL dan VCAM-1 r=0,197 dan p=0,200. Simpulan: Tidak terdapat hubungan antara MPV maupun RNL dengan VCAM-1 secara statistik, tetapi terjadi peningkatan MPV, RNL dan VCAM-1 lebih dari 48 jam onset SNH Kata kunci: MPV, RNL, VCAM-1, Stroke non hemoragik.
Pendahuluan: Penyakit ginjal tahap akhir (PGTA) dapat mempengaruhi metabolisme mineral, seperti kalsium, magnesium dan fosfat. Osteopontin yang dikeluarkan oleh ginjal berfungsi menghambat kalsifikasi vaskuler. Pemeriksaan rasio Ca:Mg dan nilai Ca x P pada PGTA untuk melihat komplikasi kearah kalsifikasi pembuluh darah dan dianggap lebih baik daripada pemeriksaan tunggal. Tujuan: Menganalisis hubungan kadar Osteopontin dengan rasio Ca:Mg dan nilai Ca x P pada pasien PGTA. Metode: Penelitian observasional analitik dengan pendekatan belah lintang dilakukan pada bulan Februari-Juni 2019 melibatkan 30 pasien PGTA saat melakukan hemodialisis RS Permata Medika Semarang yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Kadar kalsium, magnesium dan fosfat diukur menggunakan alat K lite cornley dengan metode ion selective electrode (ISE) dan rasio Ca:Mg dan Ca x P dihitung manual. Pemeriksaan kadar osteopontin menggunakan metode ELISA. Analisis statistik menggunakan uji Spearman dengan p
Latar belakang : Stroke iskemik merupakan aterosklerosis yang menjadi plak ateroma, kemudian ruptur, menyebabkan emboli, oklusi pembuluh darah dan kematian sel neuron parenkim otak. Inflamasi setelah gangguan aliran darah ke otak menyebabkan edema, nekrosis dan infark jaringan. Petanda inflamasi yang terlibat dalam stroke iskemik diantaranya adalah prokalsitonin dan interleukin 6. Stres oksidatif dengan molekul utama nitric oxide (NO) memegang peranan penting dalam patofisiologi stroke iskemik. National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS) merupakan instrumen pengukuran derajat keparahan stroke. NIHSS mengukur defisit neurologis, memfasilitasi komunikasi pasien dengan tenaga medis, mengevaluasi dan menentukan perawatan, prognosis, komplikasi serta intervensi yang diperlukan. Tujuan : Membuktikan adanya perbedaan petanda inflamasi dan stres oksidatif pada derajat keparahan stroke iskemik. Material dan Metode : Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional menggunakan uji beda. Sebanyak 80 sampel dibagi 2 kelompok yaitu kelompok 1 dengan skor NIHSS ringan-sedang dan kelompok 2 dengan skor NIHSS berat-sangat berat. Kadar PCT diperiksa dengan metode sandwich-CLIA, IL-6 dengan metode ELISA dan NO dengan metode kolorimetrik. Uji beda menggunakan Mann Whitney. Hasil Penelitian : Didapatkan kadar PCT pada kelompok 2 lebih tinggi dibandingkan kelompok 1 [median 5147,3 dan 4057,2 (pg/ml), p=0,013], kadar IL-6 lebih tinggi pada kelompok 2 dibandingkan kelompok 1 [median 26 dan 18,55 (pg/ml), p=0,035] dan kadar NO lebih tinggi pada kelompok 2 dibandingkan kelompok 1 [median 31,05 dan 18,85 (μmol/L), p=0,012] dengan nilai p
Latar belakang: Kondisi Chronic kidney disease (CKD) dapat terjadi proses inflamasi dan aterosklerosis akan melibatkan marker inflamasi, disfungsi endotel sVCAM-1, asam urat (AU) dan peran elektrolit magnesium berhubungan dengan patofisiologi CKD. Soluble vascular cell adhesion molecule-1 (sVCAM-1) merupakan biomolekuler marker inflamasi dan disfungsi endotel, AU sebagai marker inflamasi dan magnesium berperan dalam metabolisme elektrolit ginjal. Tujuan: Membuktikan hubungan antara sVCAM-1 dengan kadar asam urat (AU) dan magnesium (Mg) pada pasien CKD. Metoda Penelitian: Penelitian belah lintang dilakukan pada 33 penderita CKD belum pernah hemodialisis, sampel diambil selama bulan Maret - Juni 2019. Nilai LFG dihitung menggunakan rumus Cockcroft-Gault. Kadar sVCAM-1 diperiksa menggunakan metode ELISA. Kadar asam urat diperiksa dengan metode fotometrik enzimatik dan magnesium diperiksa dengan kolorimetrik Xylidil blue menggunakan alat ADVIA. Uji hubungan menggunakan uji Pearson untuk data normal dan Spearman’s untuk data tidak normal. Hasil: Nilai LFG pada penelitan ini 46,48 ± 11,44 ml/min/1,73m2. Median kadar VCAM-1 adalah 715 (564 – 991) ng/dL. Median untuk kadar asam urat adalah 9,2 (7,8 – 15,2) mg/dL. Hubungan sVCAM-1 dengan kadar asam urat serum didapatkan korelasi dengan r = 0,488 dan p = 0,004. Terdapat hubungan sVCAM-1 dengan kadar magnesium serum dengan r = -0,442; p = 0,010. Simpulan: Terdapat hubungan positif sedang antara sVCAM-1 dengan asam urat serum, terdapat hubungan negatif sedang antara sVCAM-1 dengan magnesium serum. Kata kunci : CKD, LFG, sVCAM-1, asam urat, magnesium.
Latar belakang : Gastrointestinal stromal tumor (GIST) merupakan tumor mesenkimal tersering di saluran pencernaan yang berasal dari intestinal cells of Cajal yang terdapat pada lapisan muskularis traktus gastrointestinal, yang berfungsi sebagai pacemaker cell dalam mengatur motilitas intestinal. Dari hasil penelitian di masyarakat Islandia dan Swedia menunjukkan insidensi GIST sebesar 11 hingga 14,5% di antara 100.000 penduduk pertahun. Dari literature World Health Organitation (WHO) membagi GIST ke dalam beberapa tingkat agresifitas berdasarkan ukuran tumor GIST dan jumlah mitosis yang ditemukan. Beberapa jurnal penelitian mengatakan bahwa pemeriksaan imunohistokimia Ki-67 dapat mengukur tingkat proliferasi sel tumor, termasuk GIST. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara ekspresi Ki-67 dengan index mitosis dan ukuran tumor untuk memprediksi prognosis dan agresifitas keganasan pada pasien GIST di RSUP dr. Kariadi Semarang. Metode: Terdapat 23 sampel kasus GIST selama Januari 2016 hingga Desember 2018 di RSUP dr. Kariadi Semarang yang terkonfirmasi CD117 positif dan rekam medis tentang ukuran tumor, kemudian dilakukan pengecatan hematoxylin-eosin untuk menghitung jumlah mitosis dan dilanjutkan ke pemeriksaan imunohistokimia KI67. Perbedaan setiap variabel akan dianalisa secara statistik dengan metode chi-square. Hasil : Hasil penelitian menunjukkan hubungan signifikan antara ekspresi Ki-67 dengan index mitosis (p0,1). Artinya semakin tinggi nilai ekspresi Ki- 67 maka semakin tinggi index mitosis dalam GIST. Hal yang sama juga berarti meningkatnya index KI67 meningkatkan risiko agresivitas dan makin buruk prognosis GIST. Kesimpulan : Terdapat hubungan signifikan antara ekspresi Ki-67 dengan index mitosis dan hubungan yang tidak signifikan antara ekspresi Ki-67 dengan ukuran tumor. Kata kunci: Gastrointestinal Stromal Tumor, GIST, KI67, Mitosis, Ukuran Tumor
Pendahuluan: Pestisida, suatu bahan kimia yang banyak di gunakan dalam pengendalian hama pertanian,diketahui sebagai agen karsinogenik. Paparan pestisida dapat dipantau dengan mengukur kadar metabolit trans-trans muconic acid (tt-MA) dalam urin dan kadar kolinesterase dalam darah. Trans-trans muconic acid (tt-MA) merupakan suatu metabolit non fenol yang di ekskresikan melalui urin. Pemeriksaan tt-MA direkomendasikan sebagai biomarker paparan pestisida. Tujuan: Menganalisis hubungan paparan pestisida melalui pengukuran kadar tt-MA urin terhadap kejadian lekemia akut pada anak di RSUP Kariadi. Metode: Suatu studi kasus kontrol yang dilakukan di RSUP Kariadi antara Januari-Desember 2018. Pasien lekemia rawat inap diikutkan dalam penelitian. Data paparan pestisida diperoleh dari skoring kuesioner yang menilai pekerjaan orang tua dan tempat tinggal (berisiko terpajan dan tidak), serta lama dan intensitas paparan pestisida. Kadar tt-MA urin diukur dengan Liquid Chromatography Mass Spectrophotometry (LCMS). Analisis data menggunakan uji Kai Kuadrat dan uji Fisher's Exact sebagai alternatif. Hasil: Pada penelitian ini usia rata-rata adalah 9,50 tahun pada kelompok kontrol, dan 6,96 tahun pada kelompok kasus. Pada kelompok kontrol, rerata kadar tt-MA urin 180,38 (SD ±152,06) mg/l dan pada kasus sebesar 443,44 (SD ± 338,18) mg/l yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara peningkatan kadar tt-MA dalam urin dengan kejadian lekemia pada anak (OR 0,593; IK 95% 1,667- 80,406; p= 0,001). Namun tidak terdapat hubungan bermakna antara variabel-variabel yang menunjukkan paparan pestisida yaitu pekerjaan orang tua (OR 0,71; IK 95% 0,209-8,841; p= 0,749), tempat tinggal (OR 0,678; IK 95% 0,192-7,230; p=0,860), usia (OR 0,682; IK 95% 0,467-14,05; p=0,279), serta lama dan intensitas paparan (p=0,313) dengan kejadian lekemia akut anak. Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan bermakna antara paparan pestisida terhadap kejadian lekemia anak. Namun, terdapat hubungan bermakna antara peningkatan kadar tt-MA dalam urin terhadap kejadian lekemia akut pada anak. .Kata Kunci : pestisida, trans-trans muconic acid, tt-MA, lekemia akut
Latar Belakang: Penggunaan antibiotik yang tidak bijak masih cukup tinggi dan dapat meningkatkan risiko resistensi antibiotik serta menjadi problem dunia yang mengkhawatirkan. Penggunaan antibiotik yang tidak bijak ini harus diperbaiki, antara lain dengan melakukan pelatihan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA) pada dokter di rumah sakit. Tujuan: Mengevaluasi efektifitas pelatihan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba terhadap kualitas dan kuantitas penggunaan antibiotik pada pasien anak yang dirawat di dua Rumah Sakit di Jawa tengah. Metode : Penelitian ini merupakan studi two groups pre and post quasi experimental. Kualitas penggunaan antibiotik diukur dengan metode vd Meer-Gyssens (2001). Kuantitas penggunaan antibiotik diukur dengan DDD/100 pasien hari. Pelatihan dokter spesialis anak dilakukan hanya di RS A dengan menggunakan metode ceramah dan skill station, adapun di RS B tidak dilakukan pelatihan (sebagai kontrol). Perbedaan kualitas penggunaan antibiotik dianalisis menggunakan uji Chi-square. Perbedaan kuantitas penggunaan antibiotik diuji dengan t test atau Mann-Whitney. Hasil : Penggunaan antibiotik dengan kualitas bijak pada RS Adan B berturut-turut sebanyak 6.7% dan 13.6% di awal masa pengamatan (p=0.55), dan menjadi 28.9% dan 23.6 di akhir masa pengamatan (p=0.39). DDD/100 pasien-hari total antibiotik di RS A dan B berturut-turut 0.28 dan 0.58 di awal pengamatan (p=0.149); dan berubah menjadi 0.36 dan 0.26 di akhir masa pengamatan (p= 0.26). DDD/100 pasien-hari untuk sefotaksim di RS A berkurang secara bermakna dari 0.12 menjadi 0.07 (p=0.03). Kesimpulan: Kualitas dan kuantitas penggunaan antibiotik pada RS yang diberi pelatihan dan RS yang dilakukan pengamatan tidak berbeda bermakna. Kata Kunci: Kualitas, kuantitas penggunaan antibiotik, anak, PPRA
Latar belakang : Asma adalah penyakit kronik yang sering ditemukan pada anak dan prevalensinya meningkat pada anak dan dewasa dalam dua dekade terakhir. Tujuan penelitian : Mengetahui prevalensi dan faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian asma pada anak usia 13-14 tahun. Metode : Penelitian dilakukan menggunakan metode cross sectional. Subyek penelitian didapatkan secara cluster sampling di Kota Semarang yang dibagi menjadi 5 subarea. Data diperoleh menggunakan kuesioner ISAAC. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat dengan chi square test. Hasil : Faktor risiko terhadap kejadian asma adalah riwayat atopi orang tua (p=0,001 OR 13,4 95% CI=6,96-25,99), riwayat atopi anak (p