INTEGRATED LIBRARY

Universitas Diponegoro

  • Beranda
  • Informasi
  • Berita
  • Bantuan
  • Pustakawan
  • Masuk
  • Pilih Bahasa :
    Bahasa Arab Bahasa Bengal Bahasa Brazil Portugis Bahasa Inggris Bahasa Spanyol Bahasa Jerman Bahasa Indonesia Bahasa Jepang Bahasa Melayu Bahasa Persia Bahasa Rusia Bahasa Thailand Bahasa Turki Bahasa Urdu

Ditapis dengan

  • Tahun Penerbitan
    1 99819 931 9941 99819 931 9941 998 — 19 931 9941 9984 984 4979 966 99614 949 49519 931 994
  • Lokasi
    Lihat Lebih Banyak
Ditemukan 10000 dari pencarian Anda melalui kata kunci: subject="physical chemistry"
Hal. Awal Sebelumnya 116 117 118 119 120 Berikutnya Hal. Akhir
cover
PERBEDAAN PENGARUH PROPOFOL DAN SEVOFLURANE TERHADAP KADAR S100B PADA PASIEN DENGAN MENINGIOMA YANG MENJALANI OPERASI KRANIOTOMI
By Irwan Wibowo ; Taufik Eko Nugroho ; Johan Arifin
-- Semarang : FK Undip, 2021

Latar belakang : Pembedahan dengan anestesi umum merupakan terapi lini pertama pada kasus meningioma. Cedera primer yang terjadi selama pembedahan tidak dapat dihindari, termasuk tindakan teknik invasif minimal. Propofol dan sevoflurane memiliki memiliki efek neuroprotektif. Protein S100B merupakan salah satu biomarker yang dapat digunakan pada kejadian cedera otak fase akut. Tujuan : Mengetahui perbedaan pengaruh propofol dan sevoflurane terhadap kadar S100B pada pasien dengan meningioma yang menjalani operasi kraniotomi. Metode : Penelitian ini adalah analitik eksperimental dengan desain pre dan post test. Variabel data ditentukan dengan consecutive sampling yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dan dibagi dalam dua kelompok. Beda antar kelompok sebelum dan sesudah dengan obat anestesi yang sama diuji dengan uji statistik paired Ttest. Beda antar dua kelompok agen anestesi diuji dengan uji statistik independent T-test. Hasil : Terdapat 34 total sampel penelitian. Terdapat perbedaan S100B yang signifikan antara preoperasi dan postoperasi pada kedua kelompok. Kelompok propofol (p= 0,000) dengan rerata preoperasi (6,2 ± 2,83) dan postoperasi (15,60±7,47). Kelompok sevoflurane (p= 0,000) dengan rerata preoperasi (7,32 ±3,45) dan postoperasi (12,07 ± 4,79). Selisih kenaikan protein S100B pada kelompok propofol lebih tinggi (9,4 ± 7,52) dari pada sevoflurane kelompok sevoflurane (4,7 ± 3,28) dengan nilai (p =0,014). Kesimpulan : Kenaikan protein S100B pada pasien meningioma yang menjalani operasi kraniotomi dengan penggunaan propofol lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan sevoflurane. Kata Kunci : anestesi; kraniotomi; propofol; sevofluran; S100B

Ketersediaan1
Tambahkan ke dalam keranjang
Unduh MARCSitasi
cover
PENINGKATAN RASIO NEUTROFIL LIMFOSIT, SERUM LAKTAT, DAN KADAR IL17 TERHADAP LUARAN KLINIS PASIEN SEPSIS DI RUANG INTENSIF RSUP DR KARIADI SEMARANG
By Fredy Danan Putra Sanjaya ; Danu Soesilowati ; Johan Arifin
-- Semarang : FK Undip, 2020

Latar Belakang: Rasio neutrofil limfosit (RNL) adalah salah satu parameter cepat dan mudah untuk stres dan inflamasi sistemik yang menggambarkan tingkat keparahan penyakit pada pasien dengan penyakit kritis. Pada pasien sepsis terjadi disregulasi pada sirkulasi tubuh yang ditandai dengan hipoperfusi jaringan. Salah satu penanda hipoperfusi jaringan atau kegagalan sirkulasi adalah meningkatnya kadar laktat. IL17 adalah salah satu sitokin pro inflamasi yang kadarnya meningkat pada keadaan sepsis. Tujuan: Mengetahui peningkatan rasio neutrofil limfosit, laktat, dan kadar IL17 dapat menjadi prediktor luaran klinis pada pasien sepsis. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain cross sectional dengan jumlah sampel 33 pasien. Pasien ruang intensif dengan Qsofa ≥ 2 dan dicurigai infeksi diambil sampel darah untuk dilakukan pemeriksaan darah tepi hitung jenis leukosit, kadar laktat, dan kadar IL17, kemudian data dianalisis menggunakan kurva ROC. Hasil: Rasio neutrofil limfosit ≥ 12,00 memiliki kecenderungan 64,7% pasien meninggal. Kemudian kadar laktat ≥ 4,35 memiliki kecenderungan 68,8% pasien meninggal dengan nilai p

Ketersediaan1
Tambahkan ke dalam keranjang
Unduh MARCSitasi
cover
PERBANDINGAN PENGGUNAAN FENTANYL 1 μg/kgBB DAN 1.5 μg/kgBB TERHADAP SUPRESI BATUK PADA PROSEDUR BRONKOSKOPI
By Shazita Adiba Martyarini ; Hari Hendriarto Satoto ; Widya Istanto Nurcahyo
-- Semarang : FK Undip, 2021

Latar belakang : Teknik moderate sedation mulai banyak digunakan untuk prosedur bronkoskopi sehingga membutuhkan agen sedatif yang mudah digunakan, onset cepat, durasi kerja singkat, dan pemulihan kognitif cepat. Batuk merupakan efek paling tidak menyenangkan dari prosedur ini sehingga supresi batuk penting untuk kualitas bronkoskopi. Tujuan : Menilai supresi batuk pada pemberian fentanyl 1μg/kgBB dan 1.5 μg/kgBB pada pasien bronkoskopi. Metode : Dilakukan uji komparatif analitik dengan tiga kelompok tidak berpasangan dengan 54 orang subjek penelitian yang dibagi secara acak. Uji hipotesis untuk menilai perbedaan supresi batuk antara kelompok Fentanyl 1 μg/kgBB, 1.5 μg/kgBB , dan kontrol dengan uji one way Anova dan Post Hoc Bonferroni apabila data berdistribusi normal atau uji Kruskall-Wallis dan Post Hoc Mann-Whitney apabila data tidak berdistribusi normal. Turut dinilai perbedaan tanda vital awal sebelum dilakukan tindakan dan setelah pemberian obat. Hasil : Analisis statistik menunjukkan perbedaan bermakna (p

Ketersediaan1
Tambahkan ke dalam keranjang
Unduh MARCSitasi
cover
PERBANDINGAN PENGARUH PROPOFOL 1 MG/KGBB IV DENGAN MIDAZOLAM 0,1 MG/KGBB IV TERHADAP EFEKTIFITAS TERAPI KEJANG LISTRIK DINILAI DARI DURASI KEJANG DAN SKOR PANSS
By Doso Sutiyono ; Soesmeyka Savitri ; Wahyuni Mahmud ; Bondan Irtani Cahyadi
-- Semarang : FK Undip, 2021

Latar Belakang : Terapi kejang listrik (Electroconvulsive Therapy) merupakan pilihan pengobatan andalan dalam Psikiatri selain terapi farmakoterapi. Diberikan pada pasien dengan penyakit berat yang membutuhkan tatalaksana cepat atau pada pasien yang mengalami kegagalan terapi farmakologis. Penggunaan sedasi pada ECT dapat menimbulkan penurunan ambang kejang, sehingga mengurangi bahkan menghilangkan efek terapi ECT. Sehingga diperlukan kombinasi sedasi yang tepat, agar tidak mempengaruhi hasil ECT. Tujuan : Mengetahui perbandingan pengaruh Propofol 1 mg/kgBB IV + Ketamin 0,2 mg/kgBB IV dengan Midazolam 0,1 mg/kgBB IV + Ketamin 0,2 mg/kgBB IV terhadap efektifitas terapi kejang listrik. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan desain cross sectional dengan sampel 44 pasien. Sampel adalah semua pasien yang mendapatkan terapi kejang listrik dengan anestesi pada Bangsal Kenari RSUP Dr. Kariadi yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Pemilihan sampel dilakukan dengan simple random sampling, sampel dibagi menjadi 2 kelompok yang masing-masing dilakukan pengukuran durasi kejang motorik dan EEG, tekanan arteri rerata, nadi pasien, dan skor PANSS, data dikumpulkan dan dicatat untuk dianalisis. Hasil : Terdapat perbedaan yang bermakna pada durasi kejang dan perbedaan yang tidak bermakna pada hemodinamik serta skor PANSS setelah pemberian Propofol 1 mg/kgBB IV + Ketamin 0,2 mg/kgBB IV dibandingkan dengan midazolam 0,1 mg/kgBB IV + Ketamin 0,2 mg/kgBB IV pada terapi kejang listrik. Simpulan : Pemberian propofol menawarkan stabilitas hemodinamik yang baik dan durasi kejang yang lebih optimal dan perbaikan skor PANSS. Kata Kunci : Terapi elektrokonvulstif, Propofol, Midazolam

Ketersediaan1
Tambahkan ke dalam keranjang
Unduh MARCSitasi
cover
PERBANDINGAN EFEKTIVITAS ANTARA REMIFENTANIL DAN FENTANIL INTRAVENA PADA OPERASI KRANIOTOMI ELEKTIF
By Arinda Anggana Raras ; Himawan Sasongko ; M. Sofyan Harahap
-- Semarang : FK Undip, 2020

Latar belakang : Kraniotomi disasosiasikan dengan stimulus intens yang membutuhkan anti nyeri untuk memelihara kedalaman anestesi. Opioid dapat menurunkan kebutuhan obat hipnotis dan sedasi serta mempertahankan respon hemodinamik pada batas normal saat diberikan stimulasi nyeri kuat. Opioid sintetik,fentanyil sering digunakan dimana tidak memiliki efek besar pada perubahan cerebral blood flow (CBF). Opioid dengan onset kerja ultra-pendek seperti remifentanil mulai populer karena memiliki efek serupa pada TIK dan tekanan perfusi otak (CPP) dibandingkan fentanil. Tujuan : Mengetahui perbandingan efektivitas antara remifentanil dan fentanil intravena pada operasi kraniotomi elektif. Metode : Penelitian dilakukan dengan uji klinis acak pada pasien yang menjalani operasi kraniotomi elektif di Instalasi Bedah Sentral RSUP Kariadi Semarang. Pasien dibagi menjadi dua kelompok; kelompok pertama mendapat remifentanil intravena 3 menit sebelum induksi dengan bolus 1mcg/kgbb selama 30 detik dilanjutkan dosis pemeliharaan diberikan secara kontinus intravena dengan syringe pump dengan dosis 0,2 mcg/kgbb/menit dihentikan pada saat jahitan kulit selesai., dan kelompok kedua mendapatkan fentanil intravena 3 menit dengan dosis bolus 2 mcg/kgbb dilanjutkan dosis pemeliharaan diberikan secara kontinus intravena dengan syringe pump dengan dosis 0,02 mcg/kgbb/menit dengan terakhir pemberian obat saat pin kepala dilepas. Dicatat data hemodinamik, kebutuhan obat yang berhubungan dengan anestesi, agen inhalasi sevoflurane dan waktu membuka mata. Analisa statistik data tidak normal dengan Mann-whitney test. Data sebaran normal dengan independent T test. Hasil : Pada kelompok remifentanil rata-rata total penggunaan propofol adalah 992,50 ± 708,87 mg dan 1184,17 ± 1056,55 mg pada kelompok fentanil,nilai p 0,506. Pada kelompok remifentanil untuk rata-rata total penggunaan rocuronium 119,17 ± 88,78 mg dan 148,75 ± 106,82 mg pada kelompok fentanil dengan nilai p 0,310. Pada penggunaan sevoflurane pada kelompok remifentanil rata-rata 90,58 ± 38,26 ml sedangkan pada kelompok fentanil 104,58 ± 59,33 ml dan hasil kurang bermakna dengan nilai p 0,222. Penggunaan naloxone pada kedua kelompok yang didapatkan hasil yang bermakna dengan nilai p 0,019 (p

Ketersediaan1
Tambahkan ke dalam keranjang
Unduh MARCSitasi
cover
PERBANDINGAN PENGARUH PEMBERIAN KETAMIN 0,1mg/KgBB DAN PARASETAMOL 1000 mg SECARA INTRAVENA TERHADAP KADAR INTERLEUKIN-6 PADA PASIEN PASCA LOWER LIMB ORTHOPEDIC SURGERY
By Adi Sakti Setionegoro ; Aria Dian Primantika ; Satrio Adi Wicaksono
-- Semarang : FK Undip, 2021

Latar Belakang: Lower Limb Orthopedic Surgery merupakan tindakan bedah ortopedik pada ekstremitas inferior yang meliputi tulang, sendi, dan vaskuler. Peningkatan interleukin-6 (IL-6) sistemik setelah pembedahan meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasca operasi. Ketamin dan parasetamol mempengaruhi ekspresi IL-6. Tujuan: Membandingkan pengaruh pemberian ketamin 0.1mg/Kg IV dengan parasetamol 1000 mg IV terhadap kadar IL-6 pada pasien pasca Lower Limb Orthopedic Surgery yang mendapatkan regional anestesi. Metode: Randomized Control Trial pada 54 pasien yang telah menjalani Lower Limb Orthopaedic Surgery dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel dibagi menjadi 3 kelompok yang terdiri dari kontrol (K); epidural bupivacaine 0.125%, Perlakuan 1 (P1); dengan tambahan ketamin 0.1 mg/KgBB IV dan Perlakuan 2 (P2); dengan tambahan parasetamol 1000 mg IV pasca operasi. Sampel darah diambil 2 jam pasca operasi untuk diukur kadar interleukin-6 menggunakan metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Analisis dilakukan dengan uji Kruskal Wallis dilanjutkan dengan post hoc uji Mann-Whitney dan hasil signifikan jika nilai p

Ketersediaan1
Tambahkan ke dalam keranjang
Unduh MARCSitasi
cover
HUBUNGAN JENIS DAN JUMLAH SIKLUS KEMOTERAPI DENGAN GANGGUAN EMISI AKUSTIK PADA KEGANASAN ANAK
By Reza Firmansah ; Pujo Widodo ; Dwi Marliyawati
-- Semarang : FK Undip, 2020

Latar Belakang : Keganasan pada anak relatif jarang diperkirakan 5% dari semua jenis keganasan. Kemoterapi merupakan terapi utama untuk beberapa jenis keganasan pada anak. Jenis kemoterapi platinum dapat menyebabkan gangguan pendengaran karena bersifat ototoksik (60-70%). Gangguan pendengaran dapat di deteksi dini dengan pemeriksaan otoaccoustic emission (OAE). Tujuan : Mengetahui hubungan jenis dan jumlah siklus kemoterapi dengan gangguan emisi akustik pada keganasan anak. Metode : Penelitian belah lintang pada 89 anak dengan keganasan di RSUP Dr.Kariadi Semarang. Kriteria inklusi adalah pasien telah menjalani minimal 3 siklus kemoterapi, Timpanometri tipe A orang tua/pasien setuju diikutkan dalam penelitian. Kriteria eksklusi yaitu bila terdapat riwayat kelainan kongenital, keterlambatan bicara, diabetes melitus hipertensi, penyakit jantung, gagal ginjal, pemakaian obat-obatan (antibiotik, NSAID, kina) dalam jangka lama, radiasi kepala dan leher, riwayat paparan bising serta penderita dengan perubahan regimen kemoteapi ditengah pengobatan. Gangguan emisi akustik dinilai dari hasil OAE dengan kriteria hasil pemeriksaan pass ≤5 frekuensi dan SNR 3 kali, 28 pasien (35,1%) yang mengalami gangguan emisi akustik. Uji chi-square menunjukkan hubungan yang bermakna antara jenis kemoterapi platinum (p 0,0005), jumlah siklus > 3 kali (p 0,042) dengan dengan gangguan emisi akustik. Kesimpulan : Jenis kemoterapi platinum, siklus kemoterapi >3 kali berhubungan dengan gangguan emisi akustik pada anak dengan keganasan. Kata kunci: Kemoterapi, gangguan emisi akustik, keganasan anak

Ketersediaan1
Tambahkan ke dalam keranjang
Unduh MARCSitasi
cover
PENGARUH ASAP ROKOK TERHADAP PERUBAHAN HISTOPATOLOGI TUBA EUSTACHIUS TIKUS WISTAR
By Dewi Susilowati ; Zulfikar Naftali ; Dwi Marliyawati
-- Semarang : FK Undip, 2020

Latar Belakang: Bahaya asap rokok semakin meningkat tiap tahun menghasilkan sejumlah efek kesehatan yang merugikan termasuk penyakit pada gangguan tuba eustachius. Penelitian yang membahas tentang perubahan histopatologi tuba eustachius yang diinduksi atau dipaparkan asap rokok masih sangat terbatas, terlebih pada tingkat dosis tertentu. Tujuan: Mengetahui pengaruh paparan asap rokok dosis bertingkat dengan perubahan histopatologi tuba eustachius tikus wistar. Metode: Penelitian true experiment with post-test only control group design menggunakan tikus wistar sebagai subjek penelitian. Jumlah tikus masingmasing kelompok adalah 6 ekor. Total tikus wistar yang digunakan adalah 24 ekor. Penelitian ini dibagi menjadi 4 kelompok. Kelompok kontrol yang tidak diberi paparan asap rokok. Pada kelompok perlakuan 1,2,3 masing-masing diberi paparan asap rokok 4 batang, 8 batang, 12 batang per hari selama 30 hari. Preparat dilihat dan dinilai oleh 2 analisis Patologi Anatomi. Data primer yang telah diperoleh diolah dengan program komputer. Ethical clearance diperoleh dari Komisi Etik Penelitian Kesehatan (KEPK) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang. Hasil: Perbedaan bermakna didapatkan pada kelompok kontrol dan kelompok perlakuan, kelompok perlakuan 1 dan perlakuan 2, kelompok perlakuan 2 dan perlakuan 3. Hasil analisis menunjukkan terdapat perubahan histopatologi tuba eustachius tikus wistar dengan pemberian asap rokok dosis bertingkat. Kesimpulan: Asap rokok dengan dosis bertingkat memiliki pengaruh terhadap perubahan histopatologi tuba eustachius. Kata Kunci: asap rokok, tuba eustachius,rokok filter

Ketersediaan1
Tambahkan ke dalam keranjang
Unduh MARCSitasi
cover
SENSITIVITAS DAN SPESIFITAS OTOACOUSTIC EMISSIONS (OAE) TERHADAP KEJADIAN KURANG DENGAR SENSORINEURAL PADA PENYELAM
By Sufi Yani Muslimah ; Zulfikar Naftali ; Dian Ayu Ruspita
-- Semarang : FK Undip, 2020

Latar belakang : Menyelam merupakan kegiatan yang memiliki resiko besar dimana terjadi perubahan tekanan pada tubuh dengan lingkungan sekitar. Telinga dalam merupakan salah satu organ yang sering mengalami cidera akibat menyelam sehingga menimbulkan kerusakan outer hair cell (OHC). Kerusakan OHC tersebut dapat disebabkan oleh perubahan tekanan saat masuk dan keluar dari air. Perubahan ini mempengaruhi aliran oksigen ke stria vaskularis sehingga dapat menyebabkan kurang pendengaran sensori neural. Tujuan : Membuktikan sensitivitas dan spesifisitas OAE lebih baik dibandingkan pemeriksan audiometri pada penilaian kerusakan outer hair cell (OHC) berkaitan dengan kurang pendengaran sensorineural pada penyelam dengan atau tanpa keluhan kurang pendengaran. Metode : Penelitian ini merupakan uji diagnostik dengan menilai sensitivitas dan spesifisitas OAE dengan pengambilan sampe menggunakan consecutive sampling. Sampel merupakan penyelam self contained underwater breathing apparatus (SCUBA), yang dilakukan pemeriksaan timpanometri, Distortion Product Otoacouatic Emissions (OAE) dan audiometri. Analisis uji diagnostik sensitivitas dan spesifisitas menggunakan tabel dua kali dua dengan indeks OAE dan standar referensi audiometri. Hasil : Sampel sebanyak 23 dilakukan pemeriksaan selama maret hingga mei 2020. Hasil pemeriksaan OAE dalam menilai sensitivitas kerusakan OHC sebesar 66,7%, dengan spesifitas 40 %. Simpulan : Pemeriksaan OAE memiliki sensitivitas dan spesifisitas sebesar 66.7% dan 40% dalam menentukan kurang pendengaran SNHL pada penyelam, tidak lebih baik dari pada audiometri. Kata kunci: Penyelam, Otoacouatic Emissions (OAE), Distortion Product Otoacouatic Emissions (OAE), Outer Hair Cell (OHC), Sensory Neural Hearing Loss (SNHL)

Ketersediaan1
Tambahkan ke dalam keranjang
Unduh MARCSitasi
cover
Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Gangguan Pendengaran Pada Kru Helikopter Militer di Puspenerbad Semarang
By Fajri Imam Sayuti ; Zulfikar Naftali ; Dian Ayu Ruspita
-- Semarang : FK Undip, 2020

Latar belakang: Gangguan pendengaran yang terjadi pada penerbang karena tingginya intensitas terpapar bising oleh pesawat/helikopter. Tingkat kebisingan helikopter berkisar 104-110 dB.Jam terbang, trauma akustik, DM, hipertensi dan merokok dapat mempengaruhi kejadian gangguan dengar. Tujuan: Mengetahui faktor – faktor yang berhubungan dengan gangguan pendengaran pada Kru Helikopter Militer Puspenerbad Semarang. Metode: Penelitian observasional dengan design belah lintang pada kru penerbang helikopter Puspenerbad Semarang, usia 20-58 tahun, sampel ditentukan sebanyak 96. Gangguan pendengaran terdiri dari kurang dengar dan tinitus. Kurang pendengaran dinilai dengan pemeriksaan otoskopi dan audiometri. Tinitis didapatkan dari anamnesis. Riwayat operasi telinga sebelumnya, infeksi pada telinga luar dan telinga tengah, serta riwayat atau pernah mengkonsumsi obat- obatan yang bersifat ototoksik (kanamisin, cisplatin dan carboplatin) dieksklusikan. Analisis data menggunakan uji chi-square dan fisher’s exact serta yates correction. Hasil: Seratus empat belas sampel dengan rerata umur 26,54+ 4,72 semua berjenis kelamin laki laki. Beberapa faktor seperti jam terbang (p=0,698), trauma akustik (p=0,151), diabetes melitus (p=0,596), merokok (p=0,222), hipertensi (p=0,356) tidak berhubungan dengan kurang dengar sensorineural. Beberapa faktor seperti jam terbang (p=0,706), trauma akustik (p=0,5160), diabetes melitus (p=0,789), merokok (p=0,495), hipertensi (p=0,112) tidak berhubungan dengan tinitus. Simpulan: Tidak terdapat hubungan antara jam terbang, trauma akustik, diabetes melitus, hipertensi, dan merokok dengan gangguan pendengaran Kata kunci: Kurang dengar, tinitus, kru helikopter

Ketersediaan1
Tambahkan ke dalam keranjang
Unduh MARCSitasi
Hal. Awal Sebelumnya 116 117 118 119 120 Berikutnya Hal. Akhir
INTEGRATED LIBRARY
Universitas Diponegoro
  • Informasi
  • Layanan
  • Pustakawan
  • Area Anggota

Tentang Kami

As a complete Library Management System, SLiMS (Senayan Library Management System) has many features that will help libraries and librarians to do their job easily and quickly. Follow this link to show some features provided by SLiMS.

Cari

masukkan satu atau lebih kata kunci dari judul, pengarang, atau subjek

Donasi untuk SLiMS Kontribusi untuk SLiMS?

© 2025 — Senayan Developer Community

Ditenagai oleh SLiMS
Pilih subjek yang menarik bagi Anda
  • Karya Umum
  • Filsafat
  • Agama
  • Ilmu-ilmu Sosial
  • Bahasa
  • Ilmu-ilmu Murni
  • Ilmu-ilmu Terapan
  • Kesenian, Hiburan, dan Olahraga
  • Kesusastraan
  • Geografi dan Sejarah
Icons made by Freepik from www.flaticon.com
Pencarian Spesifik
Kemana ingin Anda bagikan?