Latar belakang: Sirosis merupakan penyebab tersering asites. Pedoman AASLD dan EASL merekomendasikan pembatasan konsumsi natrium harian 2 - 4,6 gram untuk meminimalkan perburukan retensi cairan pada asites. Salah satu tujuan terapi yaitu meningkatkan ekskresi natrium urin lebih dari 78 mmol per hari. Pemeriksaan rasio natrium/kalium urin sewaktu lebih praktis dibandingkan pengukuran ekskresi natrium urin tampung 24 jam. Tujuan : Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan rasio Natrium/Kalium urin sewaktu dengan natrium urin 24 jam pada pasien sirosis dengan asites di RSUP Dr. Kariadi dan mendapatkan nilai cut-off terbaik untuk rasio Na/K urin. Metode: Penelitian belah lintang ini melibatkan 61 pasien sirosis hati dekompensasi dan asites. Hubungan rasio Natrium/Kalium urin sewaktu dengan natrium urin 24 jam dianalisis menggunakan uji korelasi Spearman. Receiver operating characteristic (ROC) curve analysis digunakan untuk mentukan nilai cut-off terbaik rasio Na/K.urin sewaktu. Hasil: Subyek penelitian 61 pasien sirosis dengan asites terdiri dari 47 laki-laki (77%) dan 14 perempuan (23%), umur rerata 51 tahun. Didapatkan hubungan bermakna antara rasio natrium/kalium urin sewaktu dengan kadar natrium urin 24 jam (p=
Latar Belakang : Kandiduria merupakan infeksi saluran miksi yang disebabkan oleh Candida spp, yaitu dengan ditemukannya Candida spp dalan urin > 103 CFU/mL urin. Sekitar 10% hingga 15% infeksi saluran kemih di rumah sakit disebabkan oleh Candida spp dan prevalensi nya terus meningkat. Candida albicans mendominasi penyebab kandiduria yaitu sebanyak 50% sampai 70% kemudian diikuti oleh Candida glabrata dan Candida tropicalis. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian observasional, retrospektif case control, dengan pendekatan simple random sampling. Jumlah sampel 166 dengan kultur urin positif Candida spp dan kultur urin non Candida spp di RSUP Dr. Kariadi periode 2018. Analisis data menggunakan analisis multivariate logistik regresi guna mendapatkan odd ratio.. Hasil : Setelah dilakukan multivariat regresi logistik didapatkan keganasan dengan nilai p=0,018 dan odd ratio 15,158 (1,591-144,371). Sedangkan diabates mellitus, pemakaian sitostatika dan kortikosteroid, lama pemakaian kateter dan penggunaan antibiotik beta laktam bukan merupakan faktor risiko kandiduria. Kesimpulan : Keganasan merupakan faktor risiko terjadinya kandiduria sebesar 15 kali lipat. Perlunya pemahamana kepada para klinisi bahwa pasien dengan keganasan perlu dilakukan skrining urin untuk kecepatan diagnosis dan penanganan kandiduria secara cepat. Kata kunci : Kandiduria, candida spp, faktor risiko
Latar Belakang : Pemberian antibiotik tidak bijak di Intensive Care Unit (ICU) menimbulkan masalah resistensi. World Health Organization (WHO) merekomendasikan strategi untuk mengatasi resistensi, salah satunya adalah memantau penggunaan antibiotik. Penelitin ini dilakukan untuk mengetahui kualitas dan kuantitas penggunaan antibiotik di ICU Rumah Sakit Nasional Diponegoro (RSND) periode Juni 2018 – Maret 2019. Metodologi: Penilaian kualitas penggunaan antibiotik menggunakan kriteria/flowcart menurut Gyssens IC dan kuantitas penggunaan antibiotik dilakukan berdasarkan DDD/100 patient days. Penelitian menggunakan desain observasional deskriptif dengan pendekatan studi cross sectional. Penelitian dilakukan pada 62 catatan medik pasien yang didapatkan dengan metode simple random sampling. Hasil : Terdapat 102 peresepan antibiotik dalam 62 catatan medik. Ceftriaxone, levofloxacine dan metronidazole merupakan antibiotik terbanyak yang digunakan dengan DDD/100 patient-day 72,97; 46,4; dan 25,89. Berdasarkan Gyssens, 31,8% penggunaan antibiotik rasional, 1,9% tidak rasional karena timing pemberian antibiotik (I), 4,7% karena dosis antibiotk tidak tepat (IIA), 10,3% karena ada antibiotik lain yang lebih efektif (IVA), 0,9% karena ada antibiotik lain yang lebih aman (IVB), 1,9% karena ada antibiotik lain yang lebih murah (IVC). 2,8% karena ada antibiotik lain dengan spektrum lebih sempit (IVD) 45,8% tidak ada indikasi pemberian antibiotik (V). Kesimpulan : Ceftriaxone adalah antibiotik terbanyak yang digunakan. 45,8% antibiotik diberikan atnpa ada indikasi. Kata kunci : kualitas, kuantitas, penggunaan antibiotik, ICU
Latar Belakang : Infeksi sakulran kemih (ISK) merupakan salah satu jenis infeksi nosokomial yang sering terjadi di rumah sakit. ISK di Indonesia diperkirakan mempunyai prevalensi yang cukup tinggi, diperkirakan terdapat sebanyak 222 juta jiwa. Peningkatan ISK yang disebabkan oleh E.Coli extended-spectrum β-lactamase (ESBL) menjadi tantangan tersendiri bagi klinisi. Berdasarkan latar belakang tersebut perlu dilakukan penelitian untuk melihat faktor risiko dan luaran yang mempengaruhinya. Metode : Desain penelitian ini adalah cross sectional dengan pendekatan prospektif, menggunakan 95 isolat klinis dari kultur urin pasien yang terinfeksi Enterobacteriaceae dengan ESBL selama 3 bulan periode Mei-Juli 2019 di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Hasil Enterobacteriaceae dengan ESBL didapatkan dari basis data Advanced Expert System Vitek 2 sementara data faktor risiko dari rekam medis dan data keuangan dari bagian keuangan RS. Uji statistik yang dilakukan dengan menggunakan crosstab dan dilanjutkan dengan perhitungan rasio prevalen dan 95% CI (α=0.05) dengan software SPSS 23. Hasil : Hasil dari analisis data menunjukkan bahwa pemakaian kateter (RP(95%CI) 1,623 (1,079-2,441)) merupakan faktor risiko terjadinya ISBK ESWL dan faktor luaran mortalitas (RP (95% CI) 2,040 (1,167-3,566)) serta cost pasien pada ruang rawat inap VIP (p 0,032) dan kelas II (p 0,017) menjadi dampak yang terjadi akibat ISK ESBL. Kesimpulan : Pemakaian kateter urin merupakan faktor risiko terjadinya ISK dengan ESBL. Faktor luaran mortalitas dan cost juga merupakan efek akibat dari terjadinya ISK dengan ESBL. Kata kunci : Enterobacteriaceae, ESBL, faktor risiko, luaran
Latar Belakang : Identifikasi tipe enzim Extended Spectrum Beta-Lactamase (ESBL) dapat dilakukan secara fenotipik dan genotipik. Vitek2 (fenotipik) dapat mengidentifikasi beberapa tipe ESBL, termasuk CTX-M dan SHV. Hybrispot24 (genotipik) dapat mengidentifikasi gen penyandi-ESBL tipe CTX-M (blaCTX-M) dan SHV (blaSHV). RSUP Dr. Kariadi memiliki prevalensi infeksi oleh Enterobacteriaceae penghasil ESBL tinggi, tetapi belum memiliki data karakteristik/tipe ESBL dari pathogen tersebut. Tujuan : Mengidentifikasi karakteristik ESBL tipe CTX-M dan SHV dari Enterobacteriaceae patogen di RS Dr. Kariadi, serta mengukur kesesuaian antara Vitek2 dan Hybrispot24 dalam mengidentifikasi tipe ESBL CTX-M dan SHV. Metodologi: Sampel penelitian adalah 30 isolat dari pasien di RS Dr. Kariadi yang telah teridentifikasi secara fenotipik dengan Vontek2 sebagai Enterobacteriaceae-penghasil ESBL, kemudian dilakukan pemeriksaan secara genotipik dengan Hybrispot24 RS Univeristas Indonesia. Kesesuaian antara kedua 2 alat uji dianalisis dengan Koefisien Cohen’s Kappa. Hasil : Dari 30 isolat, 1 dieksklusi karena terkontaminasi, 20 isolat adalah E,Coli dan 9 isolat adalah Klebsiella pneumoniae. Vintek2 mengidentifikasi tipe ESBL pada 5 (17%) isolat, yaitu 3 (17%) CTX-M dan 2 (7%) SHV. Hybrispot24 dapat mengidentifikasi gen penyandi-ESBL pada 27 (93%) isolat, yaitu 15 (52%) blaCTX-M, 8(27%) blaCTX-M dan blaSHV, 2 (7%) blaSHV, serta 2 (7%) blaSHV dan blaGES, suatu gen penyandi-karbapenemase. Kedua isolat ini menurut Vintek2 memiliki MIC meropenem dan ertapenem
Latar Belakang : Infeksi yang disebabkan oleh bakteri Klebsiella pneumoniae penghasil Extendeed Spectrum Beta Lactamase (ESBL) telah banyak dilaporkan di seluruh dunia. Mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan oleh kejadian ESBL yang cukup tinggi di Semarang maka penelitian ini bertujuan untuk mencari faktor-faktor risiko terhadap kejadian Klebsiella pneumoniae penghasil ESBL. Metodologi: Desain penelitian ini adalah cross sectional menggunakan 126 isolat klinis dari kultur darah pasien yang terinfeksi Klebsiella pneumoniae selama 2 tahun periode Januari 2017 – Desember 2018 di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Hasil Klebsiella pneumoniae didapatkan dari basis data Advanced Expert System Vitek 2 sementara data faktor risiko dari rekam medis. Uji statistik yang dilakukan dengan tes chi-square dan fisher exact dengan software SPSS 21. Hasil : Hasil dari analisis multivariat menunjukkan bahwa penggunaan cephalosporin generasi 3 (PR=3,5; 95% CI=1,331-9,235;p=0,011), lama penggunaan antibiotik lebih dari 7 hari (PR=3,07;95%CI=1,207-7,818;p=0,019) dan penggunaan keteter urin (PR=2,696;95%CI=1,033-7,032;p=0,043) merupakan faktor risiko infeksi oleh Klebsiella pneumoniae penghasil ESBL. Kesimpulan : Penggunaan cephalosporin generasi 3, lama penggunaan antibiotik lebih dari 7 hari dan penggunaan kateter urin merupakan faktor risiko terjadinya infeksi oleh Klebsiella pneumoniae penghasil ESBL. Kata kunci : Klebsiella pneumoniae, ESBL, faktor risiko
Latar belakang: Kontrol glikemik yang dinilai dengan HbA1c dan dislipidemia yang dinilai dengan rasio TG/HDL diduga berhubungan dengan komplikasi nefropati. Pada DM, cystatin C merupakan petanda yang dapat menilai kerusakan fungsi ginjal dini. Hubungan kadar HbA1c dan rasio TG/HDL dengan cystatin C pada pasien DM tipe 2 belum diketahui dengan jelas. Tujuan: Membuktikan hubungan antara kadar HbA1c dan rasio TG/HDL dengan cystatin C pada pasien diabetes melitus tipe 2. Metode: Penelitian observasional analitik dengan pendekatan belah lintang dilakukan pada bulan Januari - Juli 2019 melibatkan 34 pasien DM tipe 2 di Puskesmas Karang Ayu yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pemeriksaan kadar HbA1c menggunakan metode HPLC, rasio TG/HDL dihitung dengan perbandingan TG dengan HDL yang diperiksa menggunakan alat kimia klinik otomatis, kadar cystatin C menggunakan metode ELISA. Uji statistik menggunakan korelasi Spearman. p < 0,05 dianggap signifikan. Hasil: Median (minimum – maksimum) kadar HbA1c, rasio TG/HDL dan cystatin C adalah 8,35 (5,7 – 12,9) %, 3,65(1,3–9,7) dan 0,72(0,46 – 1,22) mg/L. Hubungan kadar HbA1c dengan cystatin C dan rasio TG/HDL dengan cystatin C adalah (r = 0,505; p = 0,002) dan (r = 0,471; p = 0,005). Simpulan: Terdapat hubungan positif sedang antara kadar HbA1c dengan cystatin C dan rasio TG/HDL dengan cystatin C pada pasien diabetes melitus tipe 2. Kata kunci: HbA1c, rasio TG/HDL, Cystatin C, DM.
Latar belakang: Defisiensi 25-hydroxyvitamin D pada penderita thalassemia dengan transfusi berulang merupakan komplikasi yang sering dijumpai, tetapi belum jelas patomekanisme yang mendasari. Kondisi ineffective erythropoiesis dan atau iron overload diduga berhubungan dengan rendahnya kadar vitamin D disertai peningkatan pembentukan tulang pada thalassemia dengan transfusi berulang. Tujuan: Membuktikan hubungan kadar sTfR serum, 25-hydroxyvitamin D serum dan N-mid osteocalcin serum pada pasien thalassemia dengan transfusi berulang. Metode: Penelitian observasional analitik dengan pendekatan belah lintang dilakukan pada bulan Februari-Juni 2019 melibatkan 15 pasien thalassemia RSUD Dr. R. Soedjati Purwodadi dan 13 pasien thalassemia RSUD Dr. R. Soetrasno Rembang yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Pemeriksaan kadar sTfR serum, 25-hydroxyvitamin D serum, dan N-mid osteocalcin serum menggunakan metode ELISA. Analisis statistik menggunakan uji korelasi Spearman dan uji korelasi Pearson dengan p< 0,05 dianggap bermakna. Hasil: Nilai tengah (min;maks) kadar sTfR serum dan N-mid osteocalcin serum berturut-turut 0.66 (0.48; 2.86) mg/L; 11.68 (0.47; 35.6) ng/mL serta rerata kadar 25-hydroxyvitamin D serum adalah 19.89±6.73 ng/mL. Hubungan sTfR dengan 25-hydroxyvitamin D dan N-mid osteocalcin berturutturut adalah r=0.225, p=0.249; r=-0.56, p=0.765 dan hubungan 25-hydroxyvitamin D serum dengan N-mid osteocalcin serum r=-0.537, p=0.003. Simpulan: Kadar sTfR serum tidak berhubungan dengan 25-hydroxyvitamin D dan N-mid osteocalcin serum. Kadar 25-hydroxyvitamin D serum berhubungan negatif sedang dengan kadar N-mid osteocalcin serum. Kata kunci: transfusi berulang, sTfR, 25-hydroxyvitamin D, N-mid osteocalcin
Pendahuluan : Pasien diabetes melitus sekitar 20-40% akan mengalami nefropati diabetik dan berakhir menjadi penyakit ginjal tahap akhir. Pemeriksaan cepat dan akurat diperlukan untuk diagnosis ND. Transferin urin dan asam urat berperan dalam disfungsi endotel kerusakan glomerulus ginjal. Tujuan : Menetapkan nilai cut off transferin urin dan asam urat serum, serta nilai diagnostik parameter tersebut untuk nefropati diabetik. Metode : Desain penelitian diagnostik dengan pendekatan belah lintang. Pasien nefropati diabetik sejumlah 43 yang kontrol di poliklinik prolanis Puskesmas Karang Ayu kota Semarang diambil sampel urin dan darah. Pemeriksaan kadar transferin urin menggunakan metode ELISA, asam urat serum metode fotometrik enzimatik dan albumin urin dengan metode rasio albumin kreatinin urin. Analisis tabel 2x2 dan kurva ROC untuk mendapatkan nilai diagnostik transferin urin dan asam urat serum. Hasil : Area di bawah kurva ROC untuk transferin urin dengan cut off di atas 17,96 ng/mL adalah 0,901 (p =0,000) sedangkan untuk asam urat serum diatas 5,85 ng/mL adalah 0,473 (p=0,89). Sensitifitas, spesifisitas, nilai ramal positif, nilai ramal negatif, rasio likelihood positif dan negatif transferin urin adalah 84,38%, 81,82%, 93,10%, 64,29%, 4,64, 0,19. Sensitifitas, spesifisitas, nilai ramal positif, nilai ramal negatif, rasio likelihood positif dan negatif asam urat serum adalah 37,50 %, 36,36 %, 63,16 %, 16,67 %, 0,58 dan 1,71. Simpulan : Transferin urin memiliki sensitifitas sebesar 84,38%, spesifisitas sebesar 81,82% sehingga dapat digunakan untuk skrining nefropati diabetik. Asam urat memiliki sensitifitas 37,50%, spesifisitas 36,36% sehingga tidak dapat digunakan untuk skrining dan diagnosis nefropati diabetik. Kata kunci : mikroalbuminuri, transferin urin, asam urat serum
Latar belakang: Sindrom koroner akut (SKA) merupakan penyebab utama kematian di dunia. Infark miokard akut dapat merangsang proses inflamasi akut dengan dikeluarkannya sitokin pro inflamasi pada tingkat sel diukur dengan NLR, ditingkat biomolekuler ditandai dengan produksi SAA oleh hepar. Hubungan kenaikan kadar troponin I sebagai petanda nekrosis miokardium dengan NLR dan SAA belum diketahui dengan jelas. Tujuan: Mengetahui hubungan antara petanda nekrosis jantung dengan parameter inflamasi pada pasien sindrom koroner akut. Metode: Penelitian observasional analitik dengan pendekatan belah lintang dilakukan pada bulan Maret-Mei 2019 melibatkan 32 pasien SKA di IGD RSUP Dr. Kariadi yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi. Pemeriksaan kadar troponin I menggunakan metode ELFA, nilai NLR menggunakan hematology analyzer, kadar SAA menggunakan metode ELISA. Uji statistik menggunakan korelasi Spearman. p < 0,05 dianggap signifikan. Hasil: Median (min-maks) nilai troponin I adalah 0,617 (0,001-40.000) μg/L, NLR 4,92(1,38-18,16) dan SAA adalah 40454(5879-66059) μg/ml. Korelasi troponin I dengan NLR dan SAA berturut-turut adalah r = 0,180 p = 0,243 dan r = 0,655 p = 0,000. Simpulan: Terdapat hubungan positif sedang yang bermakna antara kadar troponin I dengan SAA dan tidak terdapat hubungan antara troponin I dengan NLR pada pasien dengan sindrom koroner akut. Kata kunci: troponin I, NLR, SAA, SKA.