Pendahuluan : Obesitas merupakan keadaan ketidak sesuaian antara berat badan dengan tinggi badan yang menunjukkan nilai diatas rentang normal indeks massa tubuh. Obesitas memberikan dampak pada proses perkembangan kejiwaan individu. Sedikitnya penelitian hubungan antara obesitas dan gangguan jiwa menyebabkan peneliti tertarik untuk mengetahui apakah terdapat kejadian dan jenis gangguan jiwa pada individu yang mengalami obesitas. Tujuan : Untuk mencari apakah terdapat kejadian dan jenis gangguan jiwa pada individu obesitas. Material dan Metode : Penelitian dengan cross sectional pada mahasiswa sarjana yang mengalami obesitas sesuai dengan kriteria obesitas WHO Asia Pasifik (BMI ≥ 25 Kg/m2), skrining gangguan jiwa menggunakan MINI ICD 10. Hasil Penelitian : Hasil yang didapatkan adalah 8 dari 45 responden mengalami gangguan jiwa. Jenis gangguan jiwa didapatkan gangguan anxietas menyeluruh dan depresi masing-masing sebanyak 3 orang, distimia sebanyak 1 orang, dan mania saat dulu sebanyak 1 orang. Hubungan antara kejadian gangguan jiwa dengan karakteristik responden menunjukkan hasil yang tidak signifikan. Hubungan antara jenis gangguan jiwa dengan riwayat gangguan jiwa pada keluarga inti menunjukkan hasil yang signifikan. Kesimpulan : Terdapat gangguan jiwa pada individu obesitas dan gangguan jiwa yang terbanyak adalah depresi dan gangguan anxietas menyeluruh. Kata kunci : gangguan jiwa, obesitas
Latar Belakang : FESS merupakan salah satu operasi yang memerlukan kondisi hemodinamik yang stabil pada batas terendah. Kondisi ini bertujuan untuk mengurangi perdarahan yang membantu ahli bedah memvisualisasikan struktur anatomi untuk menghindari cedera dan komplikasi. Opioid memiliki efek bradikardi dan vasodilatasi perifer yang diharapkan dapat menurunkan tekanan darah dan menstabilkan hemodinamik sehingga perdarahan minimal. Morfin dan fentanyl merupakan opioid yang sering digunakan pada berbagai operasi. Tujuan : Membandingkan efektivitas penggunaan morfin dan fentanyl dalam meningkatkan kondisi lapang pandang operasi FESS Metode : Dilakukan penelitian eksperimental dengan rancangan randomized, single blind, controlled trial pada 48 subyek yang menjalani FESS. Subyek dibagi menjadi 2 kelompok secara acak, masing-masing kelompok terdiri dari 24 subyek yang menjalani FESS dengan anestesi umum menggunakan agen inhalasi sevoflurane dan N2O sebagai rumatan. Kelompok I mendapat fentanyl bolus 1mcg/kgBB/IV dianjutkan rumatan 1mcg/kgBB/jam/IV. Kelompok II mendapat morfin bolus 0,1mg/kgBB/IV dilanjutkan rumatan 1mg/jam. Dilakukan pengamatan pada lapang pandang operasi menggunakan Fromme score, sistolik, diastolik, nadi, dan MAP. Hasil : Rerata sistolik kelompok morfin, terjadi penurunan yang signifikan pada menit 30 sampai menit 150 dibanding kelompok fentanyl (p
Pendahuluan : Sebagian besar pasien yang telah menjalani operasi, merasakan nyeri akut, nyeri pasca operasi yang berat, dan beberapa berlanjut melampaui masa pulih yang normal walau telah diberikan terapi obat. Operasi Modified Radical Mastectomy (MRM) diketahui dapat menyebabkan rasa sakit derajat sedang hingga berat sehingga membutuhkan modalitas analgetik opioid. Sulitnya mencari analgetik pasca operasi yang ideal adalah fakta bahwa rasa sakit pasca operasi bukanlah satu-satunya entitas yang jelas dan dapat sangat bervariasi dipengaruhi oleh berbagai faktor. Berdasarkan hal tersebut di atas maka kami melakukan penelitian ini dengan membandingkan efek analgetik oksikodon dengan fentanyl sebagai analgetik pasca operasi. Tujuan : Mengetahui perbandingan efektivitas antara penggunaan Fentanyl intravena dan Oksikodon intravena sebagai analgetik pasca operasi MRM. Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan uji klinis double blind randomized control trial pada pasien yang menjalani operasi MRM dengan anestesi umum dan analgesi infus kontinu. Pasien dikelompokkan menjadi kelompok yang menerima oksikodon dan kelompok yang diberikan fentanyl, kemudian dilakukan pengukuran NRS dan tanda vital pada jam ke-1, 6, 12, dan 24 pasca operasi; GDS pada jam ke-1 dan ke-6 pasca operasi; dan dilakukan penilaian efek samping opioid yang muncul. Analisis data menggunakan Uji T-independent dan Uji Mann Whitney menggunakan SPSS 17.00 for windows. Hasil : Terdapat perbedaan yang signifikan pada NRS saat diam dan bergerak pada jam ke-1,6, 12, dan 24; TDS pada jam ke-1 dan 6; TDD pada jam ke-1, 6, 12, selisih TDD jam ke-1 dengan jam ke-6 dan 12; laju nadi pada jam ke-1,6,12, dan 24, selisih laju nadi pada jam ke-1 dan ke 12; GDS pada jam ke-1. Terdapat efek samping bradikardi pada kelompok oksikodon. Kesimpulan : Analgetik oksikodon intravena lebih baik dibandingkan fentanyl intravena pasca operasi MRM dilihat melalui NRS yang lebih baik pada kelompok oksikodon dibandingkan fentanyl. Fentanyl terbukti lebih baik dalam mencegah kenaikan gula darah pasca operasi. Efek samping bradikardi dan mual muntah lebih banyak ditemukan pada kelompok oksikodon. Kata Kunci : Fentanyl intravena, Oksikodon intravena, NRS, GDS, TDS
Latar Belakang: MRI telah menjadi alat diagnostik yang telah diterapkan secara luas untuk serangkaian penyakit anak. Pendekatan diagnostic non invasive, akurat, tetapi memakan waktu ini mengharuskan pasien anak bekerja sama sepenuhnya selama pemeriksaan, sehingga pemberian obat sedasi perlu dilakukan. Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk menilai perbedaan kejadian desaturase antara propofol dan dexmedetomidine sebagai obat sedasi dalam pemeriksaan MRI. Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis randomized clinical trial dengan sampel yang didapatkan dengan cara consecutive random sampling yang sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi. Total 24 pasien anak umur 1 bulan – 11 tahun dengan ASA 1 dan ASA 2 yang menjalani pemeriksaan MRI. Grop P (n=12) diberikan loading dose propofol (1mg/kg) dan diikuti dengan continuous infusion (25-75 µg/kgbb/menit). Group D (n=12) diberikan loading dose (1µg/kgbb/menit) dan diikuti dengan continuous infusion (0,5 µg/kgbb/menit). Hasil: Terdapat perbedaan bermakna (P
Pendahuluan : Peningkatan kadar MMP-9 serum telah diketahui merupakan biomarker kejadian aterosklerosis dan resiko penyakit cerebrovaskuler. Ketebalan tunika intima-media atau intima-media thickness (CIMT) arteri karotis interna yang diukur menggunakan ultrasound dapat menunjukkan adanya aterosklerosis, bahkan pada stadium awal sehingga dapat dipakai untuk mendeteksi terjadinya progresivitas aterosklerosis. Tujuan Penelitian : menilai prediktor terjadi stroke iskemik akut melalui ketebalan tunika intima carotis dan kadar MMP-9 serum pada pasien stroke iskemik akut dengan melihat latar belakang genetik. Material dan Metode : Penelitian cross sectional dengan pendekatan analitik observasional terhadap 44 subjek stroke iskemik akut yang dirawat di RSUP Dr. Kariadi Semarang pada bulan Agustus 2018 – Januari 2019. Analisis statistik dinilai dengan uji bivariat dan dilanjutkan dengan uji regresi logistik. Hasil : Dari 44 subyek penelitian didapatkan 29 (65,9%) subyek memiliki kadar MMP-9 serum tinggi. Pada pengukuran CIMT terdapat 17 (38,6%) subyek dengan nilai abnormal (>0,8 mm). Terdapat korelasi positif dan bermakna antara jenis kelamin dengan skor CIMT (p < 0,05). Terdapat korelasi positif dan bermakna antara jenis kelamin dengan kadar MMP-9 serum (p= 0,031). Analisis multivariat menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh terhadap perubahan skor CIMT adalah HDL (OR=4,125). Kesimpulan : Subyek dengan genetik CC yang mempunyai kadar MMP-9 tinggi sebagian besar mempunyai skor CIMT tidak normal. Pasien stroke infark dengan jenis kelamin lakilaki cenderung memiliki kadar MMP-9 serum dan skor CIMT yang abnormal. Kata kunci : MMP-9, CIMT, Genetik, Stroke infark
Latar Belakang : Peningkatan kadar MMP-9 serum telah diketahui merupakan biomarker kejadian aterosklerosis dan risiko penyakit cerebrovaskuler. Faktor risiko stroke iskemik akut diketahui memiliki keterkaitan dengan kadar MMP-9 serum. Varian genetik MMP-9 rs3918242 diketahui memilki peranan terhadap kadar MMP-9 serum. Tujuan Penelitian : Mengetahui hubungan kadar serum MMP-9 dengan sejumlah faktor risiko stroke iskemik akut berkaitan dengan varian genetik MMP-9 rs3918242? Metodologi: Penelitian cross sectional dengan pendekatan analitik observasional terhadap 62 subjek stroke iskemik akut yang dirawat di RSUP Dr. Kariadi Semarang pada bulan Oktober 2018 hingga Februari 2019. Analisis statistik dinilai dengan uji bivariat dan dilanjutkan dengan uji regresi logistik. Hasil : Dari 62 subjek penelitian didapatkan 45 (72,6%) subjek memiliki kadar MMP-9 serum yang tinggi. Pada uji statistik hubungan kadar serum MMP-9 dengan faktor risiko stroke iskemik akut p didapatkan bermakna < 0,05 pada hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, obesitas, hiperurisemia. Terdapat korelasi positif kadar MMP-9 serum dengan sejumlah faktor stroke iskemik akut. Pada analisis multivariat didapatkan variabel yang paling berpengaruh ialah obesitas dan hiperurisemia. Varian Genetik CC memiliki peran terhadap hubungan kadar MMP-9 serum dengan faktor risiko stroke iskemik yakni hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, obesitas, hiperurisemia. Sementara varian genetik CT peran terhadap hubungan kadar MMP-9 serum dengan faktor risiko stroke iskemik yakni obesitas dan hiperurisemia. Kesimpulan : Varian genetik CC dengan kadar serum MMP-9 yang tinggi memiliki hubungan dengan faktor risiko stroke iskemik lebih banyak dibandingkan varian genetik CT dengan kadar serum MMP-9 yang tinggi sehingga kemudian varian genetik CC nampaknya lebih berisiko terjadinya stroke infark. Kata kunci : MMP-9, CIMT, Genetik, Stroke infark
Latar Belakang : Obstructive Sleep Apnea (OSA) semakin diakui sebagai masalah kesehatan penting dalam dua sampai tiga dekade terakhir. OSA dapat menyebabkan hipoksia, sleep fragmentation dan excessive sleepiness, yang pada akhirnya menyebabkan komplikasi termasuk gangguan kardiovaskuler, gangguan kognitif, diabetes mellitus dan gangguan mood. Tujuan Penelitian : Mengetahui hubungan antara OSA dengan fungsi kognitif. Metodologi: Penelitian cross sectional dengan subyek pasien OSA dan non OSA yang melakukan pemeriksaan polisomnografi di RSUP Dr. Kariadi Semarang yang memenuhi kriteria inklusi. Penelitian dilakukan mulai 1 Januari 2018 sampai dengan 31 Januari 2019. Fungsi kognitif dinilai menggunakan Mini Mental State Examination (MMSE) setelah dilakukan pemeriksaan polisomnografi. Fungsi kognitif normal apabila hasil MMSE > 25, MMSE < 25 dikatakan fungsi kognitif terganggu. Data dianalisis dengan uji Pearson Chi-Square, hasil dianggap bermakna bila nilai p
Latar belakang: Sindrom kaki diabetik (SKD) merupakan bentuk komplikasi kronik baik makrovaskular maupun mikrovaskular diabetes melitus (DM). Disfungsi endotel pada diabetes melitus menyebabkan terjadinya perubahan struktur pembuluh darah, perubahan keseimbangan pro-trombotik dan perubahan keseimbangan sistem koagulasi dan fibrinolitik dalam darah. Peningkatan kadar plasminogen aktivator inhibitor-1 (PAI-1) mempunyai peranan penting dalam perubahan keseimbangan fibrinolitik pada DM. Metode: Penelitian belah lintang dilakukan melibatkan pengukuran plasminogen aktivator inhibitor tipe-1(PAI-1) serum (ng/mL), derajat luka menurut Wagner-Meggit dan skor ankle brachial index (ABI), indeks massa tubuh (IMT) dan onset DM. Ada 34 subyek penelitian dengan jenis kelamin pria 14 sampel dan wanita 20 sampel, dengan usia rata-rata 55,4 ± 8,5 tahun. Hasil: Analisis statistik menunjukkan terdapat perbedaan bermakna kadar PAI-1 serum pada berbagai derajat sindrom kaki diabetik (p
Latar belakang: Prevalensi sindrom metabolik saat ini semakin tinggi. Obesitas dan Diabetes Melitus (DM) adalah faktor utama dalam sindrom metabolik yang meningkatkan kejadian penyakit kardiovaskuler. DM, obesitas dan sindrom metabolik menjadi faktor risiko rendahnya kadar testosteron total serum. Metode: Penelitian belah lintang dilakukan dengan melakukan penapisan pasien dengan sindrom metabolik (kriteria NCEP ATP III) dan DM (kriteria perkeni). Pasien dibagi pada kelompok DM dan non DM. Dilakukan pengukuran kadar testosteron total serum (ng/ml) pada kedua kelompok. Hasil: Subjek penelitian 60 responden dengan sindrom metabolik terbgai atas 30 responden DM dan 30 responden non DM, didapatkan rerata testosteron total serum (0,05). Didapatkan adanya korelasi negatif kuat antara lingkar pinggang (cm) dengan kadar testosteron total serum di kelompok DM (r=-0,602), kelompok non DM (r=-0,734) dan total (r=-0,647). Kesimpulan : Kadar testosteron total rendah pada semua kelompok, tidak ada perbedaan kadar testosteron pada kelompok DM dan non DM. Ada korelasi negatif kuat antara lingkar pinggang dan kadar testosteron total. Kata kunci: sindrom metabolik, DM, diabetes melitus, testosteron
Latar belakang: Sepsis masih menjadi permasalahan utama penyakit infeksi di dunia dengan mortalitas yang masih tinggi. Biomarker sepsis yang berkembang saat ini antara lain biomarker reaktan fase akut, koagulasi, vasodilatasi, reseptor, endotel dan sitokin/kemikin. MR-proadrenomedullin sebagai peptida aktif dari adrenomedullin meningkat pada pasien dengan sepsis maupun syok sepsis dan berhubungan dengan disfungsi organ. Metode: Penelitian ini adalah penelitian kohort prospektif dengan subjek pasien sepsis di Unit Gawat Darurat (UGD) RSUP Dr. Kariadi Semarang pada bulan Mei-Agustus 2019. Subjek penelitian diperiksa kadar MR-proadrenomedullin, NLCR, prokalsitonin, skor SOFA dan skor APACHE II, serta dievaluasi mortalitas dalam 28 hari. Hasil: Sebanyak 40 subjek yang terdiri dari 47,5% laki-laki dan rerata umur 58,02 tahun didapatkan mortalitas 28 hari sebesar 70%. Penyakit kardiovaskular menjadi komorbid terbanyak pada penelitian ini (65%). Asal sepsis mayoritas berasal dari komunitas (87,5%) dengan sumber infeksi terbanyak berasal dari pneumonia (100%). Kultur darah positif sebesar 32,5%. Uji Mann Whitney menunjukkan NLCR dan MR proadrenomedullin secara signifikan berpengaruh terhadap mortalitas pasien sepsis di unit gawat darurat. (OR 6,954, IK 95% 1,269-38,119, p=0,025 dan OR 4,227, IK 95% 1,269-38,119, p=0,046). Uji regresi logistik menunjukkan kombinasi NLCR, Mrproadrenomedullin dan skor APACHE menjadi kombinasi terbaik sebagai prediktor mortalitas sepsis. (AUC 0,899, IK95% 0,796-1,002, sensitivitas 89,29% dan spesifisitas 91,67%, p=0,000). Kesimpulan : MR-proadrenomedullin sebagai prediktor mortalitas sepsis lebih baik dibandingkan prokalsitonin, skor SOFA dan skor APACHE II, namun tidak lebih baik dibandingkan NLCR. Kombinasi Mrproadrenomedullin, NLCR dan skor APACHE II merupakan kombinasi terbaik sebagai prediktor mortalitas sepsis di UGD. Kata kunci: MR-proadrenomedullin, sepsis, mortalitas