Latar belakang: Laparoskopi merupakan salah satu tindakan bedah paling umum dan telah berkembang. Tindakan pembedahan dapat menginduksi respons inflamasi akut dan menyebabkan banyak komplikasi yang dapat terjadi. Peran prediktif RNL dapat sebagai penanda inflamasi, serta menunjukkan bahwa RNL dapat menjadi sebuah indicator prediktif yang berguna untuk menilai nyeri pasca operasi yang dihasilkan dari jalur inflamasi sekunder akibat adanya trauma pembedahan. Tujuan : Membandingkan penggunaan remifentanil dan fentanil terhadap rasio neutrofil limfosit pada operasi laparoskopi ginekologi. Metoda: Penelitian ini merupakan eksperimental single blind randomized. Variabel merupakan pasien yang menjalani operasi laparoskopi ginekologi dengan counsecutive sampling yang memenuhi criteria inklusi dan eksklusi. Kemudian dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok 1 diberikan analgetik remifetanil dengan dosis 1 mcg/kgbb serta dosis rumatan 0,05 mcg/kgbb/jam dan kelompok 2 diberikan fentanil dengan dosis induksi 2 mcg/kgbb serta dosis rumatan 0,5 mcg/kgbb/jam. Sebelum induksi dicatat heart rate (HR), mean atrial pressure (MAP) dan selama durante operasi tiap 15 menit. Rasio Netrofil Limfosit (RNL) dinilai pre dan paska operasi, NRS dicatat 30 menit setelah pasien berada di ruang pemulihan. Hasil: Penelitian ini terdapat 36 sampel dengan perbandingan data awal berat badan, tinggi badan dan body weight index p . 0,05. Perbandingan nilai rerata RNL post operasi didapatkan nilai p sebesar 0,050. Nilai RNL pre dan post operasi didapatkan p
Latar belakang: Kecemasan praoperatif secara umum terjadi pada pasien yang akan menjalani prosedur pembiusan dan pembedahan elektif. Kecemasan praoperatif dapat mempengaruhi beberapa aspek perioperatif. Kebutuhan obat premedikasi dan analgetik yang lebih besar pada saat induksi, dosis obat pemeliharaan anestesi yang lebih besar, kebutuhan obat analgetik pascabedah yang lebih besar dan fase pemulihan pasien. Video adalah metode praktis untuk menyediakan standar informasi pra operasi. Penelitian telah menunjukkan bahwa pemberian informasi yang dibantu multimedia kepada pasien dapat meningkatkan pengetahuan mereka, mengarah ke hasil yang lebih baik pada kuesioner pengetahuan daripada penyediaan informasi verbal secara tatap muka. Tujuan : Membandingkan tingkat kecemasan pasien yang diberi edukasi video pembiusan pre operasi dan yang tidak diberi edukasi pada operasi vitrektomi. Metoda: Penelitian ini merupakan uji klinik randomized clinical trial pada pasien dewasa yang menjalani operasi vitrektomi dengan ASA 1-2. Dengan random sampling dibagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok video dan tidak video yang dinilai kecemasannya dengan menggunakan APAIS score. Dan pengolahan data statistic menggunakan uji Chi-square test. Hasil: Terdapat 36 pasien yang menjalani operasi vitrektomi, pada kelompok perlakuan 88,9% tidak mengalami kecemasan dan 11,1% orang mengalami kecemasan. Sedangkan kelompok yang tidak diberi perlakuan terdapat 11,1% yang tidak mengalami kecemasan dan 88,9% mengalami kecemasan. Dengan hasil statistic chi square perbedaan 2 kelompok tersebut sangat bermakna dengan p
Latar belakang: Nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan berhubungan dengan kerusakan jaringan. Penilaian nyeri merupakan hal penting untuk mengetahui intensitas dan menentukan terapi yang efektif. Salah satu penilaian nyeri adalah Numeric rating scale (NRS). Analgetik opioid umumnya diresepkan untuk nyeri yang sedang sampai berat, seperti nyeri paska operasi. Blok Transverse Abdominis Plane (TAP) merupakan teknik anestesi regional yang digunakan dengan cara memblokir saraf aferan. Selain itu blok TAP mudah diaplikasikan didaerah, tekhnik yang mudah dan efek samping yang ringan. Tujuan : Mengetahui efektivitas antara analgetik blok TAP dibandingkan dengan fentanil syring pump pada pasien paska seksio sesaria. Metoda: Jenis penelitian ini merupakan quasy eksperimental dengan desain post test. Variabel yang digunakan adalah pasien yang menjalani operasi seksio sesaria dengan simple random sampling yang memenuhi criteria inklusi dan eksklusi. Kemudian dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok 1 diberikan analgetik blok TAP dan kelompok 2 diberikan fentanil syring pump, masing-masing dinilai skor NRS, mual muntah tiap 6 jam selama 24 jam, serta dinilai kebutuhan biaya yang dikeluarkan. Analisis bivariat menggunakan chi square untuk data kategorik-kategorik, sedangkan data kategorik – numeric menggunakan T test tidak berpasangan. Hasil: Terdapat 36 sampel penelitian. Efek samping mual muntah dan NRS dinilai pada tiap kelompok setiap 6 jam. Pada jam ke 6 dan 12 terdapat 1 subjek yang diberik drip fentanil mengalami mual muntah. Terdapat perbedaan nilai NRS dari jam ke 6 – 12 dengan p>0.05. Serta terdapat selisih biaya sebesar Rp. 75.000,00. Kesimpulan : Terdapat perbedaan skor nyeri dan mual muntah tetapi secara interpretasi NRS dan secara statsitik tidak terdapat perbedaan yang bermakna. Terdapat selsisih biaya yang diperlukan sebesar Rp. 75.000,00 dimana blok TAP lebih murah. Kata kunci: anestesi, analgetik, blok TAP, fentanil, NRS
Latar belakang: Prosedur operasi tulang belakang umumnya berkaitan dengan terjadinya nyeri hebat pada periode pasca operasi. Prevalensi kejadian nyeri pasca laminektomi adalah sebesar 60% yang dapat berkembang menjadi nyeri kronis. Tren terkini dalam manajemen nyeri pada operasi tulang belakang yaitu menggunakan analgesic adjuvant untuk mengurangi dosis opioid yang digunakan. Salah satu adjuvant yang digunakan adalah ketamin. Ketamin adalah antagonis N-methyl-d-aspartate reseptor yang telah menunjukkan manfaatnya dalam menurunkan nyeri pascaoperasi dan kebutuhan analgetik pada beberapa macam operasi. Tujuan : Untuk mengetahui pengaruh pemberian ketamin dosis subanestesi intraoperasi terhadap kebutuhan morfin sebagai analgetik pasca operasi tulang belakang. Metoda: Penelitian acak terkontrol terhadap 32 pasien yang menjalani operasi tulang belakang, yang memenuhi criteria yang dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok perlakuan mendapatkan ketamin dosis awal 0,25 mg/kgbb dilanjutkan dosis kontinyu 10 mcg/kgbb/menit selama operasi, sedangkan kelompok control tidak diberikan ketamin. Hasil: Penggunaan morfin dengan PCA selama 24 jam pasca operasi pada kelompok yang diberi ketamin dosis subanestesi, secara bermakna (p=0,002) lebih sedikit (10,19 mg ± 3,39) dibandingkan kelompok control (17,81 mg ± 10,30). Pemakaian fentanyl intraoperasi pada pemberian ketamin secara bermakna (p
Latar belakang: Intubasi endotrakeal menghasilkan rangsangan simpatoadrenergik yang emnyebabkan peningkatan tekanan darah, takikardia dan bahkan aritmia. Fentanyl adalah opioid yang umum digunakan tetapi dapat menyebabkan bradikardia, mual dan depresi pernafasan pasca operasi dalam prosedur bedah durasi pendek. Remifentanil adalah agonis opioid µ selektif dengan 2 kali lebih poten disbanding fentanil. Onset cepat dan durasi yang singkat menjadikan remifentanil pilihan yang berguna untuk intubasi pada pasien berisiko. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas antara remifentanil dengan fentanyl dalam menurunkan respon perubahan hemodinamik pasca intubasi endotrakeal. Metoda: Dilakukan uji klinis acak tersamar terhadap 86 pasien di RSUP dr. Kariadi yang direncanakan intubasi endotrakeal serta memenuhi criteria inklusi dan eksklusi. Subjek penelitian dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok 1 diberikan premidekasi remifentanil 1 µg/Kg BB IV bolus selama 1 menit dan kelompok II diberikan 2 µg/Kg BB IV 5 menit sebelum dilakukan laringoskopi dan intubasi endotrakeal. Pada menit 1, 3 dan ke 5 pasca laringoskopi dan intubasi endotrakeal dilakukan pencatatan tekanan sistolik, tekanan diastolic, tekanan arteri rerata dan nadi. Uji hipotesis menggunakan independent T-test dengan hasil sebaran data normal. Hasil: Remifentanil di banding dengan fentanyl dapat menurunkan perubahan hemodinamik (sistolik, diastolic, tekanan arteri rerata dan nadi) pasca intubasi endotrakeal secara signifikan pada menit 1, dan 3 namun tidak signifikan pada menit ke 5. Kesimpulan : Premidekasi remifentanil 1 µg/Kg BB IV terbukti lebih efektif menurunkan perubahan hemodinamik pasca intubasi endotrakeal baik nadi dan tekanan darah dibandingkan fentanyl 2 µg/Kg BB IV. Kata kunci: fentanil, intubasi, remifentanil, premedikasi
Tujuan : Membuktikan rerata penurunan skor ketangkasan tangan (Nine hole peg test) pada penderita stroke kronik yang mendapatkan penambahan radial shock wave therapy (RSWT) lebih besar dari kelompok control. Rancangan : Simple randomized controlled pre and post test experimental design. Subjek : 30 subjek penderita stroke kronik yang berusia 40-65 tahun. Tempat: Poliklinik Rawat Jalan Rehabilitasi Medik RSUD KRMT Wongsonegoro Semarang. Waktu : November-Desember 2018. Metode : Tiga puluh subjek dikumpulkan dan dibagi menjadi kelompok perlakuan (n=15) mendapatkan intervensi RSWT pada muscle belly otot fleksor wrist pada ventral lengan bawah dan otot intrinsic tangan 1 kali per minggu, terapi infrared dan latihan peregangan pada ekstremitas atas 3 kali per minggu, selama 6 minggu berturut-turut; dan kelompok control (n=15) mendapatkan terapi infrared dan latihan peregangan pada ekstremitas atas 3 kali per minggu, selama 6 minggu berturut-turut. Hasil pengukuran utama : Ketangkasan tangan diukur dengan nilai nine hole peg test pada sebelum dan akhir minggu ke-6 intervensi. Hasil : Terdapat perbedan yang bermakan rerata skor nine hole peg test pada sebelum dan sesudah intervensi pada masing-masing kelompok perlakuan dan kelompok control. Tidak terdapat perbedaan bermakna penurunan rerata skor nine hole peg test kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok control. Simpulan : Penambahan radial shock wave therapy tidak terbukti berpengaruh terhadap ketangkasan tangan. Kata kunci : radial shock wave therapy, stroke kronik, ketangkasan tangan, rehabilitasi
Buku ini terbagi atas 3 bagian, antara lain: Bagian 1 Konsep dasar imuno-onkologi Bab 1. Perkembangan kanker dalam konteks imunologi Bab 2. Immunosurveillance dan immunoediting Bab 3. Mekanisme efektor sistem imun terkait kanker Bab 4. Lingkungan mikro tumor (Tumor Microenvironment, TME) Bab 5. Defek sistem imun terkait kanker Bab 6. Rekayasa imunologik pada kanker Bagian 2 Imuno-onkologi klinik Bab 1. Prinsip dasar imunoterapi kanker Bab 2. Antibodi monoklonal Bab 3. " Immune chekpoint" sebagai sasaran terapi kanker Bab 4. Cell-based immunotherapy Bab 5. Immune-related respon criteria dan immune-related adverse events Bab 6. imunoterapi pada berbagai keganasan Bagian 3 Laboratorium imuno-onkologi klinik Bab 1. Uji kuantitas sel imun Bab 2. Uji fungsi/aktivitas sel imun Bab 3. Pemrosesan sel imun Bab 4. Praktek manufaktur yang baik dan praktik laboratorium yang baik
Angka kejadian penyakit demam tifoid, di Indonesia merupakan yang tertinggi di dunia, dari hasil penelitian penyakit ini lebih sering dijumpai pada kelompok umur anak-anak. Kejadian penyakit ini disebabkan oleh lokasi dengan sanitasi higiene dan sanitasi yang tidak memadai. Sedangkan untuk infeksi salmonelosis non tifoid, penyakit ini sering berkaitan dengan usaha produksi makanan skala besar yang rentan dengan pencemaran. Adapun materi yang dibahas pada buku ini adalah: Demam tifoid Sejarah demam tifoid Epidemologi Mikrobiologi salmonella Patologi demam tifoid Pemeriksaan laboratoris dan diagnosis demam tifoid Imunologi Patogenesis Manifestasi klinis Penyulit/komplikasi Diagnosa banding untuk penderita dengan dugaan demam tifoid (DT) Pengobatan demam tifoid Usaha pencegahan dan vaksin untuk demam tifoid Penyakit salmonellosis non tifoid yang lain /NTS
Latar belakang: Penderita PPOK mengalami kelemahan otot pernapasan sehingga latihan yang bertujuan meningkatkan kekuatan otot napas merupakan upaya terapi yang rasional. Latihan pursed lip breathing (PLB) berperan pada pola pernapasan dengan memperpanjang ekspirasi, mengurangi kapasitas residu fungsional, dan meningkatkan efisiensi ventilasi. Namun latihan PLB tidak meningkatkan kekuatan otot napas secara signifikan sehingga membutuhkan terapi tambahan. Penambahan latihan otot inspirasi dengan Threshold IMT dapat meningkatkan kekuatan otot inspirasi pada penderita PPOK. Tujuan : Membuktikan pengaruh penambahan Threshold IMT terhadap kekuatan otot inspirasi pada penderita PPOK yang mendapat latihan PLB. Metoda: Penelitian ini merupakan true eksperimental randomized pre and post test group design. Sampel adalah 20 pasien PPOK yang berobat di poliklinik paru RSUD Tugurejo, Semarang dibagi menjadi 2 kelompok secara acak. Kelompok control (n=10) dan kelompok eksperimental (n=10) masing-masing melakukan latihan PLB, 2 kali sehari, tiap sesi berlangsung 2 menit, dilakukan 5 hari seminggu, selama 6 minggu. Pada kelompok eksperimental mendapatkan penambahan latihan Treshold IMT 2 kali sehari, tiap sesi berlangsung 15 menit, dilakukan 5 hari seminggu, selama 6 minggu. Kekuatan otot inspirasi diukur sebelum dan setelah perlakuan. Hasil: Perbedaan selisih kekuatan otot inspirasi antar kelompok eksperimental dan kelompok control menunjukkan perbedaan yang bermakna (p
Latar belakang: Nyeri leher mekanik terkait penerbangan sering dijumpai pada para pilot dan kru helicopter militer. Didefinisikan sebagai nyeri leher akibat disfungsi biomekanik di leher atau punggung atas, atau bersumber ke sendi, otot, ligament, diskus atau jaringan lunak lainnya di leher. Penelitian sebelumnya melaporkan 70% pasien dengan nyeri leher kronis menunjukkan terdapatnya penurunan kekuatan dan ketahanan dari otot-otot sternokleidomastoideus dan otot-otot deep cervical flexor. Pressure biofeedback unit adalah meliputi isolasi dan kontraksi dari otot-otot tertentu, seperti pada otot-otot deep cervical flexor. Tujuan : Membuktikan apakah latihan deep cervical flexor dengan pressure biofeedback unit lebih baik dibandingkan dengan latihan deep cervical flexor konvensional dalam meingkatkan endurance otot leher pada kru helicopter dengan nyeri leher mekanik. Metoda: Penelitian ini merupakan eksperimental randomized pre and post test group design. Sampel adalah 26 kru helicopter skadron-31/serbu dibagi menjadi 2 kelompok secara acak. Kelompok perlakuan (n=12, 1 droupout) mendapatkan latihan deep cervical flexor dalam dengan pressure biofeedback unit sebanyak 12 kali selama 4 minggu dengan frekuensi 3 kali setiap minggu. Kelompok control (n=12, 1 dropout) melakukan latihan deep cervical flexor konvensional. Skor endurance dinilai dengan cranio cervical flexion test. Hasil: Hasil analisis data menunjukkan adanya perbaikan skor endurance pada kedua kelompok dan dari hasil penelitian didapatkan perbaikan yang lebih signifikan pada kelompok perlakuan (p