Latar belakang: Penyakit Paru Obstruktif Kronik merupakan penyebab kematian ketiga di dunia pada tahun 2020. Rokok dan zat kimia iritan sebagai faktor risiko PPOK menyebabkan hambatan aliran udara dikarenakan kelainan saluran napas dan atau alveoli. Rehabilitasi paru berupa latihan pernapasan sebagai salah satu tatalaksana PPOK. Latihan pernapasan dengan PLB berperan pada pola pernapasan dengan memperpanjang ekspirasi, mengurangi kapasitas residu fungsional dan meningkatkan efisiensi ventilasi. Namun latihan pursed lip breathing tidak meningkatkan kekuatan otot napas secara signifikan sehingga membutuhkan terapi tambahan. Latihan otot inspirasi dengan threshold inspiratory muscle training dapat meningkatkan kekuatan otot napas sehingga menurunkan kejadian sesak napas dan meningkatkan six-minute walking distance. Tujuan : Membuktikan penambahan Threshold IMT meningkatkan 6 MWD penderita PPOK yang mendapat latihan PLB. Metoda: Penelitian ini merupakan true experimental randomized pre and post test group design. Sampel adalah 20 pasien PPOK yang berobat di poliklinik paru RSUD Tugurejo, Semarang dibagi menjadi 2 kelompok secara acak. Kelompok control (n=10) dan kelompok perlakuan (n=10) masing-masing melakukan latihan PLB, 2 kali sehari tiap sesi berlangsung 2 menit, dilakukan 5 hari seminggu selama 6 minggu. Pada kelompok perlakuan mendapatkan penambahan latihan Threshold IMT 2 kali sehari, tiap sesi berlaku 15 menit dilakukan 5 hari seminggu selama 6 minggu. Six-minute walking distance diukur sebelum dan setelah perlakuan. Hasil: Perbedaan selisih 6 MWD antar kelompok perlakuan dan kelompok control menunjukkan perbedaan yang bermakna (p
Latar belakang: Palsi serebral merupakan penyebab disabilitas tertinggi pada anak-anak. Fleksi wrist, fleksi jari-jari dan ibu jari pada telapak tangan merupakan bentuk deformitas tangan yang paling sering ditemukan pada palsi serebral tipe spastic. Keadaan ini akan menurunkan lingkup gerak sendi ekstensi wrist yang dapat mempengaruhi aktivitas kehidupan sehari-hari. Penambahan Kinesio Taping pada latihan motorik tangan merupakan metode baru yang digunakan untuk meningkatkan lingkup gerak sendi ekstensi wrist sehingga memperbaiki kualitas keterampilan dan fungsi tangan anak palsi serebral. Tujuan : Membuktikan pengaruh penambahan wrist Kinesio Taping pada latihan motorik tangan terhadap peningkatan lingkup gerak sensi ekstensi wrist anak palsi serebral. Metoda: Penelitian ini merupakan simple randomized controlled pre and post experimental design. Sampel adalah 20 anak palsi serebral spastic yang bersekolah di YPAC, Semarang dibagi menjadi 2 kelompok secara acak. Kelompok intervensi (n=10, dropout 1) mendapatkan Kinesio Taping dan latihan motorik tangan sebanyak 3 kali seminggu selama 4 minggu. Kelompok control (n=10. Dropout 1) hanya mendapatkan latihan motorik tangan saj. Lingkup gerak sendi ekstensi wrist diukur dengan geniometer sebelum perlakuan dan akhir minggu ke-4 intravensi. Hasil: Terdapat peningkatan lingkup gerak sendi ekstensi wrist anak palsi serebral pada kelompok perlakuan dan kelompok control, namun terdapat perbedaan yang tidak signifikan secara statistic pada perubahan rerata (delta) di antara kedua kelompok. Kesimpulan : Tidak terdapat perubahan yang signifikan pada penambahan Kinesio Taping terhadap peningkatan lingkup gerak sendi ekstensi wrist anak palsi serebral tipe spastic yang mendapatkan latihan motorik tangan. Kata kunci: Kinesio Taping, palsi serebral, lingkup gerak sendi ekstensi wrist
Latar belakang: Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) menurunkan kualitas hidup pasien yang dapat dinilai dengan penilaian skor Saint George Respiratory Questionnaire (SGRQ). Pursed lip breathing (PLB) merupakan latihan pernapasan kespirasi yang rutin digunakan pada PPOK. Threshold Inspiratory Muscle Training (Threshold IMT) merupakan latihan otot inspiratorik yang dapat meingkatkan kualitas hidup. Belum ada penelitian yang mepelajari efek penambahan Threshold IMT terhadap penilaian skor SGRQ penderita PPOK yang menerima latihan PLB. Tujuan : Mengetahui perbedaan penambahan Thresold IMT terhadap penilaian skor SGRQ (skor gejala, skor aktivitas, skor dampak) penderita PPOK yang menerima latihan PLB. Metoda: Penelitian ini merupakan penelitian true eskperimental randomized controlled trial dengan pendekatan pretest dan posttest design (Threshold IMT+PLB dan PLB). Sampel penelitian adalah 20 pasien PPOK yang berobat di poliklinik paru RSUD Tugurejo Provinsi Jawa Tengah Semarang pada bulan Agustus-September 2019. Kualitas hidup pasien dinilai dengan penilaian skor SGRQ (skor gejala, skor aktivitas dan skor dampak). Hasil: Terdapat penurunan yang signifikan untuk skor gejala, skor aktivitas dan skor dampak pada kelmpok control (p
Latar belakang: CTS terjadi akibat kompresi local pada nervus medianus dengan manifestasi berupa neuropati yang banyak terjadi pada populasi pekerja maupun populasi umum. Latihan gliding nervus medianus dengan kombinasi terapi konservatif lain diamati mampu menurunkan derajat nyeri dan kualitas hidup pada pasien CTS. Aplikasi kinesio taping memiliki efek mengurangi kompresi nervus medianus, memfasilitasi perbaikan jaringan dan mengurangi nyeri. Tujuan : Membuktikan pengaruh penambahan kinesio taping pada latihan gliding nervus medianus terhadap perbaikan derajat nyeri dan peningkatan kualitas hidup pada penderita CTS. Metoda: Penelitian ini merupakan penelitian eskperimental randomized pre and post test group design, dengan sampel 24 pasien poliklinik Rehabilitasi Medik RSUP Dr. Kariadi yang dibagi menjadi 2 kelompok secara acak. Kelompok intervensi (n=12, dropout 1) mendapatkan aplikasi kinesio taping 7 kali dan latihan gliding nervus medianus. Kelompok control (n=12, dropout 1) melakukan latihan gliding nervus medianus. Kelompok control (n=12, dropout1) melakukan latihan gliding nervus medianus 3 kali sehari setiap hari selama 4 minggu. Derajat nyeri diukur dengan algometer manual dan kualitas hidup diukur dengan SF-36. Hasil: Derajat nyeri penderita CTS pada kelompok perlakuan lebih baik dan berbeda bermakna dibandingkan dengan kelompok control. Skor SF-36 kelmpok perlakuan berbeda bermakna pada skor fungsi fisik, pernanan fisik, nyeri dan fungsi social dibandingkan dengan kelompok control. Namun, rata-rata skor total SF-36 tidak berbeda bermakna antar kelompok perlakuan dibandingkan dengan kelompok control. Kesimpulan : Terdapat pengaruh penambahan kinesio taping terhadap perbaikan derajat nyeri pada penderita CTS. Tidak terdapat pengaruh penambahan kinesio taping terhadap kualitas hidup penderita CTS yang mendapatkan latihan gliding nervus medianus. Kata kunci: carpal tunnel syndrome, kinesio taping
Latar belakang: CTS merupakan salah satu neuropati akibat jebakan yang paling sering terjadi. Lahitan gliding nervus medianus belum memperbaiki perbaikan klinis optimal pada CTS sehingga membutuhkan kombinasi terapi. Kinesio taping dapat mengurangi intensitas nyeri, meningkatkan kekuatan otot dan meningkatkan fungsional tubuh. Tujuan : Mengatahui efek penambahan kinesio taping pada latihan gliding nervus medianus terhadap fungsional tangan penderita carpal tunnel syndrome. Metoda: Penelitian ini merupakan penelitian eskperimental randomized pre and post test group design. Sampel adalah 24 pasien poliklinik Rehabilitasi Medik RSUP Dr. Kariadi Semarang dibagi menjadi 2 kelompok secara acak. Kelompok intervensi (n=12, dropout 1) mendapatkan penambahan kinesio taping 7 kali pada latihan gliding nervus medianus 3 kali sehari setiap hari selama 4 minggu. Kelompok control (n=12, droput 1) melakukan latihan gliding nervus medianus saja. Kekuatan genggaman, ketangkasan tangan dan fungsional tangan dinilai dengan dynamometer Jamar, uji nine hole peg dan BCTQ. Hasil: Kekuatan genggaman dan ketangkasan tangan penderita CTS pada kelompok control meningkat namun tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan kelompok control. Terdapat peningkatan bermakna skor BCTQ pada kelompok intervensi dibandingkan kelompok control. Kesimpulan : Tidak terdapat pengaruh penambahan kinesio taping terhadap peningkatan kekuatan genggaman dan ketangkasan tangan penderita CTS yang mendapatkan latihan gliding nervus medianus. Terdapat pengaruh penambahan kinesio taping terhadap peningkatan skor fungsional tangan penderita CTS yang mendapatkan latihan gliding nervus medianus. Kata kunci: kinesio taping, carpal tunnel syndrome
Buku ini merupakan acuan tentang gerakan manusia. Tujuan buku ini sebagai buku pengantar dalam biomekanika yang mengintegrasikan antara anatomi dasar, fisika, kalkulus, dan fisiologi untuk pembelajaran gerak manusia. Adapun materi yang dibahas terbagi atas 3 bagian: Bagian I. Dasar Gerak Manusia 1. Terminologi Dasar 2. Pengaruh Skeletal Terhadap Gerakan 3. Pengaruh Otot Terhadap Gerakan 4. Pengaruh Saraf Terhadap Gerakan Bagian II. Anatomi Fungsional 5. Anatomi Fungsional Ekstremitas Atas 6. Anatomi Fungsional Ekstremitas Bawah 7. Anatomi Fungsional Trunkus Bagian III. Analisis Mekanis Gerakan Manusia 8. Kinematika Linier 9. Kinematika Angular 10. Kinetika Linier 11. Kinetika Angular Buku ini juga menjelaskan informasi kuantitatif. Analisis kuantitatif merupakan evluasi gerak numerik berdasarkan pada data yang terkumpul selama performa gerak.
Latar Belakang: Catheter-associated urinary tract infection (CAUTI) merupakan salah satu kejadian infeksi yang sering terjadi di rumah sakit. Timbul setelah pemasangan kateter yang dipengaruhi oleh lamanya penggunaan kateter, perawatan kateter yang kurang baik, serta indikasi pemasangan yang tidak tepat. Tujuan penelitian untuk mengetahui tingkat pengetahuan petugas kesehatan mengenai indikasi kateterisasi dan pencegahan terjadinya infeksi saluran kemih terkait pemasangan kateter. Tujuan: Membuktikan bahwa dengan edukasi tentang CAUTI dapat meningkatkan pengetahuan dan sikap petugas kesehatan mengenai indikasi kateterisasi urine dan pencegahan terjadinya CAUTI di RSND. Metode: Desain eksperimental dengan rancangan pretest-posttest control group design periode Februari – Maret 2020. Responden diberikan kuesioner berupa data demografi dan pengetahuan petugas mengenai CAUTI dan pencegahannya. Analisis deskriptif dengan uji chi square, uji Wilcoxon dan uji Mann Whitney. Nilai p dianggap bermakna jika
Latar belakang: Diagnosis karena tenggelam sulit ditentukan, ketika mayat yang sangat membusuk, temuan makroskopis dan hasil pemeriksaan yang terbatas. Penggabungan tes diatom akan semakin meningkatkan kepastian kesimpulan sebab kematian. Penelitian pada hewan percobaan yaitu 35 ekor tikus wistar yang dibagi menjadi tujuh kelompok dan ditenggelamkan pada media yang berbeda periode antemortem dan postmortem. Untuk media tenggelam air tawar dilakukan di Aliran Banjir Kanal Barat, Muara Pantai Marina untuk media tenggelam air payau dan Pantai Marina untuk media tenggelam air laut, kemudian diidentifikasi jumlah diatom pada paru dan lambung hewan percobaan tersebut serta diidentifikasi jenis diatom pada area sekitar penenggelaman. Uji diatom menggunakan digesti asam yaitu, HNO3, H2SO4, NaNO3 yang dilakukan di Laboratorium Universitas Negeri Semarang. Tujuan: Untuk mengetahui perbedaan jumlah diatom pada paru dan lambung saat tenggelam periode antemortem dan posmortem pada media air tawar, air payau dan air laut. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian experimental dengan desain yang dipakai adalah post test only control group design. Sampel penelitian adalah tikus wistar jantan dan betina pada kondisi antemortem dan postmortem yang ditenggelamkan pada tiga jenis media yaitu: air tawar, air payau dan air laut. Perlakuan dibagi menjadi tujuh kelompok, setiap kelompok terdiri dan lima ekor tikus. Kelompok kontrol tidak dilakukan perlakuan. Saat akhir perlakuan, paru dan lambung tikus diambil kemudian diperiksa di laboratorium untuk mengetahui jumlah dan jenis diatom pada organ tersebut. Data hasil perhitungan yang diperoleh dianalisa secara statistik dengan program komputer SPSS, diuji normalitas menggunakan uji Saphiro-Wilk, yang akhirnya dianalisis dengan uji Mann-Whitney untuk melihat perbedaan antar kelompok perlakuan. Hasil: Didapatkan diatom pada organ paru dan lambung periode antemortem lebih dari lima per lapang pandang besar. Pada kontrol dan postmortem didapatkan diatom tetapi jumlahnya kurang dari empat perlapang pandang besar. Analisis jumlah diatom diolah menggunakan program SPSS for window. Uji normalitas Shapiro-Wilk pada kedua organ didapatkan distribusi data tidak normal, kemudian dilanjutkan dengan uji Kruskal Wallis pada kelompok paru didapatkan nilai P =
Latar belakang : Kasus kekerasan seksual mengalami peningkatan setiap tahun, korbannya mulai dari kalangan dewasa, remaja, anak-anak hingga balita. Berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia, pelecehan dan kekerasan seksual terhadap anak di Indonesia pada tahun 2013 sebanyak 23 kasus, 2014 sebanyak 53 kasus, 2015 sebanyak 133 kasus, 2017 telah mencapai 1.337 kasus dan hingga bulan Juli 2018 terdapat 424 kasus. Tujuan: Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi proses penegakkan hokum kasus kekerasan seksual di Kota Semarang. Metode : Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik terhadap kasus kekerasan seksual pada anak, berdasarkan data rekam medis di Rumah Sakit, dokumen di Mapolrestabes, Kejaksaan Negeri dan Pengadilan Kota Semarang periode Januari 2015 hingga Desember 2018. Hasil : Berdasarkan hasil penelitian didapatkan 213 kasus kekerasan seksual dari data rekam medis di Rumah Sakit di Kota Semarang. Kasus kekerasan seksual pada anak terbanyak terjadi pada tahun 2018 sebanyak 72 kasus. Korban terbanyak adalah kelompok usia 12-14 tahun, berjenis kelamin perempuan. Jenis kasus terbanyak adalah kasus senggama. Mayoritas pelaku merupakan orang yang dikenal oleh korban, pelaku tidak bekerja dan tempat kejadian terbanyak adalah di rumah terdakwa. Pada tahap penuntutan dan persidangan, jumlah kasus tersebut berkurang secara signifikan menjadi 8 kasus saja. Faktor-faktor yang terkait menyebabkan hal tersebut antara lain kurangnya alat bukti, sulitnya mendapatkan keterangan dari korban, keterangan pelaku yang berbelit-belit, tidak adanya saksi dan tingginya angka diversi. Kesimpulan : Kasus kekerasan seksual meningkat dari tahun ke tahun. Proses penegakkan hokum terhadap kasus ini masih memiliki banyak kendala pada tiaptahap yang masih sulit diatasai. Kata kunci : kekerasan seksual, anak, penegakkan hokum, Kota Semarang
Latar belakang: Leiomioma uteri merupakan tumor jinak dengan prevalensi yang cukup tinggi dan perkembangannya sangat dipengaruhi oleh hormon steroid. Sementara itu masih terdapat pertentangan pada penelitian mengenai ekspresi reseptor estrogen dan reseptor progesteron pada leiomioma uteri, serta belum dipahami tentang etiologi dan patogenesis leiomioma uteri. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ekspresi reseptor estrogen dan reseptor progesteron pada leiomioma uteri. Metoda: Penelitian ini merupakan analitik observasional dengan rancangan case control design, dilakukan di Laboratorium Patologi anatomi Rumah sakit umum pusat Dr. Kariadi, Semarang. Populasi penelitian adalah blok histopatologi dengan diagnosa leiomioma uteri pada tahun 2017. Pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana, setelah memenuhi kriteria inklusi. Hasil: Berdasarkan karakteristik usia pada kelompok leiomioma uteri, yang terbanyak adalah kelompok usia > 40 tahun. Dari segi karakteristik Indeks Massa Tubuh (IMT), pada kelompok Leiomioma uteri IMT yang paling banyak dijumpai adalah normoweight, tetapi terdapat kecendrungan kasus Leiomioma uteri meningkat pada IMT yang lebih tinggi, dengan jumlah kumulatif pada IMT overweight dan obese adalah sebanyak 6 kasus (40%). Karakteristik paritas pada kelompok Leiomioma uteri yang terbanyak adalah nullipara yaitu 7 kasus (46,7%). Seluruh kelompok leiomioma uteri mengeskpresikan reseptor estrogen dengan rerata skor 7,20 ± 0,78 dan reseptor progesteron dengan rerata skor 7,47 ± 0,74. Pada pengujian Mann-whitney terdapat perbedaan yang bermakna pada ekspresi reseptor estrogen antara jaringan leiomioma uteri dan miometrium normal (p = 0,045). Dan terdapat perbedaan yang bermakna pada ekspresi reseptor progesteron antara jaringan Leiomioma uteri dan miometrium normal (p = 0.022). Pada pengujian dengan uji korelasi spearman’s terhadap ekspresi RE dan RP dihubungkan dengan karakteristik usia, index massa tubuh dan paritas, didapatkan hasil yang tidak signifikan. Kesimpulan : Tidak didapatkan perbedaan bermakna antara ekspresi ER dan PR terhadap karakteristik usia, index massa tubuh dan paritas pada pasien leiomioma uteri. Kata kunci: Leiomioma uteri, miometrium, reseptor estrogen, reseptor progesteron