Teknologi gasifikasi plasma dikenal sebagai metode baru pada Sampah menjadi Energi. Ini merupakan metode pada pengelolaan sampah untuk memperoleh energi baru terbarukan. Tujuan dari pengelolaan sampah ialah untuk pengembalian energi (ER), pengembalian material (MR) dan meminimalkan dampak lingkungan (MEI). Sampah yang digunakan sebagai bahan baku ialah sampah perkotaan dari TPA Jatibarang di Kota Semarang, Jawa Tengah. Jumlah dari sampah selalu bertambah seiring dengan meningkatnya kondisi ekonomi penduduk di suatu kota. Tujuan dari tesis ini ialah untuk memperkirakan potensi energi dengan memodelkan proses gasifikasi plasma. Dengan bantuan dari perangkat lunak ASPEN Plus, model tersebut dibentuk untuk menghasilkan data yang dibutuhkan untuk menghitung parameter kinerja bagi ER, MR dan MEI. Hasil pemodelan menunjukkan bahwa dengan menggunakan uap murni sebagai gasifying agent, menghasilkan fraksi mol Hidrogen 42.78% dengan laju aliran masa uap 7.4*10-4 kg/s. Reaktor gasifikasi plasma dengan menggunakan gasifying agent uap murni, cocok digunakan untuk industri kimia yang memerlukan Hidrogen sebagai bahan baku, karena nett potensi listrik hanya diperoleh -1.1*10-2 MW. Reaktor gasifikasi plasma dengan menggunakan gasifying agent campuran uap dan udara, cocok digunakan sebagai penghasil listrik, karena nett potensi listrik diperoleh -6.4*10-3 MW, walau ia hanya menghasilkan fraksi mol Hidrogen 32.09% dengan laju aliran masa uap 1.1*10-4 kg/s dan ER 0.180. Kata kunci : Gasifikasi Plasma, Sampah Perkotaan, Sampah jadi Energi, Pengembalian Energi, Gasifying Agent.
Biodielsel (metil ester) telah berhasil diproduksi menggunakan mesin dengan skala industri kecil dengan kapasitas 50-70 liter. Menggunakan bahan baku minyak goreng bekas (jelantah) dan Palm Sludge Oil (PSO) hasil biodiesel yang dihasilkan dilakukan analisa kualitas meliputi Nilai kalori, Kadar Metil Ester, Viskositas, Densitas dan titik nyala. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kelayakan sebuah usaha produksi biodiesel berbahan baku minyak goreng bekas (jelantah) dan Palm Sludge Oil (PSO) melalui parameter NPV, IRR, Simple Payback Periode dan untuk melihat dampak terhadap lingkungan dilakukan anailisis terhadap parameter emisi CO2 dan BOD. Circular ekonomi dilakukan melalui pemanfataan biodiesel sebagai bahan bakar boiler sebuah industry dengan skema pengantian solar HSD dan CNG ke biodiesel. Hasil menunjukan bahwa biodiesel berasal dari minyak goreng bekas telah memenuhi standard SNI 7182:2015 dan PSO belum memenuhi. Hasil kajian keekonomian investasi industri skala kecil biodiesel dari jelantah layak dan PSO (NPV, IRR, Simple Payback Periode) untuk dapat menggantikan HSD dan CNG untuk bahan bakar boiler. Secara hasil dampak lingkungan dan circular economy skema tersebut mampu menurukan emisi CO2 dan BOD mendapatkan profit untuk pengembangan usaha lebih lanjut. Kata Kunci : biodiesel, minyak goreng bekas, PSO, circular economy
Kabupaten Pemalang memiliki rencana energi yang tertuang dalam RUED Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Saat ini Kabupaten Pemalang belum memiliki cadangan sumber daya energi primer sendiri untuk memenuhi permintaan energi dalam daerah. Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral telah memiliki rencana kerja strategis untuk memenuhi kebutuhan energi di Kabupaten Pemalang. Proyeksi kebutuhan energi bertujuan untuk memastikan ketersediaan energi yang menjadi parameter dalam mendukung keberhasilan pembangunan suatu daerah menuju ketahanan energi nasional. Software yang digunakan untuk mengolah data dan analisa proyeksi kebutuhan energi yaitu LEAP (Long-range Energy Alternative Planning System. Proyeksi kebutuhan energi yang dilakukan meliputi pemakaian listrik, pemakaian LPG (liquified Petroleum gas), dan pemakaian bahan bakar kendaraan (premium, solar, dan pertamax). Periode simulasi adalah tahun 2018-2036. Hasil simulasi menunjukkan bahwa proyeksi kebutuhan listrik tahun 2018-2036 selalu mengalami kenaikan. Pada tahun 2036 kebutuhan listrik pada skenario BAU sebesar 32.484 MWh dan skenario kebijakan Pemerintah sebesar 37.307 MWh. Proyeksi kebutuhan pemakaian bahan bakar kendaraan tahun 2018-2036 selalu mengalami kenaikan. Pada tahun 2036 kebutuhan pemakaian bahan bakar pada skenario BAU sebesar 306.284 kL dan skenario kebijakan Pemerintah sebesar 15.721.688 kL. Proyeksi kebutuhan pemakaian LPG (liquified Petroleum gas) pada tahun 2036 untuk skenario BAU sebesar 46 tabung LPG 3 kg per rumah tangga dan skenario kebijakan sebesar 0 SBM, nilai 0 SBM tersebut dikarenakan adanya kebijakan pemerintah yang mengganti LPG dengan Bright Gas. Kebutuhan pemakaian Bright Gas pada tahun 2036 sebesar 25 tabung 5,5 kg per rumah tangga. Kata Kunci: Kebutuhan Energi, LEAP, proyeksi, BAU
Penelitian ini menganalisis waktu tidak produktif atau non productive time (NPT) pada operasi pengeboran panas bumi. Dalam operasi pengeboran panas bumi, waktu tidak produktif dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor pengambilan keputusan, faktor perencanaan operasi, faktor geologi, dan faktor kegagalan peralatan. Penelitian dilakukan pada proyek pengeboran sumur panas bumi di 3 sumur lokasi MKD, wilayah Indonesia. Setiap operasi dan aktivitas yang menyebabkan waktutidakproduktifakan dicatat dan dihitung waktunya sebagai waktu tidak produktif. Data tersebut kemudian akan diidentifikasi penyebab terjadinya waktu tidak produktif dalam operasi pengeboran apakah disebabkan oleh faktor pengambilan keputusan, faktor perencanaan operasi, faktor geologi, atau disebabkan oleh faktor kegagalan peralatan rig. Analisis data pada penelitian ini menggunakan pareto dan monte carlo. Hasil analisis didapatkan perbandingan waktu antara waktuoperasi dan NPT, probabilitas faktor penyebab NPT dan probabilitas tingkat resiko masing-masing faktor penyebab waktu tidak produktif. Hasil analisis akan dijadikan sebagai acuan dalam menentukanrespon resiko pada pengeboran sumur panas bumi. Kata kunci: nonproductive time, pengeboran panas bumi, rig
Konservasi energi berdasarkan PP No. 70 tahun 2009 menganjurkan penggunaan energi secara efektif dan efisien yang harus dilaksanakan di seluruh sektor kehidupan tidak terkecuali pada lingkungan akademik. Ruang kuliah sebagai tempat belajar mengajar membutuhkan pencahayaan yang baik untuk mendukung kegiatan sehari-hari dengan tetap memperhatikan kebijakan tersebut. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana kondisi sistem pencahayaan dan konsumsi energinya pada Gedung Pascasarjana Universitas Diponegoro dan mencari peluang penghematan yang dapat dilakukan. Penghematan pada sistem pencahayaan dipilih karena mudah dilakukan serta dapat dilakukan dengan tanpa mengeluarkan biaya hingga rendah biaya. Penghematan diamati melalui penurunan konsumsi energi dari obyek penelitian. Penelitian ini mengambil 15 sampel ruang yang digunakan untuk kuliah dan sidang/seminar yang berada di Gedung A dan B Pascasarjana Universitas Diponegoro. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah obsevasi, pengukuran intensitas pencahayaan, perhitungan konsumsi energi, dan analisa data serta simulasi menggunakan software Ecotect untuk menemukan peluang penghematan. Pencahayaan dalam ruang kuliah harus memenuhi standar minimal intensitas pencahayaan sebesar 350 lux sesuai SNI 6197:2011. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 33,3% ruangan yang memiliki intensitas pencahayaan sesuai standar. Terdapat 15 sampel ruangan dengan kondisi awal ruang-ruang tersebut memiliki 76 buah lampu tipe CFL 18 Watt yang beroperasi mulai Senin-Sabtu pukul 08:00-18:00 sehingga memiliki konsumsi energi dalam 1 tahun sebesar 5.909.760 Wh/tahun yang setara dengan Rp 5.318.784,-. Peluang upaya penghematan dilakukan diantaranya dengan manajemen penggunaan ruang dan manajemen penggunaan lampu. Manajemen penggunaan ruang meliputi pengaturan letak media pembelajaran dan pemilihan ruang dengan orientasi jendela di sisi selatan. Pada manajemen penggunaan lampu digunakan dua skenario, skenario pertama adalah ketika hasil pengukuran intensitas pencahayaan alami pada suatu ruangan bernilai ≥ 350 lux, maka lampu pada ruangan tersebut dapat dimatikan. Skenario kedua adalah ketika hasil pengukuran intensitas pencahayaan alami < 350 lux, maka semua lampu dinyalakan sehingga intensitas pencahayaan > 350 lux. Agar intensitas pencahayaan mendekati 350 lux, maka dilakukan simulasi pengurangan jumlah lampu yang menyala dalam skenario dua. Upaya perbaikan ruangan yang intensitas pencahayaannya tidak memenuhi standar ternyata memerlukan biaya Rp 3.776.026,- per tahun dan bahkan konsumsi energi meningkat hingga 70,99%. Rekomendasi yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah penghematan dengan manajemen ruangan dan gabungan dua skenario dengan tanpa memperbaiki ruangan agar tercapai penghematan sebesar 15,26% atau sebesar Rp 811.814,- pertahun. Kata Kunci : sistem pencahayaan, peluang penghematan, SNI 6197:2011
Mempertahan kualitas ikan segar dalam penyimpanan diatas suhu beku memerlukan perlakuan khusus agar penurunan kualitas dapat ditunda dan masa simpan dapat diperpanjang. Penggunaan ozon sebagai desinfektan dapat memberikan solusi dari permasalahan penurunan kualitas ikan segar tersebut. Aplikasi mesin plasma pembangkit ozon pada coldstorage memberikan keutungan yang besar dalam penyimpanan ikan dalam kondisi segar. Penyimpanan ikan segar mencapai masa simpan 15 hari dan memperpanjang masa ekonomis ikan segar tersebut. Penggunaan teknologi plasma pembangkit ozon pada coldstorage menunjukan peningkatan efisiensi konsumsi energi sekaligus dapat meningkatkan masa simpan. Dari hasil pengukuran dan perhitungan dapat diketahui konsumsi daya penggunaan coldstorage untuk menyimpan ikan bandeng selama 15 hari menunjukkan penurunan konsumsi energi dari 133,22 kWh menjadi 129,62 kWh atau penurunan sebesar 2,7 %. Pola manajemen operasional coldstorage sangat berpengaruh terhadap konsumsi daya, yaitu sistem buka tutup pintu yang dapat menyebabkan terjadinya intrusi kalor dari lingkugan ke dalam ruang coldstorage. Kata kunci : coldstorage, plasma, ozon, intensitas konsumsi energi, konsumsi daya
Kawasan manifestasi panas bumi Sangubanyu yang terletak di Desa Sangubanyu, Kecamatan Bawang, Kabupaten Batang, Jawa Tengah selain memiliki mata air panas juga terdapat rembesan minyak yang saling berdekatan. Rembesan minyak bumi yang terjadi di Sangubanyu telah diketahui kemunculannya sejak tahun 1971 dan masih menghasilkan rembesan minyak hingga sekarang. Pada daerah penelitian ditemukan dua titik rembesan minyak bumi dan untuk mengetahui penyebab terjadinya rembesan diperlukan analisis bawah permukaan dengan melakukan perekaman data mikrotremor di 63 titik. Metode HVSR adalah metode yang digunakan untuk mengolah data mikrotremor, dengan demikian didapatkan nilai Kecepatan gelombang kompresi (Vp), Kecepatan gelombang geser(Vs) dan ratio Vp/Vs. Melalui interpretasi sebaran nilai Vp dan Vs ditemukan adanya dua sesar normal berarah barat laut-tenggara dan barat daya-timur laut. Dipredikasi kedua patahan yang saling memotong ini membentuk porositas sekunder dan meningkatkan permeabilitas sehingga menjadi jalur migrasi munculnya miyak ke permukaan. Nilai Vp 0-350 m/s ialah lapisan soil dengan ketebalan 1-30 m, lapisan berikutnya dengan Vp 300-700 m/s yaitu weatherd layer dengan ketebalan mencapai 2-170 meter, lalu sand-gravel (saturated) dengan Vp 700-1500 m/s ketebalan 10-110 meter diinterpretasikan sebagai breksi vulkanik tersaturasi, lapisan selanjutnya ialah sand (saturated) dengan nilai Vp 1500-2200 m/s dengan ketebalan 10-180 m, dan lapisan terakhir ialah clay atau lempung dengan Vp >2.200 dengan prediksi ketebalan yang tidak diketahui. Vs berkisar 0-175 m/s berupa tanah lunak ketebalan sekitar 1-38 m, nilai Vs 175-350 m/s berupa tanah sedang dengan ketebalan sekitar 2-170 m, nilai Vs 350-750 m/s berupa tanah padat dan batuan lunak dengan ketebalan 7 hingga 142 m, nilai Vs berkisar dari 750-1500 m/s dengan ketebalan 80 sampai 181 m ialah berupa batuan, dan terakhir batuan keras dengan nilai Vs lebih dari 1500 m/s dengan ketebalan tak terditeksi. Kata kunci: Manifestasi panas bumi, Rembesan minyak bumi, Mikrotremor, HVSR, Sangubanyu, Kecepatan gelombang kompresi, Kecepatan gelombang geser, Vp/Vs
Kebutuhan energi listrik semakin tahun semakin meningkat, mengakibatkan bertambahnya penggunaan pembangkit listrik berbahan bakar fosil yang ketersediaanya semakin menipis. Hal ini yang menjadi alasan berkembangnya energi baru terbarukan.Menurut data yang diterbitkan pemerintah RUEN bahwa Kalimantan Timur memiliki potensi energi air dan matahari sebesar 13.479 MW. Pada penelitian ini membahas analisis tekno-ekonomi perencanaan pemanfaatan PLTA (reservoir) di Tabang, Kalimantan Timur Dari sisi teknis menganalisis perencanaan desain PLTA yang cocok dengan kondisi sungai belayan. Dari sisi ekonomi menganalisis kelayakan proyek PLTA melalui biaya investasi beserta arus kas hingga umur ekonomis proyek, menggunakan beberapa metode, yaitu Net Present Value (NPV), Payback Period (PBP), Benefit Even Point (BEP), Benefit–Cost Ratio (B-CR), dan Internal Rate of Return (IRR). Hasil analisa teknis dengan debit andal Q(40%) menghasilkan daya output sebesar 278,2 MW dengan 4 generator, daya kemudian ditransmisikan ke Gardu Induk Kembang Janggut dengan jarak ±70 km. Biaya investasi yang dikeluarkan pada perencanaan pembangunan unit pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Tabang di Kalimantan Timur adalah Rp3.139.926.930.505,00. Nilai bersih sekarang (NPV) PLTA di Tabang bernilai postif (NPV>0) yaitu sebesar Rp1.696.092.599.142,00 dengan periode pengembalian modal (PBP) lebih dari umur ekonomisnya yaitu 8,4 tahun. Titik impas antara pengeluaran dan pendapatan proyek yaitu 14,8 tahun (BEP1) yaitu sebesar 1,195. Laju pengembalian internal (IRR) atau nilai bersih investasi saat ini sama dengan nol pada tingkat suku bunga ke 15,88%. Hasil tersebut menunjukan rencana pembangunan unit PLTA Tabang di Kalimantan Timur secara ekonomi layak untuk dilaksanakan. Kata kunci: PLTA, analisa kelayakan proyek, metode kelayakan investasi
Latar Belakang. Program pengendalian tuberkulosis sudah dilaksanakan pada masing-masing puskesmas di kota Ambon namun penurunan prevalensi tidak cukup cepat sesuai yang ditargetkan masih saja terdapat kasus TB yang tinggi dan terdapat perbedaan atau disparitas angka CDR antara puskesmas dengan CDR tertinggi dengan puskesmas dengan CDR terendah. Tujuan:Mengevaluasi pelaksanaan program pengendalian tuberculosis terhadap Case Detection Ratedi wilayah kerja puskesmas Metode : Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif analitik menggunakan pendekatan observasional ditunjang dengan penelitiaan kualitatif. Sampel adalah pemegang program dan petugas laboratorium TB di Puskesmas Kota Ambon, berjumlah 44 reponden.. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan hasil analisis diuraikan dalam bentuk narasi dan dibandingkan case datection rate. Hasil : Hasil penelitian menunjukkan bahwa Program penemuan kasus, pengobatan pasien TB dan promosi kesehatan dilakukan 100% oleh responden di puskesmas.Program pemeriksaan sputum dilakukan dengan baik oleh 18 (81,8%) responden petugas laboratorium TB. Hal ini terkait dengan suspek TB tidak mengembalikan pot dahak ke puskesmas. Petugas program TB dan petugas laboratorium memiliki tugas rangkap, kondisi demografi yang jauh dan sulit di jangkau dengan kendaraan. Pemilihan tempat untuk kegitatan promosis TB dan lokasi puskesmas yang jauh dari tempat tinggal masyarakat. kondisi laboratorium yang kecil dan harusnya terpisah untuk TB. Sputum yang di berikan petugas pemegang program kepada petugas laboratorium juga kualitasnya kurang baik. Kesimpulan : Pelaksanaan program pengendalian TB sudah berjalan dengan baik namun terdapat kendala yaitu tidak dikembalikannya pot dahak, demografi, ada yang berobat di fasilitas kesehatan yang lain, ruangan laboratorium yang kurang memadai serta kualitas sputum yang kurang baik. Kata Kunci : Evaluasi program, tuberkulosis
Latar Belakang :Antenatal Care (ANC) sebagai salah satu upaya pencegahan awal faktor awal risiko kehamilan.Kepatuhan dalam melakukan kunjungan antenatal sangat penting untuk memantau perkembangan kesehatan ibu dan janin terutama untuk ibu hamil yang sudah memasuki usia kandungan trimester III. Dari studi yang dilakukan sebelumnya didapatkan ibu hamil yang mengetahui tentang kehamilan dan tanda bahaya kehamilan sebanyak 4 orang (40%), sedangkan berdasarkan catatan buku KMS ibu yang rutin melakukan pemeriksaan kehamilan sebanyak 6 orang (60%) Tujuan :untuk membuktikan usia, pekerjaan, paritas, tingkat pengetahuan ibu tentang kehamilan,sikap, persepsi ibu tentang kualitas pelayanan ANC, keterjangkauan waktu ibu serta dukungan suami/keluarga sebagai faktor yangberhubungan dengan ketidakpatuhan antenatal care pada ibu hamil trimester III. Metode :Penelitian ini observasional analitik dengan menggunakandesain Studi cross sectional, dengan jumlah sampel sebanyak 98 ibu hamil Trimester III di Wilayah kerja Puskesmas Bangetayu Semarang. Instrumen penelitian menggunakan kuesioner dan lembar observasi untuk pengecekan buku KIA. Analisis data menggunakan uji bivariat dan multivariat. Hasil: Secara analisis bivariat variabel yang terbukti berhubungan dengan ketidakpatuhan ANC pada ibu hamil trimester III adalah tingkat pengetahuan ibu tentang kehamilan, persepsi ibu tentang kualitas pelayanan ANC dan dukungan suami/keluarga. Sedangkan berdasarkan analisis multivariat paling dominan berhubungan dengan ketidakpatuhan ANC pada ibu hamil trimester III faktor persepsi ibu terhadap kualitas pelayanan ANC dengan memiliki propabilitas untuk tidak patuh melakukan Antenatal Care adalah sebesar 93,1%. Kesimpulan: Hasil penelitian menunjukkan bahwa paling dominan berhubungan dengan ketidakpatuhan ANC pada ibu hamil trimester III faktor persepsi ibu terhadap kualitas pelayanan ANC. Diharapkan adanya peningkatan kualitas pelayanan daya tanggap yaitu dengan memperbaiki prosedur pelayanan (sistemika proses penyerahan berkas dari loket ke poli KIA) dan mempertimbangkan proporsi ketersediaan personalia Bidan. Kata Kunci:Antenatal Care (ANC), ketidakpatuhan, Ibu Hamil Trimester III