Indonesia mulai merasakan dampak terjadinya perubahan iklim, sebagaimana disebutkan dalam laporan "Indonesia Country Report on Climate Variability and Climate Change/ Laporan Nasional Variabilitas lklim dan Perubahan lklim Indonesia" (Kementerian Lingkungan Hidup, 2007) yang dirilis baru-baru ini. Laporan yang disusun oleh para ahli terkemuka Indonesia dari berbagai sektor dan lembaga ini, memaparkan kajian analitis mengenai dampak iklim di Indonesia. Hasil yang disajikan dalam laporan ini sesuai dengan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) atau Panel Ahli Antar-Pemerintah untuk Perubahan lklim. Dampak perubahan iklim merupakan tantangan bagi lingkungan hidup Indonesia sekaligus bagi pencapaian tujuan dan keberlangsungan pembangunan sosial ekonomi. Kita harus menyiapkan masyarakat agar memiliki ketahanan terhadap risiko akibat terjadinya perubahan iklim. Untuk dapat menangkal ancaman di masa kini sekaligus merencanakan masa depan yang lebih terjamin, kita harus menanamkan langkah-langkah terencana dalam sistem pembangunan kita untuk membantu masyarakat mengurangi serta membiasakan diri menghadapi dampak perubahan iklim.
A waste crisis is emerging in the Asia-Pasific region, stoked by escalating quantities of waste, on the one hand, and poor regulation and management, on the other. Urban populations and economies are expanding, and with increasing numbers of people earning and spending more, consumption and waste are rising. The World Bank estimates that the generation of waste per day in the Asia Pasific region will more than double, form 1 million toones in 2012 to arounjd 2.5 million tonnes, bya 2025. Such rate of wates generation are difficult to manage, and in countries where regulation is already weak, this challenge is a serious one. This is particularly the case in twons and cities in low-and middle-income countries, which tend to lac know-how, resources and economies of scale for safely handling waste.
Pada dasarnya pengembangan lokal bukanlah konsep baru daam pembangunan. Pengembangan lokal adalah pendekatan pembangunan yang berfokus pada pemberdayaan sumber daya lokal untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan. Umumnya, pencapaian tujuan ekobnomi lebih dominan dan menjadi variabel kunci untuk mengintegrasikan tujuan-tujuan sosial, budaya dan kelembagaan, sehingga konsep pengembangan lokal sering diidentikkan dengan konsep pengembangan ekonomi lokal (PEL) konsep ini muncul sebagai alternatif solusi atau jalan tengah atas permasalahan yang tidak terselesaikan melalui pendekatan pembangunan konvensional. Pembangunan kewilayahan selama ini sering terjebak batas jurisdiksi kewenangan, sistem birokrasi, dan politik anggran pemerintah pusat dan daerah. Sementara itu pembangunan sektoral terkooptasi kepentingan ego sektoral dan berorientasi pada pemenuhan tujuan proyek sesuai tugas dan fungsi masing-masing instansi teknis. Kemudian model pembangunan dari atas (top-down approach) yang diinisiasi pemerintah misalnya mekanisme musyawarah perencanaan (Musrenbang), dalam praktiknya tidak mampu memenuhi seluruh aspirasi kebutuhan masyarakat, dan ;ebih mencerminkan rutinitas ketimbang inovasi pembangunan. Sebaliknya, inisiasi pembangunan dari bawah (bottom-up approach) yang dirintis komunitas masyarakat secara mandiri maupun difasilitasi lembaga swadaya masyarakat (LSM), lembaga donor, maupun agen pembangunan lainnya umumnya berupa proyek jangka pendek yang berfokus pada penyelesaian suatu isu spesifik dan permasalahan tertentu.
Dalam upaya memenuhi target menurunkan emisi sebesar 26%-41%, sesuai Peraturan Presiden Nomor 61 tahun 2011 sektor kehutanan memperoleh alokasi target penurunan emisi sebesar 0,672 GTon C02e sampai 1.039 GTon C02e (41%). Untuk itu sektor kehutanan perlu mempersiapkan seluruh perangkat untuk target ini. Dalam Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi GRK teramanatkan beberapa kegiatan utama diantaranya pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan, Pengukuhan Kawasan Hutan dan Peningakatan Usaha Hutan Tanaman. BAPPENAS melalui RAN GRK mengkoordinir penyusunan aktivitas untuk menurunkan emisi di Indonesia, sedangkan Kementrian Lingkungan Hidup bertanggung jawab mengkoordinir kegiatan inventarisasi GRK dan monitoring hasil implementasi GRK melalui mekanisme MRVnya
Prosiding ini merupakan dokumentasi pelaksanaan 2 (dua) komunikasi stakeholder "Pengelolaan Data dan Pembelajaran Tentang Kesiapan/Kegiatan Demonstrasi REDD+ (Outreach on Management of Data and Lessons on Readiness Activities/REDD+ Demonstration Activities) yang telah diselenggarakan di Jember, Jawa Timur pada tanggal 16 Desember 2011, dan Padang, Sumatera Barat pada tanggal 22 Desember 2011. Prosiding ini mencakup informasi mengenai pembelajaran dan pengalaman beberapa Demonstration Activities (DA) REDD+, hasil pertemuan dan penelitian terkait REDD+, beserta pandangan, masukan, harapan dan rekomendasi yang dihimpun dari acara tersebut. Dengan disusunnya presiding ini diharapkan informasi tentang kegiatan "outreach" tersebut dapat diketahui oleh pihak-pihak yang berkepentingan sebagai bahan pertimbangan dalam menyusun langkah tindak lanjut dalam upaya pengembangan DA REDD+ di Indonesia lebih lanjut atau sebagai pembelajaran dalam menyongsong implementasi penuh "REDD+".
Badan Informasi Geospasial (BIG) menjadi salah satu mitra penting BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) dalam melaksanakan manajemen penanggulangan bencana di Indonesia. Peran BIG fokus pada penyediaan informasi geospasial yang dibutuhkan oleh para pembuat perencanaan dalam merancang program-program antisipasi dan recovery pascabencana. Salah satunya terlihat dalam penanggulangan banjir di Jakarta. Redaksi Majalah Geospasial Indonesia dalam Rubrik BIG ISSUE, memaparkan peran BIG dalam pembuatan Peta Prakiraan Daerah Potensi Banjir yang dikeluarkan oleh BMKG. Seperti yang diketahui, Daerah Khusus Ibu Kota (DKI) Jakarta termasuk daerah yang terkena dampak banjir cukup parah pada awal Januari 2020 lalu. Bencana banjir yang menimpa wilayah Jakarta dan sekitarnya memiliki pola yang cenderung berulang, terjadi hampir setiap tahun dengan menimbulkan kerugian materi yang besar, juga merengut nyawa. Peta Prakiraan Daerah Potensi Banjir ini masyarakat memiliki informasi yang valid dalam mengantisipasi bencana banjir yang sewaktu-waktu menerjang wilayahnya, sehingga kerugian materi apalagi jiwa dapat diminimalkan. Selain memiliki andil dalam mendukung manajeman penanggulangan bencana, BIG juga eksis dalam memberikan layanan informasi geospasial kepada publik. Dalam Rubrik BIG EVENT Redaksi menampilkan prestasi Balai Layanan Jasa dan Produk Geospasial BIG yang mendapatkan penghargaan sebagai Unit Penyelenggara Pelayanan Publik kategori "Sangat Baik" dengan nilai A- dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tahun 2019. Kabar gembira ini hendaknya dapat memacu warga BIG untuk lebih semangat lagi meningkatkan kinerja dan prestasi.
Climate change is a key challenge for Asian cities in the global south. Already half of Asia-Pacific's urban population live in secondary cities of less than 1 million, and as urbanisation continues more people will be exposed to direct and indirect hazards of climate change. The impacts will continue to devastate lives and homes - and have the potential to undo many development gains of the last few decades. Understanding these impacts begins to equip communities, governments and stakeholders to prevent long term development losses. This paper suggests that those most susceptible to climate change impacts are the children who live in slums, informal settlements and on the streets of secondary cities, as their exposure to increasing and dramatic weather events, disease outbreaks and fluctuations in temperature are made worse by entrenched poverty, economic recession, youth unemployment and fragile institutions. This multi-city study undertaken by IIED in partnership with Save the Children argues for a profound change in current thinking. The study looks at three secondary Asian cities: Khulna (Bangladesh), Malolos (Philippines) and Da Nang (Vietnam). It considers the opportunities and gaps between current urban and climate change planning and argues for greater focus on secondary cities in particular those cities at highest risk in Asia. It concludes by putting forward recommendations for government and non-government actors alike.
Rubrik Laporan Utama mengambil tema "Problematika dan Penguatan Konsultan Daerah" untuk merespons kegelisahan anggota akan masalah yang dihadapi, baik teknis maupun manajemen, dan menawarkan strategi untuk mengatasi permasalahan dan keluar sebagai pemenang. Kemauan untuk meningkatkan kapasitas akan membuat konsultan terus relevan dengan perkembangan jaman. Rubrik Lentera llmu dan Resensi Buku hadir memberikan pengayaan terhadap isu-isu pembangunan terbaru, seperti pemetaan untuk tata ruang, ketahanan iklim berbasis masyarakat, penguatan struktur bangunan dan kanal sebagai infrastruktur pengendali banjir. Kehadiran INKINDO penting untuk mengakselerasi kemajuan perusahaan perusahaan anggotanya. Rubrik Info Organisasi mewartakan program-program INKINDO, baik yang bersifat internal, yaitu peningkatan kapasitas anggota maupun yang bersifat eksternal melalui advokasi kebijakan pembangunan daerah.
On the coast of Java, Semarang City faces a multitude of climate-related problems including sea-level rise, flash and tidal floods, subsidence and coastal erosion Using four case.-study villages, this working paper explores how households are coping with the impacts of climate change. How do they decide whether to protect, adapt or relocate their property to areas less affected, and what are the costs? Understanding household risk assessments and decision-making processes should effectively tailor government policies to reduce vulnerability and support local adaptation strategies. By bringing together all stakeholders, an urban climate governance approach should ensure a more resilient city.