Pemanasan global akibat naiknya konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer bumi telah menimbulkan dampak yang sangat besar pada sistem iklim global. Kejadian iklim ekstrim semakin sering terjadi dan intensitasnya juga cenderung meningkat, sehingga dampak dan kerugian ekonomi yang ditimbulkan cenderung semakin besar (IPCC, 2014). adanya upaya untuk meningkatkan ketangguhan sistem pembangunan terhadap terhadap perubahan iklim, dampak dari perubahan iklim akan menghambat keberlanjutan pembangunan. Ketangguhan desa terhadap dampak perubahan iklim ditentukan oleh tingkat kerentanan desa tersebut. Desa yang sangat rentan, tingkat ketangguhannya sangat rendah. Apabila desa yang sangat rentan terpapar terhadap perubahan iklim, dampak yang ditimbulkan oleh perubahan iklim sangat besar dibanding dengan desa yang tidak rentan. oleh karena itu, upaya untuk mengurangi dampak dari perubahan iklim ialah dengan menurunkan tingkat kerentanan desa tersebut. Besar kecilnya tingkat kerentanan desa akan ditentukan oleh kondisi lingkungan sosial dan ekonominya.
Penduduk perkotaan tumbuh dari 746 juta pada tahun 1950 (29,6 persen dari populasi dunia) menjadi 2,85 miliar pada tahun 2000 (46,6 persen), dan telah mencapai 3,96 miliar pada tahun 2015 (54 persen). lni diharapkan mencapai total 5,06 miliar pada tahun 2030 (60 persen dari populasi dunia). Dalam menanggapi transformasi ini, Panduan lnternasional tentang Perencanaan Kata dan Wilayah (Panduan) dimaksudkan dapat menjadi kerangka kerja untuk meningkatkan kebijakan global, rencana, desain dan proses implementasi, yang akan menjadikan kota-kota dan wilayah yang lebih kompak, inklusif secara sosial, dan terhubungkan dan terintegrasi secara lebih baik serta mendorong pembangunan perkotaan berkelanjutan dan tangguh terhadap perubahan iklim
Nationally appropriate mitigation actions (NAMAs) have gained increasing interest as a tool for countries to promote climate change mitigation actions in the context of national sustainable development strategies. NAMAs have the potential to be a meaningful and powerful driver of sustainable development in developing countries. In order to do so, NAMAs should maintain or Improve what has worked within the clean development mechanism (COM) and address its Iimltatlons. Thi COM has been particularly successful with projects with high relative greenhouse gas (GHG) emlglon reductions (such as large scale industrial projects), but did not work for projects with hlgt co-benefits" (such as small-scale community-based projects). One of the reasons for this is that#he CDM only monetizes GHG emission reductions. However, this is just one source of "value to @0lety". Good projects have many other sources of value that should be unlocked, recognized qt led and, if possible, monetized. In this context, we believe that a meaningful framework for the promotion of projects with a high degree of co-benefits, via valuing co-benefits and getting the incentives right, ought to be a the centre of NAMA design. Such an approach holds considerable relevance in the context of both the United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCC) and the globa sustainability agenda, including the post-215 development agenda
Buku ini berisi tentang geomorfologi dan dinamika di wilayah pesisir, khususnya geomorfologi dan dinamika Pesisir Jepara. Pesisir merupakan wilayah yang sangat dinamis, sangat rentan terhadap suatu perubahan. Dinamika di wilayah pesisir perlu dipelajari agar dapat diketahui langkah-langkah strategis yang dapat dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya dinamika tersebut. Buku ini terdiri atas lima chapter. Chapter pertama berjudul "Konsep Geomorfologi dan Dinamika Kepesisiran: Terapan di Kabupaten Jepara", yang di dalamnya membahas mengenai konsep dasar geomorfologi dan konsep dasar dinamika kepesisiran. Chapter kedua berjudul "Erosi dan Sedimentasi Kawasan Pesisir Jepara", yang membahas tentang permasalahan yang terjadi dengan contoh kasus erosi dan sedimentasi di Pantai Jepara. Chapter ketiga berjudul "Dinamika Lingkungan Daerah Aliran Sungai dan Pesisir" yang membahas mengenai dinamika yang terjadi di suatu DAS dan pengaruhnya terhadap dinamika pesisir. Chapter keempat berjudul "Deskripsi Lingkungan Wilayah Pesisir Jepara", yang mendeskripsikan tentang lingkungan biotik dan abiotik wilayah Pesisir Jepara. Chapter kelima dengan judul "Potensi Bencana Hidrometeorologi di Kawasan Sub-DAS Ampel Kabupaten Jepara", yang membahas tentang bencana hidrometeorologi yang terdapat di Sub-DAS Ampel yang merupakan bagian dari pesisir Jepara
The naturalist John Muir once wrote "when we try to pick out anything by itself, we find it hitched to everything else in the universe" and this has certainly been my experience of thinking, researching and writing about networking. My initial interest in networking emerged from my experience as a neighbourhood community worker and political activist. I became aware of how useful it is to have a range of connections in terms of getting things done without many resources and without much obvious power or status. I also noticed that keeping this web of contacts and relationships required quite a lot of time and some ingenuity, and that the women I knew were particularly adept and committed to this way of working. I began to realise that networking was not only an efficient approach to developing collective action, but represented an aspect of work that was insufficiently rewarded. I was motivated by a desire to find out why and how networking enabled people to work together to achieve their common goals. What makes a good networker? Why are networks so useful? These were the key questions that led me into an investigation of the skills and strategies that underpin both effective and ethical networking. The findings described in the book are based on research undertaken to discover how networking is used by community workers and others to develop collective action among communities and to underpin multi-agency working. I was particularly interested in the tactics and traits that good networkers demonstrated, and wanted to make more visible the skilled and strategic nature of good networking. The research programme consisted of two parts. The first was a case study of my own involvement in coordinating the first Bristol Festival Against Racism in 1994. The second phase of the research involved working with a panel of community practitioners over 12 months. They were asked to identify key networks in their professional practice and describe what they were used for, as well as any limitations. The community workers then spent a few weeks making notes of 'critical incidents' that had occurred in their professional or private lives that they felt had contributed in some way to community development. The evidence collected from these two stages was used to construct the questions for one-to-one interviews and the whole process culminated in a focus group discussion in which panelists considered the research findings and debated implications for community development policies and practice
Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki kawasan hutan dan potensi sumber daya hutan yang dominan, termasuk adanya potensi sumber daya hutan yang khas seperti tanaman jenis cendana (santalum album) dan tanaman kayu putih jenis ampupu yang di manfaatkan kayunya. Di Provinsi NTT juga terdapat kegiatan budidaya tanaman kayu putih untuk produksi minyak kayu putih yaitu jenis/species Meulaleca Leucadendron. Di Provinsi NTT juga telah dibentuk KPH model yaitu KPHL Mtis Timau berdasarkan Keputusan menteri Kehutanan Nomor SK.41/Menhut-II/2012 dengan luas kurang lebih 1115.380 Ha yang mencakup kawasan hutan produksi terbatas (HPT) dan kawasan hutan lindung yang tersebar di 3 (tiga) Kabupaten yaitu kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan (TTS) dan Timor Tengah Utara (TTU). Wilayah KPHL Mutis-Timau, memiliki potensi tegakan ampupu alamiah serta sebaran Meulaleca Luecadendron yang potensia; bagi usaha produksi minyak kayu putih. Oleh karenanya sangat dimungkinkan KPHL Mutis-Timau untuk lebih mengembangkan budidaya kedua jenis tanaman tersebut melalui metoda dan teknis yang tepat serta melalui pelibatan masyarakat
Tema workshop Penanganan Akar Masalah Deforestasi dan Degradasi Hutan dalam Implementasi REDD+ dan RAN-GRK Sektor Kehutanan ini dapat digunakan untuk mencari akar masalah terkait konversi hutan secara permanen. Penyebab deforestasi dan degradasi hutan untuk implementasi REDD+ dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1. Kemiskinan masyarakat sekitar kawasan hutan 2. Konversi hutan yang tinggi, yang diakibatkan oleh: - Harga komoditas yang tinggi (misalnya palm oil), terdapat kecenderungan untuk melakukan konversi kawasan hutan - Lahan hutan dilihat dari sudut pandang source of land, makan hutan masih memiliki nilai yang masih murah - Pelaksanaan kewenangan pemberian ijin usaha perkebunan yang dalam banyak hal menyebabkan desakan terhadap hutan semakin tinggi 3 Penegakan hukum yang masih harus ditingkatkan
Konsep green economy muncul sebagai langkah perbaikan dari pengalaman implementasi konsep sustainable development selama lebih 20 tahun yang belum dapat mengatasi berbagai permasalahan sosial serta kerusakan lingkungan. Konsep green economy diharapkan mampu menciptakan keseimbangan ketiga pilar pembangunan (ekonomi, sosial dan lingkungan). Beberapa faktor termasuk sektor kehutanan dianggap penting karena bisa menjadi faktor pendorong dalam implementasi konsep green economy. Sektor kehutanan harus dapat mengambil peran yang lebih besar dalam menjaga kelestarian alam dan mencegah kerusakan lingkungan sebagai akibat dari pembangunan. Efisiensi dalam penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan serta pengayaan terhadap keanekaragaman hayati merupakan alternatif solusi yang bisa diimplementasikan oleh sektor kehutanan