Text
Kejadian kurang pendengaran tipe sensorik neonatus preterm yang mengalami asfiksia pada skrining awal pendengaran
Latar belakang. Prevalensi kurang pendengaran di Indonesia tahun 2013 pada usia ≥ 5 tahun sebesar 2,6%. Asfiksia dan BBLSR merupakan faktor risiko yang dipaparkan oleh Joint Committee on Infant Hearing. Beberapa studi menyatakan bahwa skor Apgar yang rendah pada bayi preterm lebih menggambarkan imaturitas dibanding dampak dari gawat janin.
Tujuan. Menganalisis pengaruh asfiksia pada neonatus preterm terhadap kejadian kurang pendengaran tipe sensorik berdasarkan skrining awal pendengaran.
Metode. Penelitian kohort. Subyek: neonatus preterm dengan riwayat asfiksia sedang dan berat dirawat di RSUP dr. Kariadi Semarang bulan Januari 2016 – Juni 2017, dipilih secara consecutive sampling, sesuai criteria inklusi dan eksklusi. Kurang pendengaran sensorik (KPS) ditentukan dari pemeriksaan Otoacoustic emission (OAE) yang dilakukan saat pulang perawatan dan usia 3 bulan. Analisis dilakukan dengan uji Chi-square, t-test, dan Mann-Whitney.
Hasil. Dari 73 bayi yang dilakukan follow up, OAE I menunjukkan 32 bayi refer dan 41 bayi pass. Skor Apgar menit ke-1 ≤ 3 bukan merupakan faktor risiko KP sensorik pada neonatus preterm dengan asfiksia. Usia gestasi < 32 minggu dan BBLSR meningkatkan risiko KP sensorik (masing-masing OR 3,8; 95% IK 1,29-11,09,p 0,01 dan OR 3,9; 95% IK 1,47-10,81, p 0,005). Usia gestasi < 32 minggu dan BBLSR secara bersama-sama bukan merupakan faktor risiko KP sensorik pada neonatus preterm dengan asfiksia dari pemeriksaan OAE I.
Simpulan. Skor Apgar menit ke-1 ≤ 3 tidak mempengaruhi KPS dari skrining awal pendengaran pada neonatus preterm dengan asfiksia. Usia gestasi < 32 minggu dan BBLSR secara individual meningkatkan risiko KPS pada neonatus preterm dengan asfiksia.
Kata kunci : OAE, kurang pendengaran sensorik, asfiksia, preterm
Tidak tersedia versi lain