Latar belakang : Preeklampsia dan eklampsia masih merupakan masalah dalam pelayanan obstetri di dunia dan merupakan salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin disamping perdarahan dan infeksi. Kematian ibu yang dihitung hanya pada masa nifas kemungkinan akan lebih besar mengingat kejadian dan trombo embolisme meningkat pada riwayat preeklampsia dibandingkan normotensi. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain belah lintang (cross sectional study), data dari wanita pasca melahirkan 2 s/d 6 minggu di RSUP Dr. Kariadi Semarang dengan riwayat preeklampsia berat dan normotensi kemudian dilakukan pemeriksaan kadar hsCRP. Tujuan : Tujuan umum penelitian adalah mengetahui perbedaan kadar hsCRP ibu dengan riwayat preeklampsia berat dan normotensi. Hasil : Didapatkan wanita pasca melahirkan dengan 49 penderita yang terdiri dari preeklampsia berat 26 (53%) dan normotensi 23 (46,9%). Didapatkan cara persalinan berbeda secara statistik pada kelompok preeklampsia berat dengan mayoritas ekstraksi vakum sebanyak 68% dan pada kelompok normotensi mayoritas persalinan spontan 65,2%. Mean + SD kadar hsCRP pada preeklampsia berat yaitu 4,73 + 3,57 sedangkan pada normotensi 2,42 + 4,14 (p0,05) dan kelompok preeklampsia berat akan meningkatkan resiko kenaikan hsCRP sebanyak 2,5 kali dibanding kelompok normotensi. Simpulan : Kadar hsCRP pada masa nifas pasien dengan preeklampsia lebih tinggi dari pada pasien dengan kehamilan normal. Kata kunci : high sensitivity C-reactive protein, preeklampsia berat, masa nifas.
Latar belakang : Induksi persalinan merupakan prosedur obstetri yang sering dilakukan untuk memicu timbulnya kontraksi baik secara mekanik, farmakologik atau keduanya agar terjadi persalinan pervaginam. Penggunaan USG transvaginal dimanfaatkan untuk memprediksi keberhasilan induksi persalinan. Hingga saat ini masih sedikit informasi mengenai bagaimana memperkirakan risiko dan memberikan penjelasan ke pasien mengenai induksi persalinan. Standar yang digunakan untuk memprediksi luaran induksi persalinan adalah dengan skor Bishop. Pemeriksaan ini bersifat subjektif dengan variabilitas inter dan intraobserver yang tinggi sehingga memiliki nilai prediktif yang rendah dalam hal luaran induksi persalinan. Pemeriksaan dengan menggunakan USG transvaginal dinilai lebih objektif untuk menilai panjang serviks. Selain itu pemeriksaan ini bukan merupakan prosedur yang rumit untuk dilaksanakan kurang invasif dibandingkan pemeriksaan dalam vagina. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan desain belah lintang (cross sectional study). Semua wanita hamil aterm yang akan menjalani induksi persalinan dari bulan Oktober 2015 - Maret 2016 di RSUP dr. Kariadi Semarang. Tujuan : Tujuan penelitian ini adalah membandingkan panjang serviks dengan menggunakan USG transvaginal dengan skor bishop dalam memprediksi keberhasilan induksi persalinan. Hasil : Sebanyak 122 pasien yang menjalani induksi persalinan di RSUP Dr. Kariadi Semarang selama periode tahun Oktober 2015 hingga mAret 2016. Dari 120 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, didapatkan perbedaan yang bermakna dalam hal umur, indikasi induksi karena KPD, skor Bishop, panjang serviks dan adanya funneling pada kelompok yang berhasil menjalani induksi persalinan dengan ditandai pembukaan 4 cm dalam waktu < 12 jam. Cut off point untuk panjang serviks adalah 25,45 mm dan 3 untuk skor Bishop dalam memprediksi keberhasilan induksi persalinan. Simpulan : Penelitian ini menunjukkan pengukuran panjang serviks dengan menggunakan USG transvaginal lebih baik dalam memprediksi keberhasilan induksi persalinan daripada skor bishop. Kata kunci : Induksi persalinan, skor Bishop, panjang serviks, USG transvaginal, keberhasilan induksi
Latar belakang : Infertilitas merupakan suatu masalah yang mempengaruhi sekitar 1 dari 15 pasangan dan infertalitas tuba merupakan penyebab tersering. Salah satu penyebab infertalitas tuba adalah adanya infeksi Chlamydia trachomatis yang berperan dalam timbulnya penyakit radang panggul. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara infeksi chlamydia trachomatis dan infertilitas tuba yang dinilai melalui pemeriksaan antibodi chlamydia trachomatis. Metode : Subjek penelitian adalah wanita usia reproduski dengan infertilitas primer maupun sekunder yang telah dilakukan pemeriksaan histerosalfingografi sebelumnya. Selanjutnya subjek akan diperiksa IgG dab IgM chlamydia trachomatis. Penelitian dilakukan di Bagian / SMF Obstetri dab Ginekologi FK Undip - RSUP Dr. Kariadi Semarang bertempat di Poliklinik Fertilitas dan Keluarga Berencana sejak Desember 2014 hingga JAnuari 2015. Tujuan : Mengetahui apakah terdapat hubungan antara infeksi chlamydia trachomatis dengan oklusi tuba yang dideteksi dengan histerosalfingografi pada wanita infertilitas di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Hasil : Sebanyak 42 subjek ikut serta dalam penelitian ini, dengan masing-masing 21 pasien dengan infertilitas tuba paten sebagai kelompok studi dan 21 pasien infertilitas tuba non paten sebagai kelompok kontrol. Didapatkan hubungan yang bermakna antara infertilitas tuba non paten sebagai kelompok kontrol. Didapatkan hubungan yang bermakna antara infertilitas tuba paten dengan serologi IgG chlamydia trachomatis (p=0.006, PR = 8,6 OR>1) dan serologi IgM chlamydia trachomatis (p=0.001, PR=64). Sedangkan hubungan antara kedua serologi IgG dan IgM chlamydia trachomatis juga didapatkan hasil adanya hubungan yang bermakna antara kejadian infertilitas tuba (p=0.009, PR=2,5). Simpulan : Chlamydia trachomatis terbukti merupakan penyebab infertilitas dengan tuba paten dan tuba non paten pada penelitian ini berdasar proporsi kejadian serologi chlamydia trachomatis, baik itu IgG maupun IgM, taupun keduanya pada kelompok infertilitas tuba dan infertilitas non tuba. Kata kunci : chlamydia trachomatis, serologi IgG, serologi IgM, infertilitas dengan tuba paten, infertilitas dengan tuba non paten.
Latar belakang : Angka kematian ibu Provinsi Jawa Tengah tahun 2013 berdasarkan laporan dari kabupaten/kota sebesar 118,62/100.000 kelahiran hidup, meningkat bila dibandingkan tahun 2012. Sedangkan AKB berdasar Survey Demografi Kesehatan Indonesia sebsar 40/1000 kelahiran hidup. Persalinan yang ditolong tenaga kesehatan terbukti berkontribusi terhadap turunnya risiko kematian ibu namun berdasarkan hasil investigasi kualitas secara cepat yang dilakukan pada bulan Juli 1997 di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, terungkap bahwa hampir sebagian besar (80%) penolong persalinan yang bekerja pada fasilitas pelayanan kesehatan tidak mampu melakukan asuhan persalinan sesuai dengan standar yang diinginkan. Metode : Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan rancangan belah lintang. 44 orang tenaga kesehatan di RS jejaring akan diambil sebagai subjek penelitian secara acak menggunakan metode cluster random sampling. Data primer diambil dengan menggunakan kuesioner dari hasil wawancara dan observasi langsung dilapangan. Tujuan : Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan penerapan standar Asuhan Persalinan Normal (APN) oleh tenaga kesehatan penolong persalinan di RS Jejaring. Hasil : Rata-rata usia responden yaitu 30 tahun dengan usia termuda 21 tahun dan paling tua berusia 43 tahun. Semua responden adalah perempuan mayoritas bidan (97,4%) dan 2,6% lainnya dokter umum. Masa kerja paling sedikit setengah tahun dan paling lama 30 tahun. Mayoritas 89,5% pernah ikut pelatihan APN sebelumnya. Dari 10 RS jejaring sebagian besar memiliki tingkat kepatuhan terhadap APN yang baik (65,8%), kepatuhan terhadap prosedur resusitasi neonatus sebagian besar baik (60,5%) dan sebagian besar memiliki tingkat pengetahuan APN yang tinggi (63,2%). Bahwa tingkat pengetahuan berhubungan dengan tingkat kepatuhan terhadap standar APN, dimana mereka dengan tingkat pengetahuan tinggi memiliki kecenderungan tingkat kepatuhan lebih baik, lebih besar 6 kali bila dibandingkan dengan mereka yang pengetahuannya sedang (OR 5,9, Interval kepercayaan 95% 2,04 - 17,11). Dan mereka dengan tingkat pengetahuan rendah memiliki kecenderungan kepatuhannya buruk 5 kali lebih besar dibandingkan mereka dengan tingkat pengetahuan tinggi (OR 0,19 interval kepercayaan 95% 0,10 - 0,34). Simpulan : Terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan APN dengan kepatuhan terhadap penerapan standar APN dengan semakin tinggi tingkat pengetahuan, maka semakin tinggi pula kepatuhannya terhadap penerapan standar APN. Pelatihan APN sebagi upaya penyegaran kembali perlu dilakukan untuk meningkatkan kepatuhan tenaga kesehatan. Kata kunci : kepatuhan, APN, tenaga kesehatan