Pendahuluan : Laser fotokoagulasi merupakan teknik standar penatalaksanaan retinopati diabetika proliferatif (PDR). Komplikasi yang dapat terjadi adalah defek lapang pandang karena penipisan lapisan serabut saraf retina (RNFL). Beberapa penelitian dilakukan untuk mendapatkan parameter laser dengan komplikasi yang lebih sedikit. Tujuan : Membandingkan ketebalan lapisan serabut saraf retina paska laser fotokoagulasi durasi diperpanjang dan konvensional parameter pada penderita retinopati diabetika proliferatif. Metode : Studi eksperimental dengan pre and post test group design dilakukan di RSUP Dr. Kariadi. Subyek penelitian adalah penderita PDR yang dipilih secara consecutive sampling. Ketebalan lapisan serabut saraf retina diukur sebelum dilakukan laser, 1 minggu dan 1 bulan setelah dilakukan laser. Hasil : Kelompok konvensional terdiri dari 24 mata dan kelompok modifikasi 24 mata. Kelompok konvensional ketebalan RNFL sebelum dilakukan leser 78,83+-32,81uM, 1 minggu setelah laser 83,04+-31,77uM, dan 1 bulan paska laser 70,29+-27,90uM. Pada 1 minggu setelah laser terjadi penebalan RNFL yang tidak bermakna sebesar 4,21uM. Pada 1 bulan paska laser terjadi penipisan RNFL yang bermakna sebesar 8,54uM. Kelompok modifikasi ketebalan RNFL sebelum dilakukan laser 71uM, 1 minggu setelah laser 83uM, dan 1 bulan paska laser 66,5uM. Pada 1 minggu paska laser terjadi penebalan RNFL yang bermakna sebesar 5,5uM. Pada 1 bulan paska laser terjadi penipisan RNFL yang bermakna sebesar 8uM. Ketebalan RNFL sebelum laser, 1 minggu dan 1 bulan paska laser antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna. Simpulan : Tidak terdapat perbedaan bermakna ketebalan RNFL paska laser fotokoagulasi durasi diperpanjang dan konvensional parameter pada PDR. Kata kunci : retinopati diabetika proliferatif, laser fotokoagulasi, lapisan serabut saraf retina
Pendahuluan : Glaukoma merupakan salah satu penyakit yang mengancam penglihatan dan bersifat ireversibel. Progresifitas neuropati optik yang terjadi seringkali disebabkan oleh peningkatan tekanan intraokular akibat resistensi aliran humor akuos melalui trabecular meshwork (TM) dan kanalis Schlemm. Perkembangan dan progresifitas glaukoma berhubungan dengan akumulasi kerusakan oksidatif pada TM. Stres oksidatif yang disebabkan oleh peningkatan tekanan intraokular dapat memicu pemecahan O2 aerob sehingga menghasilkan Reactive Oxygen Spesies (ROS). Mekanisme kerusakan sel akibat serangan radikal bebas yang terbanyak diteliti adalah peroksidasi lipid. Salah satu hasil produk degradasi peroksidasi lipid adalah malondialdehide (MDA). N-acetylcarnosine (NAC) merupakan antioksidan topikal yang diharapkan dapat menghambat pembentukan lipid peroksidasi dan mengurangi pembentukan senyawa aldehide. Tujuan : Mengetahui pengaruh pemberian NAC terhadap kadar malondialdehide humor akuos tikus wistar model glaukoma. Metode : Penelitian ini merupakan true experimental post-test only controlled group design. Empat belas ekor tikus wistar dibuat model glaukoma dengan metode kanulasi, kemudian dibagi secara acak menjadi 2 kelompok. Kelompok kontrol (K) diberi tetes mata plasebo, kelompok perlakuan (P) diberi tetes mata N-acetylcarnosine, 2x sehari selama 4 minggu. Pemeriksaan kadar MDA dalam humor akuos dengan menggunakan Quantikine Rat Immunoassay Kit dan pembacaan hasil dengan spektrofotometer. Analisis statistik menggunakan uji t tidak berpasangan. Hasil : Rerata kadar MDA pada kelompok K=47; kelompok P=23. Kadar MDA kelompok perlakuan lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol (p=0,021). Hasil uji beda kadar MDA dengan uji t tidak berpasangan terdapat perbedaan bermakna kadar MDA pada kelompok kontrol dibandingkan kelompok perlakuan (p
Latar belakang : Vitiligo adalah kelainan melanositopenik didapat yang ditandai dengan adanya bintik-bintik depigmentasi akibat hilangnya melanosit epidermal. Superoxide dismutase (SOD) adalah antioksidan enzimatik penting yang bertanggungjawab untuk menghilangkan radikal superoksida dan dianggap sebagai antioksidan utama dalam sel aerob. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan korelasi antara kadar SOD serum dengan derajat keparahan vitiligo menggunakan skor VASI. Metode : Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian analitik observasional belah lintang dengan variabel bebas kadar SOD serum dan variabel terikatnya adalah derajat keparahan vitiligo. Sampel diambil dari 33 pasien, dimana 11 pasien dengan vitiligo ringan, 11 pasien dengan vitiligo sedang dan 11 pasien dengan vitiligo berat. Hasil : Pada penelitian ini didapatkan adanya korelasi negatif derajat sangat baik yang bermakna antara kadar SOD serum dengan derajat keparahan vitiligo (r=-0,943; p
Latar belakang : Sistem vaskuler (endotel), dan pembekuan darah serta proses fibrinolitik merupakan tiga sistem yang berperan dalam hemostasis. Kadar ADMA sebagai penanda disfungsi endotel, jumlah trombosit, kadar D-Dimer sebagai parameter aktivasi koagulasi dan fibrinolisis dapat memprediksi progesivitas pasien DMT2 dengan CHF. Deteksi dini gangguan aktivitas koagulasi, fibrinolisis dan gangguan fungsi endotel dapat mengurangi angka morbiditas dan mortalitas pada pasien DMT2 dengan CHF. Tujuan : Membuktikan hubungan jumlah trombosit, kadar D-Dimer dengan kadar ADMA pada pasien DMT2 dengan CHF. Metode : Penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan belah lintang pada 34 pasien DMT2 dengan CHF yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Jumlah trombosit diukur dengan menggunakan metode flowcitometry, kadar D-Dimer diukur menggunakan metode turbidimetri, kadar ADMA diukur menggunakan ELISA kompetitif. Analisis menggunakan uji korelasi spearman. Hasil : Jumlah trombosit yang mengalami peningkatan didapatkan pada 1 subyek (2,9%), tidak mengalami peningkatan pada 33 subyek (97,1%). Kadar D-Dimer yang mengalami peningkatan sebanyak 30 (88%) subyek, tidak mengalami peningkatan 4 (11%) subyek. Kadar ADMA yang tidak mengalami peningkatan sebanyak 16 subyek (47%), terjadi peningkatan terdapat pada 18 subyek (52,9%). analisis hubungan jumlah trombosit dengan kadar ADMA tidak didapatkan hubungan bermakna antara kedua variabel (r=-0,100; p=0,574), terdapat hubungan bermakna antara kadar D-Dimer dengan ADMA (r=0,396; p=0,021). Simpulan : Terdapat hubungan positif lemah antara kadar D-Dimer dengan kadar ADMA pada pasien DMT2 dengan CHF. Kata kunci : DMT2, CHF, jumlah trombosit, D-Dimer, ADMA, DMT2, CHF
Latar belakang : Stroke adalah salah satu penyebab kematian dan kecacatan terbesar di dunia, stroke terdiri dari iskemik dan non iskemik, stroke iskemik kasusnya 85-87%. Inflamasi berperan pada stroke iskemik, CRP merupakan petanda inflamasi yang banyak dipakai dan RDW adalah pengukuran dari ukuran sel darah merah, IL-10 berperan dalam mekanisme umpan balik protektif untuk membatasi produksi sitokin pro-inflamasi. Tujuan : Memebuktikan adanya hubungan antara kadar CRP dan nilai RDW dengan kadar IL-10 pada stroke iskemik. Metode : Desain observasional analitik dengan pendekatan belah lintang. Subyek 31 pasien diambil secara konsekutif di RSUP Dr. Kariadi Semarang. CRP diperiksa dengan metode sandwich ELISA, RDW dengan metode optik, IL-10 dengan metode ELISA. Analisa statistik menggunakan uji korelasi spearman. Hasil : Hasil median CRP didapatkan 2,97 (0,33-8,22 mg/dL, median RDW 12,9 (11,9-20,8%) median IL-10 1,56 (0,13-6,8) pg/mL. Terdapat hubungan antara kadar CRP dan kadar IL-10dengan nilai r=-0,547 dan p=0,001. Tidak didapatkan hubungan antara nilai RDW dan kadar IL-10 dengan nilai r=-0,1373 dan p=0,353. Simpulan : Terdapat hubungan negatif sedang antara kadar CRP dan kadar IL-10 dan tdak didapatkan hubungan nilai RDW dan kadar IL-10. Kata kunci : stroke iskemik, CRP, RDW, IL-10
Latar belakang : Cytomegalovirus (CMV) merupakan salah satu patogen penyebab morbiditas dan mortalitas baik pada penderita imunokompromais maupun imunokompeten. Kenyataan bahwa gejala klinis infeksi CMV primer sebagian besar tidak khas (asimtomatik), menyebabkan hasil tes serologi di laboratorium menjadi satu-satunya jalan yang paling reliabel untuk memperkirakan prevalensi CMV pada suatu populasi. Kajian epidemiologi dan klinis penderita CMV seropositif diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai distribusi penderita CMV seropositif berdasarkan karakteristik demografi dan sosioekonomi, serta gejala dan tanda klinis yang dikeluhkan penderita dengan IgM CMV seropositif. Metode : Studi ini merupakan studi deskriptif analitik dengan data retrosepktif berdasarkan rekam medis penderita di sebuah klinik dokter spesialis penyakit dalam di Kabupaten Pati, Jawa Tengah selama Januari 2013 sampai dengan Desember 2015. Analisis kualitatif dilakukan terhadap penderita yang diperiksa status serologi anti-CMV dengan menggambarkan karakteristik demografi, sosioekonomi, dan karakteristik klinis. Hasil : 1439 penderita CMV seropositif dengan rentang usia 12 hingga 88 tahun (rerata usia 42 tahun), terbanyak berusia 26-45 tahun (n 571; 39.7%), perempuan (n 808; 56%) dan tinggal di daerah rural (n 890; 61.8%). Infeksi CMV akut (serologi IgM+/+) didapatkan 42 (2.9%) dan infeksi kronis (IgM-/IgG+) 1397 (97.1%). Tidak ada penderita dengan IgM+/IgG-. Proporsi CMV seropositif lebih banyak penderita berpendidikan >SMU (n 173;55.6%), berpenghasilan SMU, berpenghasilan
Latar belakang : Vitamin D sering disebut "the sunshine vitamin" berperan penting untuk pertumbuhan dan perkembangan. Pembentukannya sangat bergantung pada sinar matahari dan asupan vitamin D dari makanan atau suplemen. Defisiensi vitamin D mengakibatkan berbagai macam gangguan penyakit. Penelitian di berbagai negara termasuk Indonesia menunjukkan tingginya angka defisiensi vitamin D. Suplementasi vitamin D efektif memperbaiki kondisi defisiensi vitamin D. Penelitian ini bertujuan mengetahui efek suplementasi vitamin D3 terhadap kadar 25-hydroxyvitamin D (25(OH)D) serum pada subyek hipovitaminosis D. Metode : Rancangan ekperimental, double-blind, randomized controlled trial. Subyek penelitian 66 pegawai instansi di Semarang, sehat, berusia 18-60 tahun, tidak obese, dengan kadar 25(OH)D serum < 30 ng/ml. Subyek terbagi menjadi 2; kelompok perlakuan mendapat vitamin D3 1000 IU/hari dan kelompok kontrol mendapatkan plasebo. Waktu perlakuan 4 minggu. Evaluasi kadar 25(OH)D ulang pasca 4 minggu intervensi. Analisis statistik menggunakan uji T. Hasil : Terdapat tren peningkatan kadar 25(OH)D serum pasca intervensi pada kelompok vitamin D dibandingkan dengan kelompok plasebo, namun peningkatan tersebut tidak berbeda bermakna (p=0.295). Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna pada delta kadar 25(OH)D serum antara kedua kelompok (p=0.067). Faktor kepatuhan minum suplemen, kontak dengan sinar matahari langsung dan diet yang mengandung vitamin D tidak emiliki hubungan bermakna dengan kadar 25(OH)D serum akhir. Kesimpulan : Suplementasi vitamin D3 1000 IU/hari selama 4 minggu tidak meningkatkan kadar 25(OH)D serum secara bermakna. Kata kunci : Suplementasi vitamin D3, kadar 25(OH)D serum
Latar belakang : Indonesia merupakan negara berkembang yang mengalami perubahan termasuk gaya hidup masyarakat yang ada di dalamnya, sehingga membuat Indoensia mengalami transisi epidemiologi dimana pola penyakit bergeser dari penyakit infeksi ke penyakit degeneratif. Salah satu penyakit degeneratif tersebut adalah mieloma multiple (MM). MM adalah suatu keganasan hematologi yang belum memiliki data epidemiologi yang cukup banyak di Indonesia, meskipun sistem staging dan pedoman Internasional sudah mengalami beberapa kali perubahan. Pedoman IMWG 2014 untuk diagnosis MM memiliki beberapa kendala disebabkan adanya perbedaan fasilitas kesehatan yang tersedia di Indonesia. Metode : Studi deskriptif periodik berdasarkan data sekunder dari rekam medis penderita mieloma multiple di RSUP Dr. Kariadi Semarang 1 Januari 2015-31 Desember 2015 (12 bulan). Hasil : Proporsi penderita MM di RSDK terbanyak dengan usia > 65 tahun, laki-laki berasal dari kota Semarang, status pekerjaan yaitu pegawai swasta dan status pendidikan tamat SD dan tamat SMP. Penatalaksanaan penderita MM di RSDK didapatkan terbanyak sudah sesuai dengan pedoman IMWG, klasifikasi berdasarkan Durie Salmon stadium III. Status performa terbanyak didapakan pada ECOG 1 (35,71%). Gambaran hematologi terbanyak adalah kadar hemoglobin 10% sebesar 78,57%. Kesimpulan : Mayoritas penatalaksanaan penderita MM di RSDK sudah sesuai dengan pedoman IMWG 2014, protokol pengobatan terbanyak menggunakan MP dan MPT dan kmorbiditas terbanyak yaitu kejadian tromboemboli vena dan infeksi. Kata kunci : mieloma multipel, pedoman IMWG 2014
Buku panduan belajar ini terbagi atas dua poko bahasan. Pada pokok bahasan pertama, dibahas mengenai, plak gigi dan penjalarannya, kerusakan gigi dan jaringan penyangganya serta upaya pencegahannya. Pada pokok bahasan ke 2 dibahas mengenai, penyakit atau kelainan rongga mulut yang disebabkan bakteri, virus, jamur maupun alergi, cara pemeriksaan, diagnosis serta tata laksananya