Latar belakang : Diabetes mellitus diindikasikan sebagai suatu keadaan protrombotik karena hiperglikemia berkelanjutan, dislipidemia dan resistensi insulin yang menyebabkan jejas endothelial. Pemeriksaan HbA1c merupakan baku emas pemantauan glukosa pada pasien diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) dan sebagai salah satu predictor komplikasi mikro dan makrovaskular pada DMT2. Mean-platelet volume (MPV) dan platelet distribution width (PDW) meningkat seiring dengan peningkatan potensi trombotik. Soluble P-selectin pada plasma merupakan salah satu indicator adanya peningkatan aktivasi trombosit dan sel endotel. Tujuan: Membuktikan adanya hubungan antara kadar HbA1c dengan indeks trombosit dan kadar sP-selectin pada pasien DMT2. Metode : Penelitian belah lintang pada 42 pasien DMT2 di RS NAsional Diponegoro berusia 30-70 tahun periode Juni 2019-Februari 2020. HbA1c diukur dengan metode ion-exchange HPLC. Indeks trombosit dihitung menggunakan alat hematologi otomatis. Kadar sP-selectin diperiksa menggunakan metode ELISA. Analisis statistic menggunakan uji korelasi pearson untuk data terdistribusi normal dan uji korelasi spearman untuk data terdistribusi tidak normal. Hasil : Rerata kadar HbA1c, nilai MPV dan nilai PDW berturut-turut adalah 8,26 ± 1,60%, 10,10 ± 0,85 fL, 11,61 ± 1,65 fL, sedangkan untuk kadar sP-selectin memiliki nilai median 42,13 (32,6-162,65) ng/ml. Analisis statistic uji korelasi antara kadar HbA1c dengan nilai MPV dengan nilai r=0,43; p
Latar belakang : Diabetes mellitus tipe-2 (DMT2) dan obesitas merupakan faktor risiko penyakit arteri koroner. Faktor risiko penyakit jantung meningkat 60-80% pada pasien DMT2 dengan obesitas. Resistensi insulin serta inflamasi pada DMT2 dan obesitas meningkatkan pelepasan asam lemak yang menyebabkan gangguan profil lipid. Profil lipid merupakan petanda risiko aterosklerosis. E-selectin adalah molekul adhesi sel endotel yang dihasilkan dari aktivitas sel endotel yang rusak, dan mencerminkan perubahan struktur serta fungsional dinding pembuluh darah. Kadar soluble E-Selectin (sE-seletin) merupakan petanda disfungsi endotel. Tujuan: Membuktikan adanya perbedaan profil lipid dan kadar sE-selectin pada pasien DMT2 dengan dan tanpa obesitas. Metode : Penelitian analitik observasional dengan pendekatan studi belah lintang di Puskesmas Lebdosari, Semarang, Jawa Tengah antara Februari hingga Juni 2020, dilakukan terhadap 63 sampel yang terdiri dari 38 wanita dan 25 laki-laki. Subjek DMT2 didapatkan dari diagnosis dokter puskesmas, IMT dihitung dari rumus, profil lipid diperiksa menggunakan metode enzimatik kolorimetrik, dan sE-selectin diperiksa menggunakan metode ELISA. Data dianalisis dengan program komputer. Hasil : Terdapat perbedaan signifikan secara statistic dalam kadar kolesterol total, trigliserida, LDL, HDL dan sE-selectin (p berturut-turut adalah 0,011; 0,043; 0,000; 0,008; 0,001) pada pasien DMT2 dengan obesitas dibandingkan DMT2 tanpa obesitas. Kesimpulan : Terdapat perbedaan bermakna profil lipid dan kadar sE-selectin pada pasien DMT2 dengan dan tanpa obesitas. Kata kunci : sE-selectin, profil lipid, diabetes mellitus tipe 2, obesitas
Latar belakang : DM Tipe2 (DMT2) secara pathogenesis menghubungkan penyakit ini dengan keadaan peradangan kronis sistemik. Telah diamati beberapa predictor baru lipoprotein associated phospholipase A2 (Lp-PLA2) dan monocyte HDL-c ratio (MHR) untuk memprediksi tingkat keparahan aterosklerosis, progresivitas aterosklerosis dan kejadian kardiovaskuler pada DMT2. Tujuan: Membuktikan hubungan HbA1c dengan Lp-PLA2 dan MHR pada pasien DM tipe 2. Metode : Penelitian observasional analitik dengan rancangan belah lintang. Kadar HbA1c diukur dengan Ion Exchange HPLC, nilai Lp-PLA2 menggunakan metode ELISA, dan nilai MHR berdasarkan perbandingan jumlah monosit absolute terhadap HDL yang dihitung secara manual. Hasil : Penelitian dilakukan terhadap 42 pasien DMT2 dengan usia 34-74 tahun, didapatkan hasil rerata nilai HbA1c, Lp-PLA2, dan MHR berturut-turut adalah 8,16 ± 2,10; 217,20 ± 42,49; 10,55 ± 6,11. Analisis statistic menunjukkan terdapat hubungan positif antara kadar HbA1c dengan kadar Lp-PLA2 (p=0,046dan r=0,310) dan terdapat hubungan antara kadar HbA1c dengan nilai MHR (p=0,038 dan r=0,321). Kesimpulan : Terdapat hubungan positif lemah antara control glikemik (HbA1c) dengan petanda aterosklerotik (Lp-PLA2 dan MHR) pada pasien DMT2. Kata kunci : HbA1c, Lp-PLA2, MHR
Latar belakang : Troponin I sampai dengan dewasa ini dipakai sebagai baku emas untuk menunjukkan sindrom koroner akut (SKA), namun beberapa laporan penelitian menyampaikan troponin bisa tidak terdeteksi pada pasien yang mengalami SKA dini. Pemeriksaan lebih akurat diperlukan untuk diagnose SKA. Mean platelet volume (MPV) dan VCAM-1 berperan dalam perkembangan aterosklerosis yang menjadi dasar SKA. Tujuan: Menentukan nilai diagnostik MPV dan VCAM-1 untuk SKA dengan baku emas troponin I. Metode : Desain penelitian diagnostic dengan pendekatan belah lintang dilakukan pada 50 sampel darah pasien SKA yang masuk IGD RSUP dr. Kariadi Semarang. Pemeriksaan nilai MPV menggunakan metode hematoanalyzer, VCAM-1 dengan metode ELISA, troponin I dengan enzyme-linked fluorescence assay (ELFA). Analisis tabel 2x2 dan kurva ROC untuk mendapatkan nilai diagnostic MPV dan VCAM-1. Hasil : Area di bawah kurva ROC untuk MPV dengan cut off di atas 10,15 fl adalah 0,759 sedangkan untuk VCAM-1 diatas 407,71 ng/mL adalah 0,885. Sensitifitas, spesifisitas, nilai ramal positif, nilai ramal negative, rasio likelihood positif dan negative MPV berturut-turut adalah 69,4%, 71,4%, 86,2%, 47,6%, 2,43, 0,41. Sensitifitas, spesifisitas, nilai ramal positif nilai ramal negative, rasio likelihood positif dan negative VCAM-1 berturut-turut adalah 77,8%, 78,6%, 90,3%, 57,9%, 3,64 dan 0,28. Kesimpulan : MPV memiliki sensitifitas 69,4%, spesifisitas 71,4% sehingga tidak dapat digunakan untuk skrining maupun diagnose SKA. VCAM-1 memiliki sensitifitas 77,8%, spesifisitas 78,6%, sehingga belum cukup memadai untuk skrining ataupun diagnostic SKA. Kata kunci : MPV, VCAM-1, troponin I
Latar belakang : Neuralgia trigeminal klasik disebabkan oleh kontak neurovascular pada root entry zone di cistern prepontin. MRI merupakan modalitas imaging utama pada diagnose neuralgia trigeminal klasik. Penelitian terdahulu memfokuskan pada identifkasi adanya kontak neurovascular pada pasien dengan neuralgia trigeminal dan hubungannya dengan gejala klinis pasien neuralgia trigeminal. Penilaian derajat nyeri sering digunakan untuk mengevaluasi pasien neuralgia trigeminal dan VAS merupakan instrument penilaian derajat nyeri yang cukup luas diapaki oleh tenaga medis dan paramedic serta cukup mudah diaplikasikan. Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk menganalisa korelasi antara jarak kontak neurovascular ke netri root dengan derajat nyeri pada pasien neuralgia trigeminal menggunakan MRI. Metode : Penelitian dilakukan secara retrospektif dengan desain penelitian belah lintang (cross sectional)mdi Departemen Radiologi Fakultas Kedokteran Undip, RSUP dr. Kariadi Semarang. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari 32 pasien yang dikumpulkan dari arsip rekam medis dan pemeriksaan MRI dari tahun 2017-2019. Analisis statistic menggunakan SPSS versi 20.0, uji analisa menggunakan Rank Spearman dengan nilai p
Malformasi anorektal (MAR) merupakan kelainan congenital tanpa anus atau dengan anus tidak sempurna. Banyak anak-anak dengan malformasi ini memiliki anus imperforate. Penangan pada penderita MAR dengan operasi posterior sagittal anorectoplasty (PSARP), dimana masalah tersering yang didapatkan pada pasien MAR post PSARP adalah masalah kontinentia.Penelitian fungsional paska operasi PSARP terhadap pasien dengan malformasi anorektal menggunakan system scoring Rintala-Lindahl dengan skor maksimal 20. Pada penelitian terdahulu didapatkan adanya korelasi antara letak MAR dengan kontinentia post PSARP. Masalah intkontenensia cenderung lebih buruk pada pasien dengan malformasi letak tinggi. Penulis tidak menemukan data tentang evaluasi fungsi kontenensia di Indonesia sehingga mengangkat kasus malformasi anorektal agar enegakan diagnose dan pemilihan manajemen terapi dapat sedini mungkin sehingga komplikasi post operasi PSARP dapat diminimalisir. Penelitian ini dengan jumlah sampel 3- sampel dengan usia ± 3 tahun pada saat dilakukan follow up post PSARP.Pasien MAR dengan data rekam medic tidak lengkap atau meninggal pada saat dilakukan follow up post PSARP di eksklusi. Seluruh partisipan pada penelitian ini sudah dilakukan informed consent terlebih dahulu. Pada penelitian ini didapatkan tidak adanya korelasi antara letak MAR dengan kejadian kontinensia post PSARP. Hal ini disebabkan banyaknya faktor perancu pada penelitian ini, diantaranya distribusi jenis kelamin yang tidak merata, letak MAR dan jenis fistula yang tidak homogeny, ketidakseragaman usia pada saat follow up psot PSARP, adanya anomaly lain yang menyertai pada psien dengan MAR seperti gangguan neurologi, pasien dengan retardasi mental, subyektifitas dalam penilaian scoring rintalah dan lindah. Perbedaan system scoring untuk penilaian inkotinensia fektal. Kata kunci : malformasi anorectal, posterior sagittal anorectoplasty, kontinesia
Latar belakang : Osteoporosis dapat mengganggu kualitas hidup pada lansia, karena kepadatan mineral tulang menurun seiring dengan bertambahnya usia, tulang juga akan menjadi kurang padat. Kalsium sebagai salah satu mineral utama tulang memegang peranan penting dalam mencegah osteoporosis. Vitamin D memiliki peran penting dalam metabolism kalsium, dan beberapa zat mikro seperti fe (serum besi) memiliki peran penting dalam sintesis kolagen dan metabolism vitamin D. Untuk melakukan diagnosis osteoporosis, modalitas pencitraan radiologi yang digunakan sebagai standar yaitu Dual energy X-Ray Absorptiometry (DXA) untuk mengukur kepadatan mineral tulang. Kadar serum besi darah diumpulkan melalui tes laboratorium secara terpisah. Saat ini tidak ada penelitian khusus yang dilakukan untuk mencari korelasi antara BMD dan kadar serum besi darah wanita lanjut usia. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi skor BMD dan kadar serum besi darah. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan cross sectional. Hasil : Semua subjek penelitian memiliki kadar serum besi darah normal. Osteoporosis teridentifikasi pada 53,3% samepl (n=16), osteoporosis pads 36,7% sampel (n=11) dan skor BMD normal adalah 10% dari sampel (n=3). Kesimpulan : Pada studi korelasi didapatkan kesimpulan bahwa tidak ada korelasi yang signifikan antara densitas massa tulang dengan kadar serum besi dalam darah (p=0,053). Kata kunci : lansia, BMD, DXA, kadar serum besi darah
Latar belakang : Critical limb ischemic (CLI) adalah sindrom klinis dari nyeri iskemik saat istirahat dan atau adanya kehilangan jaringan seperti ulkus yang tidak sembuh atau gangrene yang terkait dengan peripheral artery disease (PAD) dari ekstremitas bawah. Dislipidemia adalah terdapatnya gangguan kadar kolesterol dan trigliserida pada tubuh. Sebagai faktor resiko, kolesterol plasma terutama lipoprotein yang aterogenik yaitu Low Density Lipoprotein (LDL) berperan sangat khusus. Kadar trigliserida (TG) yang tinggi (hipertrigliseridemia) merupakan faktor risiko bagi terjadinya aterosklerosis. Arteriografi masih digunakan sebagai gold standart untuk evaluasi penyakit arteri perifer, termasuk pada arteri infrapopliteal. Tujuan: Mengetahui korelasi antara derajat stenosis arteri infrapopliteal secara arteriografi dengan profil lipid pada pasien dengan Critical Limb Ischemia. Metode : Penelitian belah lintang (cross-sectional) menggunakan data sekunder rekam medis terhadap pasien critical limb ischemia yang telah dilakukan pemeriksaan profil lipid dan arteriografi. Dilakukan pencacatan nilai rasio LDL/HDL dan TG/HDL serta derajat stenosis pada arteri peroneal, tibialis anterior dan tibialis posterior, kemudian dilakukan uji korelasi spearman. Hasil : Uji korelasi spearman rasio LDL/HDL terhadap derajat stenosis arteri infrapopliteal pada pasien CLI menunjukkan nilai uji signifikasi (p) 0,000 dan rasio TG/HDL terhadap derajat stenosis arteri infrapopliteal pada pasien CLI menunjukkan nilai uji signifikasi (p) 0,000. Kesimpulan : Terdapat korelasi yang bermakna antara rasio kadar LDL/HDL dan TG/HDL terhadap derajat stenosis arteri infrapopliteal pada pasien dengan critical limb ischemia. Kata kunci : critical limb ischemia, arteriografi, stenosis arteri infrapopliteal, rasio LDL/HDL, rasio TG/HDL
Latar belakang : Rinosinusitas kronik adalah peradangan mukosa hidung dan sinus paranasal yang berlangsung lebih dari 12 minggu yang menimbulkan beberapa gejala klinis dengan penentuan perluasan penyakit pada rinosinusitis kronik dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode antara lain Lund-Mckey CT Score. Asam Hyaluronat (AH) memiliki peran penting dalam pembersihan mukosiliar dari permukaan epitel, proses penyembuhan luka dan perbaikan permukaan mukosa. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk melihat ada tidaknya hubungan antara Lund-Mckey CT Score terhadap respon terapi paska tindakan bedah sinus endoskopi fungsional (BESF) pada kasus rinosinusitas kronik. Metode : Pendekatan cross sectional yang membandingkan respon terapi antara kelompok perlakuan yang mendapatkan terapi tambahan berupa cairan hidung NaCL 0,9% yang ditambahkan asam hyaluronat dan kelompok control. Hasil : Hasil penilaian derajat rhinosinusitis kronik menggunakan Lund Mackey CT Score pada kelompok control dan kelompok perlakuan dengan hasil derajat berat (skor > 8) sebanyak 15 (30%), derajat sedang (skor 5-7) sebanyak 23 (46%) dan derajat ringan (skor
Latar belakang: Sarkopenia memiliki insidensi tinggi di kalangan lansia, dengan efek negative yang signifikan terhadap kualitas hidup. Patogenesis sarkopenia kompleks dan banyak faktor yang terlibat dalam perkembangan dan progresitasnya. Sarkopenia dapat berkaitan dengan indeks massa tubuh mengingat sifat indeks otot rangka dapat mengurangi berat badan total. Body mass Index (BMI) merupakan metode pengukuran berat badan dalam suatu populasi, namun pengukuran ini tidak dapat menggambarkan komposis otot secara lebih valid, terutama pada penilaian massa otot penderita sarkopenia. Studi terbaru menunjukkan bahwa sarkopenia menurun seiring dengan peningkatan BMI dan penelitian lain menunjukkan bahwa sarkopenia memiliki korelasi yang kuat dengan obesitas. Studi tersebut menggunakan pemeriksaan Dual energy X-ray Absorptiometry (DXA). Tujuan : Untuk menilai hubungan antara indeks massa tubuh dengan sarkopenia berdasarkan Asian Working Group of Sarkopenia (AWGS) terdiri dari skletel muscle mass index (SMI), kekuatan menggenggam, dan tes kecepatan berjalan. Metoda: Penelitian ini dirancang sebagai studi analitik observasional. Terdapat 28 wanita berusia 60 tahun ke atas yang berpartisipasi dalam penelitian ini. Individu dengan penyakit degenerative kronis, terutama diabetes mellitus diekseklusi. Semua peserta dalam survey ini menendatangani surat persetujuan. Hasil: Partisipan dengan sarkopenia memiliki indeks massa tubuh normal, sedangkan partisipan tanpa riwayat sarkopenia memiliki IMT normal, overweight dan obesitas. Kami menemukan bahwa indeks massa tubuh berkorelasi dengan sarkopenia (p