Latar Belakang: Skor risiko KARIADI merupakan sistem skor dengan rentang skor 0-9; komponennya meliputi kelas Killip, final TIMI flow, total ischemic time, kadar kreatinin darah, kadar glukosa darah, tekanan darah sistolik, dan usia. Skor tersebut dikembangkan untuk memprediksi risiko kejadian kardiovaskular mayor (KKvM) selama rawat inap (gabungan kematian, stroke, urgent revascularization, syok kardiogenik, edema paru akut, atau aritmia) pada penderita infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) yang menjalani intervensi koroner perkutan (IKP) primer, namun performa skor risiko tersebut belum pernah divalidasi secara eksternal. Tujuan: Melakukan validasi eksternal terhadap skor risiko KARIADI. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort prospektif pada 109 penderita IMA-EST yang menjalani IKP primer di RSUP Dr. Kariadi dari Januari-November 2020. Sampel penelitian menjalani penilaian skor risiko KARIADI dan follow-up selama rawat inap untuk menentukan ada/tidaknya KKvM. Validasi dilakukan dengan menguji performa kalibrasi [dinilai dengan calibration-in-the-large (alfa), calibration slope (beta), serta plot kalibrasi] dan diskriminasi (dinilai dengan c-statistic dan kurva receiver operating characteristic). Hasil: Delapan belas pasien (16,5%) mengalami KKvM. Skor risiko KARIADI menunjukkan performa kalibrasi yang kurang baik (alfa -0,39; beta 0,71; plot kalibrasi kurang sesuai) dan performa diskriminasi sedang (c-statistic 0,75; IK95% 0,62-0,87). Kesimpulan: Skor risiko KARIADI belum valid dalam memprediksi KKvM selama rawat inap pada penderita IMA-EST yang menjalani IKP primer. Kata Kunci: Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST, intervensi koroner perkutan primer, kejadian kardiovaskular mayor, skor risiko KARIADI, validasi eksternal
Obat tradisional seperti jamu biasanya digunakan untuk mengobati nyeri dan keluhan kesehatan lainnya. Pada lansia dalam upaya pengobatan merupakan kelompok yang paling banyak menggunakan jamu. Sebagianbesar lansia tidak melakukan konsultasi/pemberitahuan penggunaan obat tradisional tersebut kepada petugas kesehatan sehingga berpotensi menimbulkan medication error. Medication error merupakan masalah utama dalam sistem kesehatan, dapat mengurangi efektivitas terapi dan menyebabkan peningkatan beban biaya kesehatan. Medication error yang dimaksud adalanyakah kejadian polifarmasi atau penggunaan obat dalam jumlah banyak atau melebihi yang dibutuhkan untuk kepentingan medis. Materi yang dibahas dalam buku ini adalah: Bab 1, Pendahuluan Bab 2. Prinsip Pemanfaatan an Penggunaan Jamu Bab 3. Prinsip Pemanfaatan Jamu Bab 4. Jenis Jamu Dan Manfaatnya Bab 5. Penutup
Latar belakang: Sepsis merupakan penyebab utama kematian pada anak seluruh dunia. Sepuluh persen diantaranya berprogres menjadi berat sehingga membutuhkan tatalaksana yang cepat dan agresif. Di ICU RSCM, 19,3% dari 502 pasien anak dirawat mengalami sepsis dengan angka kematian 54%. Prokalsitonin menjadi salah satu biomarker yang sensitif terhadap sepsis. Pemberian antibiotik untuk infeksi, adanya perbaikan akan ditunjukkan dengan penurunan kadar Prokalsitonin dengan mempertimbangkan derajat sepsis akan mengurangi lamanya pemberian antibiotik, dan mengurangi terjadinya resistensi obat. Tujuan: membandingkan perbedaan lama pemberian antibiotik terhadap kadar prokalsitonin pada anak dengan sepsis. Metode: Penelitian ini merupakan analytic observational study dilakukan di PICU dan HCU RSUP Dr. Kariadi. Subyek sejumlah 31 anak merupakan pasien anak dengan sepsis yang dirawat dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dan kemudian dianalisis dengan uji Mann Whitney dan Wilcoxon. Hasil: Sejumlah 31 anak dengan sepsis diikutkan dalam penelitian. Rerata kadar prokalsitonin sebelum mendapat antibiotik dan 5 hari setelah mendapat antibiotik didapatkan kadar Prokalsitonin menurun pada hari kelima dengan delta 0,86 ng/mL. Perubahan kadar prokalsitonin setelah pemberian antibiotik 5 hari dibanding pemberian antibiotik 1 hari signifikan (p
Latar belakang : Pembedahan orthopedi ekstremitas bawah merupakan tindakan pada bagian bawah yang meliputi tulang, sendi dan vaskuler. Pembedahan dapat menimbulkan suatu respon stress dalam bentuk metabolik dan fisiologis, sehingga mengubah berbagai respon inflamasi. Inflamasi (peradangan) merupakan reaksi kompleks pada jaringan ikat yang memiliki vaskularisasi akibat stimulus eksogen maupun endogen. Neutrofil memainkan peran utama dalam respon inflamasi dan pertahanan terhadap infeksi pada tubuh. Bupivakain juga ditemukan dapat menekan nyeri karena inflamasi dengan cara menghambat jalur sinyal NF-Kb, mikroglia spinal, dan astrosit. Bupivakain memiliki aktivitas anti inflamasi sistemik yang berperan dalam efek anti alodinia. Penelitian dilakukan karena adanya penelitian terdahulu yang masih bertentangan. Tujuan : Mengetahui perbandingan antara pemberian analgetik pasca operasi bupivakain isobarik 0.125% kontinu syring pump dibandingkan pemberian bupivakain 0.125% bolus dalam menekan reaksi inflamasi pada pembedahan ortopedi ekstremitas bawah. Metode : Jenis penelitian yang digunakan adalah analitik eksperimental dengan desain pre dan post test. Kemudian dibagi menjadi 2 kelompok bolus dan pemberian secara kontinu setelah dilakukan tindakan dilakukan pencatatan sebagai hasil follow up setiap subjek penelitian. Pada penelitian ini terdapat 36 sampel penelitian yang terdiri dari 18 pasien (50%) sebagai kelompok dengan pemberian bupivakain isobarik 0.125% syring pump jalan 4 cc/jam dan 18 pasien (50%) sebagai kelompok dengan pemberian bupivakain isobarik 0.125% bolus 10 cc/6 jam. Kedua kelompok diberikan analgetik multimodal ketorolac 30 mg/8 jam post operasi. Hasil : Perbandingan pemberian analgetik pasca operasi bupivacaine isobarik 0.125% kontinu syring pump dengan bupivacaine isobarik 0.125% bolus dilihat dari kadar netrofil pada pembedahan orthopedi ekstremitas bawah secara statistik tidak berbeda bermakna. Secara umum perbandingan kedua kelompok data distribusi rerata BB, TB, BMI, sistolik, diastolik, dan HR didapatkan nilai p > 0.05. Kesimpulan : Penggunaan analgetik pascaoperasi bupivacaine 0,125% secara kontinu syring pump maupun secara bolus menunjukan hasil yang sama baiknya dalam menekan reaksi inflamasi pada pembedahan orthopedi ekstremitas bawah. Kata Kunci : anestesi; analgetik; epidural; neuraksial; NRS
Latar Belakang: Pembedahan laparoskopi menggunakan CO2 ternyata membawa resiko yang dapat menyebabkan komplikasi emboli gas. 69% kejadian terjadi pada laparoskopi kolesistektomi, 17,1% pada Endoscopic Vein Harvesting. Prosedur laparoskopi ginekologis dilakukan dalam posisi trendelenburg. Posisi trendelenburg dapat mempengaruhi sistem respirasi. Insuflasi CO2 yang masif selama laparoskopi bisa dideteksi dengan ETCO2. CO2 dipengaruhi peningkatan tekanan intra abdominal kemudian menyebabkan hiperkapnia. Tujuan: Mengetahui efek perbedaan teknik hiperventilasi dengan peningkatan volume tidal dibandingkan dengan peningkatan laju nafas terhadap ETCO2 selama operasi laparoskopi posisi trendelenburg. Metode: Uji klinis acak terkontrol melibatkan 34 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dibagi dua kelompok perlakuan, hiperventilasi dengan peningkatan volume tidal 8ml/kgBB (VT) atau peningkatan laju nafas 16x/menit (RR). ETCO2 diukur setelah intubasi, 5 menit setelah insuflasi CO2, 10 menit setelah posisi trendelenburg, diukur lagi dimenit ke 10, ke 20, ke 30 setelah perlakuan. Hasil rerata kedua kelompok dibandingkan dan dianalisis statistik. Hasil: Pada kelompok VT, rerata ETCO2 awal 41,08 ± 1,55, berbeda bermakna dengan ETCO2 akhir 31,80 ± 1,30 (p
Latar Belakang : Imunitas bawaan adalah lini pertahanan pertama dan mengacu pada mekanisme perlindungan yang ada bahkan sebelum adanya luka / infeksi. Komponen yang dapat digunakan untuk mengetahui perubahan imunitas antara lain sitokin (interleukin-6) dan neutrofil. Anestesi umum dapat diberikan dengan menggunakan anestesi inhalasi, obat intravena, atau sebagian besar sering kombinasi keduanya. Semua bentuk obat anestesi ini dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dan memberikan efek pada imunitas bawaan. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pengaruh sevofluran dan propofol terhadap sistem imun dinilai dari kadar interleukin-6 dan neutrofil pada operasi bedah saraf. Metode : Dilakukan penelitian eksperimental terhadap 34 pasien yang menjalani operasi kraniotomi yang memenuhi kriteria penelitian. Penderita yang memenuhi kriteria penelitian dibagi kedalam dua kelompok. Kelompok I menggunakan sevofluran 1 MAC dan kelompok II menggunakan Propofol maintenance infusion 100 mcg/kg/menit.Dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kadar interleukin-6 dan neutrofil saat sebelum operasi dan 2 jam setelah incisi. Data dianalisa secara statistik menggunakan Wilcoxon dan Mann-Whitney test, dianggap bermakna bila p < 0,05. Hasil : Pada penelitian ini didapatkan penurunan kadar neutrofil pada kelompok sevofluran sebesar 0,02 ± 7,54 % dibanding kadar awal (berbeda tidak bermakna p= 0,205) sedangkan pada kelompok propofol didapatkan peningkatan kadar neutrofil sebesar 5,07 ± 7,01% dibanding kadar awal (berbeda bermakna p=0,002). Pada perbandingan selisih kedua kelompok didapatkan perbedaan kadar neutrofil yang bermakna (p=0,003). Kadar IL-6 pada kelompok sevofluran didapatkan peningkatan sebesar 4,86 ± 6,87 pg/ml dibanding kadar awal (berbeda bermakna p=0,017) dan pada kelompok propofol juga didapatkan peningkatan sebesar 15,87 ± 16,12 pg/ml dibanding kadar awal (berbeda bermakna p=
Latar Belakang : Selama beberapa tahun terakhir, penggunaan media sosial telah menjadi aktivitas rekreasi yang semakin populer. Individu mengunjungi situs media sosial untuk terlibat dalam berbagai jenis hiburan dan aktivitas sosial. Meskipun penggunaan media sosial ini dengan cepat menjadi fenomena modern yang normal, namun kekhawatiran seringkali dikemukakan mengenai potensi kecanduan penggunaan media sosial. Hubungan antara faktor kepribadian dan media sosial telah disebutkan dalam penelitian sebelumnya, salah satunya adalah narsisme. Narsisme dimanifestasikan dengan kecenderungan untuk bertindak berdasarkan impulsivitas dan grandiositas yang mempengaruhi individu dalam beraktifitas di media sosial. Tujuan : Mengetahui hubungan antara derajat narsisme dengan kejadian kecanduan media sosial pada pada siswa SMK. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan rancangan cross sectional. Sampel adalah siswa - siswi kelas X dan XI di SMK Mitra Karya Mandiri yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pemilihan sampel penelitian dilakukan dengan metode simple random sampling. Instrumen penelitian dengan menggunakan kuesioner NPI (Narcissistic Personality Inventory) versi Indonesia dan BSMAS (Bergen Social Media Addiction Scale) versi Indonesia. Analisis data menggunakan uji Somer’s D dan uji regresi linier Hasil : Penelitian ini diikuti oleh 160 responden. Terdapat hubungan yang bermakna antara derajat narsisme terhadap kejadian kecanduan media sosial dengan p value < 0,05 Simpulan : Terdapat hubungan yang bermakna antara derajat narsisme terhadap kejadian kecanduan media sosial Kata Kunci : narsisme, kecanduan media sosial, NPI, BSMAS
Latar belakang : Disfonia merupakan istilah umum untuk setiap gangguan suara yang disebabkan oleh kelainan pada organ-organ fonasi, terutama laring baik yang bersifat organic maupun fungsional. Menurut World Health Organization (WHO) salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengevaluasi kaulitas hidup adalah dengan menggunakan kuesioner yang diaplikasikan sesuai budaya dan bahasa di Negara tersebut. Voice Handicap Index (VHI) digunakan secara luas karena memilii nilai reliabilitas yang kuat antara skor VHI dengan penilaian diri pasien terhadap derajat keparahan gangguan suara. Tujuan: Mengetahui hubungan antara faktor risiko dengan derajat VHI pada pasien disfonia. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan desain belah lintang/cross sectional. Hasil : Pasien dengan lama sakit ≥ 2 minggu memiliki faktor risiko derajat VHI sedang-berat 38 kali dibandingkan pasien dengan lama sakit
Latar belakang : Operasi urogenital dan abdomen bawah merupakan tindakan yang sering dilakukan pada pasien pediatric yang membutuhkan pembiusan dengan agen inhalasi sevofluran. Efek samping akibat sevofluran yang tidak disukai adalah agitasi ketika pulih sadar. Beberapa obat yang direkomendasikan sebagai profilaksis agitasi diantaranya ketamin, difenhidramin dan dexamethasone. Tujuan: Membandingkan pengaruh pemberian kombinasi difenhidramin-deksamethasone dengan ketamin tunggal terhadap insiden agitasi pulih sadar pada pasien pediatric yang menjalani pembiusan menggunakan sevofluran. Metode : Penelitian ini berupa eksperimental dengan rancangan randomized, double blind, controlled trial pada 32 pasien pediatric usia 6 bulan sampai 10 tahun yang dibagi ke dalam 2 kelompok. Semua pasien diberikan midazolam 0,1 mg/kgbb dan blok caudal. Kelompok 1 mendapat injeksi deksamethason 0,2 mg/kgbb sebelum pembiusan dan dipenhidramin 0,5 mg/kgbb sebelum sevofluran dimatikan. Kelompok 2 mendapatkan injeksi ketamin 0,5 mg/kgbb saja sebelum sevofluran dimatikan. Setelah itu dievaluasi dengan skor PAED dan WATCHA pada menit ke 1, 15 dan 30 paska ekstubasi. Dievaluasi juga durasi waktu pemulihan serta efek samping yang muncul pada kedua kelompok. Data dianalisa secara statistic menggunakan uji Chi Square dan Mann Whitney dianggap bermakna jika p0,05). Pada kelompok 2 ditemukan 1 kejadian agitasi pulih sadar (6,3%) dan efek samping berupa kejadian mual muntah dan bronkospasme (6,3%). Waktu pemulihan pada kelompok 1 (38,75 ± 19,54) tidak berbeda bermakna dengan kelompok 2 (39,38 ± 14,48) dimana p>0,570. Kesimpulan : Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian kombinasi deksamethason-difenhidramin serta pemberian ketamin tunggal sebelum ekstubasi sama-sama efektif dalam menurunkan insiden agitasi pulih sadar pada psien pediatric dan tidak memperpanjang waktu pemulihan. Kata kunci : Agitasi, sevofluran, dipenhidramin, dexamethasone, ketamin, pediatrik
Penyakit yang disertai "Demam Ruam" baik akibat infeksi atau bukan namn banyak juga disebabkan oleh virus. Adapun tema yang dibahas dalam buku ini adalah: Bagian Satu I. Campak (Measles) II. Rubella III. Demam Scarlet Distribusi Ruam Pada: a. Campak Jika tidak ditemukan komplikasi, perbaikan terjadi dalam waktu kira-kira 10 hari. b. Rubella Pada umumnya Rubella menyerang bayi dan remaja yang tidak diberi vaksinasi. c. Demam Scarlet Perbaikan biasanya terjadi dalam waktu 2 minggu tanpa terapi antibiotik 2-4 hari dengan terapi antibiotik Bagian Dua IV. Vericella Penyakit cacar air paling sering menyerang anak usia 5-10 tahun V. Penyakit Kawasaki Menyerang balita dengan prevalensi usia tersering usia 18-24 bulan VI. Roseola Umumnya pada bayi berusia 6-24 bulan (rata-rata: 9 bulan) Dapat terjadi reaktivasi pada usia berapapun Bagian Tiga VII. Meningococcemia Infeksi dapat terjadi pada seluruh kelompok usia dengan prevalensi terbanyak pada usia 5 tahun VIII. Fifth Disease Umumnya didapatkan pada usia 4-10 tahun Infeksi dapat menghasilkan imunitas seumur hidup IX. Hand Foot Mouth Disease Menyerang anak usia dini dan sekolah dasar X. Gianotti-Crosti Predominan pada usia 1-6 tahun