Pendahuluan Bacaan murottal Alquran secara langsung maupun dengan diperdengarkan memiliki kelebihan dibandingkan dengan mendengarkan musik. Stroke akut dapat memicu respon inflamasi yang berakibat peningkatan kadar CRP. Konsentrasi CRP yang tinggi berhubungan dengan keluaran yang buruk karena merefleksikan reaksi inflamasi atau kerusakan jaringan. Tujuan : Untuk membuktikan adanya pengaruh Murottal Alquran terhadap perubahan kadar hs-CRP, Tingkat ansietas depresi dan keluaran klinis neurologis Material dan Metode : Desain penelitian dengan menggunakan metode Randomized Pretest-Post test Control Group Design dengan cara simple ramdomised sampling. Subyek onset kurang dari 72 jam, yang dibagi menjadi perlakuan dan kontrol. Subyek perlakuan dilaksanakan selama 7 hari dengan pemberian murottal Alquran sehari 2 kali, dengan durasi 15 menit pada pagi pukul 06.00 dan sore hari pukul 16.00. Data yang diambil meliputi, kadar hs-CRP serum, penilaian skor HADS, dan skor NIHSS sebelum dan sesudah perlakuan. Hasil Penelitian : Subyek yang diperoleh sebanyak 40 dilakukan random alokasi sebagai kelompok perlakuan atau kontrol. Didapatkan hubungan bermakna antara memperdengarkan murrotal Alquran dan ansietas (p=0,047). Tidak terdapat hubungan bermakna antara memperdengarkan Alquran dan depresi (p=0,407). Tidak terdapat hubungan bermakna antara memperdengarkan murrotal Alquran dan perubahan kadar hs-CRP serum (p=0,465). Terdapat hubungan bermakna antara memperdengarkan murottal Alquran dan perbaikan skor NIHSS (p=0,018). Analisa logistik regresi memperdengarkan murrotal Alquran berpengaruh pada perbaikan NIHSS (OR=7,421. p=0,022). Kesimpulan : Memperdengarkan murottal Alquran dapat mengurangi kecemasan namun pada penelitian ini perubahan kadar hs-CRP tidak dipengaruhi pada pasien stroke infark akut. Memperdengarkan murotal Alquran dapat memperbaiki keluaran klinis pasien stroke infark akut sebesar 7,421 kali. Kata kunci : Murrotal Alquran, kadar hs-CRP serum, NIHSS, HADS, stroke infark akut
Pendahuluan :Karsinoma serviks uteri merupakan karsinoma tersering pada wanita di dunia, dan Karsinoma Sel Skuamosa merupakan jenis yang tersering dijumpai. Beberapa jurnal penelitian mengatakan bahwa CD68 mempunyai peran penting pada inveksi HPV dan peningkatan jumlah CD68 berhubungan erat dengan transformasi keganasan pada cerviks.4 P16 merupakan telah terbukti sangat diekspresikan dalam mengubah infeksi dengan jenis HPV onkogenik.5 Oleh karena itu perlu dikaji lebih lanjut mengenai kapabilitas jumlah makrofag dan peranan P16 yang dinilai dengan pemerikaan IHC untuk memprediksi prognosis pasien dengan karsinoma serviks. Tujuan: Mengetahui adanya perbedaan ekspresi CD68 dan P16 pada Karsinoma sel skuamosa serviks uteri yang residif dan tidak residif di RSUP dr Kariadi Semarang. Material dan Metode: Terdapat 29 sampel kasus karsinoma sel skuamosa serviks uteri di laboratorium RSUP dr. Kariadi, tahun 2015 – 2017. Sample diambil dengan metode consecutive sampling, dibagi menjadi 2 group berdasarkan residif dan tidak residif, kemudian dilakukan pengecatan imunohistokimia menggunakan antibodi CD68 dan P16 lalu dihitung persentasinya. Perbedaan setiap variabel akan dianalisa secara statistik. Hasil Penelitian: Terdapat perbedaan bermakna antara hasil pemeriksaan CD68 di antara kelompok karsinoma sel skuamosa yang residif dan tidak residif (p0,05). Kesimpulan: Ekspresi CD68 lebih tinggi secara bermakna pada karsinoma sel suamosa yang residif dibandingkan dengan yang tidak residif. Ekspresi p16 lebih tinggi namun tidak bermakna, pada karsinoma sel skuamosa servik uteri yang residif dibandingkan dengan yang tidak residif. Kesimpulan: Didapatkan perbedaan yang bermakna ekspresi CD68 antara karsinoma sel skuamosa servik uteri yang residif dan karsinoma sel skuamosa servik uteri yang tidak residif. Didapatkan perbedaan yang tidak bermakna ekspresi p16 antara karsinoma sel skuamosa servik uteri yang residif dan karsinoma sel skuamosa servik uteri yang tidak residif. Kata kunci:Serviks-karsinoma sel skuamosa-residif-CD68-P16
Latar Belakang: Kanker kolorektal merupakan keganasan ketiga terbanyak setelah kanker paru dan kanker payudara. Terapi kanker kolorektal yang baru diarahkan pada target terapi anti angiogenesis untuk meningkatkan survival rate. Dalam penelitian ini, kami menggunakan salah satu marker angiogenesis yaitu CD34. Selain itu, kami menggunakan marker Ki-67 sebagai salah satu indikator faktor prognostik. Tujuan: Mengetahui hubungan ekspresi CD34. Ki-67 dengan grading histopatologi adenokarsinoma kolorektal di RSUP dr. Kariadi Semarang periode Januari sampai Desember 2016 Metode: Cross sectional 30 sampel blok parafin dengan diagnosis adenokarsinoma kolorektal well differentiated, moderate differentiated dan poorly differentiated dilaboratorium Patologi Anatomi Rumah Sakit dr. Kariadi. Sampel dipulas dengan pengecatan imunohistokimia menggunakan monoclonal CD34 antibody dan Ki67 antibody. Kemudian dilakukan penghitungan kepadatan mikrovaskuler (MVD) pada 5 area dengan neovaskularisasi padat, dengan pembesaran 400x. Penghitungan Ki-67 dilakukan pada inti yang terpulas berwarna coklat pada semua intensitas pada area yang sama. Hasil imunohistokimia CD 34 dan Ki67 dibaca oleh dua ahli patologi dan dilakukan uji korelasi Spearman. Hasil : Analisis statistik menggunakan Spearman, ekspresi CD34 dengan grading didapatkan p=0,083,ekspresi Ki-67 dengan grading p=0,666, ekpresi CD 34 dan Ki67 nilai p=0,828. Kesimpulan : Tidak terdapat hubungan bermakna antara ekspresi imunohistokimia CD34 dan Ki-67 terhadap grading adenokarsinoma kolorektal. Kata Kunci : Adenokarsinoma kolorektal, angiogenesis, CD34, Ki67
Pendahuluan DLBCL merupakan jenis limfoma non hodgkin tersering di Asia dan Indonesia. DLBCL, berdasarkan sel asalnya terbagi menjadi subtipe GCB dan non-GCB. 20% pasien memiliki profil molekuler DEL, yang memiliki prognosis lebih buruk. Tujuan untuk mengetahui hubungan antara subtipe DEL dan subtipe sel asal dengan stadium klinik dan overall survival 1 tahun pasien DLBCL di RSUP dr Kariadi Semarang. Material dan Metode Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan rancangan belah lintang. Sampel penelitian ini adalah 36 pasien DLBCL di RSUP Dr. Kariadi pada Januari – September 2017. Data yang diambil adalah usia terdiagnosis, lokasi, stadium, subtipe sel asal, subtipe DEL dan overall survival 1 tahun. Analisis data menggunakan uji chi square dan kurva kapplan meier. Hasil Penelitian pasien DLBCL subtipe DEL berhubungan secara bermakna dengan stadium yang lanjut (p : 0.028). Pasien DLBCL subtipe non-GCB dan DEL memiliki overall survival 1 tahun yang lebih buruk secara bermakna dibandingkan subtipe GCB dan non-DEL (p: 0.026 dan p: 0.006), dengan survival rate 1 tahun pada subtipe non-GCB 38.9% dan subtipe DEL 33.3%. Pasien DLBCL dengan stadium lanjut juga memiliki overall survival 1 tahun yang lebih buruk secara bermakna dibandingkan stadium awal (p : 0.000), dengan survival rate 1 tahun 14.3%. Kesimpulan : Pasien DLBCL subtipe non-GCB, subtipe DEL dan stadium yang lanjut memiliki overall survival rate 1 tahun yang lebih rendah sehingga memiliki prognosis yang lebih buruk. Kata kunci : DLBCL, GCB, DEL, overall survival
Latar Belakang : Morbiditas dan mortalitas perinatal meningkat pada usia kehamilan lebih dari 41 minggu, morbodotas berkaitan dengan disfungsi plasenta, penurunan volume air ketuban dan makrosomia. ANC rutin dan induksi persalinan merupakan strategi untuk menurunkan morbiditas dan mortalitas perinatal. Induksi persalinan pada usia kehamilan lebih dari 41 minggu dengan cerviks unfavourable menggunakan misoprstol untuk cervical ripening. Misoprostol peroral merupakan metode induksi persalinan yang efektif, sama efektifnya dengan misoprostol pervaginam dengan resiko bedah sesar dan hiperstimulasi uteri lebih kecil. Pemberiannya lebih mudah bagi provider dan nyaman bagi pasien. Tujuan : membandingkan perbedaan perubahan skor bbishop dan kejadian inpartu dalam 6 jam setelah pemberian misoprostol antara misoprostol peroral dan pervaginam. Metode : lima puluh dua perempuan dengan usia kehamilan lebih dari 41 minggu dengan skor bishop < 5 yang akan menjalani prosedur induksi persalinan dialokasikan secara acak ke dalam kelompok misoprostol peroral dan pervaginam. Misoprostol peroral dengan memberikan misoprostol 25 ug dalam bentuk larutan misoprostol dengan konsentrasi 1ug/ml tiap 2 jam, sementara pervaginam dengan memasukkan tablet misoprostol 25 ug kedalam forniks posterior tiap 6 jam. Skor bishop awal, 6 jam, perubahan skor bishop, kejadian inpartu, luaran neonatal, komplikasi dan efek samsping pasca pemberian misoprostol dibandingkan antara kedua kelompok. Hasil : perubahan skor bishop pada kelompok peroral lebih banyak dibandingkan perubahan skor bishop pada kelompok misoprostol pervaginam (5,5 vs 3,6; p= 0,0001), Rerata interval waktu induksi-inpartu, induksi-kala II dan induksi-lahir bayi juga tampak lebih singkat pada kelompok misoprostol peroral dibanding misoprostol vaginal (7,3 jam vs 10,6 jam, 14,0 jam vs 16,8 jam, dan 14,6 jam vs 17,6 jam; p=0,002; 0,003; 0,002). Kejadian inpartu lebih banyak pada kelompok peroral dibanding vaginal (53,8% vs 15,4%). Kelompok misoprostol peroral memiliki kemungkinan 3,5 kali lebih besar terjadi inpartu dalam enam jam setelah pemberian pertama dibanding kelompok vaginal (OR 3,5’ IK 95% 1,33-9,23). Satu kasus kejadian skor APGAR menit kelima < 7 hanya terdapat pada kelompok misoprostol peroral (3,8%; p=1,00). Ketuban mekoneal terjadi 2 kasus pada kelompok misoprostol pervaginam (7,7%; p=0,54) dan hanya 2 kasus kejadian demam pada kelompok misorostol peroral (7,7%; p=0,54). Pemberian misoprostol peroral sama amannya dengan pemberian misoprostol pervaginam dari aspek luaran janin, komplikasi serta efek samping obat. Simpulan: penggunaan misoprostol peroral pada sebagai agen cervical ripening lebih efektif dibanding dengan misoprostol pervaginam dan terbukti sama amannya dengan misorostol pervaginam. Kata kunci : misoprostol peroral, skor bishop, cervical ripening, induksi persalinan
Latar Belakang. Prematuritas terkait dengan berat lahir rendah yang berkontribusi sebesar 37,5% pada angka kematian bayi di Indonesia pada tahun 2012. Diperlukan tokolitik yang efektif untuk memberikan waktu bagi janin untuk matang, menghindari efek buruk dari prematuritas, menyediakan waktu untuk pemberian kortikosteroid antenatal sampai dengan memiliki efek klinis; dan memberikan waktu untuk transfer intrauterin ke pusat perawatan yang lebih tinggi, di mana tersedia fasilitas perawatan neonatal intensif. Tujuan. Menganalisis dan mendeskripsikan perbedaan efektifitas antara lama waktu penundaan persalinan prematur pada pemberian obat tokolitik tunggal dan tokolitik kombinasi Metode. Data diambil dengan Randomized Controlled Trial non blinding dari 3 Rumah Sakit, yaitu RSUP Dr. Kariadi Semarang dan rumah sakit jejaring (RSUD Tugurejo Semarang, RSUD Kota Semarang). Dari 36 subyek ibu hamil dengan ancaman persalinan prematur drop-out 5 orang, sehingga didapat 31 subyek yang terdiri dari kelompok A (mendapatkan Nifedipin saja)=10 subyek, kelompok B (Nifedipin dan Ketorolak)=10 subyek dan kelompok C (Nifedipin, Ketorolak dan Progesteron)=11 subyek. Kemudian dilakukan pemeriksaan dalam, laboratorium, transvaginal ultrasonografi dan dicatat serta analisis. Hasil. Didapatkan bahwa perbedaan efektifitas antara penggunaan tokolitik tunggal dan kombinasi (nilai p = 0,8). Perbedaan antara lamanya kontraksi yang dengan lama waktu pencegahan persalinan prematur (p = 0,03). Adanya korelasi positif antara ukuran panjang serviks dengan lama waktu pencegahan peralinan prematur (r =0,45; p =0,01). Analisis kurva ROC didapatkan tampak luas area dibawah kuva adalah 0,82 (95% IK=0,62 sd 1,0; p=0,006). Dengan nilai cut-off panjang serviks adalah 1,76 cm. Kesimpulan. Perbedaan antara efektifitas tokolitik tunggal dan kombinasi dengan lama waktu pencegahan persalinan prematur adalah tidak bermakna. Namun didapatkan korelasi positif terhadap variabel perancu yaitu panjang serviks dan perbedaan antara lamanya kontraksi yang dengan lama waktu pencegahan persalinan prematur memberi hasil bermakna. Kata kunci. Persalinan prematur, tokolitik tunggal, tokolitik kombinasi.
Latar Belakang : Infeksi kaki diabetes merupakan suatu komplikasi sangat berat dan sering terjadi pada pasien diabetes melitus. Prokalsitonin sebagai marker sepsis dan infeksi terkait dengan derajat keparahan infeksi kaki diabetik. Tujuan: Mengetahui hubungan kadar prokalsitonin terhadap derajat keparahan infeksi kaki diabetik. Metode: Penelitian ini adalah penelitian analitik dengan pendekatan cross sectiona. Subyek penelitian adalah penderita DM tipe II usia18 tahun dengan ulkus kaki diabetes pada berbagai derajat dengan kriteria eksklusi adanya sumber infeksi lain. Sampel dilakukan pemeriksaan derajat keparah ulkus kaki diabetes menurut IDSA, dilakukan pemeriksaan darah berupa kadar prokalsitonin, HbA1c dan albumin serum. Hasil: Sebanyak 34 penderita ulkus kaki diabetes menjadi sampel pada penelitian ini. Kadar prokalsitonin pada derajat 1, derajat 2, derajat 3 dan derajat : 0,14± 0,00 mg/dl, 0,61±0,78 mg/dl, 0,61±0,78 mg/dl dan2,05±1,07. Prokalsitonin berkorelasi positif bermakna dengan koefisein korelasi 0,494 dan p= 0,003 terhadap derajat ulkus kaki diabetes. Albumin memiliki korelasi negatif terhadap derajat ulkus kaki diabetes dengan koefisien korelasi -0,403 dan p = 0,018 (p< 0,01). Kesimpulan: Kadar prokalsiton inberkorelasi positif terhadap derajat keparahan ulkus kaki diabetik. Albumin merupakan faktor yang juga berkorelasi negatif terhadap derajat keparahan ulkus diabetik Kata kunci : Derajat Keparahan Infeksi kaki Diabetes, Prokalsitonin dan Albumin
Latar belakang : Mieloma multipel (MM) adalah kelainan sel plasma neoplastik yang belum dapat disembuhkan hingga saat ini. Insufisiensi ginjal merupakan salah satu komplikasi MM yang sering ditemui. 20-50% penderita MM mengalami gangguan ginjal pada saat awal terdiagnosis. Terapi MM dengan menggunakan regimen Melphan-Prednison, diberikan pada pasien yang tidak memenuhi syarat untuk menjalani cangkok sumsum tulang. Kurkumin memiliki properti anti-infeksi, anti-oksidan, anti-inflamasi, anti-artritis, hepatoprotektif, kardioprotektif, kemoprotektif dan anti-karsinogenik. Tujuan penelitian : Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan hubungan penambahan kurkumin terhadap penurunan kadar Cystatin-C pada pasien MM yang mendapat regimen MP. Metode penelitian : Penelitian dilakukan di RSUP Dr. KAriadi Semarang antara bulan Februari 2016-Mei 2017. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan Randomized Pre-test Post-test Controled Group Design, mono blinding terhadap 24 pasien MM, yang diabgi menjadi kelompok perlakuan (n=12), dan kontrol (n=12). Kelompok perlakuan mendapat melphalan 4 mg/m2. prednison 40 mg/m2 selama 7 hari dan kurkumin 8 gram/ hari selama 28 hari sedangkan kelompok kontrol mendapatkan MP dan plasebo. Pemeriksaan kadar Cystatin-C dilkaukan pada saat awal dan akhir bulan ke-4. Uji normalitas dilakukan dengan Saphiro-Wilk, hubungan penambahan kurkumin dengan penurunan kadar Cystatin-C dan kreatinin serum dengan Mann whitney U test, uji wilcoxon, uji T-berpasangan, independent T-test, dan chi-square. Hasil : Demografi dan karakteristik dasar populasi diantara kedua kelompok tidak didapatkan kelainan yang bermakna, termasuk kadar kreatinin serum, cystatin-C, maupun eGFR yang dihitung dengan menggunakan nilai kreatinin, cystatin-c, maupun kombinasi kreatnin dan cystatin-c. Kadar cystatin-c awal pada kelompok perlakuan vs kontrol sebesar 0,293 ± 0,163; 0,228; 0,120 - 0,720 mg/L vs 0,284 ± 0,110; 0,280, 0,100 - 0,440 mg/L, dengan p 0,773. Kadar cystatin-c pada akhir masa pengamatan 1,469 ± 0.931; 1,100; 0,700 - 4,100 mg/L vs 0,995 ± 0,359; 0,975; 0,500 - 1,800 mg/L, dengan p 0,091. Delta perubahan cystatin c awal dan akhir masa pengamatan pada kelompok perlakuan vs kontrol sebesar (-6,060) ± 168,750; 38,155; (-376,200) - 201,530 mg/L vs (-19,460) ± 143,700; (-31,410); (-276,600) - 196,620 mg/L, dengan p 0,453. Simpulan : penambahan kurkumin tidak berpengaruh terhadap penurunan kadar cystatin-c pada pasien MM yang mendapat regimen MP. Kata kunci : MM, kurkumin, cystatin-c