Latar belakang : Leukemia Mieloid Akut merupakan salah satu keganasan hematologi yang angka kejadiannya makin meningkat tiap tahunnya. LMA menyebabkan mortalitas dan morbiditas yang cukup tinggi serta memiliki angka kesintasan yang pendek. Saat ini baku emas untuk menilai prognosis pasien LMA menggunakan pemeriksaan sitogenetika yang cenderung mahal dan tidak tersedia di setiap rumah sakit. Beberapa penelitian melaporkan kemungkinan diagnostik dan prognostik menggunakan kadar sitokin pada pasien LMA. Kadar IL-10, IL-6 dan TNF-α pada pasien LMA lebih tinggi pada dua kelompok umur penelitian. Kadar IL6 dan IL-10 berhubungan dengan kesintasan pasien dan event free survival. Kadar IL-10 tinggi dan IL6 rendah mewakili faktor prognostik yang baik untuk kesintasan pasien LMA. Tujuan penelitian : Mengetahui hubungan antara kadar IL10 dengan status remisi dan ketahanan hidup pasien LMA yang mendapat kemoterapi induksi. Metode penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian observational analitic dengan desain penelitian cohort prospektif. Pasien LMA yang memenuhi kriteria insklusi dan eksklusi diukur kadar IL-10 sebelum kemoterapi induksi.Terdapat 23 subyek penelitian pasien LMA yang dibagi menjadi dua kelompok berdasarkan titik batas kadar IL-10 dengan menggunakan metode ROC, 17 pasien LMA dengan kadar IL-10 ≤ 24 pg/dL dan 6 pasien LMA dengan kadar IL-10 > 24 pg/dL. Pada hari ke-28 masing-masing kelompok dilakukan pemeriksaan BMP untuk melihat respon terapi serta di ikuti selam 6 bulan untuk mengetahui katahanan hidup masingmasing kelompok. Uji normalitas menggunakan Saphiro - Wilk dan hubungan kadar IL-10 terhadap status remisi dengan Fisher's Exact Test, chi-square. Ketahanan hidup pasien LMA menggunakan metode Kaplan-Meier, signifikansi statistik menurut metode log-rank. Hasil : Terdapat korelasi positif antara kadar IL-10 dan status remisi namun secara statistik tidak bermakna ( r=3,7;p=0,27 ). Pada pasien LMA dengan kadar IL-10 < 24 pg/dL didapatkan penurunan ketahanan hidup yang lebih besar dibandingkan dengan pasien LMA dengan kadar IL- 10 ≥ 24 pg/dL, namun secara statistik tidak bermakna ( log-rang p-0,21 ) Simpulan : Tidak terdapat hubungan antara kadar IL-10 dengan status remisi pada pasien LMA. Tidak terdapat hubungan antara kadar IL-10 dengan ketahanan hidup pada pasien LMA. Kata kunci : Leukemia mieloid akut, IL-10, status remisi, ketahanan hidup.
Latar Belakang : Prevalensi kardiovaskular semakin meningkat di seluruh dunia. Hiperurisemia dan defisiensi vitamin D berkaitan dengan proses inflamasi dan merupakan faktor risiko independen terjadinya penyakit kardiovaskular. Telah dilakukan beberapa penelitian mengenai hubungan antara kadar vitamin D dengan kadar asam urat namun hasilnya masih kontroversial. Tujuan : Untuk mengetahui Hubungan antara kadar vitamin D dengan kadar asam urat pada penderita hiperurisemia asimtomatik Metode : Penelitian ini menggunakan metode cross sectional. Subyek penelitian adalah penderita hiperurisemia asimtomatik di RS Dr. Kariadi. Dilakukan pemeriksaan kadar vitamin D dan kadar asam urat secara bersamaan. Subyek penelitian kemudian dibagi menjadi kelompok hiperurisemia dan normourisemia. Pasien dengan keganasan, gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hati, pemakaian obat yang mempengaruhi kadar vitamin D dan asam urat di eksklusi dari penelitian. Hasil : Didapatkan hubungan positif yang bermakna antara kadar vitamin D dengan kadar asam urat. Pada kelompok hiperurisemia didapatkan rerata kadar vitamin D 21.89 + 6.9 ng/mL sedangkan pada kelompok normourisemia 13.9 + 5.7 ng/mL ( r: 0.385, p: 0.036). Dari analisis bivariat, kadar asam urat berhubungan signifikan dengan jenis kelamin dimana laki-laki lebih tinggi ( r: -0.56, p: 0.01) dan lama paparan matahari (r: 0.53, p: 0.02) Kesimpulan : Kadar vitamin D yang tinggi berkaitan secara bermakna dengan hiperurisemia pada penderita hiperurisemia asimtomatik. Dibutuhkan penelitian yang lebih lanjut untuk mengkonfirmasi temuan ini dan mengenai mekanisme yang mendasari Hubungan antara kadar vitamin D dengan kadar asam urat. Kata Kunci : Vitamin D, asam urat, hiperurisemia, asimtomatik, kardiovaskular, inflamasi, lama paparan matahari
Pendahuluan :Glaukoma merupakan sindrom yang terdiri dari neuropati optik glaukomatosa, kerusakan serabut saraf retina yang diikuti defek lapang pandang yang khas. Color field test charts(CFTC) merupakan alat sederhana yang digunakan untuk mendeteksi skotoma sentral dan parasentral pada pasien neuro-oftalmologi. Uji diagnostik dilakukan untuk membandingkan defek lapang pandang yang terdeteksi pada pasien glaukoma primer kronis menggunakan CFTC dengan HVFA SITA 10-2 sebagai baku emas. Metode :Sebanyak 72 mata dari 50 pasien glaukoma primer kronis diperiksa visus, funduskopi, buta warna, HVFA SITA 10-2 dan CFTC. Hasil pembacaan dilakukan oleh 2 orang spesialis mata dan dilakukan uji Kappa. Analisis dilakukan untuk mendapatkan nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif (NDP), nilai duga negatif (NDN), akurasi, rasio kemungkinan (RK) positif dan negatif. Hasil :Sensitivitas CFTC yaitu 87.93%, spesifisitas 85.71%, NDP 96.22%, NDN 63.16%, akurasi 87.5%, RK positif 6.15 dan RK negatif 0.14 dalam mengetahui defek lapang pandang pasien glaukoma primer kronis dibandingkan HVFA SITA 10-2. Area Under Curve (AUC) pada penelitian ini 0.86 (95% CI 0.751-0.985, p-12dB dibandingkan
Latar belakang. Banyak studi menunjukkan bahwa anak-anak rentan terhadap TB jika terjadi kekurangan vitamin D. Beberapa penelitian selanjutnya menyatakan vitamin D sebagai modulator fungsi makrofag dan dapat mengaktifkan aktivitas anti-mikobakteri. Tujuan penelitian. Menilai hubungan antara status kadar vitamin D dan status nutrisi dengan kejadian TB anak. Desain penelitian. Penelitian observasional kasus kontrol dengan mengukur kadar vitamin D serum pada anak-anak dengan TB dan bukan TB pada klinik rawat jalan dan inap RSUD Biak, Papua, masing-masing 50 anak yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Analisis statistik kemaknaan menggunakan uji beda Kai Kuadrat atau uji Fischer. Odds ratio dan interval kepercayaan digunakan untuk menilai besaran efek dan uji regresi logistik untuk analisis multivariat. Hasil. Terdapat hubungan bermakna status kadar vitamin D kurang (≤ 50 nmol/L) dengan kejadian TB (p=0,000; OR 4,457 (IK 95% 1,920 – 10,343). Setelah disesuaikan status nutrisi, risiko kejadian TB pada subyek dengan status kadar vitamin D yang kurang sebesar 4,382 kali (IK 95% 1,858 – 10,334; p=0,001). Kesimpulan. Terdapat hubungan bermakna antara status kadar vitamin D setelah disesuaikan dengan status nutrisi terhadap kejadian TB anak. Kata kunci: tuberculosis, vitamin D, status nutrisi