Latar Belakang : Osteoartritis (OA) merupakan penyakit degeneratif dan inflamasi sendi. Interleukin-1 (IL-1) berperan dalam patogenesis inflamasi jaringan sinovial sendi. Proses inflamasi pada OA dapat terjadi secara lokal sendi maupun secara sistemik di dalam darah. Kartilago merupakan target utama OA dimana degradasi kartilago superfisial adalah tanda pertamanya. Deteksi awal degradasi kartilago sangat penting dan magnetic resonance imaging (MRI) merupakan metode non invasif paling akurat. Penelitian ini menganalisa korelasi antara IL-1 serum dengan derajat defek kartilago sendi lutut pada pasien OA. Bahan dan Cara : Penelitian observasional analitik dengan rancangan belah lintang. Sampel penelitian adalah 26 pasien OA rawat jalan di Poliklinik Reumatologi RSUP dr. Kariadi Semarang pada bulan Maret – Juli 2018. Hasil : Rerata umur pasien 59,03 tahun, sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan (80,8%), dengan nilai IMT terbanyak pada tingkat overweight dan obesitas (61,5%). Tidak terdapat hubungan bermakna antara kadar IL-1 dengan derajat defek kartilago secara MRI (p=0,061). Tidak terdapat hubungan bermakna antara kadar IL-1 dengan derajat OA secara radiografi (p=0,264). Simpulan : Defek kartilago sendi secara MRI tidak berhubungan bermakna dengan kadar IL-1 serum pada penderita OA lutut. Kata Kunci : IL-1B, osteoartritis lutut, defek kartilago, MRI
Latar belakang : Pembesaran tiroid merupakan suatu permasalahan klinik yang sering ditemukan, angka keganasan tiroid terjadi 3 kali lipat lebih banyak pada wanita dibandingkan pada pria, dan kejadian tertinggi pada umur 49 tahun. USG dianggap sebagai modalitas terpilih karena tidak invasif, murah dan tersedia di hampir semua pelayanan kesehatan. Kombinasi pemeriksaan USG tiroid, sidik tiroid merupakan strategi penegakan diagnosis yang terbaik. Oleh sebab itu dilakukan penelitian menggunakan USG dan sidik tiroid dan histopatologi guna membandingkan keakuratan hasil pemeriksaan dengan modalitas tunggal maupun dengan modalitas kombinasi seperti USG, sidik dan histopatologi dalam menegakkan diagnosis nodul tiroid Metode :Penelitian ini bersifat observasional analitik dengan metode cross sectional yang dilakukan di RSUP dr Kariadi Semarang. Subyek penelitian sebanyak 29 pasien dengan benjolan di leher, dilakukan USG tiroid, yang memenuhi kriteria eksklusi dikeluarkan dari penelitian, yang sisanya dilanjutkan dengan pemeriksaan sidik tiroid yang selanjutnya diprogramkan untuk biopsi nodul tiroid. Hasil dari ketiga pemeriksaan tersebut akan diuji hubungannya menggunakan program SPSS 17.0 for Windows dengan uji Kappa. Selain itu juga dilakukan uji diagnostik sensitivitas, spesifisitas dan akurasi. Hasil : Hasil penelitian menunjukkan 24 pasien berjenis kelamin perempuan dan 5 pasien laki-laki, dengan usia terbanyak pada kategori umur 41-50 tahun. Pada pemeriksaan USG tiroid hanya terdapat 20 pasien yang sesuai hasil USG dan histologinya, sedangkan 9 pasien tidak terdapat kesamaan antara hasil USG dan histologinya, dengan besaran uji Kappa sebesar 0,177 (p>0,05). Pada pemeriksaan sidik tiroid terdapat 19 pasien yang sesuai antara hasil sidik tiroid dengan histopatologi, sedangkan 10 pasien tidak terdaat kesamaan sidik tiroid dan histopatologi dengan besaran uji Kappa sebesar 0,058 (p>0,05). Pada hasil uji diagnostic didapatkan USG lebih sensitive dibandingkan dengan sidik tiroid dalam mendeteksi nodul tiroid ganas, sedangkan pada pemeriksaan gabungan antara USG dan sidik tiroid terdapat peningkatan sensitifitas dan akurasi. Kesimpulan : USG lebih sensitif dan akurat dalam mendeteksi nodul tiroid ganas dibandingkan dengan sidik tiroid. Metode penggabungan antara USG dan sidik tiroid dapat meningkatkan sensitifitas dan akurasi dalam mendeteksi nodul tiroid ganas Kata kunci : Nodul tiroid, USG tiroid, sidik tiroid, histopatologi
Latar belakang : Traumatic Brain Injury (TBI) merupakan masalah kesehatan dan sosial ekonomi seluruh dunia. Penderita yang berhasil selamat dari TBI, sebanyak 40% menunjukan gejala sisa jangka panjang dan disabilitas. Penilaian kesadaran setelah terjadi trauma merupakan penentu utama berat ringannya TBI, dinilai dengan Glasgow Coma Scale (GCS). Pencitraan terpilih berdasarkan American College Radiology (ACR) Appropriateness Criteria pasien cedera kepala akut adalah CT scan. Sistem penilaian yang digunakan untuk menentukan derajat keparahan TBI secara CT scan berdasarkan Rotterdam dan Helsinki score. Bahan dan Metode: Desain penelitian analitik observasional retrospektif dengan rancangan belah lintang. Empat puluh tiga pasien TBI dilakukan CT Scan kepala tanpa kontras dengan dinilai GCS serta Rotterdam dan Helsinki CT score. Uji korelasi menggunakan Rank Spearman’s pada ketiga parameter diatas. Hasil: Uji statistik terdapat korelasi negatif kuat antara Rotterdam CT score (p value = 0,000; rho = -0,755) dan Helsinki CT score (p value = 0,000; rho = -0,675) dengan Glasgow Coma Scale. Kesimpulan: Semakin tinggi Rotterdam dan Helsinki CT score maka nilai Glasgow Coma Scale semakin rendah pada pasien Traumatic Brain Injury. Kata kunci: CT, Rotterdam, Helsinki, GCS, Traumatic Brain Injury
Pendahuluan : Glaukoma berkorelasi dengan resistensi aliran humor akuos. Peningkatan tekanan intraokuler (TIO) akan menginduksi iskemia yang akan menyebabkan peningkatan radikal bebas (seperti O2-, H2O2, dan OH-) sehingga meningkatkan aktivitas antioksidan enzimatis untuk mengatasi radikal bebas. Superoksida dismutase merupakan antioksidan enzimatis utama yang berperan dalam menetralisir anion superoksida dan mengkatalis menjadi H2O2 yang level toksisitas lebih rendah daripada O2-. Salah satu antioksidan oral yang telah diteliti memiliki efek meningkatkan kadar antioksidan enzimatik pada humor akuos adalah astaxanthin. Tujuan: Menganalisa efek astaxanthin oral terhadap kadar superoksida dismutase (SOD-1) di dalam humor akuos kelinci New Zealand model glaukoma. Metode : Kelompok perlakuan (P) diberi astaxanthin oral satu kali sehari selama 2 minggu. Pemeriksaan SOD-1 dilakukan terhadap humor akuos menggunakan ELISA kit. Uji normalitas menggunakan Shapiro-Wilk dan uji Independent t-test digunakan untuk uji beda kedua kelompok jika data terdistribusi normal (Uji Shapiro-Wilk p>0.05) Hasil : Pada 16 kelinci New Zealand dipilih secara random untuk dibagi menjadi 2 kelompok yang mendapat placebo atau astaxanthin 0,42 mg (setara dengan 6 mg pada manusia dewasa 70 Kg) per hari. Rerata kadar SOD-1 pada kelompok K = 0,715±0,054 ng/ml; kelompok P = 0,264 ± 0,026 ng/ml. Hasil uji beda kadar SOD-1 dengan uji t independent terdapat perbedaan bermakna kadar SOD-1 pada kelompok kontrol dibandingkan kelompok perlakuan (p
Pendahuluan : Matrix Metalloproteinase – 9 (MMP-9) merupakan enzim yang berperan dalam degradasi matriks ekstraseluler di trabecular meshwork (TM). Pemberian obat anti-inflamasi jangka panjang topikal telah terbukti menurunkan ekspresi MMP-9 di TM sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intraokuler, yang merupakan faktor risiko terjadinya glaukoma. DLBS1425 merupakan sediaan farmasi ekstrak Phaleria macrocarpa yang memiliki efek anti inflamasi. DLBS1425 topikal konsentrasi 1x101 mg/ml terbukti memiliki efek penurunan ekspresi COX-2 pada kornea. Studi ini bertujuan untuk mengetahui ekspresi MMP - 9 di TM tikus Wistar yang diberikan DLBS 1425 topikal dibandingan dengan kontrol. Metode : Dua puluh dua ekor tikus Wistar dibagi menjadi dua kelompok, perlakuan dan kontrol. Kelompok perlakuan diberikan DLBS 1425 topikal konsentrasi 1x101 mg/ml 1 tetes setiap 4 jam, selama 4 minggu. Kelompok kontrol diberikan tetes substitusi air mata buatan (plasebo) 1 tetes setiap 4 jam, selama 4 minggu. Ekspresi MMP 9 pada TM diperiksa dengan pengecatan imunohistokimia. Data dikumpulkan dan diolah menggunakan menggunakan uji Mann Whitney karena distribusi data tidak normal. Hasil : Rerata ekspresi MMP-9 pada TM dengan skor Allred pada kelompok perlakuan (0,00 ± 0,00) lebih rendah secara signifikan (p=
Pendahuluan : Siklooksigenase (COX) merupakan enzim katalisator dalam perubahan asam arachidonat menjadi prostaglandin. Ada 2 iso-enzime COX yaitu siklooksigenase-1 (COX-1) dan siklooksigenase-2 (COX-2). COX-1 diekspresikan dan ditemukan pada kebanyakan jaringan normal dan lebih dominan menghasilkan prostaglandin untuk fungsi homeostatik. DLBS 1425 merupakan fraksi bioaktif terstandardisasi dari daging buah Mahkota Dewa ( Phaleria macrocarpa ) yang memiliki efek anti inflamasi. DLBS 1425 memiliki efek terhadap penurunan ekspresi COX-2. Penelitian ini bertujuan menganalisis pengaruh pemberian ekstrak DLBS 1425 konsentrasi 1 x 101 mg/ml terhadap ekspresi COX-1 pada corpus siliaris tikus wistar. Metode : Dua puluh dua ekor tikus Wistar dibagi menjadi dua kelompok, kontrol dan perlakuan. Kelompok perlakuan diberikan DLBS 1425 topikal konsentrasi 1x101 mg/ml dengan dosis 6x/hari, selama 4 minggu. Kelompok kontrol diberikan tetes Cendo Hyalub 6x/hari, selama 4 minggu. Ekspresi COX-1 pada corpus siliaris diperiksa dengan pengecatan imunohistokimia. Data dikumpulkan dan diolah menggunakan program SPSS 15.0 for windows. Hasil : Rerata ekspresi COX-1 pada corpus siliaris dengan skor Allred pada kelompok perlakuan (± 5,09) lebih rendah secara signifikan (p˂0,001 ) dibandingkan kelompok kontrol (± 0,00). Kesimpulan : Ekspresi COX-1 corpus siliaris tikus wistar setelah pemberian ekstrak DLBS 1425 topikal konsentrasi 1 x 10 1 mg/ml lebih rendah dibanding kontrol. DLBS 1425 topikal konsentrasi 1 x 101 mg/ml menekan ekspresi COX-1 pada corpus siliaris tikus wistar. Kata Kunci : Siklooksigenase-1, corpus siliaris, DLBS 1425, Phaleria macrocarpa .
Latar Belakang : Tissue plasminogen activator (tPA) merupakan serin protease yang dikode oleh gen PLAT berfungsi menjaga resistensi outflow dengan mengaktifkan matriks metalloproteinase (MMP). Matriks metalloproteinase merupakan proteinase yang berperan dalam degradasi matriks ekstraseluler. Penggunaan obat antiinflamasi terbukti menurunkan ekspresi tPA pada trabekular meshwork sehingga menyebabkan peningkatan resistensi outflow. DLBS 1425 konsentrasi 1x101 mg/ml merupakan ekstrak Phaleria macrocarpa yang terbukti memiliki efek antiinflamasi. Tujuan : Studi ini bertujuan untuk mengetahui ekspresi tPA pada TM tikus Wistar yang diberikan DLBS 1425 topikal dibandingkan dengan kontrol. Metode : Uji eksperimental laboratorium dengan rancangan post -test only randomized controlled group design pada 22 ekor tikus Wistar dibagi menjadi dua kelompok, kontrol dan perlakuan. Kelompok perlakuan diberikan DLBS 1425 topikal dengan dosis 6x/hari, selama 4 minggu. Kelompok kontrol diberikan tetes Hyalub Minidose® 6x/hari, selama 4 minggu. Ekspresi tPA pada TM diperiksa dengan pengecatan imunohistokimia. Data dikumpulkan dan diolah menggunakan program SPSS 15.0 for windows. Hasil : Rerata ekspresi tPA pada TM dengan Allred Score pada kelompok perlakuan (0,18 ± 0,60) lebih rendah secara signifikan (p < 0.001 ) dibandingkan kelompok kontrol (6,27 ± 0,91). Kesimpulan : DLBS 1425 topikal memiliki efek penekanan terhadap ekspresi tPA pada trabekular meshwork tikus Wistar dibandingkan kontrol. Kata Kunci : tissue plasminogen activator, trabekular meshwork, DLBS 1425, Phaleria macrocarpa.