Latar Belakang: Metode anestesi umum dengan obat anestesi inhalasi saat ini banyak menggunakan teknik low flow dan teknik high flow. Masih banyak perdebatan tentang kelebihan dan kekurangan dari kedua teknik anestesi ini dari, sehingga banyak penelitian dilakukan untuk menilai kelebihan dan kekurangannya dari berbagai segi. Monitor end tidal CO2 dipakai dalam memprediksi tekanan arterial C02 untuk menggambarkan gas darah. Pengukuran konsentrasi ETC02 membantu mengendalikan penyerapan CO2 dan keseimbangan eliminasi. Tujuan: Mengetahui perbandingan kadar ETC02 pada teknik anestesi low flow dan anestesi high flow pada operasi laparatomi salfingo-ooforektomi. Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis acak pada 40 pasien, usia 18-60 tahun, status ASA I-II yang menjalani operasi laparotomi salpingo-ooforektomi dengan anestesi umum di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Sampel dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok I mendapat teknik anestesi low flow dan kelompok II mendapat teknik anestesi high flow. ETCO2 dinilai pada menit 30 setelah intubasi, dan diulang setiap 30 menit berikutnya, serta 10 menit sebelum ekstubasi. Uji statistik menggunakan Uji Mann-Whitney dan independent t test pada perangkat lunak SPSS v24.00. Hasil: Penggunaan teknik anestesi low flow dibandingkan high flow terhadap kadar ETCO2 secara statistik tidak berbeda bermakna (p> 0,05). Kata Kunci : end tidal CO2, ETC02, low flow, high flow, laparatomi, salfingo ooforektomi
Latar Belakang: Peran protektif Sirkulasi Kolateral Koroner (SKK) pada pasien penyakit jantung iskemik (PJI) telah terbukti. Reverse Remodeling (RR), yang berhubungan dengan prognosis jangka panjang yang lebih baik, dapat dijumpai pada pasien PJI yang menjalani operasi Bedah Pintas Arteri Koroner (BPAK). Sayangnya periode tunggu operasi yang lama berhubungan dengan cardiac event dan mortalitas. Angka mortalitas 1 tahun paska BPAK juga belum menurun secara signifikan. Benefit terapi gagal jantung yang menarget efek sekunder sistem neurohormonal tampaknya telah mencapai batas maksimal. Dibutuhkan strategi terapi baru yang dapat menarget jantung secara direk. Penelitian ini ingin mengkaji apakah derajat SKK berpengaruh terhadap kejadian RR paska operasi BPAK. Metode Penelitian: Penelitian analitik observasional dengan desain kohort prospektif melibatkan 24 pasien gagal jantung kronik akibat PJI. Penilaian derajat SKK menggunakan skor Rentrop, pemeriksaan ekokardiografi 3 dimensi (3D) dilakukan sebelum operasi BPAK. Pemeriksaan ekokardiografi 3D ulang untuk mengetahui ada tidaknya kejadian RR (Δ Left Ventricular End Systolic Volume (LVESV) ≥ 10%) dilakukan 1,5 bulan setelah operasi. Hasil Penelitian: 50% pasien mengalami kejadian RR ventrikel kiri. Analisis bivariat menunjukkan kelompok dengan kejadian RR secara signifikan memiliki derajat SKK yang lebih tinggi (p=0,008). Analisis multivariat regresi logistik untuk mengontrol pengaruh variabel perancu menunjukkan didapatkannya hubungan yang bermakna antara derajat SKK dan kejadian RR ventrikel kiri paska BPAK, p=0,009; Odds Ratio (OR)=26,67 (IK 95% 2,31-308), Relative Risk pasien dengan derajat SKK tinggi=7,0. Kesimpulan: Derajat SKK berpengaruh terhadap kejadian RR ventrikel kiri paska operasi BPAK pada pasien gagal jantung kronik akibat PJI. Pasien dengan derajat SKK yang lebih tinggi mengalami kejadian RR ventrikel kiri paska operasi BPAK yang lebih tinggi. Kata Kunci: Sirkulasi Kolateral Koroner, Reverse Remodeling, Bedah Pintas Arteri Koroner, Ekokardiografi 3 dimensi
Latar Belakang : Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) merupakan Emerging Infectious Pathogen.,2 Prevalensi MRSA diberbagai rumah sakit di dunia berkisar antara 2-70% dengan angka rata-rata 20% MRSA Carrier yang asimtomatik. Infeksi oleh MRSA bisa menimbulkan masalah kesehatan yang serius dan dapat meningkatkan angka kesakitan (morbiditas) dan Kematian (mortalitas), dapat memperlama perawatan pasien dirumah sakit dan biaya perawatan akan lebih mahal. Metode penelitian : Desain Cross Sectional Prospektif periode September-November 2018. Analisis bivariat dengan Chi square test, Prevalen Risk, dan analisis multivariat dilakukan dengan regresi logistik multipel. Nilai p dianggap bermakna jika < 0,05. Hasil : Total sampel pada penelitian ini sebanyak 121 pasien yang dilakukan swab hidung dan tenggorok. MRSA yang didapatkan pada penelitian ini paling banyak terdapat di hidung sebanyak 21 (58,3%), tenggorok 9 (25%), dan keduanya baik hidung dan tenggorok 6 (16,7%). Faktor risiko yang mempunyai hubungan diantaranya riwayat pemakaian antibiotik, riwayat rawat inap dalam 1 tahun dan infeksi dengan nilai p < 0,05. Kesimpulan : Carrier rate Kolonisasi MRSA pada penelitian ini adalah sebesar 29,7%. Usia, Jenis Kelamin, Dan Infeksi Bukan Faktor Risiko Terjadinya Kolonisasi MRSA pada pasien Baru di Bangsal Rajawali RSUP Dr Kariadi. Kata kunci : Faktor Risiko, Kolonisasi MRSA, Cross Sectional.
Latar belakang : Berdasarkan data Profil Kesehatan Indonesia 2016 diare masih merupakan penyakit menular endemis di Indonesia dan potensial menyebabkan Kejadian Luar Biasa (KLB). Beberapa penelitian mengemukakan tingginya angka kejadian defisiensi zinc pada anak di negara berkembang. Suplementasi zinc mengurangi angka kejadian diare dan memperbaiki defisiensi zinc. Indonesia telah merekomendasi pemberian zinc sebagai salah satu dari lima pilar tatalaksana diare tanpa memandang status zinc dalam tubuh. Belum ada penelitian di Indonesia menilai kadar zinc serum sebelum dan sesudah suplementasi pada kelompok usia 6-24 bulan dengan diare. Tujuan : Untuk menganalisis perubahan kadar zinc serum terhadap luaran diare akut anak usia 6-24 bulan. Metode : Penelitian deskriptif analitik dengan desain “a group interupted time series” mengikutsertakan 25 anak usia 6-24 bulan dengan diare akut periode Desember 2017 –Juli 2018. Hasil Penelitian : Sejumlah 25 pasien diikutkan, terdiri dari 14 (56%) anak laki-laki dan 11 (44%) anak perempuan dengan diare akut. Semua subjek tidak menunjukkan defisiensi zinc serum, dengan rerata kadar zinc serum awal 15,8±1,87 μmol/L dan pada hari perawatan ketiga-kelima 17,1±1,8 μmol/L. Perubahan kadar zinc serum berkorelasi dengan luaran diare baik durasi (r=-0,544; p=0,005), lama perubahan frekuensi BAB (r=-0,393; p=0,052) dan lama perubahan konsistensi feses (r=0,319; p=0,12). Kesimpulan : Terdapat korelasi antara perubahan kadar zinc serum dengan luaran diare akut anak usia 6-24 bulan dengan gizi baik. Kata kunci : diare akut, zinc serum
Pendahuluan Percutaneous transhepatic biliary drainage (PTBD) telah menjadi salah satu terapi pilihan dalam menangani pasien ikterus terutama pada saluran bilier yang disebabkan oleh keganasan. PTBD tidak hanya menurunkan kadar bilirubin, tetapi juga memperbaiki fungsi hepar, meningkatkan angka harapan hidup, dan sebagai persiapan preoperatif. Infeksi merupakan salah satu komplikasi utama pasca PTBD. Bilirubin merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri sehingga meningkatkan risiko terjadinya cholangitis dan sepsis. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis korelasi antara perubahan kadar bilirubin dengan cholangitis dan sepsis setelah PTBD menggunakan Tokyo Guidelines 13 (TG 13) dan Sequential (Sepsis-related) Organ Function Assessment Score (SOFA). Tujuan Menilai korelasi antara perubahan kadar bilirubin terhadap skor cholangitis dan skor sepsis pada pasien pasca PTBD. Metode Penelitian dilakukan secara retrospektif terhadap rekam medis 26 pasien dengan ikterus obstruksi yang dilakukan PTBD pada Januari 2015 hingga Desember 2017. Penelitian mengevaluasi perubahan kadar bilirubin sebelum dan setelah PTBD dengan tanda cholangitis seperti inflamasi, cholestasis, hasil pencitraan (berdasarkan TG 13) dan tanda sepsis seperti sistem pernafasan, pembekuan darah, bilirubin, sistem jantung pembuluh darah, Glasgow Coma Scale, fungsi ginjal (berdasarkan SOFA). Penelitian telah mendapatkan izin dari komite etik rumah sakit. Hasil Penelitian Terdapat korelasi antara penurunan kadar bilirubin direk terhadap kejadian cholangitis dan sepsis setelah PTBD (p= 0.030), tetapi tidak pada bilirubin total (p=0.111). Kesimpulan Semakin besar penurunan kadar bilirubin direk setelah PTBD maka risiko terjadinya cholangitis dan sepsis semakin rendah. Kata kunci: PTBD, bilirubin, cholangitis, sepsis.
Pendahuluan : Spondilosis servikal yang menggambarkan proses degeneratif yang meliputi perubahan pada diskus intervertebralis, corpus vertebra, dan facet joint, menyebabkan terjadinya stenosis foramina neuralis servikal dan gejala radikulopati servikal. Sujin Kim, dkk (2015), dalam penelitiannya tentang derajat stenosis foramina neuralis servikal berdasarkan citra T2-weighted. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui korelasi antara derajat stenosis foramina neuralis servikal pada MRI berdasarkan Sujin dengan skor klinis radikulopati servikal. Metode : Penelitian ini dilakukan secara prospektif dengan metode belah lintang terhadap 26 pasien spondilosis servikal yang menjalani pemeriksaan MRI Servikal di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Skor klinis radikulopati servikal spondilotik dinilai dengan skor Neck Disability Index (NDI). Derajat Stenosis Foramina Neuralis Servikal pada citra aksial MRI T2-weigthed yang dinilai berdasarkan metode Sujin. Penelitian telah mendapatkan ijin dari komite etik rumah sakit. Hasil Penelitian : Terdapat korelasi yang bermakna antara derajat stenosis foramina neuralis servikal pada citra aksial MRI T2-weighted berdasarkan metode Sujin dengan skor klinis radikulopati servikal spondilotik berdasarkan skor NDI. Kesimpulan : Terdapat korelasi yang bermakna antara derajat stenosis foramina neuralis servikal pada citra aksial MRI T2-weighted berdasarkan metode Sujin dengan skor klinis radikulopati servikal spondilotik berdasarkan skor NDI. Kata Kunci : Stenosis Foramina Servikal, Metode Sujin, Radikulopati Servikal, Neck Disability Index
Latar belakang : Perdarahan intra serebri menyebabkan defisit neurologis dan kematian pada pasien stroke hemoragik. Tujuan penelitian untuk mengetahui korelasi antara tingkat keparahan stroke yang diukur menggunakan National Institutes of Stroke Scale (NIHSS) dengan volume perdarahan dan diameter optic nerve sheath (ONSD) yang terkait adanya tanda peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Material dan metode : Penelitian bersifat analitik observasional, dilakukan prospektif dengan rancangan cross-sectional. Tingkat keparahan stroke diukur menggunakan NIHSS dan dikorelasikan dengan volume perdarahan dan ONSD yang diukur menggunakan computed tomographic (CT) Scan kepala. Hasil : Dilakukan CT scan pada 27 pasien stroke hemoragik dengan rentang usia 41-78 tahun (rata-rata 60,2 ± 10,1 tahun). Uji statistik Rank Spearman’s menunjukkan korelasi dengan keeratan kuat dan asosiasi linier postitif antara NIHSS dengan volume perdarahan (p=0,0001, rho= 0,809) serta korelasi dengan keeratan sedang dan asosiasi linier positif antara NIHSS dengan ONSD (p=0,000 rho=0,627). Kesimpulan : CT scan yang dilakukan saat pertama datang ke rumah sakit dapat mendeteksi tingkat keparahan stroke melalui pengukuran volume perdarahan dan ONSD. Kata kunci : National Institutes of Stroke Scale, volume perdarahan, diameter optic nerve sheath.
Pendahuluan : Spondilosis servikal dengan degenerasi diskus dan korpus vertebra merupakan masalah kesehatan penting yang banyak ditemukan pada populasi umum. Spondilosis servikal menyebabkan stenosis kanalis servikal dan perubahan korda spinalis dengan gejala mielopati servikal. Yusuhn Kang, et al (2010) dalam penelitiannya tentang derajat stenosis kanalis servikal menggunakan MRI, membuat suatu sistem penilaian MRI untuk stenosis kanalis servikal berdasarkan citra T2-weighted. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui korelasi antara derajat stenosis kanalis servikal pada MRI berdasarkan Kang dengan skor klinis mielopati servikal spondilotik. Metode : Penelitian ini dilakukan secara prospektif dengan metode belah lintang terhadap 26 pasien spondilosis servikal yang menjalani pemeriksaan MRI Servikal di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Skor klinis mielopati servikal spondilotik dinilai dengan skor modified Japanese Orthopaedic Score (mJOA) dan Myelopati Disability Index (MDI). Derajat stenosis kanalis servikal pada citra sagittal MRI T2-weighted dinilai berdasarkan metode Kang. Penelitian telah mendapatkan ijin dari komite etik rumah sakit. Hasil Penelitian: Tidak terdapat korelasi antara derajat stenosis kanalis servikal pada citra sagital MRI T2-weighted berdasarkan Kang dengan skor klinis mielopati servikal spondilotik berdasarkan skor mJOA maupun dengan skor MDI. Kesimpulan : Tidak terdapat korelasi antara derajat stenosis kanalis servikal pada citra sagital MRI T2-weighted berdasarkan Kang dengan skor klinis mielopati servikal spondilotik. Kata kunci : stenosis kanalis servikal, Kang, mielopati servikal spondilotik, mJOA, MDI.
Latar belakang: Penggunaan media kontras dalam prosedur kedokteran untuk kepentingan diagnostik maupun intervensi dapat menyebabkan contrast induced nefropathy (CIN). Perubahan fungsi ginjal setelah pemberian kontras dapat di monitor dengan mengukur Glomerular Filtration Rate (GFR). GFR digunakan untuk menghitung bersihan kreatinin yang kemudian dimasukkan dalam suatu formula Tujuan: untuk menilai perubahan GFR pada penggunaan media kontras Iohexol 350mg (Omnipaque) dan Iohexol 350mg (Xolmetras) pada pemeriksaan MSCT Scan abdomen di Rumah Sakit Dokter Kariadi Semarang. Bahan dan Metode: Desain penelitian analitik observasional dengan rancangan time series design. Dilakukan di bagian Radiologi RSUP Dr. Kariadi Semarang dengan 26 sampel. Dua puluh enam pasien yang akan melakukan pemeriksaan MSCT Abdomen dilakukan pemeriksaan creatinin sebelum pemeriksaan, 24 jam dan 72 jam setelah pemeriksaan. Nilai kreatinin yang didapat dimasukkan ke formula Cockcroft-Gault untuk mendapatkan nilai GFR. Hasil: Uji statistik Mann Whitney pre kontras sebesar p = 0.457, paska 24 jam sebesar p = 0.572, paska 72 jam sebesar p = 0.397. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan rerata GFR pre kontras, paska 24 jam dan paska 72 jam yang signifikan antara kelompok yang mendapatkan Omnipaque dan Xolmetrol ( p> 0.05). Kesimpulan: Tidak ada perbedaan pengaruh pemberian Omnipaque maupun Xolmetras terhadap perubahan GFR pre kontras, paska 24 jam dan paska 72 jam Kata kunci: Contrast Induced Nefropathy (CIN), Glomerular Filtration Rate (GFR), Xolmetras, Omnipaque
Latar Belakang : Pasien leptospirosis dengan gangguan fungsi hati dan ultrasonografi abnormal, dalam bentuk hepatomegali dan hiperogenik, tidak ditemukan obstruksi intra dan ekstrahepatik. Pada leptospirosis, bilirubin serum dapat meningkat secara signifikan dibandingkan dengan enzim hati lainnya. Tantitanawat & Tanjatham menemukan bahwa bilirubin total lebih dari 2,5 mg /dL secara independen terkait dengan tingkat keparahan. Dalam penelitian ini, bilirubin langsung dan tidak langsung adalah 13 dan 5 mg / dL, masing-masing, dan 85% disajikan dengan bilirubin langsung lebih tinggi dari 3,5 mg / hari. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif dengan desain cross sectional. Dilakukan di Bagian Radiologi Rumah Sakit Dr.Kariadi Semarang, dengan 14 sampel. Hasil USG dinilai jika lebih dari 15 cm ukuran pembesaran hati ditemukan dan hyperechoic. Hasil laboratorium menunjukkan tingkat SGOT / SGPT yang tinggi. Hasil : Selama periode Januari 2016 hingga Mei 2018, pasien leptospirosis berjumlah 38 orang yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 14 orang. Dari jumlah tersebut, kelompok usia tertinggi adalah> 70 tahun (3, 21%). Kelompok usia 50 tahun diperoleh dengan hati yang normal 3 (21%), hepatomegali 2 (14%) dan ekogenisitas meningkat sebesar 3 (21%) Kesimpulan: Pada pasien dengan leptospirosis hepatomegali dan hiperekoik baik dengan tingkat SGOT dan SGPT yang tinggi dan yang biasanya USG. Gangguan peningkatan kadar SGOT / SGPT pada pasien leptospirosis di RSUP dr. Kariadi Semarang juga dapat memiliki efek pada hasil ultrasonografi hepar, karena ada lebih banyak kelainan hati daripada hati normal. Kata kunci: ultrasonografi, hepatomegali, hiperekoik, hati