Latar Belakang: Karsinoma ovarium epitelial merupakan penyebab utama kematian karena kanker ginekologi, yang menyumbang 90% dari semua keganasan ovarium. Sekitar 70% pasien karsinoma ovarium epitelial dapat berkembang menjadi residif. Kadar glukosa darah yang tinggi merupakan salah satu faktor prognosis yang buruk pada pasien kanker. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan kadar glukosa darah sewaktu yang tinggi sebagai faktor risiko kejadian residif pada pasien karsinoma ovarium epitelial di RSUP dr. Kariadi. Metode: 60 pasien yang telah didiagnosis sebagai karsinoma ovarium epitelial di RSUP dr. Kariadi dibagi menjadi 2 kelompok: 30 pasien pada kelompok residif dan 30 pasien pada kelompok non-residif berdasarkan evaluasi setelah menyelesaikan siklus kemoterapi. Data yang dianalisis meliputi usia saat terdiagnosis, lokasi tumor, kadar Ca-125, subtipe histologi, kadar gula darah sewaktu (GDS) sebelum operasi dan hubungannya dengan kejadian residif. Hasil: Tidak terdapat perbedaan yang bermakna dalam usia saat diagnosis, lokasi tumor dan subtipe histologis diantara kedua kelompok. Namun, kelompok pasien residif memiliki kadar Ca-125 yang lebih tinggi secara bermakna dibandingkan kelompok pasien non-residif (327,8 ± 250,5 vs 183,5 ± 212,1; p = 0,01). Rerata kadar GDS pada kelompok pasien residif juga lebih tinggi secara bermakna daripada kelompok non-residif (150,5 ± 79 vs 110,8 ± 31,1; p = 0,006). Pasien dengan kadar GDS > 110 mg/dl memiliki resiko 3 kali lipat untuk menjadi residif secara bermakna dengan tingkat kepercayaan 95%. Kesimpulan: Rerata kadar GDS pada kelompok pasien residif lebih tinggi secara bermakna dibanding kelompok pasien non-residif. Pasien dengan kadar GDS > 110 mg/dl memiliki resiko 3 kali lipat untuk menjadi residif Kata Kunci: Kadar GDS, Residif, Karsinoma Ovarium Epitelial
Pendahuluan Spondylitis TB (Pott's disease) adalah salah satu penyebab Tuberculosis ekstrapulmonal tersering pada negara berkembang. Meskipun cukup sering ditemukan dan memiliki frekuansi morbiditas jangka panjang yang tinggi, terkadang tuberculosis spinal cukup sulit didiagnosis karena sering menyerupai penyakit lain. Pada banyak kasus, perbedaan klinis antara Spondylitis TB( Pott's disease) dengan tumor extradural tidak jelas. Biopsi adalah Gold standar untuk penegakkan diagnosis akhir. Salah satu modalitas lain yang dapat digunakan dalam menegakan diagnosis spondylitis TB dan Tumor adalah dengan MRI. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui perbedaan gambaran antara Spondylitis TB dengan Tumor extradural Metode Penelitian ini merupakan penelitian observasional deskriptif, dengan kriteria inklusi penelitian pasien yang didiagnosis kelainan extradural berdasarkan MRI, dilakukan tindakan operasi, tercatat secara lengkap dalam buku catatan tindakan operasi di Bagian Bedah Saraf RSUP Dr Kariadi Semarang periode September 2015-Agustus 2016. Hasil Penelitian Terdapat 12 kasus kelainan ekstradura di RSUP Dr. Kariadi Semarang-Jawa Tengah dalam dalam periode september 2015-agustus 2016. Dengan 3 (25%) pasien didiagnosis spondylitis TB dan 9(75%) adalah tumor extradural. Kelainan vertebra pada pasien dengan spondylitis TB terdapat pada diskus dan segmen anterior vertebra, sedangkan pada tumor extradural kelainan ditemukan pada segment anteroposterior. Kesimpulan : MRI adalah salah satu modalitas yang dapat digunakan untuk membedakan kelainan vertebra merupakan kasus spondylitis atau kelainan extradural Kata kunci : Spondylitis TB , tumor ekstradura, Magnetic Resonance Imaging
Latar belakang : Salah satu modalitas terapi luka bakar adalah dengan silver sulfadiazine (SSD) topikal. Saat ini, upaya untuk menambahkan komponen SSD dengan obat topikal herbal mulai berkembang. Moringa oleifera (MO) merupakan tanaman herbal yang memiliki efek antimikroba dan antiinflamasi, sehingga diharapkan dapat mempercepat penyembuhan luka bakar. Tujuan : Membuktikan efektifitas ekstrak etanolik daun Moringa oleifera terhadap tingkat transudasi dan jumlah sel inflamasi pada luka bakar tikus wistar. Metode : Desain penelitian ini adalah “Randomized post test with control group”. Populasi studi menggunakan 24 ekor tikus wistar jantan yang diinduksi luka bakar dan dibagi secara acak dalam empat kelompok dengan diberi obat topikal 1x sehari selama 10 hari. Kelompok perlakuan meliputi : I (ekstrak daun MO 10%), II (SSD + ekstrak daun MO 10%), III (SSD) dan IB (vehiculum murni). Transudasi dinilai secara makroskopis, sedangkan sebukan PMN dan makrofag dinilai secara mikroskopis dengan pengecatan Hematoxylin-Eosin. Data dianalisis dan diolah menggunakan uji hipotesis One way Anova-Post Hoc Bonferoni, Kruskal Wallis-Mann Whitney, dan uji korelasi Spearman dan Pearson dengan program SPSS 25.0. Hasil : Transudasi pada kelompok I, II dan II mengalami penurunan yang bermakna dibandingkan kelompok IV (P=0,031; 0,011; 0,031). Penurunan sebukan PMN yang bermakna didapatkan pada kelompok I dibandingkan kelompok IV (p=0,028). Perbedaan bermakna juga didapatkan pada sebukan makrofag antara kelompok II dibandingkan kelompok IV (p=0,000). Transudasi dan sebukan PMN, serta sebukan PMN dan sebukan makrofag pada penelitian ini memiliki korelasi positif yang kuat (p=0,001). Kesimpulan : Ekstrak etanolik daun Moringa oleifera terbukti efektif dalam menurunkan tingkat transudasi dan jumlah sel inflamasi pada luka bakar tikus wistar. Kata kunci : Moringa oleifera, silver sulfadiazine, luka bakar, transudasi, sebukan polimorfonuklear, sebukan makrofag
Latar belakang : Luka bakar banyak menyebabkan kecacatan. Silver sulfadiazine (SSD) sering digunakan untuk pengobatan luka bakar. Moringa oleifera (MO) merupakan tanaman herbal yang dapat mempercepta penyembuhan luka. Tujuan : Membuktikan efektifitas ekstrak etanolik daun Moringa oleifera terhadap angiogenesis dan persentase epitelisasi pada luka bakar tikus wistar. Metode : Desain penelitian ini adalah “Randomized post test with control group”. Populasi studi menggunakan 24 ekor tikus wistar jantan yang diinduksi luka bakar dan dibagi secara acak dalam empat kelompok dengan diberi obat topikal 1x sehari selama 10 hari. Kelompok perlakuan meliputi : I (ekstrak daun MO 10%), II (SSD + ekstrak daun MO 10%), III (SSD) dan IV (kontrol negatif). Ekspresi VEGF dinilai dengan Allred score dan Kruskal Wallis . Jumlah kapiler pembuluh darah baru dinilai dengan pengecatan Hematoxylin-Eosin dan uji One Way ANOVA. Persentase epitelisasi dinilai makroskopis dan uji KruskaWallis. Hubungan antar variabel dinilai dengan uji Spearman. Hasil : Ekspresi VEGF pada semua kelompok tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p=0,550). Peningkatan jumlah kapiler pembuluh darah baru yang bermakna didapatkan pada kelompok I dibandingkan dengan III dan IV (p=0,001; 0,000) dan kelompok II dibandingkan kelompok III dan IV (p=0,000; 0,000). Peningkatan bermakna juga didapatkan pada persentase epitalisasi antara kelompok I dengan III dan IV (p=0,042; 0,011) dan kelompok II dengan IV (p=0,014). Terdapat hubungan positif antar jumlah kapiler pembuluh darah baru dan persentase epitelisasi (p=0,001) dengan korelasi kuat (rho=0,662). Kesimpulan : Ekstrak etanolik daun Moringa oleifera terbukti efektif dalam meningkatkan jumlah kapiler pembuluh darah baru dan persentase epitelisasi luka bakar tikus wistar. Kata kunci : Moringa oleifera, silver sulfadiazine, ekspresi VEGF, angiogenesis
Latar Belakang: Operasi ginekologi onkologi merupakan prosedur operasi yang menimbulkan nyeri pascaoperasi dengan nilai VAS 7-8 sehingga diperlukan manejemen nyeri yang adekuat. Analgetik epidural merupakan analgetik pilihan yang dipakai hingga saat ini Belum ada penelitian yang mengevaluasi perbandingan efektivitas oksikodon dan fentanyl sebagai adjuvan bupivakain epidural pada pascaoperasi ginekologi onkologi di Indonesia dan khususnya di RSUP dr Kariadi Semarang. Tujuan: Membandingkan efektivitas dan efek samping antara oksikodon dengan fentanyl sebagai adjuvan bupivakain epidural untuk analgetik pada pascaoperasi laparotomi ginekologi onkologi. Metode: Sebanyak 42 pasien yang menjalani operasi ginekologi onkologi dimasukkan dalam penelitian randomized, prospectif, double-blind, controlled trial ini. Pasien dibagi menjadi dua grup : grup O mendapatkan aduvan oksikodon melalui infus epidural sebesar 0,07mg/jam setelah operasi, selama 48 jam; dan grup F mendapatkan Fentanyl melaui infus epidural sebesar 1mcg/jam, selama 48 jam. Dilakukan pencatatan Skor NRS, tekanan darah sistolik diastolik, laju nadi dan laju napas, efek samping serta kebutuhan rescue analgetik Hasil: Kedua grup sebanding dalam hal skor NRS, tekanan darah sistol diastol, laju nadi dan laju napas, efek samping serta kebutuhan rescue analgetik. Terjadi efek samping mengantuk dan pusing namun secara statistik tidak ada perbedaan yang bermakna. Simpulan: Penggunaan epidural oksikodon sama efektifnya dibandingkan penggunaan fentanyl epidural. Skala nyeri NRS pada kelompok oksikodon epidural tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan kelompok fentanyl epidural. Efek samping pada kelompok pasien fentanyl epidural tidak terbukti lebih banyak dibandingkan dengan kelompok pasien oksikodon epidural. Kata Kunci : epidural, oksikodon, fentanyl, bupivakain, adjuvan
Latar Belakang: Operasi ginekologi onkologi menimbulkan nyeri pasca operasi yang berat dengan nilai VAS 7-8 sehingga diperlukan manajemen nyeri yang adekuat, salah satunya dengan injeksi analgesia epidural kontinyu menggunakan anestesi lokal bupivacain dengan adjuvan opioid oksikodon atau morfin. Tujuan: Membandingkan efektivitas dan efek samping antara oksikodon dengan morfin sebagai adjuvan bupivakain epidural untuk analgetik pada pasca operasi laparotomi ginekologi onkologi. Metode: Sebanyak 42 pasien yang menjalani operasi ginekologi onkologi dimasukkan dalam penelitian randomized, double-blind, controlled trial ini. Pasien dibagi menjadi dua grup : grup O mendapatkan aduvan oksikodon melalui infus epidural sebesar 0,07 mg/jam setelah operasi, selama 48 jam; dan grup M mendapatkan morfin melaui infus epidural sebesar 0,1 mg/jam, selama 48 jam. Dilakukan pencatatan Skor NRS, tekanan darah sistol diastol, laju nadi dan laju napas, efek samping serta kebutuhan rescue analgetik Hasil: Kedua grup sebanding dalam hal skor NRS, tekanan darah sistol diastol, laju nadi dan laju napas, efek samping serta kebutuhan rescue analgetik. Terjadi efek samping mual, pruritus, mengantuk dan pusing namun secara statistik tidak ada perbedaan yang bermakna. Kesimpulan: Penggunaan epidural oksikodon sama efektifnya dibandingkan penggunaan morfin epidural. Skala nyeri NRS pada kelompok oksikodon epidural tidak berbeda dibandingkan dengan kelompok morfin epidural. Efek samping pada kelompok pasien morfin epidural tidak terbukti lebih banyak dibandingkan dengan kelompok pasien oksikodon epidural. Kata Kunci : epidural, oksikodon, morfin, bupivakain, adjuvan
Latar Belakang: Anestesi terpillih pada prosedur operasi pasien pediatri adalah general anestesi dengan agen inhalasi sevofluran. Efek samping sevoflurane yang sering muncul adalah agitasi pasca anestesi.. Beberapa obat sering digunakan untuk mengurangi agitasi pasca anestesi dengan agen inhalasi sevoflurane, diantaranya klonidin dan dexmedetomidine. Tujuan: Membandingkan pengaruh pemberian klonidin dan dexmedetomidin intravena dosis tunggal sebelum ekstubasi terhadap insiden agitasi dan nyeri saat pulih sadar dari anestesi umum pada pasien pediatrik yang menjalani prosedur pembedahan dengan anestesi umum dengan gas inhalasi sevofluran. Metode: Dilakukan penelitian eksperimental dengan rancangan randomized, double-blind, controlled trial pada 48 pasien pediatri sebagai subjek penelitian yang dibagi menjadi 2 kelompok secara acak masing-masing kelompok terdiri dari 24 anak yang menjalani operasi labioplasti dengan anestesi umum inhalasi menggunakan agen inhalasi sevoflurane. Kelompok I mendapat perlakuan injeksi klonidin 2 mg/kgbb 15 menit sebelum agen inhalasi dimatikan. Kelompok II mendapat dexmedetomidin 0,3 mcq/kgbb 15 menit sebelum agen inhalasi dimatikan. Dievaluasi kejadian agitasi dengan membandingkan skor PAEDS pre operasi, 1 menit post ekstubasi, saat mulai pulih sadar, dan 15 menit post ekstubasi serta skor FLACC saat mulai pulih sadar dan 15 menit post ekstuubasi. Selain itu juga menilai waktu mulai pulih sadar, waktu tercapainya Stewart Score ≥5 tanpa nilai 0 dan PAEDS ≤10, Stewart score saat pasien kembali ke ruangan. Hasil: Skor PAEDS 1 menit post ekstubasi kelompok I 8,21 ± 0,83 kelompok II 7,96 ± 0,75 (p=0,827). Skor PAED pulih sadar kelompok I 8,96 ± 1,78 kelompok II 8,46 ± 1,25 (p=0,306). Skor PAED 15 menit post ekstubasi kelompok I 8,42 ± 0,78 kelompok II 8,00 ± 0,66 (p=0,065). Skor FLACC sadar kelompok I 2,75 ± 1,11 kelompok II 2,21 ± 0,88 (p=0,024). Skor FLACC 15’ post ekstubasi kelompok I 2,29 ± 0,55 kelompok II 2,00 ± 0,42 (p=0,041). Kesimpulan: Pemberian dexmedetomidin intravena sama efektif dengan klonidin dalam menurunkan angka kejadian agitasi, emergence delirium dan nyeri paska anestesi umum dengan agen sevofluran tetapi hanya berbeda bermakna pada perbedaan nyeri. Kata Kunci : Sevoflurane, Agitasi, PAEDS Score, FLACC Score, klonidin, Dexmedetomidine
Latar Belakang: Pasien yang mendapatkan bantuan pernafasan dengan mesin ventilator sebagian besar disebabkan oleh keadaan cidera paru akut (Acute Lungs Injury / ALI) maupun karena sindrom gangguan pernafasan akut (Acute Respiratory Distress Syndrome / ARDS) yang memiliki angka insiden 20-75 kasus/100.000 orang/tahun dengan angka mortalitas 30-75%. Hal ini disebabkan oleh karena terjadinya penurunan fungsi oksigenasi paru yang disebabkan oleh terjadinya gangguan hemostatik yang bersifat lokal pada paru yakni berupa peningkatan proses koagulasi dan penurunan fibrinolisis sehingga akan terjadi penumpukan fibrin dalam parenkim paru. Tujuan: Melihat efektivitas dari penggunaa inhalasi heparin terhadap fungsi oksigenasi paru yang tercermin dari nilai rasio PaO2/FiO2 pada pasien dengan bantuan mesin ventilator di ruang perawatan intensif. Metode: Dilakukan penelitian eksperimental dengan rancangan randomized, single-blind, controlled trial pada 16 pasien dewasa dengan bantuan mesin ventilator dan nilai rasio PaO2/FiO2 kurang dari 300 sebagai subjek penelitian yang dibagi menjadi 2 kelompok secara acak masing-masing kelompok terdiri dari 8 pasien. Kelompok K mendapat terapi standar. Kelompok P mendapat terapi standar ditambahkan dengan 1 kali pemberian inhalasi heparin 5000 IU. Dievaluasi perubahan nilai PaO2/FiO2 setelah 2 jam pemberian inhalasi heparin 5000 IU. Selain itu juga dinilai perubahan terhadap nilai PTT dan aPTT setelah 2 jam pemberian inhalasi heparin 5000 IU. Hasil: Nilai rasio PaO2/FiO2 awal dan akhir untuk kelompok K 172,19 ± 39,87 dan 183,70 ± 34,42 (p=0,052). Nilai rasio PaO2/FiO2 awal dan akhir pada kelompok K 215,59 ± 42,17 dan 234,71 ± 50,93 (p=0,501). Nilai PTT awal dan akhir kelompok K 10,95 ± 0,33 dan 10,95 ± 0,33 (p=1,000). Nilai PTT awal dan akhir kelompok P 13,38 ± 1,54 dan 13,99 ± 1,19 (p=0,109). Nilai aPTT awal dan akhir kelompok K 32,11 ± 0,61 dan 31,99 ± 0,65 (p=0,409). Nilai aPTT awal dan akhir kelompok P 34,24 ± 5,48 dan 34,98 ± 5,19 (p=0,348). Kesimpulan: Pemberian inhalasi heparin 5000 IU dapat membuat perubahan terhadap nilai rasio PaO2/FiO2 namun tidak berbeda secara bermakna. Pemberian inhalasi heparin tidak menyebabkan perubahan yang bermakna terhadap nilai PTT dan aPTT. Kata Kunci : ARDS, ALI Inhalasi, Heparin, PaO2/FiO2, PTT, aPTT
Latar belakang: Bedah jantung terbuka merupakan salah satu jenis operasi dengan trauma yang cukup besar, dalam pelaksanaannya menggunakan mesin jantung paru. Penggunaan mesin jantung paru menyebabkan respon inflamasi yang besar dan ditandai dengan leukositosis (neutrophil). Salah satu cara untuk menekan produksi neutrofil ini dengan menggunakan deksametason. Dosis deksametason dengan teknik pemberian premedikasi yang sering digunakan yaitu 1 mg/kgbb dan 2 mg/kgbb. Tujuan: Membandingkan deksametason dengan dosis 1 mg/kgbb dan dosis 2 mg/kgbb sebagai premedikasi terhadap jumlah neutrofil (batang dan segmen) post CPB pada operasi jantung Metode: Penelitian ini merupakan percobaan klinik secara acak yang mengikut sertakan 18 pasien bedah jantung ganti katup dengan general anestesi dan menggunakan mesin jantung paru. Sampel dibagi 2, antara pemberian deksametason dengan dosis 1 mg/kgbb dengan dosis 2 mg/kgbb menggunakan teknik premedikasi (obat tersebut dimasukkan setelah induksi). Dengan membandingkan jumlah neutrophil (batang dan segmen) pada masing-masing dosis deksametason antara preoperasi dan postoperasi. Hasil: Pada penelitian ini jumlah neutrofil batang post operasi pada pemberian deksametason 1 mg/kgBB didapatkan peningkatan yang bermakna (p = 0,048),. Sedangkan pada pemeriksaan post operasi untuk pemberian deksametason 2 mg/kgBB mengalami peningkatan yang tidak bermakna (p = 0,257). Untuk neutrofil segmen terjadi peningkatan bermakna baik pada premedikasi 1 mg/kgbb (p = 0,001) maupun pada premedikasi 2 mg/kgBB (p =