Pendahuluan. Penyakit HIV/AIDS telah menimbulkan masalah fisik, sosial, dan emosional terhadap individu yang terinfeksi dan pasangannya. Pasangan ODHA memiliki prevalensi mengalami gejala depresi dengan keluhan fisik, yaitu sebesar 12,7%. Terdapat hubungan antara cinta, komunikasi dan keintiman fisik terhadap kepuasan dalam perkawinan. Depresi pada pasangan ODHA berhubungan dengan kepuasaan terhadap perkawinan. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis adanya perbedaan kepuasan perkawinan pasangan ODHA HIV negatif yang mengalami gejala depresi dengan pasangan ODHA yang tidak mengalami gejala depresi. Metode. Desain penelitian adalah cross-sectional. Sampel adalah 52 orang pasangan sah ODHA usia 18-60 tahun yang menjalani rawat jalan di Poli Infeksi Tropis RSUP. DR. Kariadi Semarang dan memenuhi kriteria inklusi penelitian. Teknik sampling dengan metode consecutive sampling. Status depresi diukur dengan instrumen Beck Depression Inventory (BDI) dan kepuasan perkawinan diukur dengan ENRICH Marital Satisfaction Scale (EMS). Pengolahan dan analisis data menggunakan program SPSS. Uji analisis hubungan menggunakan uji chi-square. Hasil. Subjek penelitian yang tidak mengalami depresi 78,8% dan yang mengalami depresi 21,2% terdiri dari ringan 9,6%, sedang 11,6% dan berat 0%. Tidak didapatkan subjek penelitian yang tidak puas terhadap perkawinannya, 55,8% sangat puas dan 44,2% puas. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara kepuasan perkawinan pasangan ODHA HIV negatif disertai gejala depresi dan tanpa disertai gejala depresi (p=0,595). Terdapat perbedaan bermakna antara kepuasan perkawinan pasangan ODHA HIV negatif disertai gejala depresi dan tanpa disertai gejala depresi dalam komunikasi (p=0,021), resolusi konflik (p=0,025), penggunaan aktivitas santai/ luang (p=0,025) dan hubungan seks (p=0,007). Simpulan. Tidak terdapat perbedaan antara kepuasan perkawinan pasangan ODHA HIV negatif disertai gejala depresi dan tanpa disertai gejala depresi. Terdapat perbedaan bermakna antara kepuasan perkawinan pasangan ODHA HIV negatif disertai gejala depresi dan tanpa disertai gejala depresi dalam komunikasi, resolusi konflik, penggunaan aktivitas santai/ luang dan hubungan seks. Kata Kunci: Depresi, Kepuasan perkawinan, Pasangan ODHA
Latar belakang : Adiponektin memiliki kemampuan sebagai antiangiogenesis dan antitumor melaui regulasi siklus sel, apoptosis dan inhibitor neovaskularisasi. Rendahnya adiponektin berhubungan dengan kejadian kanker. Mieloma multipel (MM) merupakan kanker hematologi yang memproduksi monoklonal immunoglobulin. Melphalan prednison (MP) adalah regimen standar pengobatan MM yang tidak memenuhi syarat cangkok sumsum tulang. Kurkumin memiliki efek inhibitor adipogenesis. Belum ada penelitian mengenai hubungan penambahan kurkumin terhadap peningkatan kadar adiponektin pada pasien MM. Tujuan penelitian : Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh penambahan kurkumin terhadap peningkatan kadar adiponektin pada pasien MM yang mendapat regimen MP. Metode penelitian : Penelitian dilakukan di RS. Dr. Kariadi Semarang antara Februari 2016 – Mei 2017. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan Randomized Pre-test Post-test Control Group Design, mono blinding terhadap 24 pasien MM, yang diambil secara consecutive sampling lalu dibagi menjadi kelompok perlakuan (n=12) dan kontrol (n=12). Kelompok perlakuan mendapat melphalan 4 mg/m2, prednison 40mg/m2 selama 7 hari dan kurkumin 8 gram/hari selama 28 hari sedangkan kelompok kontrol mendapatkan MP dan plasebo. Penilaian dilakukan preintervensi dan 4 bulan setelah intervensi. Uji normalitas menggunakan Saphiro- Wilk dan pengaruh penambahan kurkumin terhadap peningkatan adiponektin dengan Independent T test, Mann whitney U test, chi-square. Hasil : Demografi dan karakteristik dasar populasi penelitian antara dua kelompok tidak didapatkan perbedaan bermakna termasuk kadar adiponektin awal. Delta adiponektin kelompok perlakuan mengalami peningkatan signifikan dibandingkan kelompok kontrol (2938,54±5168,01;3068,0;-4491-15592 dibanding 52,13±3350,16; -383,5; - 6815,30-6578 dengan p < 0,050). Simpulan : Penambahan kurkumin berpengaruh terhadap peningkatan kadar adiponektin pada pasien MM yang mendapat regimen MP. Kata kunci : Mieloma Multipel, Kurkumin, Adiponektin
Latar Belakang: Ulkus kaki diabetes merupakan komplikasi yang berat dan sering terjadi pada pasien diabetes melitus. Pasien dengan ulkus kaki diabetes mayoritas menderita kekurangan gizi, yang berkaitan dengan status mikronutrien metabolik yang tidak tepat, perubahan dapat mempengaruhi proses penyembuhan luka yang terganggu. Pada berbagai fungsi penting mikronutrien dalam organisme hidup, pengetahuan tentang status dan hubungan mikronutrien pada pasien dengan ulkus kaki diabetes sangat diperlukan. Penelitian ini meneliti hubungan antara status mikronutrien terpilih (vitamin A, vitamin E, selenium, magnesium, dan zink) pada pasien ulkus kaki diabetes. Tujuan: Mengetahui status mikronutrien pada berbagai derajat ulkus kaki diabetes. Material dan Metode: Penelitian dilakukan di RSUP Dr. Kariadi Semarang antara November-Desember 2018. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan metode cross sectional terhadap 28 pasien ulkus kaki diabetes dengan berbagai derajat berdasarkan Infectious Diseases Society of America (IDSA). Semua pasien dilakukan pemeriksaan HbA1c dan status mikronutrien, yaitu vitamin A, vitamin E, selenium, magnesium, dan zink. Hasil pemeriksaan didapatkan karakteristik umum subyek penelitian, dilakukan uji normalitas menggunakan Kolmogorov-Smirnov dan Shapiro-Wilk, hubungan status mikronutrien pada berbagai derajat ulkus kaki diabetes dianalisis dengan Spearman’s. Hasil: Karakteristik umum subyek penelitian usia sampel bervariasi 40-68 tahun dengan ratarata usia 54,2±6,7 tahun. Subyek penelitian memiliki onset diabetes melitus 3-7 tahun dengan rata-rata 4,5±1,1 tahun. Hasil pemeriksaan kadar vitamin A, vitamin E, selenium, magnesium, dan zink didapatkan median yang cenderung menurun dengan meningkatnya derajat ulkus kaki diabetes. Tidak terdapat hubungan tingkat pendidikan, jenis kelamin, kebiasaan merokok, hipertensi, umur dan lama menderita diabetes melitus terhadap derajat ulkus kaki diabetes dengan p > 0,05. Tidak terdapat hubungan antara kadar HbA1c terhadap status mikronutrien (kadar zink, magnesium, selenium, vitamin A dan vitamin E, dengan p > 0,05. Tidak didapatkan korelasi antara kadar zink, magnesium, selenium dan vitamin A terhadap derajat ulkus kaki diabetes dengan p > 0,05. Terdapat korelasi dengan arah negatif yang bermakna antara vitamin E terhadap derajat ulkus dengan p = 0,007 (p < 0,01). Kesimpulan: Terdapat hubungan antara kadar vitamin E dengan derajat ulkus kaki diabetes, yaitu semakin tinggi kadar vitamin E, semakin rendah derajat ulkus kaki diabetes dan tidak terdapat hubungan antara kadar zink, magnesium, selenium, dan vitamin A terhadap derajat ulkus kaki diabetes. Kata Kunci: status mikronutrien, ulkus kaki diabetes
Latar Belakang : Daun salam (Eugenia polyantha), seledri (Apium graveolens), dan biji jinten hitam (Nigella sativa) merupakan ekstrak yang pada penelitina preklinis dapat menurunkan asam urat serum, meningkatkan eksresi asam urat urin. Alopurinol merupakan penghambat enzim xantin oksidase yang juga dapat menekan peningkatan dari hsCRP pada penderita hiperurisemia. Tujuan: Untuk mengetahui efek pemberian ekstrak herbal dalam menurunkan asam urat serum, meningkatkan ekskresi asam urat urin dan menurunkan kadar hsCRP pada penderita hiperurisemia dibandingkan alopurinol. Metode: Penelitian ini adalah double blind randomised controlled trial (RCT). Subyek penelitian adalah penderita hiperurisemia usia 18 tahun. Sampel dibagi menjadi kelompok yang mendapatkan ekstrak herbal 3000 mg/hari dan kelompok perlakuan yang mendapatkan alopurinol 100 mg/hari selama 4 minggu. Pemeriksaan kadar asam urat serum, asam urat urin sewaktu dan hsCRP dilakukan minggu ke-0 dan minggu minggu ke-4. Hasil: Sebanyak 36 penderita hiperusemia yakni 19 subjek mendapat ekstrak herbal dan 17 subjek mendapatkan alopurinol. Penurunan kadar asam urat serum pada kelompok ekstrak herbal sebesar 0,65±0,917;0,70;-0,70-3,00 (p=0,007), sedangkan pada kelompok alopurinol 1,29±0,629;1,4;0,00-2,30 (p=0,000). Peningkatan ekskresi asam urat urin pada kelompok ekstrak herbal -31,5±126,25;0,0;-541,0-51,0 (p=0,433), sedangkan pada kelompok alopurinol -24.3 ±44,11;-14,0;-125,0-33,2 (p=0,037). Penurunan hsCRP pada kelompok ekstrak herbal 0,08±0,639;0,01;-1,55-2,05 (p=0,658), sedangkan kelompok alopurinol -0,33±0,806;-0,01;-2,73-0,31(p=0,256). Kesimpulan: Penurunan kadar asam urat serum bermakna pada penderita hiperurisemia yang mendapatkan ekstrak herbal maupun alopurinol, namun penurunan pada penderita yang mendapatkan alopurinol lebih besar dibandingkan ekstrak herbal. Eksresi asam urat urin menurun pada penderita yang mendapatkan alopurinol, sedangkan penderita yang mendapat ekstrak herbal tidak meningkat. Tidak terdapat penurunan kadar hsCRP pada penderita yang mendapatkan ekstrak herbal maupun alopurinol. Kata kunci : Asam Urat Serum, Asam Urat Urin, hsCRP, Alopurinol, Eugenia polyantha, Apium graveolen, Nigella sativa
Latar belakang: Prevalensi koinfeksi hepatitis B-HIV cukup tinggi di Indonesia mencapai 15%, disebabkan adanya kesamaan cara penularan dan Indonesia merupakan negara endemis hepatitis B. Penyakit hati menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien koinfeksi hepatitis B-HIV. Tujuan : Penelitian ini bertujuan mengetahui karakteristik klinis dan derajat fibrosis hati pasien koinfeksi hepatitis B-HIV di RSUP Dr. Kariadi. Metode: Penelitian deskriptif analitik berdasarkan data sekunder dari rekam medis pasien koinfeksi hepatitis B-HIV dan monoinfeksi hepatitis B di instalasi rawat inap dan rawat jalan di RSUP Dr. Kariadi periode Januari 2016 sampai September 2018. Hasil: Subjek penelitian: 35 pasien koinfeksi VHB-HIV dan 35 pasien monoinfeksi hepatitis B. Proporsi penderita VHB-HIV terbanyak laki-laki, umur 25-35 tahun, homoseksual. Jumlah virus DNA VHB pada koinfeksi terbanyak dengan nilai 10-103 berbeda bermakna dengan monoinfeksi (63.2% vs 8.6%, p= < 0,00). Fase infeksi kronik hepatitis B tersebar merata masing-masing sebesar 30% pada fase infeksi HBeAg positive chronic infection, HbeAg positive chronic hepatitis, dan HBeAg negative chronic infection. Status HBeAg positif lebih banyak pada koinfeksi dibandingkan monoinfeksi (61.9% vs 34.3%, p=0,04). Fibrosis ringan lebih banyak pada koinfeksi dibandingkan monoinfeksi ( 61.1% vs 25.7%, p=0.038). Kesimpulan : Karakteristik klinis pasien koinfeksi hepatitis B-HIV : mayoritas jenis kelamin laki-laki, umur 25-35 tahun, dengan faktor risiko penularan HIV terbanyak homoseksual. .Jumlah virus DNA VHB pada koinfeksi lebih banyak didapatkan nilai yang rendah. Fase infeksi kronik hepatitis B pada koinfeksi tersebar merata. HBeAg positif banyak didapatkan pada koinfeksi. Derajat fibrosis ringan lebih banyak didapatkan pada koinfeksi. Kata kunci: Koinfeksi hepatitis B-HIV, karakteristik klinis, derajat fibrosis hati
Pendahuluan: Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) masih menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia yang dapat berdampak pada penurunan kualitas sumber daya manusia. GAKY terutama disebabkan karena faktor lingkungan di mana tanah dan air suatu daerah kurang mengandung yodium. Wanita Usia Subur (WUS) merupakan salah satu populasi yang rawan mengalami GAKY. Faktor utama yang bertanggung jawab terhadap defisiensi yodium adalah pasokan yodium yang rendah dalam diet. Kecukupan yodium dapat diukur melalui ekskresi yodium urine (EYU). Kadar Thyroid Stimulating Hormone (TSH) dan Free Thyroxine (FT4) dapat menggambarkan fungsi tiroid seseorang. Rekomendasi American Thyroid Association menyatakan bahwa pemeriksaan kadar TSH dan free T4 secara simultan merupakan strategi dalam diagnosis fungsi tiroid. Tujuan: Untuk mengukur hubungan antara kecukupan yodium berdasarkan nilai ekskresi yodium urine dengan fungsi tiroid Material dan Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain cross sectional. Lokasi penelitian di Desa Sengi, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang. Sebanyak 140 wanita usia 18 – 45 tahun terlibat dalam penelitian ini, yang diukur nilai EYU, kadar FT4 dan TSH. Kadar yodium dalam urine yang diperiksa dengan metode Ammonium Persulphate Digestion Microplate (APDM), sample darah pasien diperiksa kadar FT4 dan TSHs dengan metode ELISA di laboratorium GAKY FK UNDIP Semarang. Dilakukan analisis univariat dan hubungan antara ekskresi yodium urine dengan fungsi tiroid dianalisis dengan uji korelasi Pearson. Hasil Penelitian: Median EYU subjek penelitian sebesar 197μg/L dengan proporsi yang mengalami defisiensi yodium sebesar 18,5%, dan excess sebesar 11,4%. Sebanyak 95,8% subyek penelitian memiliki fungsi tiroid eutiroid, 2,1% hipotiroid subklinis, dan 2,1% hipertiroid subklinis. Tidak terdapat hubungan bermakna antara Ekskresi Yodium Urine dengan Fungsi Tiroid Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan bermakna antara Ekskresi Yodium Urine dengan Fungsi Tiroid ( p=0,558 ) Kata kunci: yodium, ekskresi yodium urin, fungsi tiroid, wanita usia subur
Latar belakang. Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) merupakan masalah kesehatan yang penting di Indonesia. Program penanggulangan GAKY saat ini masih menitikberatkan pada penggunaan garam beryodium. Wanita Usia Subur (WUS) merupakan salah satu populasi yang rawan mengalami GAKY. Total Goiter Rate dapat digunakan untuk menentukan endemisitas GAKY di suatu daerah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pola konsumsi yodium dengan volume kelenjar tiroid pada wanita usia subur di Desa Sengi Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang pasca erupsi Merapi 2010. Metode. Penelitian observasional cross-sectional ini dilakukan pada 140 wanita usia subur, berusia 18-45 tahun di Desa Sengi Kecamatan Dukun Kabupaten Magelang. Kadar yodium garam rumah tangga, kadar yodium dalam air tanah, asupan yodium dari makanan, asupan yodium dari garam, serta konsumsi zat goitrogenik diperiksa untuk masing-masing pasien. Kejadian gondok diukur dengan menggunakan USG Tiroid. Data dianalisis dengan uji Kolmogorov Smirnov dan dilanjutkan dengan uji korelasi Spearman. Hasil. Angka TGR dengan USG Tiroid sebesar 7,8%. Rata-rata kadar yodium dalam garam rumah tangga sebesar 28,6 ppm. Cakupan penggunaan garam beryodium sesuai standar (30- 80 ppm) sebesar 36,4%. Jumlah WUS dengan total konsumsi yodium harian
Latar belakang: Penyakit tulang mieloma (myeloma bone disease, MBD) merupakan morbiditas tertinggi pada mieloma multipel (MM). C-terminal telopeptide kolagen tipe-1 (CTX-1) merupakan biomarker yang baik digunakan untuk evaluasi sistem perombakan tulang pada MBD. Kadar CTX-1 yang tinggi ditemukan pada MBD baru, remisi, dan relaps dan menurun pada saat pengobatan. MM merupakan gangguan pada sel plasma yang dicirikan dengan adanya infiltrasi sumsum tulang oleh sel plasma klonal yang mensekresi imunoglobulin monoklonal yang dapat dideteksi di serum dan/atau urine. Melfalan prednison (MP) merupakan regimen standar pengobatan MM yang tidak memenuhi syarat cangkok sumsum tulang. Kurkumin memiliki efek anti inflamasi, antiangiogenesis, antikarsinogenik dan inhibitor osteoklastogenesis. Tujuan penelitian : Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh penambahan kurkumin terhadap kadar CTX-1 pada pasien MM yang mendapat regimen MP. Metode penelitian : Penelitian dilakukan di RSUP. Dr. Kariadi Semarang pada Februari 2016 – Mei 2017. Metode penelitian adalah eksperimental, Randomized Pre-test Post-test Control Group Design, mono blinding terhadap 33 pasien MM yang dibagi menjadi kelompok perlakuan dan kontrol. Kelompok perlakuan mendapat melfalan 4 mg/m2, prednison 40mg/m2 selama 7 hari dan kurkumin 8 gram/hari selama 28 hari. Kelompok kontrol mendapatkan MP dan plasebo. Uji normalitas menggunakan Saphiro-Wilk dengan hasil distribusi normal sehingga dilakukan uji beda antara dua kelompok menggunakan Paired Samples T-test dan dilakukan uji korelasi dengan Chi-square test. Hasil : Selama penelitian dari 17 kelompok perlakuan, 4 meninggal, 1 hilang kontak sedangkan dari 16 kontrol, 3 diantaranya meninggal dan 1 keluar. Rasio laki-laki dengan perempuan 1,3 : 1. Rerata umur subyek penelitian 54,92 tahun pada kelompok perlakuan dan 58,33 kontrol. Lesi litik hampir ditemukan pada semua subyek yaitu 83,3% perlakuan dan 100% kontrol. Hiperkalsemia ditemukan 33,3% pada kelompok perlakuan dan 16,7% kontrol. Subyek pada kedua kelompok mengalami gangguan fungsi ginjal yaitu 58,3% pada kelompok perlakuan dan 83,3 % kontrol. Tidak terdapat perbedaan signifikan pada penambahan kurkumin terhadap penurunan kadar CTX-1 pada kedua kelompok. Simpulan : Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara penambahan kurkumin dengan penurunan kadar CTX-1. Kata kunci : mieloma multipel, myeloma bone disease, kurkumin, CTX-1
Latar Belakang : Infeksi virus hepatitis B (HBV) masih merupakan masalah kesehatan dunia dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Sejak diperkenalkannya pilihan terapi yaitu nuckleos(t)ida analalog (NA) dan peginterferon, hepatitis B menjadi penyakit yang bisa diterapi namun belum dapat disembuhkan. Salah satu tujuan terapi pada penderita hepatitis B adalah tercapainya respon virologi dan histologi Metode: Desain penelitian ini adalah kohort. Subyek penelitian adalah penderita yang menjalani terapi hepatitis B di poliklinik RSUP Dr. Kariadi Semarang. Sampel dibagi menjadi 3 kelompok yang mendapatkan peginterferon, tenofovir disoproxil fumarate dan telbivudin. Penilaian respon histologi dan virologi dilakukan pada 1 tahun terapi pada ketiga kelompok dan penilaian respon virologi pada 3 tahun terapi pada kelompok tenofovir disoproxil fumarate dan telbivudin. Hasil: Sebanyak 229 penderita hepatitis B yang mendapatkan terapi terdiri dari 60 subjek mendapat peginterferon, 62 subjek mendapatkan tenofovir disoproxil fumarate dan 107 subjek mendapatkan telbivudin. Penurunan nilai delta fibroscan tertinggi didapatkan pada kelompok tenofovir disoproxil fumarate 8.5±1.4; 4.1; -12.3-47.3, dari analisis tidak terdapat perbedaan yang bermakna penurunan rata rata nilai delta fibroscan pada ketiga kelompok (p=0.105), namun terdapat perbedaan yang bermakna penurunan rata rata nilai fibroscan pada kelompok tenofovir disoproxil fumarate dan telbivudin (p=0.049). Muatan virus HBV DNA 1 tahun terapi didapatkan paling baik pada kelompok tenofovir disoproxil fumarate yaitu 0.6±1.1; 0,0; 0-7, terdapat perbedaan yang bermakna muatan virus HBV DNA 1 tahun terapi pada kelompok nukleos(t)ida analaog baik tenofovir disoproxil fumarate maupun telbivudin terhadap peg interferon (p