PERBANDINGAN EFEKTIVITAS ANTARA FENTANIL DENGAN KLONIDIN DALAM MENURUNKAN RESPON PERUBAHAN HEMODINAMIK PASCA LARINGOSKOPI DAN INTUBASI ENDOTRAKEAL ABSTRAK Latar Belakang Pengendalian jalan nafas pada anestesi umum dapat dilakukan dengan menggunakan teknik laringoskopi dan intubasi endotrakeal. Laringoskopi dan intubasi endotrakeal dapat menghasilkan rangsangan mekanik dan kimia yang meningkatkan aktivitas simpatoadrenergik yang menyebabkan peningkatan tekanan darah, takikardia dan bahkan aritmia. Berbagai metode farmakologis & non-farmakologis telah digunakan untuk mengurangi respon perubahan hemodinamik terhadap laringoskopi & intubasi endotrakeal. Penggunaan fentanil dan klonidin diharapkan dapat menurunkan perubahan hemodinamik terhadap laringoskopi & intubasi endotreal. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas antara fentanil dengan klonidin dalam menurunkan respon perubahan hemodinamik pasca laringoskopi dan intubasi endotrakeal Metode Dilakukan uji klinis acak tersamar ganda terhadap 48 pasien elektif di IBS RSUP dr Kariadi yang direncanakan laringoskopi dan intubasi endotrakeal serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi penelitian. 48 Subjek penelitian dibagi menjadi 2 kelompok. Kelompok I diberikan premedikasi fentanil 2ug/Kg BB IV dan kelompok II diberikan klonidin I ug/Kg BB IV 5 menit sebelum dilakukan laringoskopi dan intubasi endotrakeal. Pada menit 1. 3 dan ke 5 pasca laringoskopi dan intubasi endotrakeal dilakukan pencatatan tekanan sistolik. tekanan diastolik, Mean Arterial Pressure. dan nadi. Hasil: Premedikasi klonidin Iag/Kg BB IV dapat menurunkan perubahan hemodinamik pasca laringoskopi dan intubasi endotrakeal pada menit 1. 3 dan ke 5 dibandingkan premedikasi fentanil 2ug/Kg BB IV secara signifikan (p
ABSTRAK KARAKERISTIK KLINIK ANEMIA PADA PASIEN HIV/AIDS (STUDI KASUS DI RSUP dr.KARIADI SEMARANG) Dian Mutiara**, Muchlis Achsan Udji Sofro**, Catharina Suharti*** *PPSD 1 Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro / RSUP Dr.Kariadi Semarang ***Sub bagian penyakit Tropik dan Infeksi Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro / RSUP Dr. Kariadi Semarang ***Sub Bagian Hematologi Onkologi Medik Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro / RSUP Dr. Kariadi Semarang Latar Belakang : Anemia merupakan kelainan hematologi yang paling sering didapatkan pada pasien HIV/AIDS. Anemia terbukti sebagai faktor resiko independen moralitas ODHA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik klinik anemia pada pasien HIV/AIDS yang dirawat inap di RSUP dr. Kariadi Semarang. Metode : Penelitian deskripsi berdasarkan data sekunder dari rekam meis penderita HIV/AIDS yang mengalami anemia di Instalasi Rawat Inap RSUP dr.Kariai Semarang selama periode Januari 2018 sampai Desember 2018 Hasil : Didapatkan 170 persien HIV / Aids yang mengalami anemia, (67,6%) laki-laki,(85,3%), usia 21-50 tahun. Sebagaian besar mengalami anemia derajat ringan pada laki-laki (49,6%),umur 50-70 tahun (47,8%), tingkat pendidikan SD(62,5%), CD4>200 sel/mm (80%),stadium IV (51,9%), konifeksi hepatitis B anemia derajat ringan (41,5%). Ditemukan jenis anemia akibat penyakit kronis 42,9%, anemia definisi besi 21,2, anemia zidovudine 7,7%, anemia makrositer 18,8% dan anemia tipe lain% 7,7% Kesimpulan : Derajat animea pasien HIV - AiDSterbanyak anemia ringan, sedangkan jenis anemianya akibat penyakit kronis. Kata Kunci : Anemia, pasien HIV/AIDS
BSTRAK Latar belakang: Bedah jantung terbuka merupakan salah satu jenis operasi dengan trauma yang cukup besar, dalam pelaksanaannya menggunakan mesin Cardiopulmonary Bypass (CPB). Penggunaan mesin CPB menyebabkan respon inflamasi yang besar dan ditandai dengan peningkatan C-Reactive Protein (CRP). cara untuk menekan produksi CRP ini dengan menggunakan deksametason. Dosis deksametason dengan teknik pemberian premedikasi yang Salah satu sering digunakan yaitu 1 mg/kgbb dan 2 mg/kgbb. Tujuan: Membandingkan deksametason dengan dosis mg/kgbb dan dosis 2 mg/kgbb sebagai premedikasi terhadap kadar CRP post CPB pada operasi jantung Metode: Penelitian ini merupakan percobaan klinik mengikutsertakan 18 pasien bedah jantung dengan general anestesi dan menggunakan mesin CPB. Sampel dibagi 2 kelompok, antara pemberian deksametason dosis mg/kgbb dan dosis 2 mg/kgbb menggunakan teknik premedikasi. Membandingkan jumlah CRP pada masing-masing dosis deksametason antara preoperasi dan 6 jam postoperasi. Hasil: Pada penelitian ini kadar CRP post operasi pada pemberian deksametason I mg/kgBB didapatkan perbedaan yang tidak signifikan (p 0,813). Sedangkan pada pemeriksaan post operasi untuk pemberian deksametason 2 mg/kgBB mengalami peningkatan yang tidak signifikan (p 0,115). Perbandingan kadar CRP post operasi pada kelompok deksametason 1 mg/kgbb dengan 2 mg/kgbb didapatkan perbedaan yang tidak signifikan (p 0,596) Simpulan: Pemberian premedikasi deksametason dosis I mg/kgbb mengurangi kejadian inflamasi lebih baik dibandingkan pemberian premedikasi mg/kgbb yang dinilai berdasarkan CRP plasma. Kata kunci: CPB. CRP, deksametason, premedikasi
Latar Belakang: Lebih dari 300 juta prosedur bedah dilakukan di seluruh dunia setiap tahun. Sekitar 5% atau 15 juta prosedur bedah dilakukan dengan teknik anestesi spinal. Bupivakain hidroklorida adalah anestesi lokal aminoasil dan merupakan anestesi lokal yang paling umum digunakan. Ada dua jenis bupivakain yang digunakan yaitu hiperbarik dan isobarik. Perbedaan kepadatan dari dua jenis obat ini diyakini mempengaruhi pola difusi obat tersebut dan dengan demikian menentukan efektivitas, hemodinamik, penyebaran blok, dan efek samping obat Tujuan: Membandingkan efektivitas bupivakain hiperbarik dengan bupivakain isobarik pada pasien yang menjalani operasi abdomen bagian bawah Metode: 48 pasien yang menjalani prosedur operasi elektif ASA I-1I abdomen bagian bawah di RSUP dr. Kariadi yang sesuai dengan kriteria inklusi Dibagi menjadi 2 kelompok; kelompok I mendapatkan bupivakain hiperbarik 0.5 %15 mg dan kelompok II mendapatkan bupivakain isobarik 0.5% 15 mg. Posisi kedua pasien saat dilakukan spinal dalam posisi duduk. Tusukan dilakukan di L3-4. Setelah dilakukan anestesi spinal pasien diposisikan tidur terlentang dengan bantal. Dilakukan pencatatan hemodinamik, ketinggian blok serta efek samping pada menit ke 1, 3, 6,9, 12, 15, dan 30 Hasil: onset dari bupivakain hiperbarik lebih cepat daripada bupivakain isobarik (2,00 versus 5,13 t 0,34 (p 0,001). Durasi kelompok isobarik lebih panjang dibandingkan hiperbarik (180 menit150 menit Ketinggian blok sensoris dan motorik tidak berbeda bermakna (p 0,05). Efek samping berupa mual dan muntah lebih tinggi pada kelompok hiperbarik (p
PENGARUH PENAMBAHAN KURKUMIN TERHADAP KUALITAS HIDUP PASIEN MIELOMA MULTIPEL YANG MENDAPAT MELPHALAN PREDENISON DI RSUP Dr. KARIADI SEMARANG Aninita Roesenda EH*, C Suharti**,Santosa ABSTRAK Latar Belakang : Mieloma multipel (MM) merupakan keganasan sel plasma yang belum dapat disembuhkan. Tujuan terapi MM adalah menontrol praktik, memperpanjang survival, dan meningkatkan kualitas hidup. kurkumin berefek terhaap sitokin pro inflamasi. Belum ada penelitian mengenai efek kurkumin terhadap kualitas hidup pasien MM. Tujuan penelitian: Penelitian ini bertujuan membuktikan pengaruh pemberian kurkumin terhadap kualitas hidup pasien MM yang mendapat regimen MP. Metyode Penelitian : Penelitian RCT terhadap 24 pasien MM dibagi menjadi kelompok perlakuan (n=12) dan kontrol (n=12). Kelompok perlakuan mendapat melphala 4mg/m2, prednison 40mg/m2 (MP) selama 7 hari dan kurkumin 8gram /hari selama 28 hari. Kelompok kontrol mendapatkan MP dan plasebo.n penelitian ini merupakan bagian ari penelitian payung pengaruh Penambahan Kurkumin Terhadap Status Resmi Dan Kesintasan PadaPasien Mieloma Multiple. Evaluasi skor QoL dilakukan paa awal diagnosis dan setelah 4 siklus pengobatan, dengan kuesioner EORTC QLQ-C30 mencakup skor Qol, 5 skor fungsi, dan 9 skor symptom. uji beda antara 2 kelompok dengan Mann-Withney U-Test Hasil : Demografi dan karakeristik dasar populasi penelitian antar dua kelompok tidak didapatkan perbedaan bermakna pada variabel : umur, jenis kelamin, klirens kreatinin , kadar hemoglobin, skor Qol baseline, status pperformans,faktur,lesi titik tulang, infeksi berulang , stadium , dan tingkt pendidikan . skor Qol kelompok perlakuan vs kontrol saat baseline dan akhir 4 siklus adalah 54,92_+8,88 vs 58,33_+10,11:80,55_+1,39 vs 73,61_+8,57:p+ 0,214. skor fungsi peran kelompok perlakuan vs kontrol saat baseline dan akhir 4 siklus adalah 41,66-+3,85 vs 23,61_+3,36; 95,83 _+1,03 vs 76,39_+2,51 ; p = 0,022. Terdapat peningkatan skor fugsi fisik, emosi, kognif, sosial pada kelompok perlakuan dan kontrol yang tidak berbeda bermakna. skor symptom insomnia kelompok perlakuan vs kontrol saat baseline dan akhir 4 siklus adalah 41,67_+3,79 vs 58,33; 9,72_+ vs 25_+1,32: p=0,017. terdapat penurunan skor symptom lelah , mual muntah, nyeri, dyspneu, penurunan nafsu makan, konstipasi , diare, konsultan finansial pada kelompokj perlakuan dan kontrol yang tidak berbeda bermakna. Kesaimpulan : penambahan kurkumin pada pasien mm dengan regimen MP meningkatkan skor kumulatif hidup , meningkatkan skotr fungsi peran , dan menurunkan symptom insomnia kata kunci : MM, kurkumin, skor Qol, fungsi peran , symptom insomnia
Abstrak Latar Belakang: Neuropati diabetes merupakan komplikasi DM yang paling umum dengan prevalensi sebesar 50%. Peningkatan kadar homosistein dapat menginduksi respon inflamasi pada sel endotel yang dapat menyebabkan terjadinya aterosklerosis sehingga dapat timbul komplikasi berupa neuropati diabetes. sampai saat ini penelitian yang menyentuh ranah penurunan kadar homositein dalam mengobati dan mencegah komplikasi neuropati diabetes masih terbatas. Tujuan Penelitian: untuk mengetahui pengaruh suplementasi kombinasi asam folat, vitamin B6 dan B12 terhadap kadar homositein dan kadar perbaikan klinis pada penderita neuropati diabetes. metode penelitian: desain eksperimental dengan randomized controlled reial, dengan subyek penelitian penderita neuropati diabetes, penelitian dilakukan di RSUD Tugurejo Semarang. Pada bulan September 2018 sampai maret 2019, dengan jumlah subjek sebanyak 76 orang ( kelompok perlakuan dan kontrol) Hasil Penelitian: Subjek penelitian terdiri dari perempuan 58 orang dan lai- laki 18 orang. karakteristik subjek penelitian pada kelompok perlakuan dan kontrol berdasarkan jenis kelamin, asupan energi, asupan protein, asupan vitamin asam folat, asupan vitamin B6 dan B12 tidak berbeda secara bermakna. Dibandingkan dengan plasebo, suplementasi kombinasi asam folat, vitamin B6 dan Vitamin B12 dapat menurunkan kadar homosistein serum secara signifikan dengan rerata perbedaan -2,7 (CI 95% -4,38, -1,06; p 0,05) Simpulan : Terdapat pengaruh suplementasi kombinasi asam folat , vitamin B6 dan vitamin B12 terhadap kadar homostein dan perbaikan klimis pada penderita neuropati diabetes. katakunci : asam folat, vitamin B6 dan Vitamin B12 kadar homostein , neuropati diabetes.
ABSTRAK Latar Belakang : Operasi Modified Radical Mastectomy (MRM) diketahui dapat menyebabkan rasa sakit derajat sedang hingga berat, terutama saat batuk dan napas dalam dan dapat menjadi nyeri kronik dengan gejala yang dikenal dengan Post Mastectomy Pain Syndrome (PMPS). Hingga saat ini morfin intravena masih merupakan obat analgetik yang sering digunakan operasimeskipun efek samping yang ditimbulkannya cukup tinggi. Beberapa analgetik lain mulai digunakan untuk menggantikan morfin, salah satu diantaranya yaitu orycodone, meskipun penelitian dan penggunaan obat ini masih sangat jarang di Indonesia khususnya di RSUP dr Kariadi Semarang untuk nyeri pasca Tujuan: Mengetahui perbandingan efektivitas dan efek samping antara penggunaan morfin dan arycodone intravena sebagai analgetik pasca operasi MRM. Metode:Sebanyak 42 pasien yang menjalani operasi MRM dimasukan dalam penelitian randomized, prospectif, double-blind, controlled trial ini. Pasien dibagi menjadi dua grup grup I Oxycodone intravena diberikan dengan alat syring pump dengan loading dose 0,05 mg/kg, dilanjutkan dengan pemberian dosis maintanance 0,02 mg/kgbb/jam selama 24 jam; dan grup II mendapatkan morfin intravena diberikan dengan alat syring pump dengan loading dose 0,05 mg/kg, dilanjutkan dengan pemberian dosis maintanance 0,03 mg/kgbb/jam selama 24 jam. Dilakukan pencatatan Skor NRS, tekanan darah sistolik diastolik laju nadi dan laju napas, efek samping serta kebutuhan rescue analgetik Hasil: Terdapat perbedaaan bermakna dalam hal skala NRS, efek samping, dan kebutuhan rescue analgetik, dimana oxycodone intravena lebih baik dibandingkan morfin intravena. Simpulan: Efektivitas analgetik oxycodone intravena terbukti lebih baik dibandingkan morfin intravena pada pasca operasi MRM. Sama halnya juea dengan skala nveri dan efek samping oxycodone intravena yang lebih rendah dibandingkan morfin intravena. Kata Kunci: MRM, axycodone, morfin, syringpump, NRS
PERBANDINGAN TEKNIK ANESTESI INHALASI SEVOFLURAN DAN ANESTESI INTRAVENA DALAM OPERASI LAPAROSKOPI; KAJIAN EFISIENSI BIAYA Damar Tejokusumo*. Taufik Eko Nugroho** PPDS-I Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP Staff Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FK UNDIP/RSUP Dr.Kariadi Semarang ABSTRAK Latar Belakang : Laparoskopi adalah tindakan minimal invasif untuk berbagai jenis pembedahan dengan banyak keuntungan. Pembedahan laparaskopi di RSUP Dr. Kariadi biasanya menggunakan general anestesi yang dipertahankan dengan inhalasi sevofluran dibandingkan anestesi intravena propofol. Efisiensi pembiayaan terkait penggunaan propofol dan sevofluran merupakan pertimbangan dokter dan pasien. Tujuan : Membandingkan biaya pernggunaan obat, waktu pulih sadar, nyeri pasca operasi, dan kejadian PONV antara pasien yang menjalani operasi laparoskopi menggunakan inhalasi sevofluran dibandingkan anestesi propotol. Metode Experimental comparative study pada pasien yang menjalani operasi laparoskopi dengan anestesi intravena propofol dan inhalasi sevofluran 4 Ipm di RS dr. Kariadi Semarang Sampel didapatkan secara consecutive random sampling sebanyak 44 pasien, dibagi 2 kelompok: kelompok A dengan sevofluran dan kelompok B dengan propofol. Biaya penggunaan obat per pasien dalam rupiah, waktu pulih sadar dihitung dalam menit, nyeri pasca operasi dalam skor numerik, serta ada tidaknya kejadian PONV. Data dianalisis menggunakan uji Mann-Whitney dan Fisher. Hasil Pada kelompok dengan sevofluran didapatkan biaya penggunaan obat yang lebih mahal yaitu Rp 514.132,59 Rp 32.281.35 dibandingkan kelompok propofol yaitu Rp 190.740.18+ Rp. 4.165.05, rerata waktu pulih sadar 14,18 1,01 menit dibandingkan propofol 6.68 0,99 menit, dan kejadian PONV yang lebih tinggi namun tidak bermakna (p-0.607 dengan CI 95% ) . Rerata dan standar deviasi nyeri pasca operasi pada kelompok Sevofluran sama dengan kelompok Propofol yaitu 1.32 + 0,57. Simpulan : Pasien yang menjalani laparoskopi dengan inhalasi Sevofluran memiliki biaya pengunaan obat yang lebih mahal, waktu pulih sadar yang lebih panjang, dan kejadian PONV yang lebih tinggi dibanding pasien dengan anestesi propofol. Pasien yang menjalani laparoskopi dengan inhalasi Sevofluran mengalami nyeri pasca operasi yang tidak menunjukan perhedaan yang bermakna dibandingkan pasien dengan anestesi propofol. Kata Kunci: laparoskopi, sevofluran, propofol, efisiensi pembiayaan
ABSTRAK Pendahuluan Glaukoma merupakan penyebab kebutaan tertinggi ke-2 setelah katarak yang ditandai dengan kematian Retinal Ganglion Cell (RGC) dan defek lapang pandang yang khas. Salah satu faktor risiko yang dapat dikenda.likan adalah peningkatan tekanan intraokuler (TIO) melalui farmakoterapi atau operasi. Mirtogenol adalah suplement yang bermanfaat dibidang oftalmologi. Penelitian ini berujuan untuk mengamati pengaruh pemberian mirtogenol terhadap tekanan intraokuler dan indeks apoptosis RGC tikus Wistar model glaukoma Metode Penelitian eksperimental dengan pre post test untuk TIO dan post-test only randomized controlled group design untuk indeks apoptosis ini dilakukan di Laboratorium Hewan Coba Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang selama bulan Maret-Mei 2019. Dua Belas tikus Wistar model glaukoma yang memenuhi kriteria penelitian dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok perlakuan mendapat terapi Mirtogenol 12.3mg tiap 12 jam selama 2 minggu sedangkan kelompok kontrol, mendapat placebo dengan dosis dan waktu pemberian yang sama. Pemeriksaan TIO dilakukan sebelum dan setelah intervesi sedangkan pemeriksaan indeks apoptosis dilakukan setelah intervensi Hasil Rerata indeks apoptosis RGC didapatkan lebih rendah secara signifikan pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kontrol (p
Abstrak Latar Belakang : Obesitas adalah masalah kesehatan masyarakat utama saat ini. ketidakseimbangan kronis antara asupan ernergi dan energi pengeluaran pada akhirnya menyebabkan obesitas. Obesitas sentral terbukti lebih berisiko pada masalah kesehatan. beberapa mikronutrien ditemukan terlibat dalam perkembangan obesitas. magnesium ditemukan memiliki peran dalam perkembangan obesitas. tujuan: menganalisis hubungan serum magnesium dengan berbagai parameter obesitas sentral seperti lingkar perut (LP) risiko pinggang- pinggul (RLPP) dan jumlah lemak viseral pada WUS obesitas sentral berdasaekan hipotesis bahwa subjek obesitas dengan hipomagnesemia lebih rentan jatuh dalam komplikasi sindrom metabolik. Metode Penelitian: Penelitian korelasi ini melinatkan subyek WUS obesitas sentral sebnyak 52 subyek di kota semarang dari bullam April- Mei 2019 yang memenuhi kriteria inklusi dan eklusi . dilakukan pengukuran lingkar perut dan RLPP, lemak viseral menggunakan Bioelectrical Impedance Analysis (BIA) dan kadar serum magnesium dari darah vena. Uji hipotesis menggunakan korelasi sederhana dan analisis regresi linier sederhana untuk nilai prediksi. hasil: terdapat korelasi negatif bermakna antara lingkar perut (r=-0,473; p=0,000), RLPP(r=-0,476;p=0,000) dan lemakviseral (r=-0,628; p=0,000) dengan kadar serum magnesium. Simpulan: terdapar korelasi bermakna antara besarnya lingkar perut, RLPP dan lemak viseral (Obesitas sentral) terhadap penurunan ladar serum magnesium. kata kinci: lingkar perut, RLPP, Lemak viseral, obesitas sentral, WUS, serum magnesium.