Latar Belakang : Perdarahan akut Saluran Cerna Bagian Atas (SCBA) merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai dan merupakan salah satu komplikasi yang terjadi pada pasien pasca operasi dengan ikterus obstruktif. Faktor yang berkaitan dengan terjadinya komplikasi SCBA adalah data laboratorium pre operasi. Metode :Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik, dengan rancangan penelitian retrospektif, selama periode Januari 2014 sampai dengan Januari 2015. Ujibeda Komplikasi Perdarahan Saluran Cerna Atas (SCBA) antara kelompok kadar pre operasi Hematokrit >30% dan Leukosit 30% dan Leukosit 30% dan Leukosit
Latar belakang: Prosedur laparoskopi merupakan standard baku tatalaksana kolesistolitiasis. Kolesistektomi laparoskopik memiliki angka lama rawat dan komplikasi luka operasi yang lebih rendah, serta masa penyembuhan pasca operasi yang lebih cepat dibandingkan dengan kolesistektomi terbuka. Diperlukan data ilmiah yang valid untuk mendukung pengembangan kemajuan bedah laparaskopik di RS Kariadi terutama kolesistektomi, yaitu dengan melakukan penelitian yang membandingkan bedah laparaskopi dengan bedah laparatomi terbuka pada kasus kolesistolitiasis di RS Kariadi. Tujuan: Mengetahui perbedaan hasil operasi antara kolesistektomi laparaskopi dengan kolesistektomi terbuka pada kolesistolitiasis. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik, dengan rancangan penelitian retrospektif. Selama periode Januari 2013 - Desember 2014 : 240 orang menderita kolesistolitiasis, 69 orang dilakukan kolesistektomi terbuka, 171 orang dilakukan kolesistektomi laparoskopi. Analisis deskriptif dan uji beda dengan Mann Whitney. Hasil: Terdapat perbedaan yang bermakna lama perawatan antara kolesistektomi terbuka 6,58 ± 1,12 hari dengan kolesistektomi laparoskopi 3,37 ± 0,50 hari dengan nilai p ≤0,05. Simpulan: Terdapat perbedaan yang bermakna lama perawatan antara kolesistektomi terbuka dengan laparoskopi pada penderita dengan kolesistolitiasis. Kata kunci: Lama perawatan, kolesistektomi terbuka, kolesistektomi laparoskopi, kolesistolitiasis.
Tujuan : Komplikasi kaki diabetes terjadi akibat kondisi hiperglikemia yang menetap dan melibatkan 3 komponen utama: neuropati perifer (motorik, sensorik, dan otonom), penyakit vaskuler perifer, dan imunodefisiensi. Berbagai faktor tersebut akan mengganggu mekanisme proteksi normal kaki, menyebabkan terjadinya abnormalitas weight bearing, perubahan struktural pada kaki, kerentanan terhadap infeksi, hambatan penyembuhan luka, dan secara klasik berakhir dengan gangren dan amputasi. Pemberian antibiotik yang tepat akan sangat membantu dalam penanganan komplikasi ini. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif observasional retrospektif dengan pendekatan cross-sectional terhadap pasien kaki diabetes di Rumah Sakit Dr. Kariadi (RSDK) Semarang dengan data diperoleh dari data laboratorium mikrobiologi RSDK. Populasi penelitian adalah pasien kaki diabetes yang dirawat inap di RSDK. Sampel penelitian adalah seluruh pasien kaki diabetes yang dirawat inap dan dilakukan pemeriksaan kultur pus, swab luka dan jaringan ulkus pada tahun 2013, 2014 dan 2015 di RSDK. Data dikumpulkan dari data laboratorium mikrobiologi klinik RSDK yang disusun dalam bentuk tabel dan diagram tentang jenis sediaan yang diambil, hasil kultur kuman dan hasil tes kepekaan antibiotik kuman yang tumbuh. Hasil : Dari data hasil penelitian didapatkan 190 sampel pemeriksaan dalam kurun 3 tahun, berupa 79 sampel berasal dari pus, 47 sampel dari jaringan ulkus dan 64 sampel dari swab luka. Dari hasil pengembangbiakan kuman, didapatkan yang terbanyak yaitu berasal dari kuman gram (-), mencapai jumlah 134 sampel, sedangkan gram (+) berjumlah 46 sampel, candida sebanyak 6 sampel dan 4 sampel menunjukkan hasil steril. Berdasarkan tes kepekaan antibiotik, masih banyak antibiotik yang masih sensitif terhadap kuman-kuman gram (-), golongan amikasin dan sulbactam cefoporazone masih bisa menjadi pilihan antibiotik terhadap Klebsiella spp, E.coli (ESBL), dan Proteus spp. Sedangkan pada kuman-kuman gram (+), vancomisin dan linezolid masih sensitif untuk dijadikan pilihan terapi. Simpulan : Populasi pasien dengan ulkus diabetik di RSUP dr.Kariadi, ditemukan kuman terbanyak yaitu Klebsiella spp. pilihan antibiotik terapeutik masih sensitif untuk membunuh kuman tersebut seperti golongan amikasin untuk kuman Gram (-) dan golongan vancomisin untuk kuman Gram (+). Kata Kunci : Pola kuman, antibiotik, ulkus diabetik
Latar Belakang : Epilepsi merupakan gangguan neurologis yang berlangsung kronis dan komplikasinya dirasakan dalam berbagai aspek pada kehidupan seseorang, termasuk fungsi kognitif. Memori merupakan fungsi kognitif yang paling rentan terkena gangguan pada problem neurologis termasuk epilepsi. Amnesia, istilah awam yang sering kita dengar, merujuk pada gangguan memori episodik (GME) yang proses dan komponennya diatur oleh berbagai area terkait lobus otak terutama lobus temporal. Epilepsi lobus temporal (ELT) adalah bentuk paling umum dari epilepsi fokal. GME mewakili komorbiditas kognitif utama pada ELT namun juga tidak jarang kita temui pada epilepsi fokal di luar lobus temporal. Tujuan : Membuktikan bahwa terdapat perbedaan bermakna terhadap GME yang terjadi pada penderita epilepsi lobus temporal dengan epilepsi lobus non-temporal (ELNT). Metode : Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional. Tes memori dilakukan menggunakan Word List Memory Task, Constructional Praxis, Word List Memory Recall, Word List Memory Recognition, dan Recall of Constructional Praxis. Dilakukan wawancara dan kuesioner untuk menentukan jenis epilepsi serta karakteristik subyek yang dapat memperberat GME (lama menderita, usia onset bangkitan pertama, frekuensi serangan, dan obat anti epilepsi yang digunakan). Dilakukan analisa statistik menggunakan uji Chi-Square dan uji multivariat dengan regresi logistik. Hasil Penelitian : Didapatkan subjek sebanyak 43 orang responden yang terdiri dari 21 pasien ELT (48,8%) dan 22 dengan ELNT (51,2%). Analisa dengan Chi-Square menunjukkan perbedaan bermakna terjadinya GME pada ELT dan ELNT (p = 0,04). Analisa terpisah juga kami lakukan pada faktor perancu, lalu bersama dengan kelompok jenis epilepsi dilakukan uji multivariat regresi logistik yang menghasilkan signifikansi hubungan beberapa faktor perancu terhadap GME, sedangkan pengaruh jenis epilepsi terhadap terjadinya GME menjadi tidak signifikan (p = 0,44). Kesimpulan : Terdapat perbedaan terhadap terjadinya GME pada ELT dan ELNT secara independen, namun bersama-sama dengan faktor perancu terjadinya GME tidak berhubungan dengan jenis epilepsi. Kata kunci : memori episodik, epilepsi lobus temporal
Pendahuluan :Insidensi penurunan fungsi kognitif pada pasien stroke iskemik akut semakin meningkat. Mekanisme efek inflamasi diduga mempunyai pengaruh terhadap fungsi kognitif. Mekanisme tersebut meliputi peningkatan kadar HsCRP pada pasien stroke iskemik baik akibat inflamasi karena hipoperfusi maupun faktor inflamasi karena resiko vaskuler lain. Montreal Cognitive Assessment (MoCA) versi bahasa Indonesia merupakan salah satu tes penyaringan dibutuhkan untuk membantu menegakkan diagnosis perburukan kognitif pada stroke. Tujuan : Membuktikan bahwa perubahan kadar HsCRP hari ke 3 setelah onset dan hari ke 7 setelah onset berhubungan dengan fungsi kognitif pasien stroke iskemik akut. Material dan metode : Penelitian belah lintang dari bulan Juni 2016 - Desember 2016 di RSUP dr. Kariadi Semarang. Consecutive sampling sebanyak 31 penderita stroke iskemik pertama kali yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan status neurologi, pemeriksaan kadar HsCRP, dan pemeriksaan MoCA-Ina yang meliputi domain visuospasial /eksekutif, penamaan (naming), atensi, bahasa, abstraksi, memori, dan orientasi saat pasien pulang. Analisis data menggunakan program SPSS 17.0 dengan uji Chi-square, Fisher’s exact test, Kruskal wallis dan logistic regression dan dianggap bermakna apabila p
Latar Belakang : Stroke adalah penyebab kematian nomer tiga setelah penyakit jantung dan kanker. Respon inflamasi berperan penting terhadap outcome stroke infark, dan sering dikaitkan dengan kerusakan otak yang lebih berat. Volume infark pada parenkim menimbulkan gangguan fungsi penderita stroke infark yang tercermin pada disabilitas yang timbul akibat kematian neuron irreversibel. Tujuan : Mengetahui adanya hubungan antara respon inflamasi dengan ukuran volume infark pada pasien stroke iskemik akut pertama kali Metode : Penelitian ini adalah penelitian cross sectional. Sampel darah diambil di bangsal sedangkan pemeriksaan ct scan dilakukan saat pasien masuk IGD. Volume infark diukur dengan manual tracing perimeter infarct. Analisa korelasi menggunakan berbagai uji statistik dan uji multivariat dengan regresi logistik. Hasil Penelitian : Didapatkan subyek sebanyak 43 sampel. Rerata volume infark 3,04 cm3, rerata jumlah leukosit 10.120,5/mm3 dan rerata hsCRP 2,49 mg/dL. Analisa korelasi dengan uji korelasi pearson menunjukkan hubungan positif antara jumlah leukosit dengan volume infark tetapi hubungannya tidak bermakna, sedangkan kadar CRP dengan volume infark menunjukkan hubungan positif dan bermakna. Uji multivariat regresi logistik terhadap faktor resiko menghasilkan hubungan kadar CRP dan BMI dengan volume infark tetapi yang bermakna adalah kadar CRP (p = 0,022). Kesimpulan : Terdapat hubungan positif jumlah leukosit dengan volume infark pasien stroke iskemik akut tetapi hubungannya lemah. Terdapat hubungan bermakna antara antar kadar CRP dengan volume infark. Kata kunci : jumlah leukosit, kadar CRP, volume infark
Latar Belakang: Kadar Arginin berkaitan dengan outcome pada stroke iskemik akut (SIA). Arginin merupakan protein yang diperlukan untuk sintesis NO yang memiliki potensi sebagai vasodilator dan antioksidan.Ikan gabus sebagai sumber protein mempunyai aktivitas antioksidan karena kandungan mineral,vitamin dan asam amino. Salah satu asam amino yang dijumpai cukup tinggi pada ekstrak ikan gabus adalah arginin. Tujuan : Untuk mengetahui pengaruh ekstrak ikan gabus(EIG) terhadap peningkatan kadar arginin serum dan perbaikan keluaran klinis pasien SIA. Metode: Penelitian dengan desain Randomized Pretest-Posttest Control Group Design dengan double blind. Pasien SIA dibagi dua kelompok perlakuan dan kontrol. Kelompok perlakuan mendapatkan EIG 15 gr selama 7 hari. Kadar Arginin serum dan skor NIHSS diukur sebelum dan sesudah perlakuan.Faktor-faktor lain yang berpengaruh pada keluaran klinis juga dianalisa secara multivariat. Hasil: Sebanyak 42 subyek dilakukan random alokasi sebagai kelompok perlakuan atau kontrol. Tidak ada perbedaan karakteristik subyek di antara kedua kelompok.Terdapat korelasi Kadar Arginin serum dan EIG (p
Latar Belakang : Neuropati diabetik merupakan kelainan pada saraf yang berhubungan dengan diabetes melitus, yang terjadi pada hampir 25-50% pasien DM baik tipe 1 maupun tipe 2. Metformin, obat golongan biguanid yang direkomendasikan sebagai terapi inisial DM tipe 2, kerap dilaporkan sebagai penyebab farmakologis dari defisiensi vitamin B12. Demikian pula dengan proton pump inhibitor (PPI). Defisiensi vitamin B12 dapat memperberat neuropati diabetik yang sudah lebih dulu terjadi, maupun dapat mempercepat terjadinya neuropati diabetik. Tujuan : Membuktikan adanya pengaruh penggunaan obat-obatan (biguanid dan PPI) terhadap neuropati diabetik. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional. Dilakukan wawancara dan pengambilan data dari rekam medis untuk memperoleh data dosis dan durasi terapi metformin dan PPI. Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk mengetahui kadar vitamin B12 serum, HbA1C dan Trigliserida. Neuropati diabetik diperiksa menggunakan Toronto Clinical Scoring System (TCSS). Dilakukan analisa statistik menggunakan uji Chi-Square dan uji korelasi Pearson. Hasil Penelitian : Didapatkan subyek sebanyak 40 orang responden, 37 subyek (92,5%) neuropati dan 3 subyek (7,5%) tidak neuropati. Analisis dengan chi square menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara dosis dan durasi metformin serta penggunaan PPI dengan neuropati diabetik maupun dengan kadar vitamin B12 serum. Analisis korelasi antara kadar vitamin B12 serum dengan neuropati diabetik juga tidak menunjukkan hubungan yang bermakna, namun menunjukkan korelasi yang positif. Analisis pada faktor perancu, didapatkan hubungan yang tidak bermakna antara faktor perancu (umur, tinggi badan, HbA1C dan trigliserida) dengan neuropati diabetik. Didapatkan korelasi positif antara umur, HbA1C dan trigliserida dengan neuropati diabetik, sementara tinggi badan menunjukkan korelasi negatif terhadap neuropati diabetik Kesimpulan : Tidak terdapat hubungan bermakna antara penggunaan obat-obatan (biguanid dan PPI) terhadap kadar vitamin B12 serum dan neuropati diabetik, serta tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar vitamin B12 serum dan neuropati diabetik. Kata kunci : metformin, PPI, vitamin B12, neuropati diabetik