Latar Belakang : Otomikosis sering ditemukan pada daerah tropis dan subtropis di dunia. Secara geografis Indonesia termasuk negara tropis. Prevalensi otomikosis negara berkembang cukup tinggi. Di India dilaporkan otomikosis sebesar 22.73%. Daerah tropis dan subtropics, pembersihan dan pengeringan menyeluruh pilihan terbaik. Tujuan : Membuktikan pemberian kombinasi povidone iodine dengan gelfoam lebih efektif dibandingkan mikonazol krim. Metode : Penelitian menggunakan pasien sebagai subjek penelitian. Penelitian bersifat intervensi dengan pre dan post design. Kombinasi gellfoam dengan povidone iodine dan terapi mikonazol krim merupakan variable bebas, perubahan klinis rasa gatal, penuh, dan nyeri diukur dengan VAS, pengecatan jamur merupakan variable tergantung. Data berskala nominal di uji Mcnemar data berskala numerik dengan uji t berpasangan apabila sebaran data normal dan uji Wilcoxon dan friedman apabila sebaran data tidak normal. Hasil : 48 Subjek otomikosis di evaluasi keluhan klinik, pengecatan jamur. Kedua kelompok rerata keluhan otalgia semakin berkurang nilai p antara keluhan sebelum dan sesudah terapi adalah p 0.05). Hasil pemeriksaan KOH sebelum dan setelah terapi menunjukkan efektivitas secara statistic sama. Kesimpulan : Efektifitas menngurangi keluhan klinis otomikosis dan pengecatan jamur kombinasi povidone iodine dengan gellfoam lebih efektif untuk mengurangi keluhan otalgia dan gatal. Kata kunci : Otomikosis, efektifitas, kombinasi povidone iodine dan gellfoam, mikonazol krim.
Latar belakang : Infeksi Citomegalovirus (CMV) merupakan infeksi kongenital tersering pada bayi dan anak, 1 – 6% bayi lahir hidup. Infeksi CMV menimbulkan kecacatan permanen, salah satunya kurang pendengaran. Tujuan: Mengetahui faktor risiko infeksi CMV pada anak yang dicurigai kurang pendengaran. Metode: Penelitian belah lintang di Clinic Diagnostic RSUP Dr Kariadi Semarang periode Januari-Maret 2019. Sampel ditentukan sebanyak 97 anak dengan kecurigaan kurang pendengaran, yang memenuhi kriteria inklusi, ekslusi. Diagnosis dan derajat kurang pendengaran berdasar pemeriksaan Brainstem Evoked Response Audiometry, Otoacustic Emission dan timpanometri. Infeksi CMV ditentukan dengan pemeriksaan laboratorium. Analisis data menggunakan uji Chi- square. Hasil: Didapatkan 56 (57,7%) anak kurang dengar, kurang pendengaran derajat berat-sangat berat didapatkan pada 48 (85,71%) anak. Infeksi CMV didapatkan pada 59 (60,8%) anak dengan kadar IgG CMV diatas 25UI/ml sebanyak 43(72,88%) anak. Infeksi CMV merupakan faktor resiko kurang pendengaran (p
Latar belakang: Faktor risiko yang menyebabkan kejadian obstructive sleep apnea (OSA) pada penderita Penyakit Jantung Koroner (PJK) dapat memperberat gejala kardiovaskularnya dan berakhir dengan perburukan. Prevalensi OSA pada penderita PJK sulit diketahui, 80% penderita PJK tidak menjalani screening awal OSA. Tujuan: Mengetahui faktor risiko yang mempengaruhi kejadian OSA pada penderita PJK. Metode: Penelitian observasional analitik dengan design belah lintang. Sampel adalah penderita PJK yang di rawat inap di Unit pelayanan Jantung RSUP Dr. Kariadi Semarang periode Mei-Agustus 2018. Diagnosis OSA berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik THT, kuesioner Epworth Sleepiness Scale (ESS) dan pemeriksaan Nocturnal Pulse Oximetry. Uji statistik yang digunakan adalah chi-square, fisher’s exact test, dan regresi logistik. Hasil: Sebanyak 90 pasien PJK, 56 (62,2%) terdiagnosis OSA. Obesitas, lingkar leher besar, hipertrofi tonsila palatina dan makroglosia merupakan faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian OSA, sedangkan hipertrofi konka (P=0,765) dan septum deviasi (p=0,133) tidak berpengaruh terhadap kejadian OSA. Makroglosia merupakan faktor yang paling dominan berpengaruh terhadap kejadian OSA (p= 0,001, RP = 82,44,CI 95% =19,154-354,857). Kesimpulan: Obesitas, lingkar leher besar, hipertrofi tonsila palatina dan makroglosia berpengaruh terhadap kejadian OSA pada penderita PJK. Kata kunci: Obstructive Sleep Apnea, penyakit jantung koroner, Nocturnal Pulse Oximetry, Oxygen Desaturation Index
Pendahuluan : Konka hipertrofi adalah pembesaran konka karena ukuran selnya yang meningkat, hal ini disebabkan karena hiperplasia dan hipertrofi lapisan mukosa dan tulang konka. Dua puluh persen populasi dengan hidung tersumbat disebabkan konka hipertrofi. Konka hipertrofi dibagi 4 derajat, yaitu derajat 1, derajat 2, derajat 3 dan derajat 4. Gejala hidung tersumbat sering ditemui, dan dapat dinilai dengan pemeriksaan subyektif dan obyektif. Pemeriksaan subyektif dapat menggunakan kuesioner salah-satunya adalah Nasal Obstruction Symptom Evaluation (NOSE). Tujuan : Mengetahui hubungan gambaran histopatologi dan derajat konka hipertrofi dengan sumbatan hidung pada pasien rinosinusitis kronik. Material dan Metode : Desain penelitian korelatif dengan metode belah pada 33 pasien rinosinusitis kronik (RSK) dengan konka hipertrofi yang menjalani operasi Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) dan konkotomi. Pasien dilakukan anamnesis dengan kuesioner NOSE, endoskopi, dan histopatologi jaringan konka hipertrofi. Uji hipotesis yang digunakan adalah uji korelasi Spearman. Hasil Penelitian : Karakteristik subyek penelitian sebanyak 33 orang, laki-laki sebanyak 13 (39,3%) orang dan perempuan sebanyak 20 (60,7%) orang. Sumbatan hidung terbanyak adalah derajat ringan dan berat yaitu masing-masing sebanyak 10 (30,3%) orang. Konka hipertrofi terbanyak adalah derajat 3 yaitu sebanyak 18 (54,54%) subyek. Gambaran histopatologi yang terbanyak adalah hiperplasia sel goblet derajat 3 sebanyak 15 (45,45%) subyek, dan pembentukan kelenjar submukosa derajat 2 sebanyak 17 (51,51%) subyek. Infiltrasi sel inflamasi dari masing-masing sel (eosinofil, limfosit dan neutrofil) yang terbanyak adalah eosinofil derajat 0 sebanyak 23 (69,69%) subyek, limfosit derajat 2 sebanyak 8 (24,24%) dan neutrofil derajat 0 sebanyak 18 (54,54%) subyek. Simpulan : Terdapat hubungan antara derajat konka hipertrofi dengan sumbatan hidung pada RSK. Tidak terdapat hubungan antara gambaran histopatologi konka hipertrofi (hiperplasia sel goblet; pembentukan kelenjar submukosa; Infiltrasi sel inflamasi : eosinophil, limfosit, neutrofil) dengan sumbatan hidung pada RSK. Kata kunci : Rinosinusitis kronik, konka hipertrofi, sumbatan hidung, kuesioner NOSE, histopatologi
Pendahuluan : Carpal Tunnel Syndrome (CTS) merupakan salah satu gangguan ekstremitas atas karena penyempitan pada terowongan karpal yang menyebabkan penekanan terhadap saraf medianus yang terletak pada pergelangan tangan. Terdapat banyak faktor fisik pada tangan yang dapat berpengaruh terhadap kondisi tersebut hingga mengakibatkan penyempitan terowongan karpal sehingga dapat menekan saraf medianus. Untuk mengurangi gejala tersebut peneliti menggunakan HILT sebagai modalitas baru yang efek nya belum banyak diteliti. Tujuan dari penelitian ini adalah Mengetahui efek pemberian terapi HILT dibandingkan dengan LLLT terhadap gambaran cross sectional area dan flattening ratio saraf medianus pada pemeriksaan USG pasien dengan CTS di RSUD. Tugurejo, Prov. Jawa Tengah. Metode : Penelitian ini merupakan true eksperimental randomized pre and post test group design pada pasien dengan CTS. 19 subjek pasien CTS yang telah memenuhi kriteria inklusi dan lolos kriteria eksklusi dikelompokkan menjadi 2 kelompok. Kelompok perlakuan pertama, 10 orang mendapatkan terapi HILT sedangkan kelompok kontrol sebanyak 9 orang mendapatkan terapi LLLT dengan frekuensi 1 kali sehari, 5 hari seminggu, selama 2 minggu. Pemeriksaan USG n. medianus dilakukan sebelum dan setelah perlakuan untuk menilai perubahan gambaran cross sectional area dan flattening ratio saraf medianus. Hasil : Rerata perbaikan gambaran cross sectional area dan flattening ratio saraf medianus yang dinilai dengan ultrasonografi tampak signifikan terhadap CSA proksimal, CSA distal dan FR sedangkan pada LLLT hasil signifikan terhadap CSA distal. Kesimpulan: Simpulan hasil penelitian ini bahwa HILT maupun LLLT pada pasien CTS dapat memperbaiki anatomi nervus medianus yang dinilai dengan ultrasonografi, perbaikan dapat dilihat pada hasil intervensi kedua kelompok baik dengan HILT maupun LLLT. Pengaruh HILT terhadap CSA proksimal, CSA distal dan FR signifikan, sedangkan pada LLLT hasil signifikan terhadap CSA distal . Diharapkan dengan perbaikan anatomi dapat sebanding dengan perbaikan nyeri dan perbaikan fungsi tangan yang menjadi keluhan utama pasien CTS. Kata kunci: carpal tunnel syndrome, HILT, LLLT, cross sectional area, flattening ratio saraf medianus
Tujuan: Membuktikan pengaruh penambahan kinesio taping terhadap kekuatan otot kuadrisep femoris pada pasien osteoarthritis genu grade II dan III yang mendapatkan latihan weight-pulley system. Rancangan: simple randomized controlled pre and post experimental design. Subyek: 27 subjek penderita osteoarthritis genu grade II dan III yang berusia antara 40-65 tahun. Tempat: Instalasi Murai Gedung Rehabilitasi Medik RSUP dr. Kariadi Semarang. Waktu: April 2019- Mei 2019. Perlakuan: Subyek dibagi menjadi 2 kelompok secara acak, kelompok perlakuan (n=13) mendapatkan intervensi latihan weight-pulley system dan Kinesio Taping sedangkan kelompok kontrol (n=14) hanya mendapatkan latihan weight-pulley system saja. Latihan weight-pulley system pada kelompok kontrol dan perlakuan dilakukan 3 kali seminggu selama 3 minggu. Hasil pengukuran utama: Kekuatan otot kuadrisep femoris dinilai dengan menggungakan push-pull dynamometer pada sebelum perlakuan dan akhir minggu ke-3 intervensi. Hasil: Terdapat peningkatan bermakna nilai kekuatan otot pada akhir minggu ke- 3 intervensi pada masing-masing kelompok dibandingkan dengan sebelum intervensi. Terdapat perbedaan delta nilai kekuatan otot antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol pada sesudah intervensi. Simpulan: Penambahan kinesio taping berpengaruh terhadap peningkatan kekuatan otot kuadrisep femoris pada pasien osteoarthritis genu grade II-III yang mendapatkan latihan weight-pulley system. Kata kunci: Osteoarthritis genu; Latihan weight-pulley system; Kinesio Taping; Kekuatan otot; Push-pull dynamometer
Tujuan : Membandingkan efek High Intensity dan Low Level Laser Therapy terhadap rerata parameter elektrofisiologis sensorik dan motorik pada pasien dengan CTS derajat sedang. Rancangan : true experimental randomized pre and post test group design. Subyek : 16 orang subyek penelitian (15 perempuan dan 1 laki-laki) dengan CTS derajat sedang. Tempat : Poliklinik Rawat Jalan Rehabilitasi Medik RSUD Tugurejo Semarang. Waktu : September 2018. Perlakuan : Subyek dibagi secara acak ke dalam dua kelompok. Kelompok HILT mendapatkan HILT dengan dosis analgesik 10J/cm2 dan biostimulasi 120 J/cm2 selama 10 sesi dalam 2 minggu. Kelompok LLLT mendapatkan LLLT dengan dosis 6J/cm2 selama 10 sesi dalam 2 minggu. Hasil pengukuran utama : Combined Sensory Index, kecepatan konduksi sensorik dan latensi motorik distal. Pengukuran EMG dilakukan sebelum perlakuan dan 3 hari pasca perlakuan. Hasil : Rerata penurunan CSI pada kelompok HILT lebih tinggi dari LLLT (p = 0,03). Tidak terdapat perbedaan bermakna pada rerata peningkatan kecepatan konduksi sensorik dan penurunan latensi motorik distal antara kedua kelompok (p = 0,73 dan 0,52). Simpulan : HILT hanya lebih baik dari LLLT dalam memperbaiki nilai CSI pada pasien CTS derajat sedang. Kata kunci : CTS, HILT, LLLT, CSI, kecepatan konduksi sensorik, latensi motorik distal
Latar belakang : Lansia mengalami perubahan fisiologis yang dapat menyebabkan atau memperparah gangguan paru restriktif. Prevalensi gangguan paru restriktif pada lansia meningkat menjadi 175 per 100.000 kasus. Meningkatnya jumlah lansia dari tahun ke tahun di Indonesia merupakan tantangan khusus di dunia kesehatan, terutama dalam hal menjaga kebugaran kardiovaskular yang dapat dinilai melalui VO2 Max. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan latihan penumpukan udara pada VO2 max lansia dengan kelainan paru restriktif yang telah melakukan pelatihan pernapasan dalam. Metode : Penelitian ini adalah eksperimen kelompok pre-dan post-test acak eksperimental yang benar pada lansia dengan kelainan paru restriktif. Tiga puluh subjek lansia dengan kelainan paru restriktif yang melakukan pelatihan pernapasan dalam dan memenuhi syarat kriteria inklusi dan eksklusi, secara acak dibagi menjadi kelompok eksperimen yang menerima latihan penumpukan udara tambahan dan kelompok kontrol. Setiap kelompok melakukan pelatihan 5 kali seminggu selama 4 minggu. Tes jalan kaki 6 menit dilakukan sebelum dan sesudah perawatan untuk mendapatkan nilai VO2 max. Hasil : Perbedaan nilai maks VO2 antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, sebelum dan setelah perawatan, menunjukkan perbedaan yang signifikan (p
Pendahuluan:Pada proses penuaan, terjadi perubahan anatomi dan fisiologi dari saluran pernapasan sehingga dapat berdampak pada penurunan kapasitas fungsional paru sehingga menyebabkan terjadinya gangguan paru restriktif. Latihan pernapasan air stacking merupakan latihan pernapasan dengan menggunakan alat ambu bag untuk membantu inhalasi, yang dapat digunakan untuk meningkatkan kapasitas fungsional paru. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek penambahan latihan air stacking terhadap kapasitas fungsional paru pada lansia dengan gangguan paru restriktif yang mendapat latihan deep breathing. Metode: Penelitian ini merupakan true experimental randomized pre and post test group design pada lansia dengan kelainan paru restriktif. 30 subjek lansia dengan gangguan paru restriktif yang mendapat latihan pernapasan air stacking dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, dibagi secara acak menjadi kelompok eksperimental yang mendapat latihan deep breathing ditambah latihan air stacking, dan kelompok kontrol yang hanya mendapat latihan deep breathing. Setiap kelompok mendapat latihan 5 kali seminggu selama 4 minggu. Pemeriksaan kapasitas fungsional paru dilakukan melalui pemeriksaan spirometri yang dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan. Hasil:Rerata peningkatan kapasitas fungsional paru pada kelompok eksperimental dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kesimpulan:Penambahan latihan pernapasan air stacking pada lansia dengan gangguan paru restriktif yang mendapat latihan deep breathing dapat meningkatkan kapasitas fungsional paru. Kata kunci:Latihan pernapasan air stacking, gangguan paru restriktif, kapasitas fungsional paru.
Buku ini ditujukan untuk membantu mahasiswa kedokteran dan residen dalam membentuk pengetahuan dasar yang solid tentang penyakit jantung dan sirkulasinya. Adapun pembahasan dalam buku ini terbagi dalam 17 Bab. Bab 1. Struktur dan Fungsi Jantung Normal Bab 2. Siklus Jantung: Mekanisme Bunyi dan Bising Jantung Bab 3. Pencitraan dan Kateterisasi Jantung Bab 4. Elektrokardiogram Bab 5. Aterosklerosis Bab 6. Penyakit Jantung Iskemik Bab 7. Sindrom Koroner Akut Bab 8. Penyakit katup Jantung Bab 9. Gagal Jantung Bab 10. Kardiomiopati Bab 11. Mekanisme Aritmia Jantung Bab 12. Aspek Klinis Aritmia Jantung Bab 13. Hipertensi Bab 14. Penyakit pada Perikardium Bab 15. Penyakit Pembuluh Darah Perifer Bab 16. Penyakit Jantung Bawaan Bab 17. Obat-Obat Kardiovaskular Bab pengenalan buku ini membahas anatomi dan fisiologi jantung dan memberikan dasar yang dibutuhkan untuk mengerti aspek klinis dari bahan yang akan diberikan selanjutnya. Bab terakhir menjelaskan obat-obat kardiovaskular dan rasional fisiologis penggunaannya.