Latar belakang : Penyakit Ginjal Kronis (PGK) adalah masalah kesehatan yang sangat besar dengan prevalensi yang terus meningkat dan penyebab kematian nomor 12 di dunia. Penderita penyakit ginjal stadium akhir (PGSA) akan memerlukan terapi pengganti ginjal yang dapat mempengaruhi kualitas hidup mereka. Komposisi tubuh ditemukan memiliki peran dalam kualitas hidup penderita PGSA. Tujuan: Menganalisis hubungan parameter komposisi tubuh seperti massa otot rangka, lemak subkutan dan lemak viseral dengan skor kualitas hidup berdasarkan hipotesis bahwa subjek PGSA dengan massa otot rangka yang lebih rendah memiliki skor kualitas hidup yang lebih rendah. Metode penelitian : Penelitian korelasional dengan desain cross sectional melibatkan subyek PGSA sebanyak 50 subyek di unit Hemodialisis (HD) Rumah Sakit Dr. Kariadi dari bulan Juni-Agustus 2019 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Dilakukan pengukuran massa otot rangka, lemak subkutan serta lemak viseral menggunakan Bioelectrical Impedance Analysis (BIA) dan skor kualitas hidup dengan KDQOL-SF. Uji hipotesis menggunakan korelasi sederhana dan analisis regresi linier sederhana untuk nilai prediksi. Hasil: : Terdapat korelasi positif bermakna antara massa otot rangka (r = 0,564 ; p= 0,000) dan korelasi negatif bermakna antara lemak subkutan dan lemak viseral (r = -0,405; p = 0,004, r= -0,489; p = 0,000, secara berurutan) dengan skor kualitas hidup. Simpulan : Terdapat korelasi bermakna antara kadar massa otot rangka, lemak subkutan dan lemak viseral (obesitas sentral) terhadap skor kualitas hidup. Kata kunci : otot rangka, lemak subkutan, lemak viseral, obesitas sentral, PGK,PGSA, kualitas hidup
Latar belakang: Jumlah populasi lansia terus meningkat akibat kemajuan dalam bidang kesehatan. Lansia merupakan kelompok populasi yang sangat rentan mengalami berbagai masalah kesehatan di antaranya sindroma metabolik. Lansia juga rentan mengalami defisiensi mikronutrien, terutama defisiensi vitamin D. Lansia obesitas yang mengalami defisiensi vitamin D disebut-sebut memiliki kecenderungan lebih besar untuk mengalami sindroma metabolik, dan demikian lebih rentan menderita diabetes serta penyakit kardiovaskuler, yang akan meningkatkan morbiditas serta mortalitas pada lansia. Tujuan : Menganalisis hubungan antara kadar vitamin D3 (kalsitriol) dengan komponen-komponen sindroma metabolik pada lasia dengan obesitas sentral. Metode penelitian : Penelitian cross sectional ini melibatkan subyek lansia dengan obesitas sentral usia 60-75 tahun sebanyak 66 subyek yang memenuhi kriteria inklusi. Kadar vitamin D3 (kalsitriol), HDL, TG, dan asam urat diambil dari darah vena. Tekanan darah diukur menggunakan tensimeter raksa. Uji hipotesis menggunakan korelasi sederhana dan analisis regresi linier sederhana untuk nilai prediksi. Hasil : Terdapat korelasi positif bermakna antara kadar vitamin D3 (kalsitriol) dengan HDL (r = 0.871; p = 0.000). Terdapat korelasi negatif bermakna antara kadar vitamin D3 (kalsitriol) dengan kadar TG (r = -0.668); p = 0.000) dan asam urat (r = -0.749; p = 0.000). Tidak terdapat korelasi antara kadar vitamin D3 (kalsitriol) dengan lingkar perut, WHR, dan tekanan darah. Kesimpulan: Terdapat korelasi bermakna antara kadar vitamin D3 (kalsitriol) dengan komponen-komponen sindroma metabolik (HDL, TG, asam urat). Tidak terdapat korelasi antara kadar vitamin D3 (kalsitriol) dengan lingkar perut, WHR, dan tekanan darah. Kata kunci : obesitas sentral, lansia, kadar vitamin D3 (kalsitriol), lingkar perut, WHR, HDL, trigliserida, asam urat, tekanan darah.
Latar belakang : Defisit neurologis akibat stroke akut menyebabkan perburukan malnutrisi selama perawatan di rumah sakit. Malnutrisi pada pasien stroke dikaitkan dengan outcome klinis l ebih buruk, masa rawat lebih lama dan biaya lebih besar. Tujuan: Menganalisis hubungan derajat keparahan stroke dengan perubahan status gizi pasien selama pelayanan di Unit Stroke dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Metode : Penelitian cross-sectional dilakukan di Unit Stroke RSUP dr. Kariadi Semarang pada bulan Maret - Mei 2019 terhadap 60 subyek pasien stroke yang dipilih secara consecutive sampling serta memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Penilaian NIHSS dilakukan pada awal dan akhir pengamatan; pengukuran dan perubahan LLA pada hari ke-1, ke-3, ke-7, ke-14; status diare serta status disfagia. Uji Chi-square dilakukan untuk melihat hubungan antara derajat keparahan stroke dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan perubahan status gizi pasien. Hasil: Derajat keparahan stroke sedang dan berat lebih banyak dijumpai. Target pemenuhan energi hari ke-5 dapat dicapai 80% subyek, penurunan LLA 35%, diare 11,7 dan disfagia 46,7%. Terdapat hubungan signifikan antara derajat keparahan stroke dengan perubahan LLA (p < 0,05). Simpulan : Derajat keparahan stroke berhubungan dengan perubahan status gizi selama perawatan yang dinilai dari penurunan LLA. Kata kunci : derajat keparahan stroke, perubahan LLA, target energi, diare, disfagia
Pendahuluan : Meningioma adalah kondisi patologi pada sistem saraf pusat (SSP) yang dapat terjadi di mana saja dari verteks sampai ke tulang belakang, sedangkan obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak yang berlebih dalam tubuh, yang berkaitan dengan pengaruh yang merugikan pada kesehatan. Obesitas ditandai oleh adanya peningkatan Indeks Massa Tubuh (IMT) dan Waist Hip Ratio (WHR). Penelitian mengenai hubungan IMT, WHR dengan meningioma sudah banyak dilakukan di berbagai negara di benua Eropa dan belum banyak dilakukan di benua Asia terutama di Indonesia. Tujuan: Untuk membuktikan IMT dan WHR sebagai faktor risiko kejadian meningioma setelah di kontrol oleh variabel comfounding usia dan jenis kelamin. Metode penelitian : penelitian case control dengan melibatkan penderita meningioma sebagai subjek sebanyak 44 dan keluatga sebagai kontrol sebanyak 44. Penelitian dilakukan di Poli Merpati RSDK dari bulan Mei 2019- Juni 2019 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Subjek dilakukan pengambilan data usia, jenis kelamin, IMT dan WHR. Analisis biavariat menggunakan uji Chi square dan analisis multivariat dengan regeresi logistik. Hasil Penelitian : Hasil Uji bivariat didapatkan hubungan bermakna antara meningioma dengan IMT (p
Pendahuluan: Endometriosis merupakan kelainan ginekologi yang ditandai dengan adanya jaringan endometrium di luar kavum uteri. Patogenesisnya melibatkan apoptosis dan angiogenesis. Metformin, merupakan insulin sensitizer, diketahui memiliki efek antioksidan, antiinflamasi, antiproliferasi, mengaktivasi AMPK dan menghambat NF-KB, yang kemudian menyebabkan perbaikan lesi endometriosis dan meningkatkan angka kehamilan. Tujuan: Apakah pemberian metformin berpengaruh terhadap rasio ekspresi Bcl-2/Bax dan luas implan endometriosis pada model mencit endometriosis? Material dan Metode: Penelitian eksperimental dilakukan di Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga Surabaya. Penelitian dilaksanakan bulan September sampai dengan Desember 2018. Sampel penelitian adalah mencit BALB/c betina usia 3 bulan dengan berat 20-30 gram yang dibuat endometriosis dan dibagi menjadi 3 kelompok (P0, P1 dan P2). Pada hari ke-15, kelompok P0 diterminasi untuk dilakukan pemeriksaan ekspresi Bcl-2/Bax serta luas implan endometriosis (sebelum perlakuan), sedangkan kelompok P1 diberi aquadest dan kelompok P2 diberi metformin 4 mg/hari selama 14 hari. Pada hari ke-29, kelompok P1dan P2 diterminasi untuk dilakukan pemeriksaan ekspresi Bcl-2/Bax serta luas implan endometriosis (setelah perlakuan). Hasil Penelitian: Rasio ekspresi Bcl-2/Bax dan luas implan endometriosis pada kelompok P2 lebih kecil secara signifikan dibandingkan dengan kedua kelompok lainnya (p0.05). Kesimpulan: Metformin dapat menurunkan rasio ekspresi Bcl-2/Bax sebesar dua kali lipat serta luas implan endometriosis sebesar 3-5 kali lipat. Kata Kunci: Metformin, endometriosis, rasio Bcl-2/Bax, luas implan endometriosis
Pendahuluan: Preeklampsia adalah sindroma spesifik, ditandai dengan peningkatan tekanan darah dan proteinuria setelah usia kehamilan 20 minggu pada wanita yang sebelumnya normotensi dan merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas ibu dan bayi di dunia. Etiologinya belum diketahui dan diduga melibatkan stress oksidatif. Soluble endoglin adalah salah satu protein anti-angiogenik yang diduga berhubungan dengan preeklamsia. Tujuan: Untuk mengetahui apakah kadar sEng serum yang tinggi pada kehamilan trimester I dan II dapat meningkatkan kejadian serta dapat dijadikan prediktor preeklampsia Material dan Metode: Penelitian kohort prospektif ini dilaksanakan di RSUP Dr. Kariadi Semarang, RSUD Kota Semarang, RSUD Tugurejo, Puskesmas Halmahera kota Semarang dan Bidan Praktek swasta dari bulan Januari-November 2018. Sampel penelitian adalah wanita hamil 13 minggu-19 minggu 6 hari yang melakukan pemeriksaan kehamilan dengan janin I hidup intrauterine, dan normotensi. Seluruh sampel dilakukan pemeriksaan sEng dan diikuti hingga melahirkan. Analisis statistic dilakukan dengan uji Mann whitney dan t tidak berpasangan. Hasil Penelitian: Prevalensi preeklamsia adalah sebesar 27.6%. Tidak didapatkan perbedaan pada karakteristik subjek penelitian. Didapatkan peningkatan signifikan kadar sEng pada ibu hamil dengan preeklamsia berat dan preeklamsia dibandingkan normotensi (7.99 ± 0.27 vs 6.95 ± 0.19 vs 5.60 ± 0.19, secara berurutan, p
Pendahuluan : Ambliopia adalah suatu keadaan penurunan tajam penglihatan terbaik, baik unilateral ataupun bilateral, tanpa disertai kelainan pada struktur bola mata maupun pada jalur visual. Ambliopia deprivasi visual adalah tipe ambliopia yang paling berat kerusakan yang ditimbulkan, pada neurovisual dan paling sulit terapinya, kasus penyebab ambliopia deprivasi pada anak paling tinggi adalah katarak kongenital. Visual Evoked Potential (VEP), merupakan rangkaian signal penglihatan pada korteks oksipital terhadap respon terhadap stimulus cahaya dan perangsangan dengan pola, dan dapat dipakai sebagai parameter neurofisiologis non-invasif dalam menilai fungsi organ penglihatan, jalur penglihatan pada ambliopia deprivasi. Tujuan : Untuk membandingkan respon gelombang flash visual Evoked potential dan pattern visual evoked potensial pada anak dengan ambliopia deprivasi derajat berat. Material dan Metoda : Penelitian ini merupakan cross sectional, yang dilaksanakan di Instalasi Rawat Jalan Mata dan pusat diagnostik Paviliun Garuda RSUP Dr. Kariadi Semarang. Dilakukan pemeriksaan 40 mata pada 20 anak yang memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi..Data Variabel kuantitatif dinyatakan (mean ± SD). Dilakukan uji normalitas data, dilakukan uji beda terhadap 1 kelompok, semua pasien dilakukan pemeriksaan yang sama ,dengan menggunakan alat Flash dan Pattern VEP Roland Reti® (Model ISXEV 60, Germany).Kelompok subyek penelitian juga dibandingkan dengan nilai normative data.Nilai P adalah dianggap signifikan secara statistik apabila < 0,05. Hasil Penelitian : Terdapat perbedaan bermakna (p0,05).Pada lantensi dan amplitude gelombang flash dan pattern VEP terbukti tidak berbeda secara berkamakna (p>0,05) pada anak dengan ambliopia deprivasi derajat berat. Kesimpulan : Tidak Terdapat perbedaan bermakna (p>0,05) pada lantensi dan amplitudo gelombang flash dan pattern VEP pada anak dengan ambliopia deprivasi derajat berat. Kata kunci Flash Visual Evoked potential, pattern Visual Evoked Potential, Ambliopia Deprivasi.
Latar belakang Retinopati prematuritas merupakan penyebab kebutaan terbesar pada bayi baru lahir di seluruh dunia. Terapi anti oksidan dikembangkan sebagai terapi retinopati prematuritas dengan menilai efeknya pada stres oksidatif jaringan. Glutation merupakan antioksidan endogen utama dalam tubuh dan suplementasinya telah diteliti manfaatnya terhadap beberapa penyakit mata. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh glutation terhadap kadar penanda stres oksidatif yaitu Malondialdehyde (MDA) serum tikus Wistar model retinopati prematuritas. Metode Penelitian eksperimental dengan post-test only controlled group design. Enam belas tikus Wistar model retinopati prematuritas dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok perlakuan mendapat paparan oksigen 95% selama 4jam/ hari dan injeksi glutation 1,3 mg intramuskular/hari selama 14 hari sedangkan kelompok kontrol mendapatkan paparan oksigen dengan cara pemberian yang sama. Kedua kelompok dibiarkan pada suhu ruangan pada hari ke 16-23. Analisis kadar MDA dengan metode ELISA menggunakan MDA analyser kit dilakukan pada sampel serum yang dambil dari arteri retro orbita setelah perlakuan. Analisis statistik dilakukan menggunakan uji Saphiro wilk dan uji T. Hasil Kadar MDA lebih tinggi secara signifikan pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kontrol (546,99 ng/ml vs 201,51 ng/ml, secara berurutan, p