Latar Belakang : Imunitas bawaan adalah lini pertahanan pertama dan mengacu pada mekanisme perlindungan yang ada bahkan sebelum adanya luka / infeksi. Komponen yang dapat digunakan untuk mengetahui perubahan imunitas antara lain sitokin (interleukin-6) dan neutrofil. Anestesi umum dapat diberikan dengan menggunakan anestesi inhalasi, obat intravena, atau sebagian besar sering kombinasi keduanya. Semua bentuk obat anestesi ini dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dan memberikan efek pada imunitas bawaan. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan pengaruh sevofluran dan propofol terhadap sistem imun dinilai dari kadar interleukin-6 dan neutrofil pada operasi bedah saraf. Metode : Dilakukan penelitian eksperimental terhadap 34 pasien yang menjalani operasi kraniotomi yang memenuhi kriteria penelitian. Penderita yang memenuhi kriteria penelitian dibagi kedalam dua kelompok. Kelompok I menggunakan sevofluran 1 MAC dan kelompok II menggunakan Propofol maintenance infusion 100 mcg/kg/menit.Dilakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan kadar interleukin-6 dan neutrofil saat sebelum operasi dan 2 jam setelah incisi. Data dianalisa secara statistik menggunakan Wilcoxon dan Mann-Whitney test, dianggap bermakna bila p < 0,05. Hasil : Pada penelitian ini didapatkan penurunan kadar neutrofil pada kelompok sevofluran sebesar 0,02 ± 7,54 % dibanding kadar awal (berbeda tidak bermakna p= 0,205) sedangkan pada kelompok propofol didapatkan peningkatan kadar neutrofil sebesar 5,07 ± 7,01% dibanding kadar awal (berbeda bermakna p=0,002). Pada perbandingan selisih kedua kelompok didapatkan perbedaan kadar neutrofil yang bermakna (p=0,003). Kadar IL-6 pada kelompok sevofluran didapatkan peningkatan sebesar 4,86 ± 6,87 pg/ml dibanding kadar awal (berbeda bermakna p=0,017) dan pada kelompok propofol juga didapatkan peningkatan sebesar 15,87 ± 16,12 pg/ml dibanding kadar awal (berbeda bermakna p=
Latar Belakang : Selama beberapa tahun terakhir, penggunaan media sosial telah menjadi aktivitas rekreasi yang semakin populer. Individu mengunjungi situs media sosial untuk terlibat dalam berbagai jenis hiburan dan aktivitas sosial. Meskipun penggunaan media sosial ini dengan cepat menjadi fenomena modern yang normal, namun kekhawatiran seringkali dikemukakan mengenai potensi kecanduan penggunaan media sosial. Hubungan antara faktor kepribadian dan media sosial telah disebutkan dalam penelitian sebelumnya, salah satunya adalah narsisme. Narsisme dimanifestasikan dengan kecenderungan untuk bertindak berdasarkan impulsivitas dan grandiositas yang mempengaruhi individu dalam beraktifitas di media sosial. Tujuan : Mengetahui hubungan antara derajat narsisme dengan kejadian kecanduan media sosial pada pada siswa SMK. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan rancangan cross sectional. Sampel adalah siswa - siswi kelas X dan XI di SMK Mitra Karya Mandiri yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pemilihan sampel penelitian dilakukan dengan metode simple random sampling. Instrumen penelitian dengan menggunakan kuesioner NPI (Narcissistic Personality Inventory) versi Indonesia dan BSMAS (Bergen Social Media Addiction Scale) versi Indonesia. Analisis data menggunakan uji Somer’s D dan uji regresi linier Hasil : Penelitian ini diikuti oleh 160 responden. Terdapat hubungan yang bermakna antara derajat narsisme terhadap kejadian kecanduan media sosial dengan p value < 0,05 Simpulan : Terdapat hubungan yang bermakna antara derajat narsisme terhadap kejadian kecanduan media sosial Kata Kunci : narsisme, kecanduan media sosial, NPI, BSMAS
Latar belakang : Disfonia merupakan istilah umum untuk setiap gangguan suara yang disebabkan oleh kelainan pada organ-organ fonasi, terutama laring baik yang bersifat organic maupun fungsional. Menurut World Health Organization (WHO) salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengevaluasi kaulitas hidup adalah dengan menggunakan kuesioner yang diaplikasikan sesuai budaya dan bahasa di Negara tersebut. Voice Handicap Index (VHI) digunakan secara luas karena memilii nilai reliabilitas yang kuat antara skor VHI dengan penilaian diri pasien terhadap derajat keparahan gangguan suara. Tujuan: Mengetahui hubungan antara faktor risiko dengan derajat VHI pada pasien disfonia. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan desain belah lintang/cross sectional. Hasil : Pasien dengan lama sakit ≥ 2 minggu memiliki faktor risiko derajat VHI sedang-berat 38 kali dibandingkan pasien dengan lama sakit
Latar belakang : Operasi urogenital dan abdomen bawah merupakan tindakan yang sering dilakukan pada pasien pediatric yang membutuhkan pembiusan dengan agen inhalasi sevofluran. Efek samping akibat sevofluran yang tidak disukai adalah agitasi ketika pulih sadar. Beberapa obat yang direkomendasikan sebagai profilaksis agitasi diantaranya ketamin, difenhidramin dan dexamethasone. Tujuan: Membandingkan pengaruh pemberian kombinasi difenhidramin-deksamethasone dengan ketamin tunggal terhadap insiden agitasi pulih sadar pada pasien pediatric yang menjalani pembiusan menggunakan sevofluran. Metode : Penelitian ini berupa eksperimental dengan rancangan randomized, double blind, controlled trial pada 32 pasien pediatric usia 6 bulan sampai 10 tahun yang dibagi ke dalam 2 kelompok. Semua pasien diberikan midazolam 0,1 mg/kgbb dan blok caudal. Kelompok 1 mendapat injeksi deksamethason 0,2 mg/kgbb sebelum pembiusan dan dipenhidramin 0,5 mg/kgbb sebelum sevofluran dimatikan. Kelompok 2 mendapatkan injeksi ketamin 0,5 mg/kgbb saja sebelum sevofluran dimatikan. Setelah itu dievaluasi dengan skor PAED dan WATCHA pada menit ke 1, 15 dan 30 paska ekstubasi. Dievaluasi juga durasi waktu pemulihan serta efek samping yang muncul pada kedua kelompok. Data dianalisa secara statistic menggunakan uji Chi Square dan Mann Whitney dianggap bermakna jika p0,05). Pada kelompok 2 ditemukan 1 kejadian agitasi pulih sadar (6,3%) dan efek samping berupa kejadian mual muntah dan bronkospasme (6,3%). Waktu pemulihan pada kelompok 1 (38,75 ± 19,54) tidak berbeda bermakna dengan kelompok 2 (39,38 ± 14,48) dimana p>0,570. Kesimpulan : Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian kombinasi deksamethason-difenhidramin serta pemberian ketamin tunggal sebelum ekstubasi sama-sama efektif dalam menurunkan insiden agitasi pulih sadar pada psien pediatric dan tidak memperpanjang waktu pemulihan. Kata kunci : Agitasi, sevofluran, dipenhidramin, dexamethasone, ketamin, pediatrik
Latar belakang : Menurut WHO, lansia memiliki tantangan fisik dan mental, termasuk depresi. Angka kejadian depresi dengan bunuh diri sebanyak 12,7%. Pada Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah telah terjadi peningkatan angka kejaidan bunuh diri dalam 5 tahun terakhir. Kecamatan Purwodadi berada pada urutan ketiga dengan jumlah kasus bunuh diri dan terbanyak pada usia lanjut. Tujuan: Mengetahui hubungan antara tingkat depresi dengan risiko bunuh diri. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan rancangan cross sectional yaitu responden dilakukan observasi dan pengukuran variable pada satu waktu. Sampel adalah pengunjung Puskesmas dan Posyandu Lansia di Puskesmas Purwodadi yang memenuhi criteria inklusi dan eksklusi. Pemilihan sampel penelitian dilakukan dengan metode non probability sampling melalui purposive sampling. Instrumen penelitian dengan menggunakan kuesioner GDS (Geriatric Depression Scale) dan CSSRS (Columbia-Suicide Severity Rating Scale) versi Indonesia. Hasil : Prevalensi lansia depresi sebesar 63,3% dan didapatkan hubungan yang signifikan antara depresi berat dengan risiko bunuh diri (p
Latar belakang : Berdasarkan data WHO tahun 2017, remaja Indonesia usia 13-17 tahun sebanyak 3,9% telah mencoba bunuh diri minimal satu kali dalam satu tahun terakhir. Bunuh diri merupakan sebab kematian terbanyak ke dua pada rentang umur 15-29 tahun. Penyebab utama kasus bunuh diri adalah depresi, sehingga depresi menjadi target rencana aksi kesehatan mental WHO tahun 2013-2020. Di Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah telah terjadi peningkatan angka kejadian bunuh diri dalam 5 tahun terakhir. Kecamatan Purwodadi berada pada urutan ketiga dengan jumlah kasus bunuh diri terbanyak pada usia lanjut. Berbeda dengan data WHO bahwa jumlah kejaidan bunuh diri terbanyak saat ini adalah pada usia muda. Tujuan: Mengetahui hubungan antara depresi dengan risiko bunuh diri. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan rancangan cross sectional yaitu semua responden dilakukan observasi dan pengukuran variable pada satu waktu. Sampel adalah siswa SMA N 1 Purwodadi Kabupaten Grobogan yang memnuhi criteria inklusi dan eksklusi. Pemilihan sampel penelitian dilakukan dengan metode simple random sampling. Instrumen penelitian dengan menggunakan kuesioner CDI (Child Depression Inventory) dan CSSRS (Columbia-Suicide Severity Rating Scale) versi Indonesia. Hasil : Tidak terdapat hubungan langsung antara depresi dengan risiko bunuh diri pada remaja. Terdapat hubungan antara Negative Mood pada remaja yang mengalami depresi dengan resiko bunuh diri (p
Latar belakang : Laryngopharyngeal Reflux (LPR) digambarkan sebagai refluks retograd dari gaster di daerah laringofaring akibat relaksasi premature sfineter esophagus bagian atas. Tata laksananya meliputi pengaturan gaya hidup dan pola makan, terapi medikamentosa dan tata laksana bedah. Nigella sativa / jinten hitam (NS) memiliki efek sebagai anti inflamasi, anti oksidan dan gastroprotektif yang diharapkan dapat memberikan perbaikan klinis pada pasien LPR. Tujuan: Mengetahui efektivitas NS terhadap perbaikan klinis pasien LPR. Metode: Penelitian intervensi dengan metode pre dan post test design pada 34 pasien LPR di RSUP dr. Kariadi dan 2 RS satelit dari bulan November 2019-Maret 2020. Hasil : 24 pasien dengan data lengkap sedangkan 10 pasien tidak dapat dilakukan pemeriksaan RFS evaluasi karena pandemic. Kelompok perlakuan sebanyak 15 pasien diberikan omeprazol 20 mg/12 jam per oral ditambah NS 1000 mg/12 jam per oral dan kelompok control sebanyak 9 pasien diberikan omeprazol 20 mg/12 jam per oral ditambah placebo. Data diuji dengan Shapiro Wolk, diikuti uji parametric yang sesuai, dan Fisher’s exact test. Tidak didapatkan perbedaan perbaikan klinis LPR berdasarkan nilai RSI dan RFS antara kelompok yang diberikan tambahan NS dan kelompok tanpa NS, p 0,105. Kesimpulan : Tidak didapatkan perbedaan perbaikan klinis LPR antara kelompok yang diberikan tambahan NS dan kelompok tanpa NS. Kata kunci : Laryngopharyngeal Reflux, Reflux Symptoms Index, Reflux Finding Score, Omeprazol, Nigella sativa
Latar belakang : Sepuluh persen sampai 25% dari pasien diabetes mellitus (DM) tipe II memiliki kemungkinan besar mengalami kaki diabetic. Trombosis dapat menghambat proses penyembuhan luka dan menyebabkan terjadinya gangrene dan membutuhkan amputasi. Hingga kini masih sedikit tulisan yang berhubungan dengan karakteristik penderita kaki diabetic. Tujuan: Mengetahui karakteristik penderita kaki diabetic di RSUP dr. Kariadi. Metode : Penelitian ini berjenis deskriptif rektrospektif dengan studi belah lintang menggunakan data rekam medis pasien kaki diabetic di RSUP dr. Kariadi tahun 2015-2019. Hasil : Terdapat 607 pasien dalam penelitian ini. Berdasarkan data pasien tahun 2015 hingga 2019, pasien dengan rentang usia 51-60 tahun paling sering mengalami kaki diabetic, jenis kelamin perempuan (52%) mengalami kaki diabetic lebih sering dibandingkan dengan laki-laki (48%), tingkat mortalitas pasien yang mengalami kaki diabetic yaitu sebesar 20% dan tingkat survival rate pasien dengan kaki diabetic sebsar 80%, sebagian besar pasien (63%) dilakukan penanganan secara konservatif (non-bedah) dan untuk tatalaksana bedah (37%), pasien dengan berat badan overweight dan normal memiliki persentase yang sama, sebagian besar ditatalaksana dengan metode konservatif dengan dokter penyakit dalam, serta 28% pasien ditatalaksana dengan amputasi dan 8% dilakukan debridement. Kesimpulan : Pada penelitian ini didapatkan karakteristik usia, jenis kelamin, tingkat mortalitas dan survival rate, manajemen serta dokter penanggung jawab dan BMI pasien kaki diabetic di RSUP dr. Kariadi sebagai upaya meninjau pasien lebih lanjut guna member manajemen yang tepat agar mendapatkan hasil yang baik bagi pasien kaki diabetic. Kata kunci : karakteristik, kaki diabetic, bedah
Latar belakang : Cedera otak merupakan salah satu penyebab mortalitas dan morbiditas tertinggi di dunia, dengan prevalensi yang meningkat setiap tahunnya, hal ini terutama terjadi pada Negara berkembang seiring dengan meningkatnya penggunaan kendaraan bermotor. Di Indonesia, meskioun angka kejadian tinggi, data mengenai kejadian serta karakteristik kasus-kasus pasien dengan cedera kepala masih belum banyak dipublikasikan. Tujuan: Studi ini bertujuan untuk menggambarkan pola karakteristik kasus cedera kepala di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Metode : Penelitian ini adalah deskripstif dengan penelitian retrospektif menggunakan data sekunder rekam medis di RSUP Dr. Kariadi pada periode 1 Januari 2019-31 Desember 2019. Data yang dikumpulkan dianalisis menggunakan program SPSS veris 23 dan ditampilna dalam nilai rerata media, frekuensi dan persentase. Hasil : Pada studi ini dari total 333 kasus didapatkan prevalensi tertinggi kasus cedera kepala adalah pada laki-laki (63,3%) dibandingkan perempuan dan didominasi oleh kelompok usia remaja akhir (26,4%), meskipun dilihat dari pekerjaan yang terbanyak adalah pelajar (34,2%). Penyebab terbanyak kasus ini adalah kecelakaan (92,1%) dan cedera kepala ringan memiliki frekuensi tertinggi (89,7%) dibandingkan tingkat keparahan cedera kepala lainnya. Kesimpulan : Tingginya prevalensi cedera kepala yang terutama adalah akibat kecelakaan dan pada kelompok usia remaja dapat menjadi pertimbangan pemerintah daerah setempat untuk lebih memperhatikan kesadaran keamanan berkendara bagi masyarakat setempat baik melalui program penyuluhan maupun instrument lainnya. Kata kunci : karakteristik, cedera kepala, RSUP dr. Kariadi, periode
Latar belakang : Angka kejadian trauma vertebra di dunia tercatat sebesar 0,019% hingga 0,088% per tahun. Berdasarkan penelitian sebelumnya ditemukan bahwa pria memiliki resiko 1,9-3,3 kali lebih besar daripada wanita untuk mengalami cedera vertebra. Namun angka kejadian tersebut berbeda pada masing-masing Negara bergantung pada beberapa faktor seperti latar belakang geografis, iklim, sosio-ekonomi, serta budaya masyarakat. Tujuan: Mengtahui gambaran epidemiologi fraktur vertebra di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Metode : Penelitian ini dilakukan dengan desain deskriptif observasional Data diperoleh dari rekam medic pasien dengan fraktur vertebra di RSUP Dr. Kariadi dalam periode tahun 2015-2019. Pada penelitian ini diperoleh 358 sampel secara total sampling. Data yang dikumpulkan berupa data diri pasien, diagnosis dan lama perawatan. Kemudian data diolah menggunakan piranti lunak SPSS untuk mengetahui jumlah kasus, perbandingan kasus pada pasien laki-laki –perempuan, distribusi usia, jumlah kasus per tahun, jenis fraktur dan lama perawatan pada pasien dengan fraktur vertebra. Hasil : Angka kejadian fraktur vertebra pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan yaitu 64,8% pada laki-laki dan 35,2% pada perempuan. Distribusi usia pasien yang paling banyak mengalami fraktur vertebra adalah kelompok usia > 50 tahun yaitu sebesar 41,6%. Jenis fraktur vertebra paling banyak adalah jenis fraktur vertebra lumbal yaitu sebesar 60,9%. Lama perawatan pasien fraktur vertebra paling banyak selama 5-10 hari yaitu sebesar 30,7%. Kesimpulan : Laki-laki lebih berisiko untuk mengalami trauma pada vertebra. Pada populasi kelompok usia > 50 tahun mempunyai risiko tinggi dikarenakan adanya osteoporosis primer pasca menopause. Tingginya angka kejadian vertebra lumbal pada pria berkaitan dengan trauma yang disebabkan karena kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian. Kata kunci : fraktur vertebra, trauma