Latar belakang: Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit yang memiliki prevalensi yang cukup tinggi. Kaki diabetik dengan ulkus merupakan komplikasi diabetes yang sering terjadi. Penyembuhan luka ulkus kaki diabetik yang cepat dapat menurunkan kemungkinan kaki di amputasi dan kematian pasien diabetes melitus. Asupan gizi energi dan protein merupakan faktor sistemik yang ikut mempengaruhi kesembuhan luka. Tujuan : Menganalisis korelasi asupan energi protein dengan kesembuhan luka ulkus kaki diabetik. Metode penelitian : Penelitian ini adalah penelitian observasional dengan pendekatan cross sectional. Sebanyak 39 orang pasien rawat inap di RSUP Dr. Kariadi Semarang, berusia 18-65 tahun yang dipilih sebagai subjek setelah sebelumnya menyetujui informed consent dan penelitian mendapatkan persetujuan Etik. Instrumen penelitian menggunakan Bates-Jensen Wound Assesment Tool. Uji korelasi menggunakan uji korelasi Spearman. Hasil : Asupan energi dan protein tidak berkorelasi dengan kesembuhan luka. Derajat luka (r= -0,52 dan p= 0.00) dan kadar gula darah (r= -0,66 dan p= 0,00) ditemukan berkorelasi dengan kesembuhan luka ulkus kaki diabetik. Simpulan: Hasil penelitian menunjukan semakin tinggi kadar gula darah, semakin lama kesembuhan luka dan semakin berat derajat luka semakin lama kesembuhan luka. Tidak didapatkan korelasi antara asupan energi dan protein dengan kesembuhan luka. Kata kunci : asupan energi, asupan protein, kesembuhan luka
Latar belakang: Diare dapat menimbulkan permasalahan pada pasien yang di rawat di Rumah Sakit seperti memperpanjang lama rawat inap. Diare disebabkan oleh multifaktorial dan beberapa faktor diketahui berhubungan dengan diare selama pasien dirawat yaitu usia lanjut, lama rawat inap, kejadian infeksi, penggunaan antibiotik, dan status gizi malnutrisi. Di RSUP Dr. Kariadi Semarang belum pernah dilakukan penelitian faktor yang berhubungan dengan diare. Tujuan: Menghitung besar risiko usia lanjut, lama rawat inap, kejadian infeksi, penggunaan antibiotik, formula nutrisi enteral non pabrikasi, dan status gizi malnutrisi dengan kejadian diare. Metoda penelitian: Jenis penelitiancase control dengan mengambil data restrospektif pasien stroke yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi selama bulan Januari – April 2020. Dilakukan pemeriksaan data berdasarkan variabel bebas, dilakukan pencatatan dan dianalisis hubungan dengan menggunakan uji statistik Chi Square. Hasil: Sebanyak 40 subyek penelitian yang di rawat di unit stroke RSUP Dr Kariadi mayoritas diagnosis stroke non hemoragik (55%) dan laki-laki (60%). Mayoritas subyek usia non geriatri yaitu kurang dari 60 tahun. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan yang signifikan pada faktor usia lanjut, lama rawat inap dan penggunaan antibiotik terhadap diare. Usia lanjut subyek (p = 0,043) dengan risiko 10 kali lipat. Lama rawat inap > 5 hari (p = 0,031) dengan risiko 11,56 kali lipat. Penggunaan antibiotik dengan risiko 13,5 kali lipat. Sedangkan variabel lain tidak signifikan. Simpulan: Terdapat hubungan usia lanjut, lama rawat inap >5 hari dan penggunaan antibiotik terhadap kejadian diare pada pasien stroke yang di rawat di unit stroke RSUP Dr Kariadi Kata kunci: diare, unit stroke, geriatri, antibiotik, lama rawat inap
Latar belakang: Bertambahnya populasi lansia mengakibatkan meningkatnya sarkopenia, suatu masalah geriatri yang menimbulkan kualitas hidup yang rendah, kerentanan terhadap penyakit, malnutrisi, bahkan kematian. Massa otot sebagai parameter sarkopenia dapat diukur dengan Bioelectrical Impedance Analysis (BIA). Deteksi penurunan massa otot dengan mudah dan sederhana melalui pengukuran lingkar betis diharapkan bisa mendiagnosis sarkopenia sejak awal sehingga dapat diberikan intervensi dini untuk meningkatkan kualitas hidup lansia. Tujuan: Menganalisis kesesuaian lingkar betis dengan massa otot untuk menegakkan diagnosis sarkopenia. Metode penelitian: Penelitian melibatkan 126 lansia usia 60 -80 tahun di komunitas yang memenuhi kriteria inklusi. Massa otot diukur menggunakan BIA dan lingkar betis diukur dengan pita pengukur. Analisis dilakukan sesuai kurva receiver operating characteristic (ROC) untuk menentukan titik potong beserta nilai sensitivitas (Se) dan spesifisitas (Sp), nilai duga positif (NDP) dan negatif (NDN) lingkar betis sebagai acuan massa otot yang rendah. Hasil: Sebanyak 40 (31,7%) dari 126 subjek mengalami sarkopenia. Titik potong optimal antara lingkar betis dan massa otot 32,9 cm pada perempuan (Se 80,8%,Sp 79,1%, NDP 75,9%, NDN 87,5%) dan 33,5 cm pada laki-laki (Se 78,6%,Sp 74,4%, NDP 50%, NDN 91,4%) untuk menunjukkan massa otot yang rendah. NDP laki-laki lebih rendah dibanding perempuan oleh karena prevalensi penurunan massa otot lebih rendah pada laki- laki dibandingkan perempuan. Kesimpulan: Terdapat kesesuaian lingkar betis massa otot sehingga bisa digunakan sebagai skrining penurunan massa otot untuk menegakkan sarkopenia. Kata kunci : sarkopenia, lansia, lingkar betis, massa otot
Latar belakang: Pasien stroke rentan mengalami komplikasi, salah satunya yaitu malnutrisi. Prevalensi malnutrisi pada stroke akut mencapai 34%. Target energi dan protein yang tercapai dalam waktu ≤ 3 hari dapat mencegah malnutrisi. Pemberian terapi gizi membutuhkan data dasar berupa antropometri dengan pengukuran Lingkar Lengan Atas (LLA) dan penghitungan Indeks Massa Tubuh (IMT). Tujuan: Menganalisis hubungan antara kecepatan pencapaian target energi dan protein dengan penurunan LLA dan IMT pada pasien stroke di Indonesia. Metode penelitian: Rancangan penelitian adalah observasional dengan pendekatan belah lintang untuk mengetahui hubungan kecepatan pemenuhan target energi dan protein dengan penurunan LLA dan IMT. Sebanyak 55 subyek pasien stroke yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diteliti di Unit Stroke RSUP Dr. Kariadi Semarang selama bulan Januari-Maret 2021. Dilakukan pengukuran LLA dan pengitungan IMT. Analisis hubungan antara variabel tergantung dan bebas menggunakan uji statistik chi square. Hasil: Sejumlah 49 (89,1%) subyek tercapai target energi dan proteinnya dalam ≤3 hari. Kecepatan pencapaian target energi dan protein tidak berhubungan dengan penurunan LLA dan penurunan IMT secara statistik (p >0,05), tetapi data penelitian menyebutkan 17 (34,7%) subyek yang mencapai target energi dan protein ≤3 hari tidak mengalami penurunan LLA dan IMT. Simpulan: 55 subyek berusia 19-59 tahun dimana sebagian besar subyek (89,1%) dapat terpenuhi target energi dan proteinnya dalam waktu ≤3 hari dan hampir sepertiga subyek tersebut tidak mengalami penurunan LLA dan IMT. Kata kunci: Stroke, LLA, IMT, malnutrisi, antropometri
Latar belakang : Embalming (pengawetan jenazah) adalah pemberian macam-macam bahan kimia tertentu pada interior dan eksterior orang mati dengan tujuan menghambat dekomposisi jaringan. Sejak tahun 1893, formalin sudah digunakan sebagai cairan pengawet jaringan, organ dan kadaver. Akan tetapi paparan formalin yang terlalu lama dapat menyebabkan kanker. Berdasarkan penelitian Walrath dkk, di departemen kesehatan New York mengidentifikasi kematian 243 embalmer disebabkan oleh kanker. International Academy of Pathology menetapkan buffer 10% formalin adalah cairan yang baik sebagai piksatif. Pada penelitian ini dilakukan embalming menggunakan formalin 37% dan Buffer 10% formalin untuk melihat perbedaan efektifitas cairan tersebut dalam embalming. Tujuan : Mengetahui perbedaan perubahan-perubahan postmortem dan gambaran patologi anatomi otak dan ginjal yang telah diembalming. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan sampel berjumlah 36 ekor tikus wistar, yang dibagi menjadi sembilan kelompok. Kelompok tanpa perlakuan (kontrol) 72 jam, 96 jam dan 120 jam yang tidak diberi perlakuan. Kelompok perlakuan Buffer 10% formalin 72 jam, 96 jam, dan 120 jam sebagai kelompok yang diembalming dengan Buffer 10% formalin. Dan kelompok perlakuan formalin 37% 72 jam, 96 jam, dan 120 jam sebagai kelompok yang diembalming dengan formalin 37%. Pada masing-masing kelompok perlakuan diembalming dengan menggunakan cairan buffer 10% formalin, dan formalin 37% yang disuntikkan secara intraventrikel dengan dosis 15 ml/100g berat badan tikus. Saat akhir perlakuan mengamati perubahan-perubahan postmortem dan organ otak dan ginjal diambil pada 72 jam, 96 jam, dan 120 jam. Hasil : Pada kelompok kontrol telihat dengan jalas perubahan-perubahan postmortem dan gambaran patologi anatomi otak dan ginjal yang tidak jelas. Kelompok buffer 10% formalin dan kelompok formalin 37% menunjukkan perubahan-perubahan postmortem yang minimal dan gambaran histopatologi yang jelas. Kesimpulan : Tikus wistar menunjukkan perubahan-perubahan postmortem yang berbeda pada waktu perlakuan 72 jam, 96 jam, dan 120 jam. Embalming menggunakan buffer 10% formalin dan formalin 37% menunjukkan perbedaan terhadap gambaran patologi anatomi otak dan ginjal. Embalming menggunakan buffer 10% formalin memperlihatkan gambaran patologi anatomi yang lebih baik. Sementara perubahan-perubahan postmortem terlihat lebih minimal pada embalming menggunakan formalin 37%. Kata kunci : Embalming, Formalin 37%, Buffer 10% formalin.
Latar Belakang: Sepsis adalah keadaan medis yang menggambarkan respon imunologis sistemik tubuh terhadap proses infeksi yang dapat menyebabkan disfungsi organ dan kematian. Pada pasien sepsis terjadi penurunan Systemic vascular resistance (SVR) yang disebabkan oleh aktivasi sistemik kaskade inflamasi, sehingga terjadi vasodilatasi yang menyebabkan penurunan tekanan darah hingga dapat mencapai keadaan syok dan hipoperfusi. Keadaan hiperinflamasi, severitas, dan syok pada pasien sepsis dapat diketahui dengan menggunakan skor Sequential (Sepsis-Related) Organ Failure Assessment (SOFA). Tujuan: Mengetahui hubungan antara penuruan nilai SVR terhadap peningkatan nilai skor SOFA pada pasien sepsis. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain cross sectional. Pasien ruang intensif dengan memenuhi kriteria sepsis dengan skor SOFA > 2 dilakukan pemeriksaan echocardiography untuk dinilai SVR, kemudian data dianalisis menggunakan uji korelasi. Hasil: didapatkan 35 sampel yang memenuhi kriteria inklusi, dengan adanya penggunaan obat vasokonstriktor pada 45,7% sampel dan 54,3 % sampel tanpa penggunaan obat vasokonstriktor. Uji korelasi Pearson antara SVR dan skor SOFA menunjukkan hasil p 0,345. Uji Mann-Whitney antara sampel yang mendapat obat vasokonstriktor dengan sampel yang tidak mendapat obat vasokonstriktor terhadap skor SOFA menunjukkan hasil nilai p 0,05). Kesimpulan: Nilai SVR tidak dapat dijadikan acuan sebagai prediktor tingkat severitas pasien sepsis. Kata kunci: inflamasi, sepsis, severitas, SOFA, SVR
Latar belakang: Postoperative Cognitive Dysfunction atau POCD adalah gangguan fungsi kognitif akibat inflamasi paska prosedur pembedahan. Angka kejadian POCD paska pembedahan kardiak lebih tinggi dibandingkan pembedahan non-kardiak. POCD diduga diakibatkan oleh respon inflamasi sistemik. Prokalsitonin menjadi salah satu mediator inflamasi yang berperan terhadap peningkatan resiko inflamasi saat operasi yang memicu kejadian POCD pasca operasi pembedahan katup jantung. Inflamasi disebabkan oleh pelepasan protein fase akut yaitu Prokalsitonin dan sitokin proinflamasi lainnya yang menyebabkan terganggunya sawar darah otak dan mengganggu neurotransmisi sehingga terjadi POCD. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan peningkatan kadar Prokalsitonin terhadap POCD pada pasien yang menjalani pembedahan ganti katup jantung di RS Umum Pusat Dr. Kariadi. Metode: Penelitian ini adalah penelitian analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien yang menjalani pembedahan ganti katup jantung di RSUP Dr. Kariadi pada bulan Juni 2020- Desember 2020. Sampel penelitian sebanyak 19 subyek didapatkan dengan teknik consecutive sampling. Pada subyek penelitian dilakukan pengukuran kadar serum Prokalsitonin sebelum pembedahan dan hari pertama paska pembedahan, kemudian dilakukan pemeriksaan fungsi kognitif dengan MoCA INA pada hari ketiga paska pembedahan. Data dianalisis dengan uji korelasi spearman. Hasil: Dari 19 subyek penelitian, terdapat 13 responden (68,4%) yang mengalami POCD. Rerata peningkatan prokalsitonin pada pasien POCD adalah 5,22 dengan standar deviasi 12,50 sedangkan peningkatan prokalsitonin pada pasien non POCD adalah 0,21 dengan standar deviasi 0,45. Berdasarkan uji korelasi spearman, diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara peningkatan kadar Prokalsitonin terhadap POCD paska pembedahan ganti katup jantung (p=0,004). Kesimpulan: Terdapat hubungan yang signifikan antara perbedaan kadar Prokalsitonin terhadap POCD paska pembedahan ganti katup jantung di RS Umum Pusat Dr. Kariadi. Kata kunci: POCD, Prokalsitonin, MoCA INA
Latar belakang: Kolonoskopi merupakan prosedur rawat jalan paling umum dilakukan. Pasase dari kolonoskop melalui kolon menghasilkan nyeri viseral yang disebabkan looping dari endoskop. Fentanil merupakan opioid paling umum digunakan dalam anestesi namun remifentanil menunjukkan onset dan offset aksi lebih cepat. Tujuan : Penelitian ini membandingkan remifentanil dan fentanil pada prosedur kolonoskopi. Metode: Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan desain Randomized Two-Group Design, Posttest Only. Populasi penelitian adalah pasien bedah ambulatory yang menjalani prosedur kolonoskopi elektif. Sampel penelitian sebanyak 40 subyek dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok remifentanil (premedikasi remifentanil dosis 0,5 mcg/kg/menit bolus selama 60- 90 detik, induksi propofol dosis 0,5 mg/kgBB bolus, maintenance remifentanil infus kontinyu kecepatan 0,05 mcg/kgBB/menit + propofol dosis 2,5 mg/kgBB/jam) dan kelompok fentanil (premedikasi fentanil dosis 1 mcg/kg/menit bolus selama 60-90 detik, induksi propofol dosis 0,5 mg/kgBB bolus, maintenance fentanil infus kontinyu kecepatan 0,5 mcg/kgBB/jam + propofol dosis 2,5 mg/kgBB/jam). Waktu pemulihan dibandingkan antara kedua kelompok. Uji hipotesis menggunakan uji Mann-Whitney. Hasil: Waktu pemulihan dan waktu keluar RS kelompok remifentanil lebih singkat dibandingkan kelompok fentanil (4,10 ± 1,02 vs 5,40 ± 0,94 menit; 16,10± 1,41 vs 17,70 ± 1,46 menit; masing-masing). Kesimpulan: Waktu pemulihan dan waktu keluar RS pada subyek yang mendapatkan remifentanil lebih singkat dibandingkan fentanil pada pasien bedah ambulatory yang menjalani prosedur kolonoskopi elektif. Kata kunci: Waktu pemulihan, remifentanil, fentanil, bedah ambulatory, kolonoskopi
Latar Belakang : Sepsis adalah sindrom penyakit akibat infeksi yang mengancam nyawa, ditandai dengan gangguan fungsi organ akibat disregulasi respons tubuh. Penilaian sepsis merupakan hal penting dilakukan sebelum pemberian intervensi, semakin cepat kita bisa mengidentifikasi pasien sepsis maka akan memberikan kesempatan kita untuk memberikan pencegahan perburukan kondisi pasien. Tujuan : Untuk mengetahui hubungan antara nilai SOFA dengan LVEF pada pasien sepsis yang dirawat pada ruang perawatan ICU RSUP Dr. Kariadi. Metode : Penelitian ini adalah penelitian observational analitik dengan rancangan belah lintang (crosssectional) retrospektif yang menggunakan data sekunder dari catatan medis (CM) pasien sebanyak 30 sampel yang terdiagnosis sepsis sesuai dengan kriteria diagnosis sepsis-3 di ruang perawatan Intensif RSUP dr Kariadi Semarang kemudian menilai hubungan antara nilai left ventricular ejection fraction dengan skor Sequencial Organ FailureAssesment (SOFA) pasien. Hasil : skor SOFA terhadap LVEF mempunyai nilai signifikan (p < 0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa skor SOFA merupakan variabel yang dominan berpengaruh terhadap LVEF. Simpulan : Terdapat pengaruh bermakna pada LVEF terhadap SOFA dalam memprediksi mortalitas pada pasien sepsis. Kata Kunci : Sepsis, SOFA, LVEF
Latar belakang : Brakiterapi merupakan terapi yang sering digunakan pada bidang ginekologi dan radiologi intervensi dimana tindakan ini memberikan rasa tidak nyaman pada pasien. Teknik anestesi yang umumnya dilakukan adalah Total Intravenous Anesthesia (TIVA), pada beberapa pasien mengeluhkan adanya rasa nyeri saat aplikator telah terpasang sampai dengan saat pelepasan aplikator. Pada TIVA didapatkan waktu pulih sadar lebih lama dan terdapat potensi rasa nyeri yang lebih besar. Anestesia spinal memiliki kemudahan teknik pelaksanaan, onset yang cepat, pengelolaan nyeri lebih lama, serta komplikasi yang rendah dibandingkan dengan anestesia umum. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas antara penggunaan low dose spinal anesthesia dengan TIVApada pasien kanker leher rahim yang menjalani brakiterapi intrakaviter di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Metode : Penelitian dilakukan terhadap 40 pasien brakiterapi intrakaviter di RSUP Dr.Kariadi yang memenuhi kriteria penelitian. Seluruh pasien diberikan premedikasi midazolam 0,025 mg/kgBB IV. Kelompok I low dose spinal anesthesia dengan bupivakain hiperbarik 0,5% 5 mg (1 ml) ditambah ajuvan fentanil 25 mcg (0,5 ml). Kelompok II TIVA menggunakan intravena fentanil 2 mcg/kgBB, ketorolak 30 mg, propofol 2 mg/kgBBtitrasi. Data berupa tanda-tanda vital, Richmond Agitation Sedation Scale (RASS), skor Numerical Rating Scales (NRS), efek samping, tingkat kepuasan pasien dan tingkat kepuasan operator. Hasil : Data dianalisa dengan Uji t dan Mann-Whitney, dianggap bermakna bila p