Latar Belakang : Insomnia adalah keluhan gangguan tidur yang umum pada pasien stroke, mempengaruhi antara 20% - 56% dari total pasien stroke. Insomnia salah satu indikator terpenting yang memprediksi prognosis buruk pemulihan fungsional. Semakin banyak bukti tentang pentingnya tidur dalam neuroplastisitas dan pembelajaran dalam pemulihan stroke, tetapi pengelolaan tidur pada umumnya belum dipertimbangkan dalam manajemen stroke dan protokol rehabilitasi, menarik perhatian penulis untuk melakukan penelitian tentang salah satu gangguan tidur yaitu insomnia yang dihubungkan dengan keluaran klinis motorik pada pasien stroke iskemik Tujuan : Mengetahui hubungan derajat keparahan insomnia dan kadar BDNF serum dengan keluaran klinis motorik pada pasien stroke iskemik, serta faktor-faktor lain yaitu lokasi stroke, tingkat keparahan stroke, jenis kelamin, umur dan depresi dengan keluaran klinis motorik pada pasien stroke iskemik. Metoda : Cross Sectional, meneliti 30 pasien stroke iskemik sesuai kriteria inklusi. Insomnia dan derajat keparahan insomnia dievalusi dengan skor Insomnia Severity Index (ISI), keluaran klinis motorik dievaluasi dengan skor Barthel Index (BI) dan skor Short-Fugl Mayer Assesment (S-FMA). Depresi dievaluasi dengan skor Beck Depression Inventory. Kadar BDNF serum diukur dengan serum darah pasien stroke iskemik yang diambil pada hari ke 5-7 onset. Tingkat keparahan stroke dinilai dengan skor NIHSS dan lokasi lesi stroke dinilai dari hasil CT Scan kepala non kontras. Analisis bivariat dari masing-masing faktor terhadap keluaran klinis motorik dan analisis multivariat multipel regresi/regresi liner berganda semua faktor yang berhubungan dengan keluaran klinis motorik, untuk menilai besarnya pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap keluaran klinis motorik pasien stroke. Hasil Penelitian : Tidak didapatkan hubungan antara derajat keparahan insomnia dengan keluaran klinis motorik (p=0,936 dan p=0,116). Tidak didapatkan hubungan antara kadar BDNF serum dengan keluaran klinis motorik (p=0,183 dan p=0,819). Didapatkan hubungan yang bermakna secara statistik umur, lokasi stroke dan NIHSS dengan keluaran klinis motorik (Barthel Index) dimana umur dan NIHSS lebih berpengaruh (p=0,030 dan p=0,035) dan memberikan pengaruh sebesar 48,5%. Didapatkan hubungan bermakna jenis kelamin, lokasi stroke dan NIHSS dengan keluaran klinis motorik (Short Fugl Mayer Assesment/S-FMA) dimana NIHSS lebih berpengaruh (p=0,002) dan memberikan pengaruh sebesar 62,2%. Kesimpulan : Tidak terdapat hubungan derajat keparahan insomnia dengan keluaran klinis motorik pasien stroke iskemik. Tidak terdapat hubungan kadar BDNF serum dengan keluaran klinis motorik pasien stroke iskemik. Didapatkan hubungan faktor-faktor lain yaitu umur, jenis kelamin, lokasi lesi stroke dan NIHSS dengan keluaran klinis motorik pasien stroke iskemik, dimana umur dan NIHSS merupakan faktor yang paling berpengaruh pada keluaran klinis motorik pasien stroke iskemik Kata kunci : Insomnia, umur, NIHSS, keluaran klinis motorik, stroke iskemik
Latar belakang : Keterlambatan bicara dan bahasa menyertai berbagai gangguan seperti retardasi mental, kurang pendengaran, psikososial, autisme, afasia reseptif dan cerebral palsy dan kelainan organ bicara. Tujuan: Mengetahui hubungan faktor risiko dengan keterlambatan bicara dan bahasa pada anak. Metode: Penelitian belah lintang pada anak umur 6 bulan -36 bulan curiga terlambat bicara yang dilakukan pemeriksaan Brain evoked respon audiometry di RSUP Dr Kariadi Semarang. Keterlambatan dinilai dengan kuisioner Languange evaluation Scale Trivandum (LEST). Sampel ditentukan sebanyak 80. Kriteria inklusi anak dengan usia 6 bulan – 36 bulan dan kriteria ekslusi adalah anak dengan gangguan sentral sepertu retardasi mental, cerebral palsy, afasia, mikrosefal, hidrosefalus dan kelainan organ bicara dan bahasa. Analisis data menggunakan uji Fisher’s exact dan chi-square, p
Latar Belakang: Akne vulgaris (AV) adalah suatu penyakit inflamasi kronik pada unit folikel pilosebasea yang sering terjadi. Penatalaksanaan akne vulgaris pada pasien wanita memiliki tantangan tersendiri dimana terdapat banyak riwayat terjadinya gagal terapi dengan menggunakan terapi konvensional seperti dengan antibiotik maupun isotretinoin, serta pasien wanita memiliki predisposisi adanya kondisi kelebihan androgen. Disamping itu, semakin meningkatnya kesadaran mengenai pembatasan pemakaian antibiotik untuk mencegah terjadinya resistensi pada kasus dermatologi, termasuk akne vulgaris, mendorong penggunaan pilihan terapi lain, pada populasi pasien wanita, salah satunya dengan terapi berbasis hormon. Tujuan: Membuktikan efektifitas terapi berbasis hormon (spironolakton dan kontrasepsi oral kombinasi) untuk menurunkan jumlah total lesi akne vulgaris pada wanita. Metode: Hasil pencarian database elektronik Medline Pubmed, , Scopus, Cochrane library, dan pencarian mandiri, didapatkan 10 artikel yang disertakan dalam tinjauan kualitatif (n=1906 subjek) dan 8 artikel (n=1842 subjek) yang disertakan dalam meta-analisis. Hasil: Hasil meta-analisis menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna antara rerata perbedaan mean jumlah lesi setelah perlakuan kelompok yang mendapat terapi berbasis hormon (spironolakton dan kontrasepsi oral kombinasi) dengan yang mendapat terapi kontrol (p=0,005). Nilai perbedaan rerata overall adalah – 0,890±0,316, nilai negatif menunjukkan jumlah lesi setelah terapi berbasis hormon (spironolakton dan kontrasepsi oral kombinasi) adalah lebih rendah secara bermakna dibanding dengan yang mendapat terapi kontrol (p=0,005). Kesimpulan: Dari hasil tinjauan sistematis dan meta-analisis yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa pada kelompok yang diberikan terapi berbasis hormon (spironolakton dan Kontrasepsi Oral Kombinasi) terdapat penurunan jumlah total lesi akne vulgaris dibandingkan sebelum perlakuan, dan hasil rerata perbedaaan jumlah lesi lebih rendah secara bermakna setelah mendapatkan terapi terapi berbasis hormon (spironolakton dan kontrasepsi oral kombinasi) dibandingkan dengan kontrol. Kata kunci: spironolakton, kontrasepsi oral kombinasi, akne vulgaris
Latar Belakang: Akne vulgaris adalah salah satu penyakit kulit yang mempengaruhi hingga 85% remaja dan dewasa muda. Berbagai pilihan terapi meliputi terapi topikal, sistemik atau terapi fisik. Efek terapi konvensional terbatas karena adanya resistensi antibiotik dan efek samping seperti iritasi dan teratogenisitas isotretinoin. Terapi berbasis cahaya adalah terapi alternatif dan / atau adjuvan pada pasien yang tidak dapat mentolerir atau tidak responsif terhadap terapi konvensional yang mungkin memberikan lebih sedikit efek samping, kenyamanan pasien, onset cepat, dan dengan efektivitas yang sama atau lebih besar. Tujuan: Membuktikan efektifitas pulsed dye laser sebagai pilihan terapi pada akne vulgaris. Tinjauan sistematis dan Meta-analisis dilakukan dari uji klinis acak efektifitas Pulsed Dye Laser dalam tatalaksana akne vulgaris. Metode: Hasil pencarian database elektronik Medline Pubmed, Scopus, Cochrane library, dan pencarian mandiri didapatkan delapan studi (n = 275 subjek) dimasukkan dalam analisis kualitatif dimana enam studi (n = 190 subjek) dimasukkan dalam meta-analisis. Usia rata-rata peserta adalah 21,94 tahun. Intervensi menggunakan pulsed dye laser sebagai terapi tunggal atau kombinasi pada pasien akne vulgaris dengan follow up minimal 12 minggu. dan hasilnya adalah penurunan rata-rata jumlah lesi akne vulgaris setelah mendapat terapi pulsed dye laser. Hasil: Pengumpulan data menggunakan random effect model menunjukkan bahwa kelompok yang mendapat terapi PDL sendiri atau kombinasi memiliki jumlah lesi akne yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol dengan perbedaan rerata -0,593 (95% CI = -1,290-0,104), nilai z -1.668 dengan p = 0.095. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah lesi pada kelompok yang menerima terapi PDL tunggal atau kombinasi lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol. Namun perbedaannya tidak signifikan. Kesimpulan: Dari hasil tinjauan sistematis, dapat disimpulkan bahwa pada kelompok PDL terjadi penurunan jumlah lesi akne vulgaris dibandingkan sebelum pengobatan, dan penurunan yang ditunjukkan dengan adanya perbedaan jumlah lesi akne vulgaris. Jumlah rata-rata lesi akne, secara signifikan lebih besar dibandingkan dengan kontrol yang hanya diberi plasebo. Terapi PDL dapat menjadi pilihan pengobatan alternatif untuk akne vulgaris pada pasien yang tidak responsif terhadap pengobatan sebelumnya atau kondisi di mana terdapat kontraindikasi terhadap terapi sistemik. Kata kunci: pulsed dye laser, akne vulgaris
Latar belakang: Obesitas sentral menjadi faktor risiko terjadinya DM tipe 2 dan sindrom metabolik. Pengukuran menggunakan diameter sagital abdomen dapat digunakan sebagaib penanda pengganti untuk memprediksi risiko DM tipe 2. Referensi penggunaan diameter sagital abdomen sebagai alat antropometri untuk penapisan risiko DM tipe 2 di Indonesia masih terbatas. Tujuan : Menganalisis hubungan antara diameter sagital abdominal dengan kadar HbA1c. Metode penelitian : Penelitian ini adalah penelitian observasional dengan pendekatan cross sectional. Sebanyak 60 subyek berusia antara 40-55 tahun yang berada di wilayah kerja kota Semarang yang overweight/ obese dipilih sebagai subjek setelah sebelumnya menyetujui informed consent dan penelitian mendapatkan persetujuan Etik. Instrumen penelitian adalah kaliper diameter sagital abdomen, pita ukur, dan Chemistry analyzer HbA1c. Penghitungan data menggunakan uji korelasi Spearman dan regresi linier. Hasil : Diameter sagital abdomen berbanding lurus dengan kadar HbA1c pada subyek laki-laki overweight/ obese (p < 0,001, r= 0,490). Kenaikan 1 cm SAD meningkatkan kadar HbA1c sebesar 17%. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk memperkuat penemuan ini pada subjek dengan variabilitas yang lebih beragam. Simpulan : Diameter sagital abdomen dapat dijadikan alat skrining antropometri pengganti untuk penapisan risiko DM tipe 2 pada orang dengan overweight/obese. Kata kunci : Diameter sagital abdomen, obesitas sentral, HbA1c, DM tipe 2
Latar belakang : Kanker payudara merupakan tumor ganas yang paling sering terjadi dan penyebab kematian terbanyak pada wanita di seluruh dunia. Jawa Tengah menempati urutan pertama berdasarkan estimasi jumlah kanker payudara di Indonesia dengan 11.511 kasus. Asupan karbohidrat adalah salah satu faktor risiko kanker payudara melalui peningkatan kadar IGF-1. IGF-1 bersifat anti apoptosis dan mitogenik. Penelitian tentang hubungan kanker payudara dan insulin growth factor-1 (IGF-1) masih inkonsisten sampai saat ini. Desain penelitian : Penelitian ini adalah penelitian potong lintang dengan jumlah subjek penelitian 38 orang penderita kanker payudara yang berobat jalan di poli Kasuari RSUP dr. Kariadi Semarang pada periode Januari - Agustus 2019 dan memenuhi kriteria inklusi. Penilaian tingkat asupan kecukupan karbohidrat dan gula total dengan food frequency questionnares. Analisis statistik menggunakan uji korelasi non parametrik Spearman. Hasil penelitian : Tidak terdapat hubungan antara tingkat kecukupan karbohidrat dan kadar IGF-1 ( p=0,964) serta tidak ada hubungan antara asupan gula total dan kadar IGF-1 (p= 0,971) pada pasien kanker payudara. Simpulan dan Saran : Tidak didapatkan hubungan antara tingkat kecukupan karbohidrat dan kadar IGF-1 serta tidak didapatkan hubungan antara asupan gula total dan kadar IGF-1 pada pasien kanker payudara. Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang hubungan tingkat asupan karbohidrat dan asupan gula total dengan IGF-1 dengan stadium subjek yang sama dan metode penelitian yang berbeda. Kata Kunci: tingkat kecukupan karbohidrat,asupan gula total, Insulin Growth Factor -1, kanker payudara
Latar belakang: Sirosis hati merupakan suatu kondisi terbentuknya jaringan parut pada penyakit hati kronis dengan angka morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi. Malnutrisi dan sarkopenia akan memperberat kondisi penyakit ini. Penelitian tentang malnutrisi dan sarkopenia pada pasien sirosis hati belum banyak dilakukan di Indonesia. Tujuan: mengetahui angka kejadian malnutrisi dan sarkopenia, serta hubungan antara malnutrisi dan sarkopenia pada pasien sirosis hati. Metode: penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan cross-sectional pada 101 pasien sirosis hati di poliklinik Penyakit Dalam Instalasi Merpati RSUP Dr. Kariadi Semarang yang berusia 18 -
Latar belakang: Pada kanker payudara terjadi deregulasi metabolisme lipid oleh sel kanker, sel kanker sendiri dapat mensintesis lipid. Perubahan tersebut dapat menimbulkan dislipidemia pada pasien kanker payudara. Asupan serat pada pasien kanker payudara dilaporkan dapat memperbaiki profil lipid, namun hubungan asupan serat dengan profil lipid pada pasien kanker payudara belum pernah dilaporkan. Tujuan: Mengetahui hubungan asupan serat dengan profil lipid pada pasien kanker payudara. Metode penelitian: Penelitian ini adalah penelitian observasional dengan pendekatan cross sectional. Sebanyak 38 wanita pasien kanker payudara berusia ≥30 tahun di klinik Penyakit Dalam Bagian Hemato-onkologi Instalasi Kasuari RSUP Dr. Kariadi Semarang dipilih sebagai subjek setelah dilakukan penapisan melalui kriteria inklusi dan eksklusi. Asupan makan direcall dengan menggunakan Food Frequency Questionnaire (FFQ) lalu asupan serat, karbohidrat dan lemak diurai menggunakan Nutrisurvey. Uji korelasi menggunakan uji korelasi Spearman. Hasil: tidak ada hubungan (p>0,05) antara asupan serat larut dengan total cholesterol (r=-0,216; p= 0,193), LDL (r=-0,196; p=0,238), HDL (r=-0,007; p=0,968) dan trigliserid (r=-0,172; p=0,303), maupun asupan serat tidak larut total cholesterol (r=-0,151; p=0,365), LDL (r=-0,154; p=0,357), HDL (r=0,014; p=0,936) dan trigliserid (r=-0,130; p=0,435). Simpulan: Pada pasien kanker payudara terjadi peningkatan total cholesterol dan LDL, sedangkan HDL dan Tg normal. Asupan serat larut maupun tidak larut pada sebagian besar pasien tergolong rendah. Tidak ada hubungan antara asupan serat larut maupun serat tidak larut dengan profil lipid pada pasien kanker payudara. Perlu dilaksanakan penelitian lebih lanjut dengan kriteria inklusi yang lebih ketat. Kata kunci: serat, profil lipid, kanker payudara
Latar belakang : Ulkus dekubitus merupakan masalah kesehatan di banyak negara dan malnutrisi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh dalam perkembangan ulkus dekubitus, namun investigasi klinis masih jarang dilakukan untuk mengamati kebutuhan jumlah energi dan protein pada kesembuhan luka. Tujuan penelitian : Menganalisis hubungan antara angka kecukupan energi dan protein dengan kesembuhan luka pada pasien ulkus dekubitus. Menganalisis hubungan antara angka kecukupan energi dan protein dengan kesembuhan luka pada pasien ulkus dekubitus dikontrol dengan faktor usia, indeks massa tubuh, dan adanya infeksi. Metode penelitian : Studi observasional dengan pendekatan cross sectional melibatkan 40 subjek sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Kesembuhan luka dinilai menggunakan PUSH score tools 3.0, angka kecukupan energi dan angka kecukupan protein dinilai berdasarkan rata-rata asupan total masing-masing yang diberikan dalam seminggu. Hasil : Terdapat hubungan lemah antara angka kecukupan energi dengan kesembuhan luka (r= 0,37 dan p= 0,02). Adanya hubungan sedang antara angka kecukupan protein dengan kesembuhan luka (r= 0,42 dan p= 0,01). Simpulan : Terdapat hubungan bermakna antara angka kecukupan energi dan protein dengan kesembuhan luka pada pasien ulkus dekubitus. Faktor usia, indeks massa tubuh, dan infeksi pada ulkus dekubitus bukan merupakan variabel perancu dalam penelitian ini. Kata kunci : Angka kecukupan energi, angka kecukupan protein, kesembuhan luka, ulkus dekubitus.
Latar Belakang : Kanker payudara merupakan salah satu jenis kanker terbanyak pada wanita dengan prevalensi tertinggi kedua di Jawa Tengah. Terjadi perubahan komposisi tubuh pada saat didiagnosis kanker payudara, terdapat peningkatan Fat Mass Index (FMI), penurunan Fat Free Mass Index (FFMI) dan phase angle (PhA) serta penurunan kekuatan genggaman tangan. Tujuan : Untuk mengetahui komposisi tubuh dan kekuatan genggaman tangan pada saat awal diagnosis kanker payudara. Metode penelitian : Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan analytical observational yang melibatkan 34 pasien kanker payudara yang menjalani rawat jalan di RS Kariadi yang menenuhi kriteria inklusi. Komposisi tubuh diukur dengan menggunakan BIA SECA dan kekuatan genggaman tangan diukur menggunkan hand dynamometer. Uji beda mengunakan T- Test dan Kruskal Wallis Test. Hasil : Tidak terdapat perbedaan yang signikan pada komposisi tubuh dan kekuatan genggaman tangan berdasarkan usia, status menopause, stadium kanker (p > 0,05). Terdapat hubungan yang signifikan pada PhA berdasarkan status menopause (p = 0,048), terdapat perbedaan yang signifikan pada FFMI dan PhA berdasarkan aktivitas fisik dengan nilai p masing masing (p=0,03) dan (p=0,01). Terdapat perbedaan yang signifikan pada FFMI dan FMI berdasarkan IMT(p =0,005) dan (p=0,001). Simpulan : Komposisi tubuh pasien pada saat awal diagnosis kanker payudara terdapat perbedaan yang signifikan pada PhA berdasarkan status menopause, FFMI dan PhA berdasarkan aktivitas fisik dan FFMI, FMI berdasarkan IMT. Kata kunci : Kanker payudara, komposisi tubuh, kekuatan genggaman tangan