Latar Belakang: Diffuse Large B-Cell Lymphoma (DLBCL) merupakan penyakit heterogen dengan berbagai morfologi, sifat biologi dan klinis, yang memiliki respon terapi bervariasi. Beberapa penelitian melaporkan adanya ekspresi CD30 pada DLBCL berhubungan dengan ketahanan hidup yang lebih baik. Namun hal ini masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi ekspresi CD30 pada pasien DLBCL di RSUP Dr. Kariadi. Metode penelitian: Penelitian ini mengevaluasi ekspresi CD30 pada 35 pasien DLBCL di RSUP Dr. Kariadi periode Januari 2017-Desember 2017 menggunakan cut off >0%. Data klinik yang diambil yaitu usia saat terdiagnosis, lokasi tumor, stadium penyakit, subtipe sel asal, dan ketahanan hidup 2 tahun. Analisis data menggunakan uji chi square. Hasil: Dari 35 kasus, CD30 diekspresikan oleh 13 kasus (37.1%). Ekspresi CD30 lebih tinggi pada pasien dengan usia ≥60 tahun (P=0.03), lokasi ekstranodal (P=0.78), stadium awal (P=0.89), dan subtipe non-GCB (P=0.97). Kelompok CD30 positif memiliki ketahanan hidup yang lebih baik dibandingkan CD30 negatif (P=0.90). Kesimpulan: Ekspresi CD30 memiliki hubungan yang bermakna dengan usia ≥60 tahun. Pasien DLBCL dengan CD30 positif memiliki ketahanan hidup yang lebih baik dibandingkan CD30 negatif, namun tidak bermakna. Kata Kunci : DLBCL, CD30, ketahanan hidup
Latar Belakang: Pengambilan spesimen dan dignosis laboratorium yang cepat merupakan prioritas untuk pengendalian COVID-19. Swab nasofaring-orofaring merupakan sampel gold standard untuk diagnostik tetapi memiliki keterbatasan saat pengumpulan dan mempunyai risiko mengancam keselamatan petugas kesehatan. Penelitian ini bertujuan membuktikan bahwa saliva dapat digunakan sebagai sampel untuk mendeteksi SARS-CoV-2 Metode: Disain penelitian adalah uji diagnostik dengan sampel diambil dari pasien yang melakukan uji SARS-CoV-2 di RSUP Dr.Kariadi selama Nopember 2020 – Januari 2021 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sampel swab nasofaring-orofaring sebagai gold standard dan saliva diambil, kemudian dilakukan pemeriksaan rRT-PCR, dimana nilai Ct dicatat. Sensitifitas, spesifisitas, negative predictive value, positive predictive value dihitung menggunakan tabel 2x2. Hasil: Didapatkan 120 pasangan sampel swab nasofaring-orofaring dan sampel saliva. Usia rata-rata pasien adalah 36,11 ± 13,35 tahun, terdiri dari 59,17% perempuan. Hasil rRT-PCR SARS-CoV-2 terdeteksi dari sampel swab nasofaring-orofaring sebanyak 56 (46,67%) pasien dan 25 (20,83%) sampel saliva pasien. Sensitifitas, spesifisitas, negative predictive value, positive predictive value sampel saliva masing masing 44,64%, 100%, 67,37%, dan 100%. Simpulan: Dari saliva pasien dapat dideteksi SARS-CoV-2 sehingga saliva dapat digunakan sebagai spesimen diagnostik COVID-19 Kata kunci: COVID-19, SARS-CoV-2, saliva, swab nasofaring-orofaring
Latar Belakang : Infeksi Dehiscence luka operasi adalah terminologi yang biasanya digunakan untuk menjelaskan pemisahan berbagai lapisan luka perut sebelum penyembuhan total terjadi. Berbagai keadaan dapat menjadi penyebab, adanya infeksi, keadaan metabolik, faktor teknis operasi dan faktor mekanis. Tujuan Penelitian : guna mengetahui profil mikroorganisme penyebab infeksi dehiscence luka operasi pada pasien pasca laparotomi di RSUP dokter Kariadi Semarang Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik, menggunakan data catatan medis pasien rawat inap intensif maupun bangsal di RSUP Dokter Kariadi Semarang yang mengalami Dehiscence luka operasi, setelah dilakukan operasi laparatomi pada rentang waktu Januari hingga Desember 2019. Analisis data dilakukan dengan menggunakan software SPSS versi 23. Analisis bivariate dari variable kategori dilakukan menggunakan uji Person Chi-Square dan Fisher exact test. Nilai p < 0,05 akan dianggap sangat bermakna. Hasil : Jumlah total sampel penelitian ini 45 sampel. Sampel pasien terbanyak dewasa 39 orang (86,7%), pasien dengan faktor komorbid yang menyertai 37 orang (82,2%). Jenis mikroorganisme didominasi Eschericia coli 22 sampel (48,9%), sampel pasien Hipoalbuminemia 38 sampel (84%). Kadar hemoglobin rendah 38 sampel (84%). Untuk kadar gula darah rendah, 31 sampel (69%). Sampel pasien DLO luka lambat 28 sampel (62,2%), DLO luka dini 17 sampel (37,8%). Kesimpulan : faktor komorbid, hipoalbuminemia dan kadar gula darah berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian DLO. Perlu penelitian lebih lajut untuk mengetahui nilai kemungkinan kejadian DLO pada berbagai macam variabelnya. Kata Kunci : wound dehiscence, hipoalbuminemia, laparotomi.
Latar Belakang : Terjadinya stroke iskemik diawali dengan proses aterosklerosis. Proses aterosklerosis dapat dinilai secara non-invasif dengan mengukur ketebalan intima-media karotis (cIMT). Angiotensinogen berhubungan dengan hipertensi dan diabetes mellitus yang merupakan faktor resiko dari stroke. Tujuan : Mengetahui hubungan varian gen angiotensinogen M235T dengan perubahan ketebalan tunika intima media arteri karotis pada penderita pasca stroke iskemik Metode : Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan pendekatan cohort porspektif. Subyek penelitian adalah 72 penderita stroke iskemik yang berobat di klinik rawat jalan Bagian Neurologi RSUP Dr. Kariadi Semarang pada Bulan Januari - Desember 2013. Pengukuran cIMT dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu pada waktu 1 bulan (base line), 6, dan 12 bulan setelah onset. Analisis varian gen angiotensinogen M235Tdilakukan di Laboratorium CEBIOR pada Januari – Maret 2020. Data diolah menggunakan SPSS for Windows versi 23. Uji hipotesis data) menggunakan uji chi square. Bila ditemukan variabel bebas dan variabel perancu yang bermakna, maka dilanjutkan dengan uji multivariat yaitu analisis regresi linier berganda. Hasil analisis bermakna bila didapatkan p0,05) Simpulan : Tidak terdapat hubungan antara varian gen angiotensinogen M235T dengan perubahan cIMT penderita pasca stroke iskemik (p>0,05). Subyek laki-laki, etnis jawa, dengan faktor resiko dislipidemi memiliki progresifitas paling tinggi walaupun tidak bermakna secara statistik Kata Kunci: AGT, aterosklerosis, stroke iskemik, cIMT
Latar belakang Stroke iskemik akut diikuti cedera sekunder akibat kaskade inflamasi dari migrasi sel imun perifer. Apoptosis penumbra menyebabkan perburukan keluaran klinis. Sel T regulator (Treg) dapat menekan inflamasi, namun jumlahnya sangat sedikit akibat dysbiosis usus pada pasien stroke. Pemberian probiotik dapat memperbaiki dysbiosis, dapat meningkatkan kadar sel Treg, dapat menekan inflamasi sekunder sehingga mencegah perburukan klinis. Metode : Experiment two group pre-post design terhadap subyek pasien stroke iskemik akut. Selama 7 hari, kelompok perlakuan dan kontrol diberi terapi standar stroke iskemik akut. Per 12 jam diberikan tambahan placebo atau probiotik (Lactobacillus plantarum, Streptococcus thermophiles, Bifidobacterium bifidum, Fructooligosaccharid). Diperiksa NIHSS, dan kadar sel Treg serum pre-post perlakuan. Hasil : 51 subyek memenuhi kriteria inklusi, 26 menjadi kelompok perlakuan. Jenis kelamin, usia, tindakan rTPA, tekanan dan kadar gula darah saat admisi, kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p > 0.05). Post perlakuan, kadar sel Treg serum kelompok perlakuan meningkat bermakna (p 0.003). Perubahan pre-post perlakuan berbeda signifikan (p 0.000), menunjukkan adanya pengaruh pemberian probiotik. NIHSS awal berbeda bermakna (p 0.004), kelompok perlakuan lebih tinggi. Post perlakuan, NIHSS kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p 0.924), disebabkan terjadi penurunan NIHSS setelah pemberian probiotik, dan tidak ada perubahan NIHSS setelah pemberian placebo. Perubahan NIHSS pada kedua kelompok berbeda bermakna (p 0.000), menunjukkan peran probiotik. Perubahan kadar sel Treg serum berkorelasi negative dengan perubahan NIHSS (p 0.000). Analisis multivariate menunjukkan hanya pemberian probiotik (p 0.002) dan perubahan kadar sel Treg serum (0.000) yang secara bermakna berpengaruh pada perubahan NIHSS. Simpulan : Probiotik meningkatkan kadar sel Treg serum, dan menurunkan NIHSS (memperbaiki keluaran klinis neurologis stroke iskemik akut) Kata kunci : Probiotik, sel Treg, NIHSS
Latar Belakang : Terjadinya stroke iskemik diawali dengan proses aterosklerosis. Proses aterosklerosis dapat dinilai secara non-invasif dengan mengukur ketebalan dinding intimamedia karotis (CIMT). Angiotensin I Converting Enzyme ( ACE ) berhubungan dengan hipertensi yang merupakan faktor risiko dari stroke. Tujuan : Mengetahui hubungan varian genetik ACE dengan perubahan ketebalan tunika intima media arteri karotis pada penderita pasca stroke iskemik Metode : Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan pendekatan cohort retrospektif. Subyek penelitian adalah 72 penderita stroke iskemik yang berobat di klinik rawat jalan Bagian Neurologi RSUP Dr. Kariadi Semarang pada Bulan Januari - Desember 2013. Pengukuran CIMT dilakukan sebanyak 3 kali, yaitu pada 1 bulan (base line), 6, dan 12 bulan setelah onset. Analisis varian gen ACE dilakukan di Laboratorium Center for Biomedical Research ( CEBIOR ) Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro pada Januari – Maret 2020. Data diolah menggunakan SPSS for Windows versi 25. Variabel dengan jenis data kategorik (nominal dan ordinal) dilakukan analisis univariat untuk mendapatkan proporsi dan persentase. Kemudian dilanjutkan dengan uji bivariat untuk mengetahui pengaruhnya. Data numerik dilakukan uji ANOVA dilanjutkan dengan independent t-test. Apabila syarat parametrik tidak terpenuhi maka dilanjutkan dengan uji Kruskal Wallis dilanjutkan dengan uji Mann Whitney Hasil analisis dinyatakan bermakna bila didapatkan p0,05). Simpulan : Tidak terdapat hubungan antara varian genetik ACE dengan perubahan CIMT penderita pasca stroke iskemik (p>0,05). Subyek laki-laki, etnis jawa, dengan faktor resiko merokok, riwayat kolesterol, diabetes melitus, hipertensi memiliki progresifitas paling tinggi walaupun tidak bermakna secara statistik. Kata Kunci: ACE, aterosklerosis, stroke iskemik, CIMT
Latar Belakang: Periodontitis adalah proses inflamasi kronis bersifat ireversibel dari jaringan peridonteum. Pada keadaan lebih berat dapat dapat menyebabkan rasa sakit dan tidak nyaman yang mengganggu aktifitas.1-6 Vitamin D adalah vitamin larut lemak yang berperan penting dalam patogenesis inflamasi, rasa nyeri dan memiliki fungsi neuroprotektif. Tujuan: Membuktikan hubungan antara kadar vitamin D dan intensitas nyeri pada tikus wistar dengan periodontitis kronis. Menganalisa pengaruh asupan tambahan vitamin D terhadap kenaikan kadar vitamin D, derajat inflamasi periodontium dan jumlah sel pyramidal hipokampus. Metoda : Eksperimental, meneliti 20 ekor tikus dengan periodontitis kronis yang diinduksi pemasangan ligature selama 2 minggu, pada minggu kedua seluruh sampel dilakukan pengukuran intensitas nyeri dengan Rat Grimace Scale dan kadar vitamin D. tikus dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu P1 (kontrol), kelompok P2 dengan ligature tanpa asupan tambahan vitamin D, kelompok P3 dengan ligature dengan tambahan vitamin D 4000 IU/Kg pakan selama 4 minggu, kelompok P4 dengan ligature dan tambahan vitamin D 2000 IU/Kg pakan selama 4 minggu. Pada minggu ke-6 dilakukan pengukuran ulang intensitas nyeri dan kadar vitamin D. seluruh sampel dilakukan dekapitasi dan dilakukan pemeriksaan histopatologi jaringan periodontium dan sel pyramidal hipokampus. Dilakukan analisa komparatif masing-masing variable dan analisa bivariat dengan variable bebas kadar vitamin D. Hasil Penelitian: Terdapat perbedaan kadar vitamin D pada tikus dengan periodontitis kronis dibanding tanpa periodontitis kronis (p:0,008; p:0,014, p:0,0018) dan tidak terdapat perbedaan kenaikan kadar vitamin D dari masing-masing kelompok dengan uji post hoc (p: 0,236; p:0,280). Terdapat perbedaan penurunan RGS antara kelompok P2 dibanding kelompok P3 dan P4 (p:0,009; p:0,011; p: 0,049) dengan uji mann whitney. Tidak terdapat hubungan antara kadar vitamin D dan intensitas nyeri (p:0,528; r:0,150) dengan uji pearson. Terdapat perbedaan derajat inflamasi dari ke-4 kelompok (p: 0,001) dengan uji Kruskal wallis. Terdapat perbedaam jumlah sel pyramidal hipokamus dari seluruh kelompok (p