Latar belakang : Hypothenar merupakan daerah yang sering mengalami kontak dengan permukaan benda saat melakukan aktivitas. Telinga terbukti lebih konsisten dibandingkan identifikasi wajah dalam biometrik pasif. Gigi merupakan bagian paling keras dari tubuh manusia dan terlindung di dalam rongga mulut. Ketiga bagian tubuh tersebut mempunyai peran besar dalam identifikasi fornsik. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kepadatan ridge telapak tangan bagian hypothenar, antropometri telinga luar dan indeks caninus dengan jenis kelamin. Metode : Penelitian analitik observasional rancangan cross sectional dengan 500 subyek penelitian mahasiswa kepaniteraan klinik Forensik dan Medikolegal periode Januari 2016 – Juni 2017, usia 21-26 tahun, yang memenuhi kriteria inklusi, laki-laki (n=250) dan perempuan (n=250). Kepadatan ridge diukur dengan menghitung rata-rata jumlah ridge telapak tangan pada bagian hypothenar sisi atas, tengah dan bawah dalam area masing-masing seluas 0.5 cm x 0.5 cm. Antropometri telinga luar dengan mengukur panjang telinga, lebar telinga, dasar auricula, panjang lobulus dan lebar lobulus telinga. Indeks caninus dengan menghitung rasio lebar mesiodistal dibagi jarak antara caninus pada empat regio. Hasil penelitian : Hasil uji korelasi Spearman pada sidik telapak tangan bagian hypothenar, antropometri telinga luar dan indeks caninus pada rahang bawah terhadap jenis kelamin dengan nilai p=0,000. Kesimpulan : Terdapat hubungan kepadatan ridge telapak tangan bagian hypothenar, antropometri telinga luar dan indeks caninus rahang bawah dengan jenis kelamin. Kata kunci : ridge, telapak tangan, hypothenar, antropometri, telinga luar, indeks coninus, jenis kelamin
Latar belakang : Satu dari tiga (30%) wanita pernah mengalami kekerasan fisik dan /atau seksual. Perkosaan merupakan bentuk kekerasan seksual yang paling tinggi baik di ranah personal maupun di ranah komunitas. Pembuktian kasus kekerasan seksual akan mengalami kesulitan karena berbagai macam faktor. Tujuan : Untuk mengetahui seberapa besar kekuatan pembuktan Visum et Repertum sebagai alat bukti pada kasus kekerasan seksual. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian deksriptif analitik dengan metode pendekatan yuridis normatif. Data penelitian berasal dari putusan Pengadilan Negeri kasus Kejahatan terhadap Kesusilaan pada periode 2010-2017 yang telah berkekuatan hukum, dan putusannya diterbitkan pada website mahkamahagung.go.id. Analisa secara kualitatif ditunjang sengan hasil wawancara terhadap Jaksa Kejaksaan Negeri Semarang, Jaksa Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah, Hakim Pengadilan Negeri Semarang dan Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Tengah. Hasil penelitian : Pada penelitian ini, dari 104 dokumen putusan pengadilan tingkat I yang diteliti didapatkan 72 kasus (69%) disertai dengan persetubuhan (perkosaan), 12 kasus (12%) percobaan persetubuhan dan 20 kasus (19%) pencabulan. Pembuktian kasus kekerasan seksual akan mengalami berbagai hambatan dan kesulitan karena hal, diantaranya keutuhan barang bukti dan alat bukti. Hanya ada 89 kasus (86%) kasus yang dilengkapai dengan visum et repertum. Visum et repertum mempunyai nilai pembuktian yang mendukung pembuktian kasus kekerasan seksual. Hakim menentukan vonis sesaui dengan fakta hukum yang terkuak di pengadilan. Berdasarkan persesuaian alat-alat bukti yang diperiksa dipersidangan baik keterangan saksi, keterangan terdakwa dihubungkan dengan barang bukti dan alat bukti surat akan diperoleh kebenaran materiil terhadap perkara kekerasan seksual. Kesimpulan : Visum et repertum sebagai alat bukti pada kasus kekerasan seksual mempunyai nilai pembuktian bebas yang tidak mengikat dan penilaian sepenuhnya tergantung pada keyakinan hakim. Kata kunci : pembuktian, visum et repertum, alat bukti, kekerasan seksual.
Latar belakang : Stroke adalah penyebab kedua kematian dan penyebab utama kecacatan neurologis di seluruh dunia. Penyakit ginjal kronis (PGK) dan penyakit ginjal stadium akhir terkait dengan peningkatan risiko yang signifikan dari stroke. Insidensi dan mortalitas stroke pada pasien PGK lebih tinggi dibandingkan populasi umum.Banyak faktor risiko stroke tradisional juga berfungsi sebagi faktor risiko untuk PGK. Stroke pada pasien dialisis juga dihubungkan dengan mortalitas yang tinggi. Tujuan : Untuk menganalisis faktor-faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya stroke pada pasien dengan penyakit ginjal kronis stadium V yang menjalani hemodialisa di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Metode : Studi kohort retrospektif pasien yang didiagnosis penyakit ginjal kronis stadium V yang menjalani hemodialisa di bagian Rekam Medis RSUP Dr. Kariadi Semarang. Data yang dikumpulkan adalah data demografi (umur, jenis kelamin,status gizi) danklinis (hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia,penyakit jantung)laboratorium (kadar ureum, kadar kreatinin, LFG, hipoalbuminemia, anemia, asam urat) dan hemodialisa(lama hemodialisa, frekuensi HD). Dilakukan analisa bivariat dengan uji chi square, analisa multivariat dengan uji regresi logistik dan odds ratio. Hasil : Berdasarkan analisa, penderita PGK stadium V yang menjalani HD antara yang mengalami stroke dan tidak, maka didapatkan bahwa karakteristik klinis yang memiliki hubungan dengan kejadian stroke ialah DM (p = 0,00), penyakit jantung (p = 0,01) dengan dominan HHD (p = 0,01) dan hipoalbuminemia (p = 0,02). Berdasarkan karakteristik hemodialisa yang dijalani, ternyata lama HD memiliki hubungan dengan kejadian stroke, dengan p = 0,00. Setelah dilakukan uji multivariat, penderita yang memiliki DM kemungkinan untuk mengalami stroke sebesar 0,14 kali dibandingkan pasien yang tidak memiliki DM dan HD > 12 bulan, memiliki kemungkinan untuk mengalami stroke 4,05 kali lebih besar dibandingkan pasien yang menjalani HD < 12 bulan. Kesimpulan: Terdapat pengaruh faktor risiko DM dan lama HD terhadap kejadian stroke iskemik pada pasien PGK stadium V yang menjalani HD di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Kata Kunci : Stroke, PGK, hemodialisa
Latar belakang : Neuropati diabetik adalah komplikasi mikrovaskuler pada pasien Diabetes Melitus (DM). Defisiensi vitamin B12 diketahui dapat merusak selubung mielin baik pada otak, medulla spinalis ataupun saraf tepi. Pemeriksaan Elektormiografi (EMG) dapat menentukan tipe dari neuropati demielinasi, aksonal atau campuran. Tujuan : Menganalisis hubungan kadar vitamin B12 serum dengan tipe neuropati diabetik pada pasien diabetes melitus tipe 2. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross setional. Dilakukan di poliklinik CDC RSUP dr. Kariadi Semarang dari bulan Januari – November 2017. Kadar vitamin B12 diukur dari hasil laboratorium, tipe neuropati ditentukan dari pemeriksaan EMG. Analisis statistik menggunakan uji Mann whitney, hubungan dikatakan bermakna bila nilai p0,05. Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan yang signifikan kadar vitamin B12 serum dengan tipe neuropati diabetik, terdapat korelasi kadar vitamin B12 serum dengan gambaran EMG yang secara statistik tidak bermakna, tidak terdapat perbedaan yang signifikan tipe neuropati diabetik dengan lama DM, kadar HbA1C, kolesterol, trigliserida, LDL, tekanan darah dan olahraga dan ada perbedaan tipe neuropati yang bermakna dengan usia onset DM pada pasien DM tipe 2. Kata Kunci : neuropati diabetik, vitamin B12, kecepatan hantar saraf
Latar belakang : Rinitis alergi merupakan kelainan akibat paparan alergen yang menyebabkan inflamasi mukosa hidung. Pemeriksaan eosinofil mukosa hidung merupakan salah satu pemeriksaan sitologi yang dapat digunakan untuk mendukung diagnosis RA. Pengobatan RA adalah mengatasi gejala yang terjadi selama reaksi alergi fase cepat (RAFC) maupun reaksi alergi fase lambat (RAFL) dengan pemberian kortikosteroid intranasal dan antihistamin. Zink sebagai zat gizi mikro yang mempunyai efek anti inflamasi, diharapkan dapat menurunkan jumlah eosinofil sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup penderita RA. Tujuan: Mengetahui pengaruh suplementasi zink pada jumlah eosinofil mukosa hidung dan kualitas hidup penderita RA persisten sedang berat. Metode: Uji intervensi pre test and post test design dengan metode single blind. Pemberian tablet zink 40 mg/24 jam pada penderita RA persisten sedang berat yang yang diterapi dengan cetirizin (kelompok perlakuan) dibandingkan dengan pemberian cetirizin saja (kelompok kontrol). Penilaian kadar zink dalam darah, jumlah eosinofil mukosa hidung dan kualitas hidup dilakukan pada awal dan minggu kedua setelah terapi, kemudian dibandingkan antara kedua kelompok. Uji statistik : Independent t, Wilcoxon dan Mann Whitney. Hasil : Didapatkan 34 penderita RA persisten sedang berat dengan rentang usia kelompok kontrol 20-46 tahun dan kelompok perlakuan 21-42 tahun. Pemberian zink 40 mg/hari selama 2 minggu menurunkan jumlah eosinofil pada kelompok perlakuan p=0,002 dan kelompok kontrol p=0,001. Namun bila dibandingkan antara kelompok kontrol dan perlakuan, penurunan jumlah eosinofil tidak bermakna dengan nilai p=0,375. Skor Kualitas Hidup (SKH) setelah perlakuan menurun pada kelompok perlakuan p=0,000 dan kelompok kontrol p=0,000 dan bila dibandingkan antara SKH kelompok perlakuan dan kontrol berbeda bermakna dengan nilai p
Latar belakang : Nigella sativa yang juga disebut jinten hitam, telah lama digunakan sebagai pengobatan tradisional untuk berbagai macam kondisi. Potensi imunomodulator dan hepatoprotektor dari Nigella sativa diteliti pada pasien karsinoma nasofaring yang mendapatkan kemoterapi cisplatin di RSUP Dr. Kariadi Semarang, dengan menggunakan IL-2 dan SGOT/SGPT sebagai level penanda. IL-2 merupakan sitokin yang dapat mengaktifkan dan meningkatkan proliferasi CTL dan sel T-helper yang diperlukan untuk merusak pertahanan tumor. SGOT/SGPT untuk memeriksa fungsi hepar. Tujuan : Membuktikan Nigella sativa dapat meningkatkan kadar IL-2 dan mencegah peningkatan SGOT/SGPT pada pasien karsinoma nasofaring yang mendapatkan kemoterapi cisplatin. Metode : Penelitian eksperimental dengan deain randomized control trial di RSUP Dr. Kariadi Semarang pada bulan February 2017. Subjek sebanyak 40 pasien karsinoma nasofaring yang mendapatkan kemoterapi cisplatin, dibagi menjadi 2 yaitu kelompok perlakuan (n=20) yang mendapatkan Nigella sativa 1.200mg dan Vit C 100mg per oral dan kelompok kontrol (n=20) mendapat Vit C 100mg per oral. Kadar IL-2 dan SGOT/SGPT diperiksa sebelum dan sesudah pasien mendapatkan kemoterapi cisplatin tiga mingguan sebanyak 2 siklus. Perbedaan kadar IL-2 dan SGOT/SGPT sebelum dan sesudah kemoterapi dianalisis dengan uji Wilcoxon dan antara kedua kelompok perlakuan dan kelompok kontrol dianalisis dengan uji Mann Whitney. Hasil : Dari 40 subjek yang masuk kriteria inklusi dibagi menjadi 20 orang kelompok perlakuan dan 20 orang kelompok kontrol. Terdapat penurunan yang signifikan (p0,05) kadar IL-2 antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol. Terdapat peningkatan signifikan (p0,05) kadar SGOT/SGPT antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol. Simpulan : Nigella sativa tidak dapat meningkatkan kadar IL-2 dan tidak dapat mencegah peningkatan kadar SGOT/SGPT pada pasien karsinoma nasofaring yang mendapatkan kemoterapi cisplatin. Kata kunci : Nigella sativa, karsinoma nasofaring, cisplatin, IL-2, imunomodulator, SGOT/SGPT, fungsi hepar
Pendahuluan Hiperurisemia merupakan peningkatan asam urat serum, menyebabkan kerusakan sel beta pankreas dengan mekanisme apoptosis melalui jalur NF-kB serta berhubungan dengan komplikasi mikrovaskular dan makrovaskular pada pasien diabetes. Perbedaan kadar C-peptida dan status glikemik (gula darah puasa/ GDP dan HbA1C) pada penderita hiperurisemia dengan dan tanpa DM tipe 2, belum banyak diketahui. Tujuan Untuk membuktikan perbedaan kadar C-peptida dan status glikemik pada pasien hiperurisemia dengan dan tanpa DM tipe 2 Material dan Metode Penelitian cross-sectional, 40 pasien hiperurisemia dengan DM dan 40 pasien hiperurisemia tanpa DM tipe 2. C-peptida diperiksa dengan metode ELISA, Glukosa darah puasa diperiksa dengan metode hexokinase, asam urat dengan metode uricase, HbA1C dengan metode capillary electrophoresis. Dianalisis dengan uji Mann Whitney. Hasil Penelitian Nilai rerata umur pasien hiperurisemia tanpa DM adalah 58,05 ± 9 tahun. Nilai rerata umur pasien hiperurisemia dengan DM adalah 59,80 ± 9 tahun. Tidak terdapat perbedaan bermakna kadar C-peptida terhadap kelompok penderita hiperurisemia dengan dan tanpa DM tipe 2 (p=0,069). Terdapat perbedaan bermakna kadar GDP dan HbA1C pada penderita hiperurisemia dengan dan tanpa DM tipe 2 (p=0,001 dan p=0,001) Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna kadar C-peptida terhadap kelompok penderita hiperurisemia dengan dan tanpa DM tipe 2 serta terdapat perbedaan bermakna kadar GDP dan HbA1C pada penderita hiperurisemia dengan dan tanpa DM tipe 2. Kata kunci: C-peptida, GDP, HbA1C, dan hiperurisemia.
Pendahuluan: Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) tidak hanya mempengaruhi paru dan jalan nafas tetapi keadaan inflamasi (derajat rendah) yang berlangsung kronik juga berdampak pada hormon pengatur kadar besi sistemik (hormon hepsidin) serta gangguan terhadap beberapa sistem endokrin, seperti hipofisis dan tiroid. Gangguan tiroid dapat terlihat melalui free triiodothyronine (FT3), yakni hormon tiroid yang aktif secara metabolik dan memberi umpan balik negatif melalui thyroid stymulating hormone (TSH). Keadaan inflamasi dan fungsi tiroid perlu diketahui untuk mengurangi kejadian eksaserbasi penderita PPOK. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan hubungan antara kadar hepsidin serum dengan kadar FT3 dan TSH serum. Metode: Penelitian observasi analitik dengan pendekatan belah lintang dilakukan pada 35 pasien PPOK rawat inap dan rawat jalan di Balai Kesehatan Masyarakat Semarang selama bulan Juli - September 2017. Kadar hepsidin dan TSH serum diukur dengan metode sandwich-ELISA sedangkan kadar FT3 serum dengan metode competitive-ELISA. Hubungan antara kadar hepsidin dengan kadar FT3 dan TSH serum diuji dengan uji korelasi Spearman (p
Latar belakang : Komplikasi tersering stroke yaitu malnutrisi. Malnutrisi dapat meningkatkan lama masa rawat dan biaya perawatan. Salah satu cara menilai risiko malnutrisi dengan menilai lama pencapaian target energi. Tujuan : Mengetahui rata-rata pencapaian target energi, perbedaan lama masa rawat antara pencapain target energi ≤ 3 hari dengan > 3 hari dan faktor-faktor yang berhubungan. Metoda : Jenis penelitian cross sectional, dilakukan di instalasi rekam medis RSUP dr. Kariadi dengan mengambil data pasien yang dirawat di Unit Stroke selama bulan Januari-September 2017. Jumlah subyek sebanyak 71 subyek dipilih secara acak sederhana, kemudian diambil data identitas pasien, skrining SGA, diagnosis gizi, status gizi, lama pencapaian target energi, lama masa rawat. Uji beda dan interpendensi dilakukan untuk mengetahui perbedaan lama masa rawat antara pencapain target energi ≤ 3 hari dengan >3 hari dan faktor-faktor yang berhubungan. Hasil : Sebagian besar pencapaian target energi yaitu 3 hari (SB : 1,37). Lama pencapaian target energi ≤ 3 hari yaitu 81,7%. Terdapat perbedaan lama masa rawat antara pencapaian target energi ≤ 3 (mean : 13,0) dengan > 3 hari (mean : 15,3; p mann whitney 0,60) Simpulan : Pencapaian target energi ≤ 3 hari mempunyai masa perawatan lebih pendek diantara pasien stroke Kata kunci : lama pencapaian target energi, lama masa rawat, malnutrisi, stroke
Pendahuluan : Pada PGK tahap akhir biasa terjadi malnutrisi energi protein. Inflamasi yang berkelanjutan akan mempengaruhi status gizi, massa dan kekuatan otot yang diukur dengan HGS. Salah satu indikator inflamasi adalah rasio neutrofil/limfosit. Secara teoritik ada hubungan negatif antara rasio neutrofil/limfosit dan handgrip strength. Tujuan : Membuktikan adanya korelasi negatif rasio neutrofil/limfosit dengan HGS pada penyakit ginjal kronik tahap akhir. Material dan Metode : Penelitian korelasional ini, dilakukan di unit hemodialisa RSUP Dr. Kariadi Semarang selama bulan November 2016. Subyek 40 orang, ditetapkan dengan metode consecutive sampling, diwawancara dan menjalani pemeriksaan antropometri, HGS, pemeriksaan laboratorium darah. Uji korelasi dilakukan dengan Uji Spearman. Hasil : NLR normal pada laki-laki 52,5 % dan perempuan 15 %. NLR buruk pada laki-laki 17,5 % dan perempuan 15 %. HGS normal pada laki-laki 7,5 % dan rendah 60%. Kategori HGS normal pada perempuan 12,5% dan HGS rendah sebanyak 20%. Nilai HGS terendah subyek laki-laki dan perempuan adalah 14 kg/f dan tertinggi 34 kg/f dan 24 kg/f. Uji Spearman menunjukkan tidak ada korelasi antara rasio neutrofil/limfosit dengan HGS (r= 0,27, p=0,08). Simpulan : Korelasi negatif antara nilai handgrip strength dan rasio neutrofil/limfosit tidak dapat dibuktikan. Kata kunci : rasio neutrofil/limfosit, HGS, penyakit ginjal kronik