Latar Belakang : Insiden kanker payudara di Indonesia adalah 100 per 100.000 penduduk, dan menempati urutan kedua dari seluruh jumlah tumor ganas terbanyak (11% dari jumlah seluruh tumor ganas di Indonesia). Saat ini sedang dikembangkan terapi baru pada kanker. Salah satunya yaitu dengan mengembangkan terapi herbal medicine, dimana di dalam tanaman obat tersebut sudah diketahui adanya zat – zat anti kanker. Salah satu tumbuhan yang digunakan untuk obat antikanker adalah rumput mutiara (Hedyotis Corymbosa). Hedyotis corymbosa juga mengandung beberapa zat yang dikenal memiliki aktifitas antikanker dengan menghambat proses karsinogenesis, promosi gen kanker dan angiogenesis. Misalnya asam ursalat yang dapat menghambat aktifasi nuclear factor-kappaB (NF-κB) sehingga ekspresi vascular endothelial growth factor (VEGF) dapat dihambat dan penurunan perkembangan massa tumor. Kombinasi antara Hedyotis Corymbosa dan agen kemoterapi doxorubicin dan cyclophosphamide diharapkan dapat meningkatkan efikasi dari agen tersebut. Metode : Penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorik in vivo, dengan rancangan randomized post test only control group design. Penelitian ini menggunakan binatang percobaan sebagai objek penelitian. Kelompok penelitian dibagi menjadi 2 yaitu kelompok kontrol (K) dan Perlakuan (P). Adapun pembagian kelompok dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: K : Kelompok kontrol, tikus Sprague Dawley yang diinduksi zat karsinogenik, setelah timbul tumor mendapat doxorubicin dan cyclophosphamide, P : Kelompok perlakuan, tikus Sprague Dawley yang diinduksi zat karsinogenik, setelah timbul tumor mendapat doxorubicin dan cyclophosphamide dan Hedyotis Corymbosa 2.97 mg/hari (5.94 ml/hari). Hasil : Terdapat penurunan rerata ekspresi VEGF pada kelompok perlakuan dibandingkan kelompok kontrol, dari 10,1125 ± 4,02926 menjadi 4,7550 ± 3,01241. Begitu pula dengan nilai median dari 9,94 menjadi 4,46. Terdapat penurunan rerata diameter tumor pada kelompok perlakuan dibandingkan kelompok kontrol, dari 2,50 ± 0,4375 menjadi 2,40± 0,5880. Begitu pula dengan nilai median dari 2,45 menjadi 2,35. tidak terdapat korelasi linier bermakna antara VEGF dan Diameter tumor Kesimpulan : Pada adenocarcinoma mammae tikus Sprague-Dawley yang diberi neoadjuvant doxorubicin dan cyclophosphamide dan mendapat ekstrak Hedyotis Corymbosa terdapat penurunan ekspresi VEGF dibanding yang tidak mendapat ekstrak Hedyotis Corymbosa, tidak terdapat penurunan diameter tumor dibanding yang tidak mendapat ekstrak Hedyotis Corymbosa. Antara penurunan ekspresi VEGF dengan diameter tumor pada tikus Sprague-Dawley yang diberi ekstrak Hedyotis Corymbosa tidak terdapat hubungan. Kata kunci: Heydyotis, adenokasrinoma, adriamicin, cyclofosfamid, diameter
Latar belakang: Pada cedera kepala traumatik (Traumatic Brain Injury /TBI) CT scan kepala tanpa kontras dapat mendeteksi tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial, yang penting bagi tatalaksana pasien. Pengukuran diameter optic nerve sheath (ONSD) merupakan metode baru yang diharapkan dapat menilai peningkatan tekanan intrakranial secara non-invasif. Marshall CT Score merupakan instrumen valid dan menjadi standar de facto dalam mengklasifikasikan pasien cedera kepala dan memiliki korelasi dengan peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Penelitian ini bertujuan untuk melihat adanya korelasi antara diameter n. optikus dan Marshall CT Score dengan Glasgow Coma Scale (GCS). Bahan dan Metode: Desain penelitian adalah analitik observasional retrospektif dengan rancangan belah lintang. Tigapuluh empat pasien CT Scan kepala tanpa kontras diambil data GCS-nya dari rekam medis serta diukur ONSD kedua mata dan Marshall CT Score-nya oleh 1 orang Spesialis Radiologi. Uji korelasi menggunakan Rank Spearman’s pada ketiga parameter diatas. Hasil: Uji statistik mendapatkan korelasi negatif derajat sedang antara diameter optic nerve sheath (p 0,002; rho -0,509) dan Marshall CT Score (p 0,003; rho -0,494) dengan GCS. Kesimpulan : Diameter optic nerve sheath semakin besar dan Marshall CT Score semakin tinggi pada pasien dengan tanda peningkatan intrakranial yang ditunjukkan dengan skor GCS yang semakin menurun. Kata kunci : Cedera kepala traumatik, diameter optic nerve sheath, Glasgow Coma Scale, Marshall CT Score
Latar belakang: Penyakit ginjal kronik (CKD) merupakan sindroma penurunan fungsi ginjal yang secara klinis dapat ditegakkan melalui laju filtrasi gromulerulus (GFR). Renal parenchymal resistive index dan ekogenisitas korteks ginjal, merupakan parameter ultrasonografi yang memiliki hubungan dengan nilai GFR. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sensitifitas, spesifitas, nilai prediksi positif, dan nilai prediksi negatif antara resistive index arteri intraparenkim ginjal dan ekogenisitas korteks ginjal berdasarkan GFR pada pasien CKD. Bahan dan Metode: Penelitian ini merupakan rancangan belah lintang. Empatpuluh satu orang sampel dengan level serum creatinine terlampir, dilakukan pemeriksaan USG ginjal untuk dinilai resistive index arteri intraparenkim ginjal dan ekogenisitas korteks ginjal. Pengolahan data statistik menggunakan uji diagnostik dan Intraclass Correlation Coefficients (ICC). Hasil: Sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, dan nilai prediksi negatif antara resistive index arteri intraparenkim ginjal dengan nilai GFR adalah 23%, 79%, 33%, dan 69%. Sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, dan nilai prediksi negatif antara ekogenisitas korteks ginjal dengan nilai GFR adalah 23%, 96%, 75%, dan 73%. Sedangkan berdasarkan ICC didapatkan nilai Single Rater 0,1538 dan Average of Raters 0,3528. Kesimpulan: Nilai diagnostik ekogenisitas korteks parenkim ginjal lebih tinggi dibandingkan resistive index arteri intraparenkim ginjal pada pasien CKD berdasarkan GFR, dengan poor agreement ICC diantara ketiga variabel. Hal ini dapat disebabkan karena ekogenisitas korteks lebih dapat memvisualisasi kondisi histologis ginjal dibandingkan resistive index yang tidak hanya bergantung pada kondisi vaskular intraparenkim ginjal melainkan perlu adanya faktor patologi lain. Kata kunci : Resistive Index, ekogenisitas korteks ginjal, penyakit ginjal kronis, laju filtrasi glomerolus (GFR)
Latar Belakang: Stenosis kanalis spinalis servikal sering disebabkan oleh proses degenerasi, stenosis kanalis spinalis servikal menyebabkan spondylosis servikal mielopati. Perubahan degenerasi pada vertebra servikal melibatkan korpus vertebra, diskus intervertebralis, ligamentum longitudinal posterior dan ligamentum flavum. Perubahan degenerasi yang paling mempengaruhi stenosis kanalis spinalis servikal adalah diskus intervertebralis dan korpus vertebra. Penulis ingin meneliti korelasi tinggi korpus vertebra dan derajat degenerasi diskus intervertebralis dengan stenosis kanalis spinalis vertebra servikal. Pada penelitian ini diharapkan dapat menilai derajat stenosis kanalis spinalis servikal berdasarkan derajat tinggi korpus vertebra dan degenerasi diskus intervertebralis. Bahan dan Metode: Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif dengan pendekatan cross-sectional dengan waktu penelitian bulan Mei 2015 sampai Juli 2017. Variabel bebas pada penelitian ini adalah tinggi korpus vertebra servikal dan derajat degenerasi diskus intervertebralis servikal. Variabel terikatnya adalah stenosis kanalis spinalis vertebra servikal. Analisis statistik menggunakan uji korelasi Spearman’s rank. Hasil: Pada penelitian ini terkumpul 30 sampel degenerasi servikal yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Uji Spearman’s rank menunjukkan tidak terdapat korelasi bermakna antara tinggi korpus vertebra servikal dengan derajat stenosis kanalis spinalis servikal maupun antara derajat degenerasi diskus intervertebralis servikal dengan derajat stenosis kanalis spinalis servikal. Terdapat korelasi bermakna antara derajat degenerasi diskus intervertebralis servikal dengan derajat stenosis kanalis spinalis servikal 5-6 Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi bermakna antara tinggi korpus vertebra servikal dengan derajat stenosis kanalis spinalis servikal maupun antara derajat degenerasi diskus intervertebralis servikal dengan derajat stenosis kanalis spinalis servikal. Terdapat korelasi bermakna antara derajat degenerasi diskus intervertebralis servikal dengan derajat stenosis kanalis spinalis servikal 5-6. Keyword: tinggi korpus vertebra servikal, degenerasi diskus intervertebralis servikal, stenosis kanalis spinalis servikal
Pendahuluan: Pembesaran atau hipertrofi adenoid terutama muncul pada anak-anak sebagai respons multiantigen. Hipertrofi adenoid menyebabkan obstruksi nasofaring dan tuba auditiva, diketahui dengan pemeriksaan Rasio Adenoid Nasofaring (RAN). Obstruksi tuba eustakius berperan pada gangguan telinga tengah. Otitis media supuratif kronik (OMSK) merupakan gangguan telinga tengah dengan perforasi membran timpani dan otore. Beberapa penelitian menyebutkan hubungan antara OMSK dengan hipertrofi adenoid, walaupun belum dilakukan pengukuran perforasi membran timpani pada OMSK. Berdasar hal tersebut penulis ingin mengetahui korelasi antara RAN dengan ukuran perforasi membran timpani. Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan pendekatan cross-sectional, secara prospektif pada September hingga Oktober 2017. Analisis statistik menggunakan uji Spearman’s rank. Hasil Penelitian: Pada penelitian, terkumpul 23 sampel anak dengan OMSK. Uji Spearman’s rank tidak menunjukkan korelasi signifikan antara RAN dengan ukuran perforasi membran timpani, namun menunjukkan korelasi signifikan antara ukuran perforasi membran timpani dengan lama OMSK. Pembahasan: Tidak ada korelasi signifikan antara RAN dengan ukuran perforasi membran timpani meskipun dalam penelitian sebelumnya terdapat hubungan antara OMSK dan hipertrofi adenoid, dapat disebabkan adanya perancu dan kelemahan penelitian. Lama OMSK sebagai perancu, berkorelasi signifikan dengan ukuran perforasi membran timpani. Tidak dilakukannya pemeriksaan sitokin dan bakteri penyebab yang berperan pada perforasi, menjadi kelemahan penelitian ini. Simpulan dan Saran: Tidak terdapat korelasi bermakna antara RAN dengan ukuran perforasi membran timpani pada anak dengan OMSK. Lama terjadinya OMSK merupakan perancu terhadap ukuran perforasi membrana timpani. Oleh sebab itu perlu dilakukan penelitian dengan mengendalikan variabel perancu yaitu lama OMSK. Kata kunci: Rasio adenoid nasofaring, ukuran perforasi membran timpani, OMSK
Latar Belakang : Aterosklerosis arteri koronaria merupakan penyebab tersering terjadinya penyakit jantung koroner dan cerebrovaskuler lainnya. Meningkatnya profil lipid dalam darah mempengaruhi terjadinya aterosklerosis. Prevalensi penyakit jantung koroner semakin meningkat sebanding dengan peningkatan profil lipid maupun kadar rasio kolesterol total dengan HDL. CT coronary angiography (CTCA) merupakan pencitraan resolusi tinggi untuk arteri koroner dan mempunyai akurasi tinggi untuk melihat adanya plak aterosklerosis yang menyebabkan stenosis arteri koroner. Arteri koronaria utama kiri atau left main artery merupakan arteri paling elastis dan mensuplai darah sekitar 75 - 85 % pada ventrikel kiri. Stenosis pada left main coronary artery dapat menyebabkan disfungsi ventrikel kiri dan aritmia, yang berakibat resiko tinggi terjadinya mortalitas. Penelitian ini menilai korelasi kolesterol total dengan plak aterosklerosis arteri koronaria utama kiri pada pemeriksaan CTCA. Tujuan : Menilai korelasi antara kolesterol total dengan plak aterosklerosis arteri koronaria utama kiri pada pemeriksaan CTCA. Metode : Penelitian retrospektif, menggunakan desain observasional analitik rancangan cross sectional menggunakan data rekam medis. Pasien yang telah dilakukan pemeriksaan CTCA dan kolesterol total yang dicatat pada rekam medis secara lengkap dilakukan uji korelasi Rank Spearman untuk membuktikan hipotesis. Hasil : Terdapat 31 pasien yang memenuhi kriteria penelitian. Secara statistik tidak didapatkan korelasi (sig 0,576) antara kolesterol total dengan plak aterosklerosis arteri koronaria utama kiri Simpulan : Tidak ditemukan korelasi antara kolesterol total dengan plak aterosklerosis arteri koronaria utama kiri menggunakan CTCA Kata Kunci : Kolesterol total, Plak aterosklerosis, Stenosis left main coronary artery , CT Coronary Angiography (CTCA)
Latar belakang : Kusta merupakan infeksi granulomatosa kronis yang dapat mengenai kulit dan saraf, disebabkan oleh mikroorganisme obligat intraseluler M.lepare, dan dapat mengakibatkan deformitas, disabilitas dan stigmatisasi, biasanya ditemukan pada negara berkembang termasuk Indonesia. Salah satu faktor yang berperan dalam perkembangan penyakit kusta adalah imunitas. Interleukin-12 (IL-12) merupakan salah satu sitokin regulator yang cukup penting dalam meningkatkan imunitas seluler dan berhubungan dengan resistensi terhadap infeksi kuman intraseluler seperti M.Lepra. Nigella sativa (jinten hitam) memiliki efek imunomodulator, dan beberpa penelitian menunjukkan bahwa jinten hitam dapat meningkatkan kadar IL-12. Tujuan : Membuktikan pengaruh pemberian ekstrak Nigella sativa terhadap kadar IL-12 pada penderita kusta tipe MB yang mendapat terapi MDT-WHO. Metode : Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian Double Blind-Randomized Controlled Trial, dengan variabel bebas jenis perlakuan dan variabel terikatnya adalah kadar IL-12. Sampel diambil dari 34 orang dirandomisasi dalam kelompok perlakuan (17 orang yang mendapat MDT-WHO dan Nigella sativa) dan kelompok kontrol (17 orang yang mendapat MDT-WHO dan plasebo), dan diberikan selama 8 minggu. Hasil : Pada penelitian ini didapatkan beda rerata perubahan kadar serum IL-12 sebelum dan setelah perlakuan antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol secara statistik bermakna (p=0,049; p
Latar Belakang:Reaksi kusta Eitema Nodusum Leprosum (ENL) masih merupakan suatu tantangan dalam penanganan penyakit kusta. Beberapa mediator yang berperan dalam reaksi ENL diantaranya IL-6, IL-8, TNF α dan histamin. Histamin terutama yang bekerja pada reseptor H4 berperan dalam keadaan inflamasi dengan meningkatkan permeabilitas vaskular dan kontraksi otot sehingga terjadi migrasi sel-sel radang dan mencetuskan terbentuknya antibodi. Kompleks antigen-antibodi dan komplemen akan mengikuti peredaran darah kemudian akan mengendap pada jaringan yang akan menyebabkan inflamasi dan kerusakan. Belum ada penelitian tentang perbedaan kadar histamin pada pasien kusta MB yang disertai reaksi ENL dengan tanpa reaksi ENL. Tujuan: Mengetahui dan menganalisis perbedaan kadar histamin pada kusta tipe multibasiler dengan dan tanpa reaksi ENL. Metode: Desain penelitian observasional dengan pendekatan cross- sectional. Besar sampel 40 orang yang terbagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok tanpa reaksi berjumlah 20 orang dan kelompok dengan reaksi 20 orang. Kadar histamin diukur dengan menggunakan ELIZA. Hasil: Uji beda kadar histamin antara dua kelompok dengan uji Mann Whitney tidak didapatkan perbedaan bermakna kadar histamin antara kelompok kusta MB yang disertai reaksi ENL dengan tanpa reaksi ENL (p=0,499). Simpulan: Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar histamin serum pasien kusta tipe MB dengan dan tanpa reaksi ENL. Kata Kunci: Kusta tipe MB,ENL, Histamin
Latar Belakang: Kusta merupakan penyakit infeksi kronis dan menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat karena cacat yang ditimbulkannya. Salah satu penyebab terjadinya kecacatan adalah reaksi kusta. Eritema Nodosum Leprosum (ENL) merupakan rekasi kusta tipe 2, dimana lebih sering terjadi pada tipe kusta borderline lepromatous (BL), lepromatous lepromatous (LL) yang mendapatkan pengobatan Multi Drug Therapy (MDT) kusta Multibasiler (MB). Histamin terutama yang dimediasi reseptor H4 berperan dalam keadaan inflamasi dengan meningkatkan permeabilitas vaskular dan kontraksi otot sehingga terjadi migrasi sel-sel leukosit dan keluarnya plasma yang mengandung antibodi dan komplemen jaringan yang pada akhirnya menyebabkan inflamasi pada jaringan. Belum ada penelitian tentang perbedaan ekspresi histamin pada pasien kusta MB yang disertai reaksi ENL dengan tanpa rekasi ENL. Tujuan: Mengetahui perbedaan ekspresi histamin pada pasien kusta MB yang sudah mendaatkan pengobatan MDT>6 bulan yang disertai reaksi ENL dengan tanpa reaksi ENL. Metode: Desain penelitian observasional dengan pendekatan cross- sectional. Besar sampel 32 orang yang terbagi dalam 2 kelompok yaitu kelompok tanpa reaksi berjumlah 16 orang dan kelompok dengan reaksi 16 orang. Ekspresi histamin diukur dengan menggunakan scor Allred. Hasil dan Kesimpulan : Uji beda ekspresi histamin antara dua kelompok dengan uji Mann Whitney didapatkan p
Latar Belakang: Kusta masih merupakan masalah kesehatan di dunia, yang menimbulkan morbiditas tinggi karena kecacatan dan disabilitas. Eritema nodosum leprosum atau reaksi kusta tipe 2, dapat terjadi pada tipe lepromatosa dan tipe borderline lepromatosa. Interleukin-6 merupakan sitokin pleiotropik yang memiliki kemampuan menginduksi produksi antibodi dan berperan utama pada respon fase akut terhadap infeksi. Tujuan: Mengetahui perbedaan ekspresi IL-6 pada pasien kusta multibasiler dengan dan tanpa reaksi ENL yang diterapi MDT. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan rancangan belah lintang. Variabel bebas adalah kejadian reaksi ENL dan variabel terikatnya adalah skor ekspresi IL-6. Sampel diambil dari 32 pasien, dimana 16 pasien dengan reaksi ENL positif, 16 pasien dengan reaksi ENL negatif. Hasil: Pada penelitian ini tidak didapatkan perbedaan bermakna antara ekspresi IL-6 pada kelompok penderita kusta multibasiler dengan reaksi ENL dan kelompok penderita kusta multibasiler tanpa reaksi ENL (p = 0,317). Hipotesis pada penelitian ini ditolak mungkin karena pada reaksi ENL didapatkan juga pengaruh dari biomarker lain seperti IL-1β, TNF-α dan IFN-γ. Simpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna ekspresi IL-6 antara kelompok kusta multibasiler dengan reaksi ENL dibandingkan kelompok kusta multibasiler tanpa reaksi ENL, namun rerata pada kelompok kusta MB dengan reaksi ENL lebih tinggi. Kata Kunci: kusta multibasiler, ENL, ekspresi interleukin-6