LATAR BELAKANG: Kekurangan besi pada anak usia sekolah dapat mengganggu perkembangan kognitif anak. Keberhasilan suplementasi besi yang diberikan dapat dipengaruhi beberapa hal salah satunya adalah interaksi zat mikronutrien seng. TUJUAN: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan antara status seng dengan keberhasilan suplementasi besi pada anak. METODE: Penelitian intervensi, desain pre dan post test pada anak usia sekolah dasar sehat yang dilakukan di sekitar Semarang. Pemeriksaan kadar seng dan besi dilakukan pada semua subyek dan diberikan suplementasi besi selama 2 kali seminggu selama 3 bulan, dan diperiksa kadar seng dan besi setelah suplementasi. Uji korelasi menggunakan Pearson dan Spearman, koefisien korelasi dinyatakan dengan r, signifikan bila nilai p
Latar Belakang: Pajanan kronik pestisida organofosfat merupakan stres oksidatif yang dapat menyebabkan kerusakan hepar dan aorta. Malondialdehid (MDA) merupakan salah satu penanda biologis kerusakan oksidatif lipid membran sel. Hepar berfungsi memprodusi insulin growth factor-1 (IGF-1) yang merangsang enzyme nitric oxide (eNOS) untuk membentuk nitrit oksida (NO) vaskular. Tujuan: Mengetahui hubungan kadar MDA dengan NO darah pada anak di aderah pajanan kronik pestisida. Metode: Penelitian belah lintang dilakukan terhadap 50 anak usia 8-10 tahun di daerah pertanian bawang merah Brebes. Kadar MDA dan NO darah diukur pada saat bersamaan dengan metode ELISA, data ditampilkan dalam skala numerik. Analisis statistik menggunakan korelasi Pearson. Hasil: Lima puluh anak memenuhi kriteria, terdiri dari 30 laki-laki (60%) dan 29 perempuan (40%). Rerata kadar MDA darah normal pada lak-laki, perempuan dan subyek total secara berurutan yaitu 6,03 (3,86) μg/mL, 5,18 (2,11) μg/mL dan 5,69 (2,60) μg/mL (p=0,56). Rerata kadar NO darah meningkat pada laki-laki. Perempuan dan subyek total secara berurutan yaitu 79,42 (50,78) μmol/L, 68,11 (50,81) μmol/L dan 74,90 (50,58) μmol/L (p=0,44). Tidak terdapat hubungan kadar MDA dan NO darah pada laki-laki (p=0,89), perempuan (p=0,981) dan subyek total (p=0,994). Kesimpulan: Rerata kadar NO darah anak di daerah pajanan kronik pestisida lebih tinggi dari nilai normal. Tidak didapatkan hubungan kadar MDA dan NO darah pada anak di daerah pajanan kronik pestisida. Kata Kunci: pestisida, stres oksidatif, malondialdehid, nitrit oksida
Latar Belakang: Leukemia merupakan keganansan sel darah yang berasal dari sumsum tulang. Defek kualitatif neutrofil seperti kelainan kemotaksis, fagositosis dan migrasi neutrofil terjadi pada leukemia. Cuprum adalah mikronutrien yang berperan dalam fungsi neutrofil dan makrofag. Penurunan jumlah neutrofil dan gangguan fungsi neutrofil dikaitkan dengan defisiensi cuprum. Tujuan: Mengetahui hubungan kadar serum cuprum dengan fungsi fagositosis neutrofil pada anak leukemia limfositik akut. Metode: Penelitian observasional analitik dengan metode belah lintang pada 25 anak leukemia limfositik akut usia 1-10 tahun di RSUP dr. Kariadi Semarang. Kadar serum cuprum dan indeks fungsi fagositosis diukur dan dilakukan analisis statistik dengan menggunakan korelasi Pearson. Hasil: Dua puluh lima anak yang memenuhi kriteria, terdiri dari 18 laki-laki (72%) dan malnutrisi 13 anak (52%). Fase kemoterapi terbanyak adalah induksi dan konsolidasi pada 17 anak (68%). Rerata kadar serum cuprum normal yaitu 1254,8 (464,77) μg/L. Rerata indeks fagositosis neutrofil menurun yaitu 53,08 (20,03)%. Tidak terdapat hubungan kadar serum cuprum dengan fungsi fagositosis neutrofil pada anak leukemia limfositik akut (p=0,364). Kesimpulan: Rerata indeks fagositosis neutrofil rendah pada anak leukemia limfositik akut dibandingkan nilai normal. Rerata kadar serum cuprum normal pada anak leukemia limfositik akut. Tidak terdapat kadar serum cuprum dengan fungsi fagositosis neutrofil pada anak leukemia limfositik akut. Kata Kunci: leukemia, serum cuprum, fungsi fagositosis neutrofil
Latar Belakang : Insiden kanker payudara di Indonesia adalah 100 per 100.000 penduduk, dan menempati urutan kedua dari seluruh jumlah tumor ganas terbanyak (11% dari jumlah seluruh tumor ganas di Indonesia). Saat ini sedang dikembangkan terapi baru pada kanker. Salah satunya yaitu dengan mengembangkan terapi herbal medicine, dimana di dalam tanaman obat tersebut sudah diketahui adanya zat – zat anti kanker. Salah satu tumbuhan yang digunakan untuk obat antikanker adalah rumput mutiara (Hedyotis Corymbosa). Hedyotis corymbosa juga mengandung beberapa zat yang dikenal memiliki aktifitas antikanker dengan menghambat proses karsinogenesis, promosi gen kanker dan angiogenesis. Misalnya asam ursalat yang dapat menghambat aktifasi nuclear factor-kappa B (NF-κB) sehingga ekspresi CD56 (Sel NK) dan granzym B meningkat. Kombinasi antara Hedyotis Corymbosa dan agen kemoterapi adriamisin dan cyclophosphamide diharapkan dapat meningkatkan efikasi dari agen tersebut. Metode : Penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorik in vivo, dengan rancangan randomized post test only control group design. Penelitian ini menggunakan binatang percobaan sebagai objek penelitian. Kelompok penelitian dibagi menjadi 2 yaitu kelompok kontrol (K) dan Perlakuan (P). Adapun pembagian kelompok dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: K : Kelompok kontrol, tikus Sprague Dawley yang diinduksi zat karsinogenik, setelah timbul tumor mendapat adriamisin dan cyclophosphamide, P : Kelompok perlakuan, tikus Sprague Dawley yang diinduksi zat karsinogenik, setelah timbul tumor mendapat adriamisin dan cyclophosphamide dan Hedyotis Corymbosa 2.97 mg/hari (5.94 ml/hari). Hasil : Terdapat peningkatan rerata ekspresi gen CD56 pada kelompok perlakuan dibandingkan kelompok kontrol, dari 9.3425 ± 2.89420 menjadi 12.6850 ± 1.38742. Begitu pula dengan nilai median dari 8.8750 menjadi 12.8350. Terdapat peningkatan rerata ekspresi gen granzym B pada kelompok perlakuan dibandingkan kelompok kontrol, dari 10.5113 ± 2.77343 menjadi 19.8188 ± 7.25645. Begitu pula dengan nilai median dari 9.8650 menjadi 19.7550. Kesimpulan : Pada adenocarcinoma mammae tikus Sprague-Dawley yang diberi kemoterapi adriamisin dan cyclophosphamide dan mendapat ekstrak Hedyotis Corymbosa terdapat peningkatan ekspresi CD56 dibanding yang tidak mendapat ekstrak Hedyotis Corymbosa, dan terdapat peningkatan ekspresi granzym B dibanding yang tidak mendapat ekstrak Hedyotis Corymbosa. Antara peingkatan ekspresi CD56 dengan peningkatan ekspresi granzym B pada tikus Sprague-Dawley yang diberi ekstrak Hedyotis Corymbosa tidak terdapat hubungan. Kata kunci: Hedyotis Corymbosa, adenocarcinoma mammae, kemoterapi, CD56, granzym B
Latar Belakang Evaluasi prognostik awal pasien dengan peritonitis adalah untuk manajemen intensif dan juga untuk memberikan klasifikasi obyektif keparahan dan risiko operasi. Penelitian ini mencoba untuk mengevaluasi penggunaan sistem penilaian seperti Acute Physiological and Chronic Health Evaluation score (APACHE II) dan Mannheim Peritonitis Index (MPI) pada pasien dengan peritonitis. Tujuan Membandingkan sistem skoring APACHE II dan MPI dalam memprediksikan outcome pasien pada kasus peritonitis generalisata. Metode Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif pada catatan medik 93 pasien peritontis pada bulan Juni 2012 hingga Desember 2014 di RSUP Dr. Kariadi (RSDK). Data pasien didapatkan setelah melalui kriteria inklusi dan ekslusi. Kedua sistem penilaian diterapkan pada pasien sebelum laparotomi Peningkatan skor APACHE II dan MPI dihubungkan dengan peningkatan angka mortalitas dihitung dengan metode statistik.. Hasil Dari 93 pasien yang terdiagnosis peritonitis generalisata, sebanyak 54 pasien (58%) bertahan hidup/survive dan 39 pasien (42%) mengalami kematian. Skor APACHE II memiliki nilai AUC 97%, didapatkan cut-off skor APACHE II 25, dengan sensitivitas 92,3% dan spesifisitas 94,4%. Skor MPI memiliki nilai AUC 98,8%, didapatkan cut-off berada pada skor MPI 26, dengan sensitivitas 97,4% dan spesifisitas 92,6%. Kesimpulan Sistem skoring APACHE II dan MPI sama akuratnya dalam memprediksi outcome pasien pada kasus peritonitis. Secara klinis, sistem skoring APACHE II dinilai lebih mudah digunakan dan tergolong lengkap untuk memprediksi outcome pasien pada kasus peritonitis, dibandingkan MPI. Kata Kunci APACHE II, MPI, mortalitas, peritonitis
Latar Belakang : Intususepsi adalah penyebab utama obstruksi usus pada anak-anak. Insidens terbanyak pada bayi umur 5-10 bulan. Sekitar 80-95% intususepsi adalah jenis ileocolic. Diagnosis awal penting untuk mencegah morbiditas dan mortalitas. Penelitian ini bertujuan menganalisa faktor risiko reseksi usus pada intususepsi bayi dan anak-anak. Metode : Data dikumpulkan dari catatan medis pasien intususepsi di RSUP dr. Kariadi Semarang periode Januari 2012 samapai Juni 2014. Data kemudian dikelompokkan dan dianalisa menjadi dua grup. Hasil : Jumlah total pasien yang dianalisa sebanyak 41 orang. Kejadian terbanyak ditemukan pada kelompok usia 8 bulan. Mekanisme perawatan merupakan faktor prediktor paling bermakna (p: 0,038). Reseksi usus dilakukan pada semua pasien rujukan. Gambaran klinis, jenis intususepsi dan pemeriksaan laboratorium pre operatif hasil tidak bermakna (p;>0,05). Kesimpulan : Pembedahan merupakan terapi utama intususepsi pada pusat pendidikan kami. Penelitian menunjukkan hanya pasien rujukan dari rumah sakit lain yang signifikan meningkatkan resiko operasi. Diperlukan penelitian lebih lanjut dengan data yang lebih besar untuk menganalisa faktor resiko lainnya. Kata Kunci : intususepsi, reseksi usus, faktor resiko, pembedahan, laparotomi
Latar Belakang : Sampai saat ini belum ada perbedaan mengenai survival rate pada pasien cholecystolithiasis yang diterapi dengan pembedahan terbuka atau dengan laparoscopy. Infeksi luka operasi adalah penyebab tersering kedua infeksi nosokomial. Infeksi luka operasi secara bermakna meningkatkan tingkat morbiditas dan mortalitas pasien. kejadian infeksi luka operasi berhubungan dengan peningkatan lama perawatan / Length of stay (LOS) dan meningkatkan biaya perawatan. Tujuan : Membuktikan bahwa terdapat perbedaan kejadian infeksi luka operasi antara kelompok pasien di RSUP dr Kariadi Semarang yang menjalani pembedahan laparoscopy dan pembedahan laparotomi cholecystectomi pada periode Januari tahun 2013 sampai dengan Desember 2014. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik, dengan rancangan penelitian retrospektif, selama periode Januari 2013 sampai dengan Desember 2014. Uji beda ILO antara kelompok laparoskopi dan pembedahan laparotomi cholecystectomi adalah dengan uji chi square. Hasil: Sebanyak 171 pasien yang dilakukan laparoscopy cholecystectomi (kelompok 1, 64 pasien) dan laparotomi open cholecystectomi (kelompok 2, 40 pasien). Kejadian ILO kelompok 1 sebanyak 37,4% dan pada kelompok 2 sebanyak 40%. Uji beda kejadian ILO pada kedua kelompok menggunakan uji chi square didapatkan nilai p = 0.004 Simpulan: Penanganan pembedahan pada kelompok pasien dengan Cholecystolithiasis yang dilakukan laparoscopy dan open cholecystectomi didapatkan adanya perbedaan yang bermakna kejadian infeksi luka operasi. Infeksi luka operasi yang terjadi baik pada prosedur pembedahan dengan laparoscopy maupun open cholecystectomi didapatkan sebagian besar mengalami jenis infeksi luka operasi yang superficial. Kata kunci: Infeksi luka operasi, laparoscopy cholecystectomi , open cholecystectomy
Pendahuluan : Cedera kepala traumatik merupakan penyebab disabilitas utama. Beberapa faktor prognostik, seperti refleks pupil, nilai Glasgow Coma Scale (GCS) awal, jumlah leukosit, computerized tomography (CT) scan, telah diteliti dalam berbagai penelitian untuk memprediksi hasil akhir pada pasien cedera kepala traumatik dewasa. Jumlah leukosit awal memperingatkan dokter tentang hasil akhir yang buruk, dan memberikan kesempatan bagi terapi yang sesuai. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif tentang cedera kepala traumatik (berat, sedang, dan ringan), yang mengunjungi Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUP Dr. Kariadi, Semarang, Jawa Tengah, Indonesia) dalam periode Januari – Juni 2014. Jumlah leukosit pasien diperiksa di hari pertama saat kedatangan mereka. Seluruh pasien dibagi ke dalam beberapa grup berdasarkan nilai GCS, hasil akhir, dan lama rawat inap. Kaitan antara parameter-parameter tersebut dengan kenaikan jumlah leukosit dievaluasi secara statistik. Hasil : Jumlah leukosit awal yang tinggi dihubungkan sebagai prediktor pada cedera kepala traumatik. Leukositosis berhubungan dengan cedera kepala traumatik berat dengan rerata leukosit 20,01x106/L ±SD7,431, dan terdapat perbedaan yang bermakna antara leukositosis pada cedera kepala traumatik berat dan ringan, dimana p
Latar Belakang : Insiden kanker payudara di Indonesia adalah 100 per 100.000 penduduk, dan menempati urutan kedua dari seluruh jumlah tumor ganas terbanyak (11% dari jumlah seluruh tumor ganas di Indonesia). Saat ini sedang dikembangkan terapi baru pada kanker. Salah satunya yaitu dengan mengembangkan terapi herbal medicine, dimana di dalam tanaman obat tersebut sudah diketahui adanya zat – zat anti kanker. Salah satu tumbuhan yang digunakan untuk obat antikanker adalah rumput mutiara (Hedyotis Corymbosa). Hedyotis corymbosa juga mengandung beberapa zat yang dikenal memiliki aktifitas antikanker dengan menghambat proses karsinogenesis, promosi gen kanker dan angiogenesis Kombinasi antara Hedyotis Corymbosa dan agen kemoterapi doxorubicin dan cyclophosphamide diharapkan dapat meningkatkan efikasi dari agen tersebut. Penelitian ini ingin melihat apakah pemberian ekstrak Hedyotis Corymbosa dapat meningkatkan ekspresi CD56 sel-NK dan IFN-γ pada adenocarcinoma mammae tikus Sprague-Dawley yang diberi neoadjuvant doxorubicin dan cyclophosphamide Tujuan : Menganalisis efek ekstrak Hedyotis Corymbosa terhadap sistem imun pada tikus Sprague-Dawley yang diberi neoadjuvant doxorubicin dan cyclophosphamide Metode : Penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratorik in vivo, dengan rancangan randomized post test only control group design. Penelitian ini menggunakan binatang percobaan sebagai objek penelitian. Kelompok penelitian dibagi menjadi 2 yaitu kelompok kontrol (K) dan Perlakuan (P). Adapun pembagian kelompok dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: K : Kelompok kontrol, tikus Sprague Dawley yang diinduksi zat karsinogenik, setelah timbul tumor mendapat doxorubicin dan cyclophosphamide, P : Kelompok perlakuan, tikus Sprague Dawley yang diinduksi zat karsinogenik, setelah timbul tumor mendapat doxorubicin dan cyclophosphamide dan Hedyotis Corymbosa 2.97 mg/hari (5.94 ml/hari). Hasil : Terdapat peningkatan rerata ekspresi gen CD56 dan rerata ekspresi gen IFN-γ pada kelompok perlakuan dibandingkan kelompok kontrol. Dari uji T test didapatkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol dan perlakuan baik pada ekspresi gen CD56 maupun IFN- γ. Dari uji korelasi tersebut didapatkan korelasi tidak bermakna antara ekspresi gen CD56 dan IFN-γ. Kesimpulan : Terdapat peningkatan rerata ekspresi gen CD56 dan rerata ekspresi gen IFN-γ pada kelompok perlakuan dibandingkan kelompok kontrol. Dari uji T test didapatkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara kelompok kontrol dan perlakuan baik pada ekspresi gen CD56 maupun IFN- γ. Hal ini diharapkan menjadi landasan pemberian ekstrak Hedyotis Corymbosa yang dikombinasikan dengan doxorubicin dan cyclophosphamide diharapkan dapat menjadi sebuah sebagai adjuvant terapi tanpa meninggalkan pemberian terapi kemoterapi pada kanker payudara. Kata kunci: Hedyotis Corymbosa, doxorubicin, cyclophosphamide,CD56, IFNγ.
Pendahuluan: Salah satu cedera kepala fokal adalah epidural hemorrhage (EDH). Tampilan klinis klasik pasien EDH salah satunya berupa kehilangan kesadaran sesaat setelah trauma, pemulihan kesadaran sementara (“lucid interval”), kemudian terjadi penurunan neurologis yang progresif. Lucid interval timbul pada 14% sampai 21% bahkan mencapai 50% pada pasien EDH. Metode: Data diambil dari pasien dengan diagnosis cedera kepala yang dirawat di Instalasi Gawat Darurat RS Dr. Kariadi (RSDK) Semarang pada tahun 2013 – 2015. Pasien dengan EDH dilakukan pengelompokan jenis kelamin, usia, kejadian lucid interval, volume lesi EDH, dan lokasi lesi EDH. Kemudian akan dibagi menjadi dua grup, grup pasien dengan lucid interval dan grup pasien tanpa lucid interval. Kemudian di masing-masing grup dilakukan analisis perbedaan dan korelasi terhadap usia, volume perdarahan, dan lokasi lesi intrakranial. Hasil dan Diskusi: Pasien dewasa sebanyak 62.02 % dan sisanya pasien anak. EDH terjadi pada 41.7 % pasien dengan usia produktif. Lucid interval terjadi pada 20.2% dari keseluruhan pasien EDH. Untuk pasien anak dengan EDH hanya 10 % yang mengalami lucid interval. Tidak terdapat hubungan yang signifikan pada terjadinya lucid interval dihubungkan dengan usia pasien pada kasus EDH (p = .506). Lokasi EDH terbanyak terdapat di regio temporal (46.8%) namun tidak terdapat hubungan yang signifikan (p= .221) antara lokasi EDH dan kejadian lucid interval. Pada uji beda kejadian lucid interval dan volume perdarahan pada kasus EDH dijumpai bahwa terdapat perbedaan yang signifikan untuk volume perdarahan terhadap terjadinya lucid interval (p = .017). Dan ditemukan korelasi signifikan antara volume perdarahan ≥ 30 ml dan ≥ 20 ml dengan kejadian lucid interval (p= .007 dan 0.019). sehingga dibutuhkan pengawasan terjadinya penurunan kesadaran kedua pada pasien EDH dengan volume ≥ 20 ml. Kata kunci: epidural hemorrhage (EDH), Lucid interval, Volume perdarahan