Latar Belakang: HIV mendorong epidemi TB dan menyebabkan tingginya mortalitas pada pasien koinfeksi HIV-TB terutama di negara-negara berkembang. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berbagai faktor yang berpengaruh terhadap mortalitas pada pasien koinfeksi HIV-TB. Metode: Studi case control dilakukan pada bulan Agustus 2015 - Juli 2016. Subjek penelitian adalah pasien HIV berusia > 18 tahun yang terinfeksi TB paru kasus baru dan mendapat terapi obat anti tuberkulosa kategori I dari klinik Dr.Kariadi Semarang dan BKPM Semarang. Uji chi-square digunakan untuk membandingkan variabel kategori antara kedua kelompok, regresi logistik digunakan untuk membandingkan mortalitas keseluruhan antara kedua kelompok. Hasil: Sejumlah 80 pasien masuk ke dalam kriteria inklusi terdiri dari 50% pasien HIV-TB dan 50% pasien HIV non TB dengan perbandingan jenis kelamin laki-laki HIV-TB : HIV non TB (65% : 55%). Pasien koinfeksi HIV-TB meninggal lebih banyak 12 (30%) dibandingkan dengan HIV non TB 4 (10%). Faktor-faktor yang berpengaruh terhdap mortalitas pada pasien koinfeksi HIV-TB meliputi: tidak mendapat ARV (p = 0,0001), tidak memulai terapi profilaksis kotrimoksazol (p = 0,0001), jumlah CD4 ≤ 100 sel / mm3 (p = 0,0001), anemia dengan hemoglobin ≤ 10 mg/dL (p = 0,0001), adanya lebih dari dua infeksi oportunistik (p = 0,0001), dan underweight (p = 0,0001). Kesimpulan: Berbagai faktor yang berpengaruh terhadap mortalitas pasien koinfeksi HIV-TB adalah tidak mendapat ARV, tidak memulai terapi profilaksis kotrimoksazol, jumlah CD4 ≤ 100 sel / mm3, anemia dengan hemoglobin ≤ 10 mg/dL, adanya lebih dari dua infeksi oportunistik, dan underweight. Kata Kunci: Mortalitas, koinfeksi HIV-TB
Latar Belakang: Selama dua dekade terakhir infeksi Clostridium difficile (CDI), yang sering bermanifestasi sebagai diare, telah banyak dilaporkan. Namun di Indonesia angka kejadian CDI belum pernah dilaporkan. Faktor risiko tradisional yang berkaitan CDI seperti paparan antibiotik, lama perawatan, usia lanjut perlu diketahui supaya kejadian CDI dapat dicegah dan diatasi sejak dini. Tujuan: Untuk menjelaskan faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian CDI di rumah sakit di Jawa Tengah Metode: Penelitian cross-sectional terhadap semua pasien diare dilakukan di empat rumah sakit di Jawa Tengah pada Juli hingga Desember 2014. Sampel feses diambil dan diuji menggunakan C.diff Quik Chek Complete EIA kit. Sampel yang dianggap CDI adalah sampel yang positif antigen dan toksin. Selanjutnya dicari faktor risiko yang mempengaruhi kejadian CDI. Hasil: Terdapat 328 sampel yang memenuhi kriteria inklusi, dimana 23 sampel (7,01%) merupakan CDI. Tujuh dari 23 sampel tersebut merupakan CDI yang didapat dari komunitas. Hasil uji chi-square menunjukkan variabel yang memiliki hubungan bermakna dengan kejadian CDI adalah lama perawatan di rumah sakit (RP = 0,178; 95%CI = 0,07 – 0,48; p = 0,002), pemakaian antibiotik (RP = 16,13; 95%CI = 2,2 – 121,2; p = 0,001) dan lama penggunaan antibiotik (RP = 0,11; 95%CI = 0,04 – 0,3; p = 0,001). Sedangkan jenis kelamin, usia, ruang rawat, obat penekan asam lambung, tindakan pada saluran cerna adalah variabel yang tidak memiliki hubungan bermakna. Dari analisis multivariat dengan uji regresi logistik didapatkan variabel lama pemberian antibiotik sebagai faktor risiko independen terhadap kejadian CDI. Kesimpulan: Prevalensi CDI di Jawa Tengah cukup tinggi. Terdapat beberapa faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian CDI di rumah sakit di Jawa Tengah yaitu lama perawatan, pemakaian antibiotik dan lama penggunaan antibiotik. Kata Kunci: faktor risiko, diare, infeksi Clostridium difficile
Latar belakang: Pasien kanker memiliki risiko yang tinggi untuk terjadinya tromboemboli vena. Tromboemboli vena merupakan penyebab kematian kedua pada pasien kanker. Diperlukan parameter yang baik dalam memprediksi kejadian TEV sehingga dapat dilakukan pencegahan secara individu berdasarkan kelompok risikonya. Metode: Penelitian kohort prospektif pada pasien kanker yang akan menjalani kemoterapi di RSUP Dr. Kariadi. Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2016- April 2017 dan melibatkan 40 pasien kanker. Skor Khorana dinilai pada awal penelitian, sesuai skor Khorana et al. Kadar Von Willebrand diambil pada saat awal penelitian dan setelah kemoterapi menggunakan metode ELISA . Hasil: Dari 40 penderita kanker, didapatkan 5 pasien (12,5%) menderita TVD dalam median 8 minggu pengamatan (IQR 3-11 minggu). Kadar VWF baik prekemoterapi maupun post kemoterapi meningkat secara signifikan pada pasien kanker yang terkena TVD (3,03 IQR 2,97-3,75 dan 3,43 IQR 3-3,97). Peningkatan kadar VWF tersebut berhubungan secara signifikan dengan kejadian TVD pada pasien kanker (p= 0,001 dan p= 0,002). Tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara skor Khorana dan kejadian TVD pada penelitian ini (p=0,217). Cut off point VWF dari kurva ROC adalah ≥3,06 U/ml, dengan AUC 0,986 (95% CI 0,951-1,021, p= 0,004), Odd Ratio 20,4 (95%CI 2,87 – 24,22), sensitivitas 75%, spesifisitas 94%, nilai duga positif 67%, dan nilai duga negative 97%. Penambahan kadar VWF pada skor Khorana meningkatkan nilai prediktor skor Khorana terhadap TVD (p= 0,017). Kesimpulan: Faktor Von Willebrand berperan sebagai prediktor kejadian TVD pasien kanker. Penambahan VWF pada skor Khorana akan meningkatkan nilai prediktif skor Khorana. Kata kunci: Faktor Von Willebrand, Skor Khorana, Trombosis Vena Dalam