Latar belakang : sepsis merupakan penyebab utama kematian dari kasus infeksi, terutama bila tidak diketahui sejak awal atau terlambat terapi. Infeksi bakteri yang berkembang menjadi sepsis merupakan suatu respon tubuh terhadap invasi mikroorganisme, bakteremia atau pelepasan sitokin akibat pelepasan endotoksin oleh bakteri gram negatif atau gram positif. Ratio neutrofil limfosit (RNL) memiliki peranan sebagai prediktor bakteremia dan dapat memprediksi kondisi infeksi bakteri. Morbiditas dan mortalitas di ICU ditentukan oleh perkembangan kegagalan fungsi organ yang terjadi. Kerusakan dan kegagalan fungsi organ ini dapat dimonitor antara lain dengan menggunakan Sequential Organ Failure Assesment (SOFA) skor. Jumlah skor SOFA rata-rata pada 48 jam pertama merupakan indikator prognosis yang cukup baik untuk keluaran pasien. Tujuan : Apakah terdapat perbedaan mortality rate pasien sepsis berdasarkan pemeriksaan Ratio Neutrofil Limfosit sebagai biomarker sederhana penanda sepsis dan Skor Sequential Organ Failure Assesment (SOFA) sebagai predictor mortality di ruang ICU RSUP dr. Kariadi Metode : Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain cross sectional. Besar sampel yang didapatkan sebanyak 32 pasien yang masuk kriteria inklusi dengan metode total sampling. Pasien yang masuk perawatan ICU dan memenuhi kriteria inklusi dilakukan perhitungan RNL dan SOFA dengan cara pengambilan darah pada jam 0, jam 24 dan jam 48. Parameter pengambilan darah termasuk darah rutin serta darah tepi, fungsi hepar (bilirubin direk, bilirubin indirek dan bilirubin total), fungsi ginjal (ureum, kreatinin), analisa gas darah. Data di analisa menggunakan uji anova dan uji interclass correlation coeficient untuk menilai reabilitas 2 arah. Hasil : Ratio neutrofil limfosit dapat di hubungkan dengan tingkat keparahan pada pasien sakit kritis. Pada pasien dengan sepsis, tidak terdapat hubungan yang signifikan secara statistik antara ratio neutrofil limfosit dan mortalitas. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan pemahaman tentang patofisiologi dan hubungan RNL terhadap mortalitas untuk melengkapi penelitian ini. Kesimpulan : RNL dapat dijadikan prediktor outcome mortality rate pada pasien sepsis yang di rawat di ruang ICU. Penilaian RNL dapat menunjukkan beratnya kegagalan organ pada pasien sepsis yang di rawat di ruang ICU. Penilaian RNL memiliki korelasi dengan mortality rate berdasarkan SOFA skor pada pasien sepsis yang dirawat di ruang ICU Kata kunci : Sepsis, Ratio neutrofil limfosit, Sequential organ failure assesment
Latar Belakang : Operasi Modified Radical Mastectomy menimbulkan nyeri derajat sedang hingga berat pasca operasi. Sebagian pasien yang mendapat analgetik bolus berkala tramadol ketorolak masih mengeluh nyeri. PCA merupakan metode baru pemberian analgetik. Penggunaan PCA ketamin dan PCA morfin diharapkan dapat lebih efektif dalam pengelolaan nyeri pasca operasi MRM. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandingan efektivitas, efek samping dan tingkat kepuasan pasien antara penggunaan PCA fentanil, PCA morfin dan tramadol intravena sebagai analgetik pasca operasi MRM. Metode : Dilakukan uji klinis acak tersamar ganda terhadap 36 pasien rencana operasi MRM yang memenuhi kriteria penelitian. Setelah dilakukan anestesi umum, pasien dibagi dalam 3 kelompok perlakuan pemberian analgetik pasca operasi: 1) kelompok PCA ketamin dengan loading dose 0,5 mg/kgBB, demand dose 0,3 mg/kgBB, lockout interval 10 menit, limit dose 6x demand dose, background infusion tidak diberikan; 2) kelompok PCA morfin dengan loading dose 0,05 mg/kgBB, demand dose 0,03 mg/kgBB, lockout interval 10 menit, limit dose 6x demand dose, background infusion tidak diberikan; 3) kelompok tramadol yang mendapat tramadol intravena 100 mg/8jam. Dilakukan penilaian berkala skor NRS, RAAS, tanda vital, efek samping dan tingkat kepuasan pasien selama 24 jam pasca operasi. Data dianalisa dengan Shapiro-Wilk dilanjutkan Kruskal-Wallis atau ANOVA, dianggap bermakna bila p< 0,05. Hasil : Efektivitas tertinggi didapatkan pada kelompok PCA ketamin kemudian PCA morfin dan tramadol. Tidak ada perbedaan bermakna terhadap kepuasan pasien pada ketiga kelompok perlakuan baik PCA ketamin, PCA morfin, dan tramadol intravena. Walaupun kelompok PCA ketamin memiliki nilai rata-rata kepuasan yang lebih tinggi dibandingkan kelompok PCA morfin dan tramadol intravena. Skala nyeri kelompok PCA ketamin adalah yang paling rendah diikuti dengan PCA morfin, sedangkan skala nyeri yang tertinggi didapatkan pada kelompok tramadol intravena. Kata Kunci : MRM, PCA ketamin, PCA morfin, tramadol, ketorolak, NRS, RAAS, efek samping, tingkat kepuasan pasien.
Latar Belakang : Laparotomi merupakan salah satu prosedur pembedahan mayor dengan cara melakukan penyayatan pada lapisan dinding abdomen untuk mendapatkan organ dalam abdomen yang mengalami masalah. Trauma akibat pembedahan merupakan suatu stres fisik dan psikologis yang dikaitkan dengan perubahan neuroendokrin, metabolik, dan sistem imun. Epidural analgesia dapat mempengaruhi respon imun perioperatif dan mengurangi kemoatraktan neutrofil pada jaringan yang mengalami trauma. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk menilai efek bupivakain 0,25% dengan adjuvant fentanil 0,05mg dan bupivakain 0,125% dengan adjuvant fentanil 0,05mg sebagai analgesia epidural terhadap kadar neutrofil pada operasi abdomen terbuka dengan membandingkan kadar neutrofil antarakelompok I dan kelompok II pada saat sebelum tindakan epidural dan 4 jam pasca bedah. Metode : Dilakukan penelitian eksperimental dengan rancangan randomized, double-blind, controlled trial. Besar sampel berjumlah 25 sampel tiap kelompok. Penderita yang memenuhi kriteria penelitian menjalani prosedur persiapan operasi elektif. Dilakukan pengambilan sampel darah vena untuk pemeriksaan kadar neutrofil pada saat sebelum pemasangan epidural dan 4 jam pascabedah. Loading dose dan maintenans pada kelompok I menggunakan bupivakain 0,25% dengan adjuvant fentanil 0,05mg via kateter epidural dengan volume sesuai perhitungan, sedangkan padakelompok II menggunakan bupivakain 0,125% dengan adjuvant fentanil 0,05mg. Data dianalisa secara statistik menggunakan uji Mann Whitney U, dianggap bermakna bila p< 0,05. Hasil : Tidak ada perbedaan secara statistik kadar neutrofil antara kelompok I dengan kelompok II pada semua waktu pengukuran. Sehingga disimpulkan bahwa bupivakain 0,25% dengan adjuvant fentanil 0,05mg memberikan efek yang sama dengan bupivakain 0,125% dengan adjuvant fentanil 0,05mg sebagai analgesia epidural dalam mempertahankan kadar neutrofil dalam rentang nilai normal (p=0,775). Kata Kunci : Inflamasi, Neutrofil, Epidural, Bupivakain, Operasi abdomen
Latar belakang. Prevalensi kurang pendengaran di Indonesia tahun 2013 pada usia ≥ 5 tahun sebesar 2,6%. Asfiksia dan BBLSR merupakan faktor risiko yang dipaparkan oleh Joint Committee on Infant Hearing. Beberapa studi menyatakan bahwa skor Apgar yang rendah pada bayi preterm lebih menggambarkan imaturitas dibanding dampak dari gawat janin. Tujuan. Menganalisis pengaruh asfiksia pada neonatus preterm terhadap kejadian kurang pendengaran tipe sensorik berdasarkan skrining awal pendengaran. Metode. Penelitian kohort. Subyek: neonatus preterm dengan riwayat asfiksia sedang dan berat dirawat di RSUP dr. Kariadi Semarang bulan Januari 2016 – Juni 2017, dipilih secara consecutive sampling, sesuai criteria inklusi dan eksklusi. Kurang pendengaran sensorik (KPS) ditentukan dari pemeriksaan Otoacoustic emission (OAE) yang dilakukan saat pulang perawatan dan usia 3 bulan. Analisis dilakukan dengan uji Chi-square, t-test, dan Mann-Whitney. Hasil. Dari 73 bayi yang dilakukan follow up, OAE I menunjukkan 32 bayi refer dan 41 bayi pass. Skor Apgar menit ke-1 ≤ 3 bukan merupakan faktor risiko KP sensorik pada neonatus preterm dengan asfiksia. Usia gestasi < 32 minggu dan BBLSR meningkatkan risiko KP sensorik (masing-masing OR 3,8; 95% IK 1,29-11,09,p 0,01 dan OR 3,9; 95% IK 1,47-10,81, p 0,005). Usia gestasi < 32 minggu dan BBLSR secara bersama-sama bukan merupakan faktor risiko KP sensorik pada neonatus preterm dengan asfiksia dari pemeriksaan OAE I. Simpulan. Skor Apgar menit ke-1 ≤ 3 tidak mempengaruhi KPS dari skrining awal pendengaran pada neonatus preterm dengan asfiksia. Usia gestasi < 32 minggu dan BBLSR secara individual meningkatkan risiko KPS pada neonatus preterm dengan asfiksia. Kata kunci : OAE, kurang pendengaran sensorik, asfiksia, preterm
Pendahuluan : Pajanan benzene di dalam kehidupan sehari-hari sudah banyak dikenal dan banyak yang merupakan sumber pekerjaan rutin dan harus terpajan setiap hari. Pajanan benzene, suatu karsinogenik manusia, dapat terjadi baik saat konsepsi, natal maupun post natal. Produk metabolit benzena (fenol, hidrokuinon, trans,trans-muconic acid (tt-MA), benzena oxide and S-phenylmercapturic acid) berperan sebagai penyebab berbagai efek toksik. TtMA merupakan suatu metabolit non fenol yang di ekskresikan melalui urin. Pemeriksaan tt-MA direkomendasikan sebagai biomarker pajanan benzena. Tujuan : Mengetahui hubungan antara pekerjaan orang tua yang terpajan benzena sebagai salah satu faktor risiko lekemia akut anak dengan pengukuran tt-MA urin. Metode : Suatu studi kasus kontrol yang dilakukan di RS Kariadi antara Januari-Desember 2016. Semua pasien lekemia (rawat inap dan rawat jalan) diikutkan dalam penelitian. Data pajanan polutan benzena dari riwayat pekerjaan orang tua ( berisiko terpajan dan tidak berisiko) diperoleh dengan kuisioner. Pajanan benzena berupa tt-MA di urin diukur dengan Liquid Chromatography Mass Spectrophotometry (LCMS). Kadar tt-MA diklasifikasikan menjadi < 298,35 mg/gCr dan ≥ 298,35 mg/gCr. Analisis data menggunakan Chi Square dan Fisher's Exact Test. Hasil : Terdapat 28 laki-laki dan 14 perempuan dengan onset usia rata-rata 7,64 ± 4,4 tahun pada kasus, dan 9,05 ± 3,13 pada kontrol. Pada kelompok kontrol, kadar tt-MA urin 166,49 (SD ± 139,85) mg/gCr dan pada kasus sebesar 418,2 (SD ± 348) mg/gCr (p= 0,009). Tt-MA digunakan sebagai biomarker lekemia anak (OR 13 , CI 2,4- 70,4, p 0,001). Terdapat hubungan antara pajanan benzena dan riwayat pekerjaan orang tua yang berisiko terhadap kejadian lekemia anak (p= 0,03). Pekerjaan orang tua yang terpajan benzene memiliki risiko 9 kali sebagai faktor risiko untuk terjadinya lekemia akut pada anak (OR 9,11; CI 1,46-56,60, p 0,018). Kesimpulan : Terdapat hubungan antara pekerjaan orang tua yang terpajan benzena terhadap kejadian lekemia akut anak. Kata Kunci : pekerjaan orang tua berisiko, tt-muconic acid, lekemia akut anak