Pendahuluan : Obat pengencer darah sudah lama digunakan sebagai terapi anti pembekuan darah dan sudah digunakan di seluruh dunia. Selain memiliki khasiat terapi obat tersebut juga dikembangkan secara rodentisida. Salah satu contoh rodentisida yang saat ini banyak digunakan adalah brodifakum, yang merupakan obat generasi kedua dari anti koagulan warfarin dan biasa disebut dengan "super warfarin". Dewasa ini penggunaan rodentisida sering disalahgunakan untuk menghilangkan nyawa seseorang. Metode : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kecepatan waktu kematian dengan menggunakan brodifakum dalam beberapa pelarut yaitu kopi, teh, susu, air kelapa yang diberikan secara oral pada tikus putih galur wistar, serta gambaran makroskopis dan mikroskopis dari organ dalam (paru, jantung, hati, ginjal). Jumlah tikus yang digunakan 25 ekor terbagi menjadi 5 kelompok yaitu 4 kelompok perlakuan (brodifakum dengan pelarut kopi, teh, susu, air kelapa) dan 1 kelompok kontrol yaitu brodifakum aquadest. Hasil : Didapatkan waktu kematian tercepat yaitu brodifakum dengan pelarut teh dengan rerata 4,4 hari. Nilai brodifakum LD100 25 mg/kgBB. Statistik analitik uji Kruskal-Wallis antara kecepatan waktu kematian dengan pemberian brodifakum dengan berbagai pelarut menunjukkan perbedaan bermakna (P=0,001). Analisa pemeriksaan makroskopis dan mikroskopis pada organ dalam dilakukan dengan statistik deskriptif. Simpulan : Pemberian brodifakum dengan pelarut teh menyebabkan kematian tercepat dengan temuan kelainan organ paling banyak. Sedangkan kelainan paling sedikit dengan pelarut susu. Kata kunci : brodifakum, kecepatan kematian, gambaran makroskopis, gambaran mikroskopis, pelarut
Latar belakang : Tonsilitis kronik menyebabkan terbentuknya oksidan, salah satunya peroksidasi lipid. Vtamin C dosis tinggi pasca tonsilektomi sebagai antioksidan diduga menurunkan kadar peroksidasi lipid dan mempercepat penyembuhan luka. Tujuan : Membuktikan vitamin C dosis tinggi dapat menurunkan kadar peroksidasi lipid dan mempercepat penyembuhan luka pasca tonsilektomi. Metode : Penelitian randomized controlled trial (RCT). Empat puluh subjek yang memnuhi kriteria inklusi dan eksklusi di klinik THT-KL RSUP Soeselo Slawi Oktober-November 2015. Dibagi kelompok perlakuan mendapat vitamin C dosis tinggi intravena segera pasca tonsilektomi dan terapi standar (amoxicillin dan paracetamol), kelompok kontrol mendapat terapi standar. Kadar peroksidasi lipid dievaluasi sebelum dan 2 minggu pasca tonsilektomi. Derajat nyeri dengan visual analogue scale (VAS)/ wong baker faces pain rating scale (WBFPRS) dan derajat epitelisasi (Ozlugedik et al) dinilai pada hari ke-1, 4, 7 dan 14 pasca tonsilektomi. Penyembuhan luka secara klinis dibagi menjadi sembuh dan belum sembuh yang dinilai pada hari ke 7 dan 14 pasca tonsilektomi. Data dianalisis dengan uji t berpasangan, uji t tidak berpasangan, dan uji Mann-Whitney. Hasil : empat puluh subjek dapat diikuti sampai akhir penelitian. Vitamin C dosis tinggi mengurangi derajat nyeri sejak hari ke-4 pasca tonsilektomi (hari ke-1 p=0,053; hari ke-4 p=0,018; hari ke 7 p=0,022; hari ke-14 p=0,075), dan mempercepat derajat epitelisasi sejak hari ke-1 pasca tonsilektomi (hari ke-1 p=0,023; hari ke-4 p=0,000; hari ke-7 p=0,000; hari ke-14 p=0,002), serta lebih banyak sembuh pada hari ke-14 pasca tonsilektomi (p=0,002). Kadar peroksidasi lipid serum 2 minggu pasca tonsilektomi pada kelompok vitamin C dosis tinggi cenderung lebih banyak yang turun dibanding kelompok kontrol (p=0,057). Simpulan : Vitamin C dosis tinggi mempercepat penyembuhan luka dan menurunkan kadar peroksidasi lipid pasca tonsilektomi. Kata kunci : vitamin C, peroksidasi lipid, penyembuhan luka, pasca tonsilektomi.